RESEPSI
REMAJA KELURAHAN DUWET KECAMATAN PEKALONGAN SELATAN TERHADAP MAKNA DAN NILAI
SIMBOLIK TRADISI SYAWALAN
DI
KRAPYAK KIDUL KOTA PEKALONGAN
oleh Muh. Yusron, S.Pd
Guru SMP Negeri 16 Kota Pekalongan
oleh Muh. Yusron, S.Pd
Guru SMP Negeri 16 Kota Pekalongan
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kebudayaan merupakan
warisan sosial yang memiliki masyarakat pendukungnya. Agar masyarakat
pendukungnya, terutama generasi muda, dapat mewarisi, mempelajari dan
menghayati suatu kebudayaan, diperlukan beberapa cara dan mekanisme tertentu,
antara lain penyelenggaraan upacara tradisional.
Upacara tradisional
adalah suatu kegiatan sosial yang melibatkan para warga masyarakat pendukungnya
dalam usaha bersama untuk mencapai tujuan keselamatan. Upacara tradisional
mengandung aturan-aturan yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh masyarakat
pendukungnya.
Budaya adalah tradisi,
sedangkan budaya lokal merupakan tradisi yang mempunyai kekuatan untuk menjaga
suatu kebudayaan yang hidup di tengah masyarakat tersebut. Sebagai masyarakat Jawa,
penghormatan akan kearifan lokal patut kita budayakan. Begitu pula dengan
masyarakat di daerah lain di negara ini. Budaya lokal adalah hal yang tidak
boleh dilupakan apalagi ditinggalkan. Kekayaan dan keanekaragaman budaya lokal
yang dimiliki bangsa ini adalah warisan leluhur bersama yang wajib dijaga dan
dilestarikan. Masyarakat Jawa pada
dasarnya adalah masyarakat yang masih mempertahankan budaya dan tradisi
upacara, serta ritual apapun yang berhubungan dengan kelahiran, kematian,
pernikahan, peristiwa alam atau bencana, bulan-bulan tertentu dalam islam, dan
sebagainya. Upacara-upacara tersebut selalu menggunakan simbol-simbol tertentu
dalam pelaksanaannya. Simbol-simbol tersebut merupakan wujud pengharapan
manusia terhadap dewa-dewa dan makhluk gaib tertentu agar manusia selalu diberi
keselamatan dan perlindungan dalam kehidupannya. Salah satu bentuk upacara
rakyat di Pulau Jawa khususnya Kota Pekalongan, Jawa Tengah yang terkenal
adalah upacara Tradisi Syawalan. Tradisi syawalan merupakan tradisi keagamaan
yang dilakukan oleh masyarakat Krapyak Kidul, Pekalongan. Tradisi syawalan
menggunakan simbol-simbol yang diwujudkan dalam perlengkapan tradisi syawalan,
yaitu lopis, daun pisang, tali, bambu, dan lotisan.
Perayaan Hari Syawalan atau sepekan setelah Hari Raya Idul Fitri di Kota
Pekalongan Jawa Tengah dimeriahkan dengan tradisi pemotongan kue lopis ketan
raksasa. Lopis ini menjadi rebutan ribuan pengunjung karena dipercaya
mendatangkan berkah dan rejeki serta mendekatkan jodoh. Bagi masyarakat
Pekalongan merayakan Hari Raya Idul Fitri rasanya belum lengkap jika tidak
mengunjungi tradisi Syawalan atau Perayaan Sepekan setelah Hari Raya Idul Fitri
yang digelar di desa Krapyak Kidul. Perayaan Syawalan ini juga sering disebut dengan
istilah Krapyakan karena kegiatannya dipusatkan di kelurahan Krapyak Kidul.
Warga setempat memeriahkan Syawalan dengan berbagai hiburan dan menerbangkan
balon plastik raksasa pada siang harinya. Perayaan Syawalan yang rutin
diselenggarakan tiap tahun ini selalu dipadati ribuan pengunjung, khususnya
remaja dari berbagai daerah (Lensa Indonesia, 2012).
Upaya-upaya pelestarian
dan penghargaan terhadap kearifan tradisional dan nilai-nilai budaya lokal
tidak dapat dipisahkan dari kondisi pemilik dan pengguna utamanya, yaitu
masyarakat. Remaja merupakan bagian dari masyarakat yang keberadaannya perlu
diperhitungkan. Sebagai generasi muda penerus bangsa, tanggung jawab akan
kelestarian budaya lokal ada di tangan remaja. Hal pertama yang perlu disadari
oleh para remaja adalah bagaimana kita dapat menghargai budaya lokal tersebut.
Menghargai erat kaitannya dengan adanya penghormatan, pengakuan, rasa memiliki,
dan akhirnya menuju pada usaha-usaha untuk mau menjaga.
Pertanyaan yang muncul
kemudian adalah seberapa besarkah resepsi atau tanggapan remaja kecamatan
Pekalongan Selatan terhadap makna dan nilai simbolik Tradisi Syawalan? Dewasa
ini, terdapat beberapa tantangan dampak globalisasi bagi remaja. Salah satunya
kemajuan zaman dan pola pikir remaja tidak lagi dapat dibatasi. Tidak dapat dipungkiri
hal ini menyebabkan bergesernya makna yang sebenarnya dari tradisi itu sendiri
dan adanya anggapan bahwa budaya tradisional tidak mampu menyaingi budaya
global yang sedang mendunia. Disinilah perlunya menanamkan kesadaran remaja
bahwa budaya lokal senantiasa akan bertahan apabila kita tidak membiarkannya
tertindas.
Hal inilah yang
mendorong penulis ingin mengetahui resepsi dari kalangan remaja sendiri
khususnya yang berada di Kelurahan Duwet Pekalongan Selatan terhadap makna dan
nilai simbolik tradisi Syawalan. Perbedaan persepsi ini dapat saja terjadi
karena nilai, sikap, pengetahuan dan pengalaman seseorang terhadap tradisi
Syawalan.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dalam
penelitian ini dirumuskan masalah sebagai berikut: “Bagaimanakah
Resepsi Remaja Kelurahan Duwet Kecamatan Pekalongan Selatan terhadap Makna dan
Nilai Simbolik Tradisi Syawalan di Krapyak Kidul Kota Pekalongan?”
1.3
Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian
adalah untuk mengungkap makna dan nilai simbolik yang terkandung dalam upacara
tradisional Syawalan, sehingga nilai-nilai itu dapat dipelajari dan dipahami
oleh generasi penerus yang diharapkan dapat mewarisi dan melestarikan nilai-nilai
luhur dalam upacara tradisonal tersebut serta memperkenalkan potensi budaya
Kota Pekalongan kepada masyarakat luas.
Tujuan khusus
penelitian adalah untuk mengidentifikasi resepsi remaja khususnya remaja Kelurahan
Duwet Pekalongan Selatan terhadap makna dan nilai simbolik tradisi Syawalan di Krapyak
Kidul Kota Pekalongan.
1.4
Manfaat
1)
Menambah pengetahuan akademis maupun non
akademis tentang makna dan nilai simbolik tradisional Syawalan.
2)
Memperkuat otonomi daerah, mengingat
upacara tradisional ini berfungsi untuk memperkuat integrasi sosial, khususnya
integrasi dan kebersamaan masyarakat Kota Pekalongan.
3) Sebagai
bahan informasi mengenai resepsi remaja khususnya remaja Kelurahan Duwet Kecamatan
Pekalongan Selatan tentang makna dan nilai simbolik tradisi Syawalan.
4) Sebagai
landasan preventif agar remaja dapat memahami dan melestarikan tradisi leluhur
serta tidak terpengaruh terhadap budaya global yang tidak sesuai dengan
nilai-nilai masyarakat.
5) Sebagai
bahan masukan kepada para remaja khususnya Kelurahan Duwet Kecamatan Pekalongan
Selatan agar mengenal, mengetahui dan memahami tradisi-tradisi yang ada di kota
Pekalongan.
6) Sumber
informasi dan data dasar bagi penelitian selanjutnya dalam ruang lingkup yang
sama.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Tradisi Syawalan
Tradisi Syawalan atau yang dikenal dengan Krapyakan atau Lopisan adalah
suatu kegiatan tradisi yang dilaksanakan oleh masyarakat Krapyak Kidul dan
dilaksanakan tiap tanggal 8 (delapan) bulan Syawal penanggalan Hijriyah. Kegiatan
ini pada dasarnya adalah kegiatan silaturakhim, terutama tamu dari jauh datang
berkunjung kepada warga Krapyak Kidul, berbagai suguhan disajikan oleh warga
untuk menyambut tamu-tamunya, yang merupakan makanan khas terdiri dari lopis
dan lotis.
Kekhasan pada acara syawalan ini yakni adanya kue lopis raksasa seberat 535
kilogram dengan tinggi 170 centimeter dan berdiameter 203 centimeter. Puncak
acara Syawalan ditandai dengan pemotongan lopis oleh Muspida dan Tokoh
Masyarakat Pekalongan. Setelah diberi doa oleh seorang ulama setempat lopis raksasa
tersebut langsung menjadi rebutan ribuan warga. Warga percaya jika bisa mendapatkan
potongan lopis serta menyantapnya akan mendapatkan berkah dan didekatkan
jodohnya. Meski saling dorong antar sesama warga untuk berebut mendapatkan
potongan kue lopis Raksasa tersebut namun tidak menyurutkan niat warga untuk
ikut memeriahkan acara tersebut. Tak sedikit kaum ibu dan remaja putri yang
ikut memperebutkan kue lopis raksasa ini yang akhirnya berjatuhan ketanah dan
saling tindih (Lensa Indonesia, 2012).
2.1.1
Sejarah
Syawalan
Syawalan
merupakan suatu bentuk perwujudan dari semangat keberagaman masyarakat Krapyak
Kidul Kota Pekalongan tempo dulu. Seperti yang kita lihat bahwa umat Islam
selalu menyambut gembira kehadiran Hari Raya Idul Fitri, banyak amalan yang
dapat dilakukan sebagai perwujudan rasa syukur kepada Allah SWT atas datangnya
hari mulia ini.
Warga Krapyak
Kidul sebagai bagian umat islam juga melakukan hal yang sama, setelah kegiatan
Sholat Ied maka semua warga mengadakan silaturrahmi dengan cara berkunjung dari
rumah ke rumah.
Pada hari kedua
sampai hari ketujuh banyak warga yang melakukan puasa sunnah atau puasa enam
hari, dan hal ini tentunya menjadi kendala bagi keluarga jauh yang akan
berkunjung pada hari-hari tersebut. Akhirnya mereka memilih berkunjung pada
hari kedelapan, kebiasaan inilah yang menjadi cikal bakal tradisi Syawalan.
Hal ini pula
menunjukkan bahwa kegiatan Syawalan yang berlangsung di Krapyak Kidul memang
bukan ritual keagamaan tetapi kegiatan
yang syarat dengan nilai-nilai agama. Tidak
ada yang tahu pasti kapan tradisi Syawalan itu dimulai tetapi berdasarkan salah
satu sumber, menyatakan bahwa tradisi Syawalan dimulai pada pertengahan abad
sembilan belas dan tokoh yang dianggap berjasa dalam perintisannya adalah Kyai
H. Abdullah Siroj, yang makamnya kini berada di Payaman Magelang.
2.1.2
Lopis dan
lotis Sebagai Simbol Tradisi Syawalan
Makanan khas
yang disuguhkan pada tradisi ini adalah lopis yang terbuat dari bahan ketan
dengan dibungkus daun pisang serta diikat dengan tali serta lotisan. Hal ini
memiliki makna harapan dan keinginan warga Krapyak Kidul walau dalam
keberagaman agar selalu terjalin kerukunan antar warga sebagai tujuan dari
silaturrahmi.
2.1.3
Perkembangan
dalam Tradisi Syawalan
Awal tradisi
Syawalan hanyalah sebagai ajang silaturrahmi antar warga, akan tetapi seiring
kemajuan zaman tradisi ini mengalami perkembangan. Salah satunya adalah
pemotongan Lopis Raksasa, acara ini dimulai tahun 1956 dirintis oleh Bapak
Rohmat yang menjabat sebagai Kepala Kelurahan pada waktu itu. Pada akhirnya
acara pemotongan lopis ini setiap tahun dihadiri oleh tokoh masyarakat dan
wakil dari pemerintahan kota Pekalongan.
Tradisi Syawalan
yang semula milik sebagian warga, kini meluas di desa sekitar lingkungan
Krapyak Kidul. Hal ini tentunya menggembirakan karena acara ini telah menjadi
paket wisata budaya di Kota Pekalongan.
Dampaknya
tradisi syawalan yang semula hanya sebagai ajang silaturrahmi berubah menjadi
ajang lomba dan panggung hiburan yang menimbulkan nuansa lain dalam tradisi
ini. Tentunya pula menjadi permasalahan dimasa mendatang karena adanya
perbedaan persepsi mengenai bentuk syawalan, namun yang jelas melekatnya nilai
keagamaan dalam tradisi ini menjadikan hal ini menjadi sesuatu yang sangat
peka, dan tentunya kebutuhan lembaga yang memiliki kemampuan untuk menyerap
aspirasi masyarakat tentang pengembangan syawalan di masa mendatang menjadi
amat penting.
Saat ini harapan
seluruh warga bahwa tradisi ini akan terus berkembang dan tetap disesuaikan
dengan makna asli, akan tetapi menjadi paket wisata yang menarik (Harun Rosyid,
Dok. Kel. Krapyak Kidul).
2.2
Resepsi Remaja terhadap
Tradisi Budaya
Resepsi atau tanggapan dalam penelitian ini
sebenarnya menyadur dalam sebuah teori Resepsi sastra yang secara singkat dapat
disebut sebagai aliran yang meneliti teks sastra dengan bertitik tolak pada
pembaca yang memberi reaksi atau tanggapan terhadap teks itu. Pembaca selaku
pemberi makna adalah variabel menurut ruang, waktu dan golongan sosial budaya (http://id.wikipedia.org/wiki/Resepsi_sastra).
Secara umum teori resepsi diartikan sebagai penerimaan, penyambutan,
tanggapan, reaksi, dan sikap pembaca terhadap suatu karya sastra. Dalam teori
yang demikan, teori resepsi, pembaca memegang peranan penting. Pembaca adalah
mediator, tanpa pembaca karya sastra seolah-olah tidak memiliki arti. Tanpa
peran serta audiens, seperti: pendengar, penikmat, penonton, pemirsa,
penerjemah, dan para pengguna lainnya, khususnya pembaca itu sendiri, maka
keseluruhan aspek kultur seolah-olah kehilangan maknanya. Teori Resepsi
dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
·
Resepsi secara
sinkronis, peneliti dalam kaitannya dengan pembaca sezamannya.
·
Resepsi
diakronis, penelitian dalam kaitannya dengan pembaca sepanjang sejarahnya (I
Gusti Ngurah Jayanti, http://varianwisatabudayasundakecil.blogspot.com/p/teori
resepsi.html?zx=4413d07f5781b7a8).
Mengacu pada teori tersebut maka penelitian ini bermaksud untuk
mengetahui resepsi atau tanggapan remaja mengenai suatu tradisi khususnya
Tradisi Syawalan yang ada di Krapyak Kidul Kota Pekalongan dengan mengacu dari
pemahaman dan pengetahuan remaja itu sendiri. Seperti yang didasarkan pada
teori tersebut bahwa tradisi itu sendiri tidak memiliki arti dan kehilangan
aspek kultur apabila tidak ada tanggapan dari masyarakat sebagai pelaksana
sekaligus pemilik.
Tradisi (Bahasa Latin:
traditio, "diteruskan") atau kebiasaan, dalam pengertian yang paling
sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi
bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara,
kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi
adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis
maupun (sering kali) lisan, karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah (http://id.wikipedia.org/wiki/Tradisi).
Upacara tradisional
adalah suatu kegiatan sosial yang melibatkan para warga masyarakat pendukungnya
dalam usaha bersama untuk mencapai tujuan keselamatan. Upacara tradisional mengandung
aturan-aturan yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh masyarakat
pendukungnya.
Aturan-aturan tersebut
tumbuh dan berkembang secara turun temurun, sehingga mempunyai peranan untuk
melestarikan ketertiban hidup, merekatkan hubungan antar individu dan antar kelompok
dalam masyarakat. Masyarakat pendukung suatu upacara tradisional bersedia untuk
mematuhi aturan-aturan yang ditentukan, karena ada sanksi yang bersifat sakral
dan magis. Dengan demikian upacara tradisional merupakan suatu pranata sosial
yang tidak tertulis, tetapi wajib dikenal dan dipatuhi oleh setiap warga untuk
mengatur tingkah lakunya, agar tidak menyimpang dari adat kebiasaan yang
berlaku dalam masyarakat.
Di samping sebagai
pranata sosial, upacara tradisional juga merupakan alat komunikasi antar sesama
manusia serta antara dunia yang nyata dan dunia yang ghaib. Hubungan komunikasi
antara dunia nyata dan dunia ghaib dapat dipelajari melalui simbol-simbol. Pesan-pesan
ajaran agama, nilai-nilai etis dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat
disampaikan kepada seluruh warga masyarakat pendukungnya melalui simbol-simbol.
Oleh karena itu, upacara tradisional merupakan sarana sosialisasi nilai-nilai,
terutama kepada generasi muda yang masih harus menyesuaikan diri dengan
kehidupan masyarakat ( T.t
:2003).
Menurut kajian
teoritis, tradisi atau upacara tradisional diperlukan oleh semua kelompok
sosial dalam masyarakat, baik masyarakat yang lama maupun masyarakat yang baru.
Upacara tradisional sangat diperlukan sebagai media integrasi sosial dalam
suatu kelompok masyrakat, serta sebagai media bagi setiap warga untuk
memperkenalkan diri dan menunjukkan statusnya dalam kelompoknya. Isi yang
terpenting dalam tradisi adalah integrasi dan konfigurasi simbol, baik simbol
lama maupun baru, yang diiplementasikan dalam aktivitas upacara (Ayatrohaedi :
1986 hal 5).
Dalam upacara
tradisional yang masih berkembang dalam masyarakat, dapat diketahui juga
fungsinya sebagai media integrasi dan pengukuhan status yang sangat dibutuhkan
oleh suatu kelompok masyarakat. Oleh karena itu, upacara tradisional harus
selalu dilestarikan dan diaktualisasikan secara terus menerus, dengan
mempertahankan unsur-unsur lama dan memodifikasinya dengan unsur-unsur yang
baru. Unsur atau simbol baru senantiasa diperlukan untuk aktualisa agar tradisi
itu tidak usang dan tetap didukung oleh masyarakatnya.
Upaya-upaya pelestarian
dan penghargaan terhadap kearifan tradisional dan nilai-nilai budaya lokal
tidak dapat dipisahkan dari kondisi pemilik dan pengguna utamanya, yaitu
masyarakat. Remaja merupakan bagian dari masyarakat yang keberadaannya perlu
diperhitungkan. Sebagai generasi muda penerus bangsa, tanggung jawab akan
kelestarian budaya lokal ada di tangan remaja. Hal pertama yang perlu disadari
oleh para remaja adalah bagaimana kita dapat menghargai budaya lokal tersebut.
Menghargai erat kaitannya dengan adanya penghormatan, pengakuan, rasa memiliki,
dan akhirnya menuju pada usaha-usaha untuk mau menjaga.
Wujud penghargaan
remaja terhadap budaya lokal dengan nyata tergambar dalam kesehariannya. Baik
dalam pendidikan formal, maupun kegiatan yang bersifat informal dalam lingkungan
pergaulan. Mengedepankan muatan budaya lokal sebagai sebuah kecintaan terhadap
tradisi daerah lokal, sebut saja bahasa jawa, seni tari jawa, seni membatik,
itu semua dapat menjadi satu ukuran seberapa besar penghargaan remaja terhadap
budaya lokal.
Saatnya Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata menaruh perhatian lebih terhadap kearifan budaya
lokal khususnya tradisi Syawalan, bagaimana tradisi ini dapat di kemas seapik
mungkin sehingga menimbulkan daya tarik bagi remaja. Dan dapat merangsang
remaja untuk memiliki budayanya. Selain itu, nilai-nilai budaya lokal utamanya
yang menyangkut pendidikan budi pekerti sebaiknya di tekankan. Sebagai contoh,
betapa hormatnya seorang remaja yang melintas di depan orang yang dituakan lalu
membungkukkan badannya dan mengucapkan “Nuwun sewu”. Kondisi demikian semakin
langka dijumpai, padahal menyangkut nilai-nilai budaya lokal. Demikian pula
pada aspek kehidupan lain. Seperti etika berbicara. Nilai-nilai lokal
mengajarkan sopan santun dan menghargai yang dituakan, sehingga ketika salah
seorang yang dituakan berbicara maka pantang memotongnya dan secara santun
mengeluarkan pendapat ketika ingin menanggapi pembicaraan tersebut.
Pertanyaan yang muncul
kemudian adalah seberapa pentingnya penghargaan remaja terhadap budaya lokal?
Dewasa ini, terdapat beberapa tantangan dampak globalisasi bagi remaja. Salah
satunya kemajuan zaman dan pola pikir remaja tidak lagi dapat dibatasi. Tidak
dapat di pungkiri ada anggapan bahwa budaya tradisional tidak mampu menyaingi
budaya global yang sedang mendunia. Disinilah perlunya kesadaran remaja bahwa
budaya lokal senantiasa akan bertahan apabila kita tidak membiarkannya
tertindas.
Hal ini perlu didukung
dengan wujud nyata terhadap pengembangan dan pelestarian budaya lokal dan
kesenian tradisional. Kegiatan tersebut dalam upaya memposisikan secara aktual
peran stategis yang harus dimainkan budaya lokal. Karena selama ini persoalan
budaya semakin mendapat tantangan yang berdimensi global, utamanya menyangkut
kondisi pemahaman dan aktualisasi nilai-nilai budaya.
Selain itu, kini banyak
terjadi ketimpangan tindakan remaja dalam kehidupan sosial dimasyarakat. Hal
ini membutuhkan perhatian atau konsentrasi yang lebih dari dinas budaya dan
pariwisata untuk merespon persoalan-persoalan ini. Tentunya melalui pendidikan
formal maupun informal. Pemahaman nilai-nilai budaya lokal dan kesenian
tradisional kepada remaja dapat dilakukan melalui berbagai kegiatan, seperti
pendidikan muatan lokal bagi siswa sekolah, pendidikan muatan lokal, lomba
karya tulis, pameran budaya, karnaval budaya, dsb. Penghargaan terhadap
kearifan budaya lokal akan bermanfaat luas bagi terwujudnya warga negara yang
beradab dan demokratis apabila dapat dikolaborasi secara kreatif dan dinamis. Dengan
menghargai budaya lokal, seorang remaja juga telah berupaya mengikat sikap dan
perilaku dalam dalam bermasyarakat untuk lebih apresiasif terhadap nilai-nilai kebaikan, dalam
mengantarkan transisi menuju demokrasi yang lebih baik (Kharisma Ayu, 2009).
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Desain
Penelitian
Desain
penelitian ini adalah deskriptif dengan menggunakan teori resepsi sastra atau dapat disebut sebagai teori
yang meneliti teks sastra (lisan maupun tulis) dengan bertitik tolak pada
pembaca yang memberikan reaksi atau tanggapan terhadap teks tersebut. Hal ini
diperlukan untuk mengidentifikasi resepsi remaja terhadap makna
dan nilai simbolik tradisi syawalan, khususnya remaja Kelurahan Duwet Kecamatan
Pekalongan Selatan, serta
menggunakan pendekatan historis.
3.2 Populasi
dan Sampel
Populasi
dalam penelitian ini adalah remaja kelurahan Duwet, khususnya remaja yang
menjadi siswa kelas IX di SMP Negeri 16 Pekalongan sejumlah 154 siswa.
Penentuan jumlah sampel didasarkan pada ketentuan 25% dari populasi (Arikunto,
1998), sehingga jumlah sampel penelitian sebanyak 39 siswa dengan tekhnik
pengambilan sampel yang digunakan adalah Random Sampling.
3.3 Instrumen
Penelitian
Instrumen yang digunakan berupa daftar
pertanyaan wawancara dan angket yang disusun oleh peneliti didasarkan pada
konsep dan tinjauan pustaka. Angket terdiri dari dua bagian: (1) informasi
karakteristik responden yang berisi nama atau identitas, usia responden, jenis
kelamin; (2) resepsi remaja terhadap makna dan nilai simbolik tradisi syawalan.
3.4 Tekhnik
Pengumpulan Data
Tahapan
pengumpulan data dalam penelitian ini adalah : menjelaskan kepada responden
tentang tujuan penelitian dan meminta kesediaannya untuk menjadi responden.
Peneliti menjelaskan tentang cara pengisian angket dan mengisi angket secara
jujur sesuai dengan pemahaman dan apa yang diketahui tentang tradisi syawalan.
Setelah selesai agket dikumpulkan dan diperiksa kelengkapannya. Untuk
melengkapi data angket peneliti juga melakukan wawancara tak berstruktur, observasi serta mengumpulkan dokumentasi atau
catatan sejarah mengenai tradisi syawalan, baik dari sumber warga setempat
maupun studi literatur.
3.5 Analisa
Data
Analisa data dilakukan
dengan menggunakan tabulasi dan deskriptif presentase serta dipadukan dengan
menggunakan metode historis. Hal ini diperlukan untuk mengungkap sejarah awal
munculnya tradisi Syawalan dan makna/nilai simbol-simbol yang terkandung
didalamnya. Penelitian historis meliputi tahap-tahap sebagai berikut; (1)
Pengumpulan, sumber sejarah (heuristik) melalui studi pustaka dan studi arsip
untuk memperoleh sumber atau data primer
dan sekunder tentang tradisi Syawalan dan makna simbol yang terkandung
didalamnya, (2) Kritik sumber untuk menentukan autentisitas dai kredibilitas
sumber sejarah, (3) Penetapan sintesis antar fakta sejarah melalui proses
imajinasi, analisis, dan interpretasi untuk menetapkan hubungan antar fakta,
(4) Penulisan sejarah.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Kondisi Geografis Desa
Krapyak Kidul Kota Pekalongan
Kelurahan Krapyak Kidul merupakan salah satu kelurahan yang berada di
wilayah kecamatan Pekalongan Utara, dengan luas wilayah ± 668.900 Ha. Kelurahan
ini memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut :
·
Sebelah utara
berbatasan dengan Kelurahan Krapyak Lor
·
Sebelah
selatan berbatasan dengan Kelurahan Klego
·
Sebelah barat
berbatasan dengan Sungai Pekalongan
·
Sebelah timu
berbatasan dengan Desa Degayu
Jumlah penduduk yang menempati wilayah ini sebanyak 5.840 jiwa dengan
jumlah penduduk laki-laki sebesar 2.870 jiwa dan jumlah penduduk perempuan
sebesar 2.970 jiwa serta 1.681 Kepala Keluarga (KK).
Agama yang dianut oleh sejumlah 5.790 penduduk kelurahan Krapyak adalah
agama Islam sedangkan sisanya adalah agama Kristen, Katholik, dan Budha
(Monografi Kel. Krapyak tahun 2012).
4.2
Hasil Penelitian
4.2.1
Karakteristik Responden
Tabel
1. Data Karakteristik Responden Remaja Kelurahan
Duwet yang Menjadi Siswa SMP Negeri 16 Pekalongan
No
|
Karakteristik Responden
|
Jumlah
|
Persentase (%)
|
1.
|
Usia
responden
15
– 16 tahun
17
– 18 tahun
Mean
|
34
5
16,5
|
87,2
12,8
|
2.
|
Jenis
kelamin
Laki-laki
Perempuan
|
20
19
|
51,3
48,7
|
Berdasarkan tabel diatas bahwa usia
responden pada rentang 15 – 16 tahun sebanyak 34 atau 87,2% dan berusia 17 – 18
tahun sebanyak 5 orang atau 12,8% dengan
usia termuda 15 tahun dan usia tertua 18 tahun sehingga rata-rata usia
responden 16,5 tahun. Sebagian besar responden adalah perempuan sebanyak 19
atau 48,7%, sedangkan laki-laki sebanyak 20 atau 51,3%.
4.2.2
Resepsi Remaja Kelurahan Duwet
terhadap tradisi Syawalan di Krapyak Kidul Kota Pekalongan
Tabel
2. Resepsi Responden terhadap Tradisi
Syawalan di Krapyak Kidul Kota Pekalongan
No.
|
Resepsi Remaja
terhadap Tradisi Syawalan
|
Resepsi
Responden
|
||
belum
|
pernah
|
Selalu
|
||
1.
|
Apakah
kamu pernah mendengar tradisi syawalan yang ada di Krapyak Kidul?
|
0
|
17,9%
|
82,1%
|
2.
|
Apakah
kamu pernah mengunjunginya?
|
7,7%
|
79,5%
|
12,8%
|
Hasil pengumpulan angket dari respoden mengenai
resepsi awal tradisi syawalan yang ada di Krapyak Kidul, menunjukkan bahwa sebagian
responden sudah mendengar tradisi tersebut. Terbukti hasil tabulasi data diatas
menunjukkan tidak ada responden yang
belum mendengar, tapi 82,1% atau sebanyak 32 responden selalu mendengar
sedangkan 17,9% atau sebanyak 7
responden hanya pernah mendengar tradisi tersebut.
Hasil angket mengenai pernah mengunjungi tradisi
tersebut ternyata sebagian kecil yakni 12,8% atau 5 responden selalu
mengunjungi sedangkan sebagian besar 79,5% atau 31 responden pernah dan 7,7%
atau 3 responden belum pernah sekalipun mengunjungi tradisi tersebut.
4.2.3
Resepsi Remaja Kelurahan Duwet
terhadap Nilai dan Makna Simbolik Tradisi Syawalan di Krapyak Kidul Kota
Pekalongan
Tabel 3.
Resepsi Responden terhadap Nilai dan Makna Simbolik
Tradisi
Syawalan di Krapyak Kidul Kota Pekalongan
No.
|
Resepsi Remaja
terhadap Nilai dan Makna Simbolik Tradisi Syawalan
|
Resepsi
Responden
|
||
Tidak tahu
|
Ragu-ragu
|
Tahu
|
||
1.
|
Apakah
kamu tahu makna adanya tradisi syawalan di Krapyak Kidul?
|
38,5%
|
46,2%
|
15,4%
|
2.
|
Apakah
kamu tahu makanan khas yang lain selain lopis yang disajikan sewaktu syawalan
di Krapyak Kidul?
|
25,6%
|
61,5%
|
12,8%
|
3.
|
Apakah
kamu tahu makna dari simbol yang berupa makanan tersebut?
|
89,7%
|
5,1%
|
5,1%
|
4.
|
Apakah
kamu tahu kegiatan atau acara apa saja yang terdapat dalam tradisi tersebut?
|
53,8%
|
41%
|
5,1%
|
5.
|
Apakah
kamu percaya terhadap makna dari simbol yang ada di tradisi tersebut?
|
84,6%
|
15,4%
|
0%
|
Resepsi remaja dari hasil angket mengenai makna dan
simbol tradisi syawalan diperoleh hasil bahwa sebanyak 15 atau 38,5% responden
tidak tahu, 18 atau 46,2% ragu-ragu, dan hanya 6 atau 15,4% responden tahu
makna dan simbol yang ada dalam tradisi syawalan. Sedangkan hasil angket
tentang makanan khas selain lopis yang disajikan dalam tradisi tersebut sebanyak
10 atau 25,6% responden menjawab tidak tahu, 24 atau 61,5% responden ragu-ragu,
dan sebanyak 5 atau 12,8% responden menjawab tahu.
Mengenai makna dari simbol dalam bentuk makanan yang
terdapat dalam tradisi syawalan hanya 2 atau 5,1% responden menyatakan tahu dan
ragu-ragu, sedangkan sebagian besar responden yakni sebanyak 35 atau 89,7%
tidak tahu. Hasil angket tentang kegiatan atau acara apa saja yang ada dalam
tradisi syawalan hampir sebagian besar yakni 21 atau 53,8% menjawab tidak tahu,
16 atau 41% responden ragu-ragu serta 2 atau 5,1% responden menyatakan tahu.
Hasil kepercayaan responden mengenai makna dari simbol sebanyak 33 atau 84,6%
responden menyatakan tidak tahu, 6 atau 15,4% ragu-ragu dan tidak ada responden
yang tahu atau percaya akan makna dalam tradisi tersebut.
4.2.4
Hasil Data Primer mengenai Sejarah,
Makna dan Nilai Tradisi Syawalan di Krapyak Kidul
Informasi yang diperoleh dari data
primer, baik dari studi literatur dan sumber
informan mengenai tradisi syawalan mulai dari sejarah awal dan perkembangannya
adalah sebagai berikut:
· Tradisi
Syawalan yang rutin dilakukan oleh masyarakat Kota Pekalongan ini sudah dimulai
sejak 130-an tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1855 M.
Kali pertama yang menggelar hajatan Syawalan ini adalah KH. Abdullah Sirodj yang merupakan
keturunan dari Kyai Bahu Rekso (http://perwakilan.jatengprov.go.id/wisata/kota-pekalongan.html).
Adapun silsilah lengkapnya adalah sebagai berikut : KH. Abdullah Sirodj putera RA. Martoloyo putera Amir Zahid putera Amir
Sulaiman putera R.
Tjondrodimerto putera R. Surodimejo putera Kyai Bahu Rekso putera Kyai Ageng
Tjempaluk putera Pangeran Nowo putera pangeran Haryo Mangor putera Waliyullah
Abdul Muhyi Pamijahan. Beliau wafat di Magelang sedang makam beliau terletak
dikompleks pemakaman Masjid Payaman Magelang, yang hingga kini makamnya masih
banyak dikunjungi peziarah dari segenap penjuru tanah air, khususnya Jawa
Tengah, baik pagi, siang, sore ataupun malam hari sepanjang tahun.
Adapun
Khoulnya bertepatan dengan Syawalan disini (Kota Pekalongan); yaitu tanggal 8 Syawal tahun hijriyah. Kembali
pada pokok permasalahan, pada tanggal 8 Syawalnya, masyarakat Krapyak berhari
raya kembali setelah berpuasa 6 hari, dalam kesempatan ini, merekapun membuat
acara ‘open house’ menerima para tamu baik dari manca desa maupun manca kota.
Hal ini diketahui oleh masyarakat diluar krapyak, sehingga merekapun tidak
mengadakan kunjungan silaturahmi pada hari-hari antara tanggal 2 hingga 7 dalam
bulan Syawal, melainkan berbondong-bondong berkunjung pada tanggal 8 Syawal. Yang
demikian ini berkembang luas, bahkan meningkat terus dari masa ke masa sehingga
terjadilah tradisi Syawalan seperti sekarang ini. Demikianlah asal mulanya
terjadi Syawalan. Sedikit tentang mengapa beliau wafat dan dikebumikan di
Magelang : Kota Pekalongan, tepatnya Krapyak ini, beliau pernah mendirikan
suatu organisasi untuk menggembleng para pemuda, baik jasmani maupun rohani
mereka guna menghadapi penjajah Belanda, organisasi tersebut bernama WAROQOTUL
ISLAM. Namun sayang seribu sayang, baru ditengah perjalanan, hal terendus oleh
penjajah Belanda dan tak ayal pemerintahan Belanda memerintahkan untuk
menangkap KH Abdullah Sirodj hidup atau mati. Oleh para santrinya, beliau
diamankan di Magelang. Ditempat pengungsian ini beliau meraih berbagai
kesuksesan diberbagai bidang. Dan pada gilirannya beliau dipinang untuk
dijadikan menantu oleh Bupati Magelang pada saat itu dan dijadikan sebagai
kepala RAT Igama (sekarang Kepala Kantor Departemen Agama). Akhirnya beliau
wafat di Magelang. Semasa hidupnya KH Abdullah Sirodj akrab dipanggil dengan
sebutan Mbah Agung Sirodj (Sumber Kantor Pariwisata & Kebudayaan).
· Sumber
lain menyatakan bahwa asal mula terjadinya tradisi ini Bagi masyarakat Krapyak Lor dan Krapyak Kidul, tradisi
syawalan yang dimulai dengan pemotongan lopis raksasa telah dikenal secara
turun temurun sejak tahun 1950-an. Seorang ulama setempat, KH. Zaenuddin Ismail
menjelaskan, saat itu, ada seorang ulama yang menyarankan kepada warga Krapyak
untuk melaksanakan puasa selama enam hari setelah Lebaran. ”Karena itu, apabila
ada warga yang akan bersilaturahmi ke Krapyak, menunggu sampai delapan hari
setelah Lebaran untuk menghormati warga yang berpuasa. Lopis raksasa tersebut
dibuat untuk menjamu tamu yang bersilaturahmi ke Krapyak pada saat Syawalan,”
terangnya. Menurut Nurman (generasi kedua pembuat lopis raksasa yang menjadi
tradisi Syawalan masyarakat Krapyak Kidul dan Krapyak Lor), pembuatan lopis
terinspirasi dari pidato Presiden Soekarno saat berpidato di hadapan masyarakat
Pekalongan di Bon Raja (sekarang THR-red), sekitar tahun 1958. Nurman
menceritakan, dalam pidatonya, Presiden Soekarno mengimbau kepada masyarakat
Pekalongan untuk bersatu. Masyarakat diharapkan memiliki sifat seperti lopis.
Karena teksturnya yang lengket dan kuat, makanan ini dianggap sebagai simbol
perekat dan pemersatu umat. ”Rakyat Pekalongan diminta bersatu dan kokoh
seperti halnya lopis,” jelasnya. Setelah mendengarkan pidato hari itu, Nurman
bersama beberapa warga lainnya kemudian berinisiatif untuk membuat lopis dengan
cara swadaya masyarakat sekitar. Dia dan 14 warga lainnya berhasil membuat
lopis raksasa pertama dengan bahan baku beras ketan sebanyak 170 kg. Lopis yang
telah matang kemudian disuguhkan kepada warga dari luar Krapyak yang
bersilaturahmi ke kelurahan tersebut pada saat Syawalan. ”Adanya lopis ini juga
untuk menarik warga dari kelurahan lain untuk bersilaturahmi dengan kami. Lopis
ini dibuat untuk warga luar daerah yang bersilaturahmi ke tempat kami, namun
dia tidak punya saudara di kampung kami.” Sejak saat itu, setiap tahun
masyarakat Krapyak membuat lopis raksasa. Tradisi itu terjaga hingga kini (Suara
Pantura, 26 Agustus 2012).
· Sumber
informasi mengenai makanan khas sebagai simbol yang disajikan pada saat tradisi
syawalan yang diperoleh dari penuturan M. Abdu warga Krapyak mengatakan bahwa
pada mulanya makanan yang disajikan sebagai penjamu tamu sebenarnya adalah sama
dengan sajian khas saat lebaran di daerah lain, yakni ketupat dan opor ayam.
Akan tetapi saat itu terpikir dalam penyajiannya terlalu repot dan biaya yang
dikeluarkan relatif banyak karena tamu yang datang juga banyak. Akhirnya,
digantikanlah dengan lopis yang dibungkus daun pisang, dapat membuat kenyang
tamu yang datangnya dari jauh serta bisa menjamu untuk orang banyak. Bapak
Abdullah Sholeh sebagai warga Krapyak dan juga sumber informan menambahi bahwa
sebenarnya dipilih lopis yang dibungkus daun pisang dengan diikat karena hal
ini memiliki makna yang sangat fundamental. Dipilih daun pisang karena semua
bagian yang ada di pohon tersebut dapat dimanfaatkan oleh manusia dan relatif
lebih praktis ketimbang disajikan dalam piring serta harganyapun relatif murah.
Lopis yang terbuat dari bahan ketan yang memiliki sifat kenyal dan daya lekat,
ini menunjukkan bahwa hubungan antar manusia diharapkan dapat selalu rekat
antara satu dengan yang lain. Ditambah lagi dengan ikatan pada bungkus daun
pisangnya yang menunjukka adanya persatuan dan kesatuan dalam menjaga ukhwah
islamiah. Sedangkan pada saat ini makanan yang disajikan menurut beliau
mengalami perkembangan selain lopis juga tersaji lotis. Makanan yang terdiri
dari berbagai macam buah-buahan dan sambal ini juga memiliki simbol makna yakni
adanya keberagaman manusia. Sebenarnya disajikan makanan ini karena pada
dulunya wilayah Krapyak merupakan sentra atau pusatnya pasar buah-buahan di
kota Pekalongan, sehingga dapat mudah memperolehnya untuk sajian para tamu.
· Acara
yang dilaksanakan dalam tradisi ini menurut penuturan aparat kelurahan Krapyak
pada awalnya hanyalah silahturahmi biasa, akan tetapi mengalami perkembangan
pada saat ini. Semula sebelum acara silahturahmi biasanya didahului acara
“udik-udikan” atau membagi uang dalam bentuk recehan dengan cara ditaburkan
agar diambil para pengunjung secara beramai-ramai dan berebutan akan tetapi
acara ini diganti pelaksanaannya. Kegiatan yang sekarang dilaksanakan cenderung
mengarah pada hiburan, sehingga ditakutkan mengurangi makna asli dari makna
kegiatan yang sebenarnya.
4.3 Pembahasan
Desain penelitian ini adalah
deskriptif dengan menggunakan teori resepsi sastra atau dapat disebut sebagai teori
yang meneliti teks sastra (lisan maupun tulis) dengan bertitik tolak pada
pembaca yang memberikan reaksi atau tanggapan terhadap teks tersebut. Hal ini
diperlukan untuk
mengidentifikasi resepsi remaja terhadap makna dan nilai simbolik tradisi
syawalan, khususnya remaja Kelurahan Duwet Kecamatan Pekalongan Selatan, serta menggunakan pendekatan
historis.
Sebanyak 39 responden dilihat
dari rentang umur terdiri dari kelompok umur 15 – 16 tahun sebanyak 34 (87,2%)
dan kelompok umur 17 – 18 tahun sebanyak 5 (12,8%) dengan rata-rata (mean) umur
responden adalah 16,5 , sehingga dapat dikategorikan bahwa seluruh responden
adalah remaja. Dilihat dari jenis kelamin, terdiri dari 20 laki-laki dan 19
perempuan.
Remaja dalam kehidupannya
cenderung dinamis yang biasanya mudah terpengaruh sesuai dengan lingkungan
pergaulannya. Tidak terlepas pula kemampuan pemahaman maupun pengetahuan remaja
sekarang yang cenderung mengikuti kemajuan zaman, terutama dalam tuntutan
penguasaan teknologi. Hal inilah yang kadang membuat remaja melupakan nilai-nilai
tradisi ataupun budaya nenek moyang yang seharusnya dihargai dan dilestarikan.
Terbukti dari hasil penelitian sesuai tabel 2 dan tabel 3 resepsi atau tanggapan
remaja tentang tradisi yang ada di daerahnya khususnya tradisi syawalan
menunjukkan resepsi yang tidak signifikan. Sebanyak 32 atau 82% dari 39
responden walaupun selalu mengetahui dan sebanyak 31 atau 79,5% pernah
mengunjungi ternyata hanya 6 atau 15,4% saja yang tahu makna dari tradisi
tersebut. Alasan yang mereka kemukakan pun bervariasi mereka banyak mengetahui
karena tradisi ini rutin tiap tahun dilaksanakan serta pernah mengunjungi
karena alasan diajak teman untuk sekedar cari hiburan atau penasaran karena
hanya ingin melihat lopis raksasa. Hal inilah yang membuat mereka tidak tahu
makna tradisi itu sendiri, karena sebagian besar acara yang ditonjolkan dalam
kegiatan tersebut berupa panggunu-panggung hiburan semata.
Terlebih lagi makna
simbol yang ada dalam tradisi tersebut, sebagian besar menyatakan tidak tahu
dan ragu-ragu dan hanya 5 atau 12,8% responden saja yang tahu simbol-simbol
yang disajikan. Sebanyak 2 atau 5,1%
dari 39 responden yang mengetahui makna dari simbol-simbol dan rangkaian acara
yang ada dalam kegiatan syawalan. Alasan mereka mengetahui karena memiliki
saudara yang tinggal di daerah Krapyak sehingga sering mendengar cerita dari
saudaranya. Sedangkan untuk kepercayaan mengenai makna simbol para responden
sebagian besar memilih tidak tahu dan ragu-ragu.
Hasil penelitian ini
menunjukkan betapa rendahnya resepsi atau tanggapan remaja terhadap nilai-nilai
tradisi yang ada, sehingga tidak menutup kemungkinan suatu tradisi dan nilai
yang terkandung didalamnya akan mengalami pergeseran atau malah akan hilang. Hal inilah perlunya upaya berbagai pihak untuk
menanamkan nilai-nilai penghargaan kepada para remaja untuk selalu mencintai
tradisi dan budaya sendiri.
Karena bagaimanapun
remaja merupakan bagian dari masyarakat pendukung dari suatu kebudayaan. Mereka
tidak hanya dituntut untuk maju sehingga melupakan tradisi sejarah yang ada,
tetapi mereka adalah generasi penerus yang harus dibekali dengan jiwa tradisi
nenek moyang untuk dapat menunjukkan martabat dan kepribadian bangsa.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Masa remaja menurut Singgih merupakan masa peralihan
dengan kategori usia 13/14 tahun – 21 tahun dan biasanya masih mengalami
perkembangan baik secara fisik maupun fisiologis, sehingga dibutuhkan dorongan
dari masyarakat agar dapat menemukan identitasnya. Hal ini diperlukan agar
remaja mengetahui peranannya dalam masyarakat. Remaja merupakan bagian dari
masyarakat yang keberadaannya perlu diperhitungkan. Sebagai generasi muda
penerus bangsa, tanggung jawab akan kelestarian budaya lokal ada di tangan
remaja. Hal pertama yang perlu disadari oleh para remaja adalah bagaimana kita
dapat menghargai budaya lokal tersebut. Menghargai erat kaitannya dengan adanya
penghormatan, pengakuan, rasa memiliki, dan akhirnya menuju pada usaha-usaha
untuk mau menjaga.
Salah satu kecenderungan yang tampak dengan jelas
dari dinamika kehidupan remaja ini ialah perubahan-perubahan yang disebabkan
oleh upaya-upaya di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang berlangsung kian
cepat. Perubahan-perubahan tersebut terasa besar sekali pengaruhnya bagi
berbagai aspek kehidupan, termasuk di dalamnya adalah pengaruh yang tak
terhindarkan pada kehidupan budaya daerah dengan berbagai segi, termasuk seni
dan tradisi.
5.2 Saran
1)
Eksistensi budaya dan tradisi selalu
berada dalam jaringan strategis, baik dalam relasi dan interaksinya dengan seni
lain maupun dalam relasi dan interaksinya dengan fenomena budaya yang lebih
luas. Karenanya, kekhasan eksistensi tersebut harus dijaga keberlangsungan-nya.
2)
Upaya pengembangan budaya dan tradisi
selalu merupakan kesatuan yang padu antara gagasan dan wujud nyata, yang secara
metodologis bertolak pada prinsip aksi dan refleksi. Tindakan-tindakan konkret
dilakukan berbarengan dengan ditumbuhkannya kesadaran terhadap realitas yang
“mengepungnya”, yang tidak sebatas pada realitas seni budaya. Untuk itu, cara
dan bentuk upaya pengembangan hendaknya dilakukan secara strategis, tersistem,
berkesinambungan, dan melembaga.
3)
Untuk saat ini dan mendatang, terdapat sejumlah
perspektif dan konteks penting yang perlu diperhitungkan: (1) menguatnya
ideologi multikulturalisme sebagai akibat globalisasi, yang memberi peluang
munculnya rezim global berikut dampaknya dalam hampir semua aspek kehidupan;
(2) pentingnya wacana kemandirian dalam berbagai aspek di tengah kehidupan
budaya yang berkembang di masyarakat.
4)
Pentingnya pengembangan untuk melaksanakan
dan menghasilkan aktivitas dan produk budaya dan tradisi yang berkualitas,
memiliki keunggulan kompetitif, dan selalu diupayakan menuju bobot yang diakui
dalam berbagai tingkatan. Konteks dan perspektif ini diharapkan mampu menjaga
relevansi semua bentuk pengembangannya.
5)
Pentingnya pengembangan yang dilakukan
diarahkan pada, atau sekaligus merupakan gerakan penyadaran di kalangan seluruh
unsur penyangga budaya dan tradisi itu sendiri.
6)
Dalam kaitannya dengan perspektif dan
konteks pengembangan budaya dan tradisi dapat diposisikan secara strategis,
baik dalam perspektif ekspresif maupun apresiatif, baik secara tekstual maupun
kontekstual. Artinya, berbagai bentuk komunikasi artistik dalam dan lewat seni
budaya dan tradisi sudah seharusnya diarahkan pada tumbuh-kembangnya kesadaran
budaya.
7)
Saatnya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
menaruh perhatian lebih terhadap kearifan budaya lokal, bagaimana budaya lokal
dapat di kemas seapik mungkin sehingga menimbulkan daya tarik bagi remaja. Dan
dapat merangsang remaja untuk memiliki budayanya. Selain itu, nilai-nilai
budaya lokal utamanya yang menyangkut pendidikan budi pekerti sebaiknya di
tekankan jangan hanya mengutamakan keuntungan dangan menyajikan hiburan. Pengembangan
lain dapat melalui pendidikan formal maupun informal. Pemahaman nilai-nilai
budaya lokal dan kesenian tradisional kepada remaja dapat dilakukan melalui
berbagai kegiatan, seperti pendidikan muatan lokal bagi siswa sekolah,
pendidikan muatan lokal, lomba karya tulis, pameran budaya, karnaval budaya,
dsb. Penghargaan terhadap kearifan budaya lokal akan bermanfaat luas bagi
terwujudnya warga Negara yang beradab dan demokratis apabila dapat dikolaborasi
secara kreatif dan dinamis.
8)
Adanya dukungan dan motivasi dari
masyarakat pelaku kesenian ini, niscaya akan menjadikan kesenian tersebut tetap
terjaga kelestariannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Ariyanto NPH, Bagus (2010). “RESEPSI MASYARAKAT
KRAPYAK KIDUL
TERHADAP MAKNA
SIMBOLIK TRADISI SYAWALAN DI KRAPYAK
KIDUL, PEKALONGAN”. Undergraduate thesis, Fakultas Ilmu Budaya.
Harun
Rosyid (Kepala Kelurahan Krapyak) (2002). “Tinjauan
Singkat
Syawalan”.
Dokumen
Kelurahan Krapyak
http://perwakilan.jatengprov.go.id/wisata/kota-pekalongan.html
Isnawati-48. 26 Agustus 2012. “Syawalan dengan Potong Lopis Simbol
Perekat
Umat”. Suara Pantura : Suara Merdeka
Mudjahirin Thohir,
25 Agustus 2012. “Wacana Tradisi Syawalan di Jawa”.
Suara Merdeka
Monografi Kel. Krapyak tahun 2012
Oji Saeroji. 17 September 2010 “Syawalan; Tradisi Lebaran Ketupat”.
Kompasiana
Prof.
Dr. Singgih D. Gunarsa (1985). “Dasar dan
Teori Perkembangan Anak” .
Jakarta : PT. BPK Gunung Mulia.
Rudi, 27 Agustus
2012. “Dipercaya Datangkan Rejeki dan Jodoh Tradisi
Syawalan, Lupis Raksasa Jadi Rebutan Warga
Pekalongan”. LENSA
INDONESIA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar