Jumat, 28 Februari 2014

LPIR IPS 2013


RESEPSI REMAJA KELURAHAN DUWET KECAMATAN PEKALONGAN SELATAN TERHADAP MAKNA DAN NILAI SIMBOLIK TRADISI SYAWALAN
                                          DI KRAPYAK KIDUL KOTA PEKALONGAN

                                                                oleh Muh. Yusron, S.Pd
                                                Guru SMP Negeri 16 Kota Pekalongan

BAB I
PENDAHULUAN


1.1    Latar Belakang
Kebudayaan merupakan warisan sosial yang memiliki masyarakat pendukungnya. Agar masyarakat pendukungnya, terutama generasi muda, dapat mewarisi, mempelajari dan menghayati suatu kebudayaan, diperlukan beberapa cara dan mekanisme tertentu, antara lain penyelenggaraan upacara tradisional.
Upacara tradisional adalah suatu kegiatan sosial yang melibatkan para warga masyarakat pendukungnya dalam usaha bersama untuk mencapai tujuan keselamatan. Upacara tradisional mengandung aturan-aturan yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh masyarakat pendukungnya.
Budaya adalah tradisi, sedangkan budaya lokal merupakan tradisi yang mempunyai kekuatan untuk menjaga suatu kebudayaan yang hidup di tengah masyarakat tersebut. Sebagai masyarakat Jawa, penghormatan akan kearifan lokal patut kita budayakan. Begitu pula dengan masyarakat di daerah lain di negara ini. Budaya lokal adalah hal yang tidak boleh dilupakan apalagi ditinggalkan. Kekayaan dan keanekaragaman budaya lokal yang dimiliki bangsa ini adalah warisan leluhur bersama yang wajib dijaga dan dilestarikan. Masyarakat Jawa pada dasarnya adalah masyarakat yang masih mempertahankan budaya dan tradisi upacara, serta ritual apapun yang berhubungan dengan kelahiran, kematian, pernikahan, peristiwa alam atau bencana, bulan-bulan tertentu dalam islam, dan sebagainya. Upacara-upacara tersebut selalu menggunakan simbol-simbol tertentu dalam pelaksanaannya. Simbol-simbol tersebut merupakan wujud pengharapan manusia terhadap dewa-dewa dan makhluk gaib tertentu agar manusia selalu diberi keselamatan dan perlindungan dalam kehidupannya. Salah satu bentuk upacara rakyat di Pulau Jawa khususnya Kota Pekalongan, Jawa Tengah yang terkenal adalah upacara Tradisi Syawalan. Tradisi syawalan merupakan tradisi keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat Krapyak Kidul, Pekalongan. Tradisi syawalan menggunakan simbol-simbol yang diwujudkan dalam perlengkapan tradisi syawalan, yaitu lopis, daun pisang, tali, bambu, dan lotisan.
Perayaan Hari Syawalan atau sepekan setelah Hari Raya Idul Fitri di Kota Pekalongan Jawa Tengah dimeriahkan dengan tradisi pemotongan kue lopis ketan raksasa. Lopis ini menjadi rebutan ribuan pengunjung karena dipercaya mendatangkan berkah dan rejeki serta mendekatkan jodoh. Bagi masyarakat Pekalongan merayakan Hari Raya Idul Fitri rasanya belum lengkap jika tidak mengunjungi tradisi Syawalan atau Perayaan Sepekan setelah Hari Raya Idul Fitri yang digelar di desa Krapyak Kidul. Perayaan Syawalan ini juga sering disebut dengan istilah Krapyakan karena kegiatannya dipusatkan di kelurahan Krapyak Kidul. Warga setempat memeriahkan Syawalan dengan berbagai hiburan dan menerbangkan balon plastik raksasa pada siang harinya. Perayaan Syawalan yang rutin diselenggarakan tiap tahun ini selalu dipadati ribuan pengunjung, khususnya remaja dari berbagai daerah (Lensa Indonesia, 2012).
Upaya-upaya pelestarian dan penghargaan terhadap kearifan tradisional dan nilai-nilai budaya lokal tidak dapat dipisahkan dari kondisi pemilik dan pengguna utamanya, yaitu masyarakat. Remaja merupakan bagian dari masyarakat yang keberadaannya perlu diperhitungkan. Sebagai generasi muda penerus bangsa, tanggung jawab akan kelestarian budaya lokal ada di tangan remaja. Hal pertama yang perlu disadari oleh para remaja adalah bagaimana kita dapat menghargai budaya lokal tersebut. Menghargai erat kaitannya dengan adanya penghormatan, pengakuan, rasa memiliki, dan akhirnya menuju pada usaha-usaha untuk mau menjaga.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah seberapa besarkah resepsi atau tanggapan remaja kecamatan Pekalongan Selatan terhadap makna dan nilai simbolik Tradisi Syawalan? Dewasa ini, terdapat beberapa tantangan dampak globalisasi bagi remaja. Salah satunya kemajuan zaman dan pola pikir remaja tidak lagi dapat dibatasi. Tidak dapat dipungkiri hal ini menyebabkan bergesernya makna yang sebenarnya dari tradisi itu sendiri dan adanya anggapan bahwa budaya tradisional tidak mampu menyaingi budaya global yang sedang mendunia. Disinilah perlunya menanamkan kesadaran remaja bahwa budaya lokal senantiasa akan bertahan apabila kita tidak membiarkannya tertindas.
Hal inilah yang mendorong penulis ingin mengetahui resepsi dari kalangan remaja sendiri khususnya yang berada di Kelurahan Duwet Pekalongan Selatan terhadap makna dan nilai simbolik tradisi Syawalan. Perbedaan persepsi ini dapat saja terjadi karena nilai, sikap, pengetahuan dan pengalaman seseorang terhadap tradisi Syawalan.

1.2    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dalam penelitian ini dirumuskan masalah sebagai berikut: “Bagaimanakah Resepsi Remaja Kelurahan Duwet Kecamatan Pekalongan Selatan terhadap Makna dan Nilai Simbolik Tradisi Syawalan di Krapyak Kidul Kota Pekalongan?”

1.3    Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian adalah untuk mengungkap makna dan nilai simbolik yang terkandung dalam upacara tradisional Syawalan, sehingga nilai-nilai itu dapat dipelajari dan dipahami oleh generasi penerus yang diharapkan dapat mewarisi dan melestarikan nilai-nilai luhur dalam upacara tradisonal tersebut serta memperkenalkan potensi budaya Kota Pekalongan kepada masyarakat luas.
Tujuan khusus penelitian adalah untuk mengidentifikasi resepsi remaja khususnya remaja Kelurahan Duwet Pekalongan Selatan terhadap makna dan nilai simbolik tradisi Syawalan di Krapyak Kidul Kota Pekalongan.

1.4    Manfaat
1)      Menambah pengetahuan akademis maupun non akademis tentang makna dan nilai simbolik tradisional Syawalan.
2)      Memperkuat otonomi daerah, mengingat upacara tradisional ini berfungsi untuk memperkuat integrasi sosial, khususnya integrasi dan kebersamaan masyarakat Kota Pekalongan.
3)     Sebagai bahan informasi mengenai resepsi remaja khususnya remaja Kelurahan Duwet Kecamatan Pekalongan Selatan tentang makna dan nilai simbolik tradisi Syawalan.
4)     Sebagai landasan preventif agar remaja dapat memahami dan melestarikan tradisi leluhur serta tidak terpengaruh terhadap budaya global yang tidak sesuai dengan nilai-nilai masyarakat.
5)     Sebagai bahan masukan kepada para remaja khususnya Kelurahan Duwet Kecamatan Pekalongan Selatan agar mengenal, mengetahui dan memahami tradisi-tradisi yang ada di kota Pekalongan.
6)     Sumber informasi dan data dasar bagi penelitian selanjutnya dalam ruang lingkup yang sama.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


2.1    Tradisi Syawalan
Tradisi Syawalan atau yang dikenal dengan Krapyakan atau Lopisan adalah suatu kegiatan tradisi yang dilaksanakan oleh masyarakat Krapyak Kidul dan dilaksanakan tiap tanggal 8 (delapan) bulan Syawal penanggalan Hijriyah. Kegiatan ini pada dasarnya adalah kegiatan silaturakhim, terutama tamu dari jauh datang berkunjung kepada warga Krapyak Kidul, berbagai suguhan disajikan oleh warga untuk menyambut tamu-tamunya, yang merupakan makanan khas terdiri dari lopis dan lotis.
Kekhasan pada acara syawalan ini yakni adanya kue lopis raksasa seberat 535 kilogram dengan tinggi 170 centimeter dan berdiameter 203 centimeter. Puncak acara Syawalan ditandai dengan pemotongan lopis oleh Muspida dan Tokoh Masyarakat Pekalongan. Setelah diberi doa oleh seorang ulama setempat lopis raksasa tersebut langsung menjadi rebutan ribuan warga. Warga percaya jika bisa mendapatkan potongan lopis serta menyantapnya akan mendapatkan berkah dan didekatkan jodohnya. Meski saling dorong antar sesama warga untuk berebut mendapatkan potongan kue lopis Raksasa tersebut namun tidak menyurutkan niat warga untuk ikut memeriahkan acara tersebut. Tak sedikit kaum ibu dan remaja putri yang ikut memperebutkan kue lopis raksasa ini yang akhirnya berjatuhan ketanah dan saling tindih (Lensa Indonesia, 2012).
2.1.1        Sejarah Syawalan
Syawalan merupakan suatu bentuk perwujudan dari semangat keberagaman masyarakat Krapyak Kidul Kota Pekalongan tempo dulu. Seperti yang kita lihat bahwa umat Islam selalu menyambut gembira kehadiran Hari Raya Idul Fitri, banyak amalan yang dapat dilakukan sebagai perwujudan rasa syukur kepada Allah SWT atas datangnya hari mulia ini.
Warga Krapyak Kidul sebagai bagian umat islam juga melakukan hal yang sama, setelah kegiatan Sholat Ied maka semua warga mengadakan silaturrahmi dengan cara berkunjung dari rumah ke rumah.
Pada hari kedua sampai hari ketujuh banyak warga yang melakukan puasa sunnah atau puasa enam hari, dan hal ini tentunya menjadi kendala bagi keluarga jauh yang akan berkunjung pada hari-hari tersebut. Akhirnya mereka memilih berkunjung pada hari kedelapan, kebiasaan inilah yang menjadi cikal bakal tradisi Syawalan.
Hal ini pula menunjukkan bahwa kegiatan Syawalan yang berlangsung di Krapyak Kidul memang bukan ritual  keagamaan tetapi kegiatan yang syarat dengan nilai-nilai agama.  Tidak ada yang tahu pasti kapan tradisi Syawalan itu dimulai tetapi berdasarkan salah satu sumber, menyatakan bahwa tradisi Syawalan dimulai pada pertengahan abad sembilan belas dan tokoh yang dianggap berjasa dalam perintisannya adalah Kyai H. Abdullah Siroj, yang makamnya kini berada di Payaman Magelang.
2.1.2        Lopis dan lotis Sebagai Simbol Tradisi Syawalan
Makanan khas yang disuguhkan pada tradisi ini adalah lopis yang terbuat dari bahan ketan dengan dibungkus daun pisang serta diikat dengan tali serta lotisan. Hal ini memiliki makna harapan dan keinginan warga Krapyak Kidul walau dalam keberagaman agar selalu terjalin kerukunan antar warga sebagai tujuan dari silaturrahmi. 
2.1.3        Perkembangan dalam Tradisi Syawalan
Awal tradisi Syawalan hanyalah sebagai ajang silaturrahmi antar warga, akan tetapi seiring kemajuan zaman tradisi ini mengalami perkembangan. Salah satunya adalah pemotongan Lopis Raksasa, acara ini dimulai tahun 1956 dirintis oleh Bapak Rohmat yang menjabat sebagai Kepala Kelurahan pada waktu itu. Pada akhirnya acara pemotongan lopis ini setiap tahun dihadiri oleh tokoh masyarakat dan wakil dari pemerintahan kota Pekalongan.
Tradisi Syawalan yang semula milik sebagian warga, kini meluas di desa sekitar lingkungan Krapyak Kidul. Hal ini tentunya menggembirakan karena acara ini telah menjadi paket wisata budaya di Kota Pekalongan.
Dampaknya tradisi syawalan yang semula hanya sebagai ajang silaturrahmi berubah menjadi ajang lomba dan panggung hiburan yang menimbulkan nuansa lain dalam tradisi ini. Tentunya pula menjadi permasalahan dimasa mendatang karena adanya perbedaan persepsi mengenai bentuk syawalan, namun yang jelas melekatnya nilai keagamaan dalam tradisi ini menjadikan hal ini menjadi sesuatu yang sangat peka, dan tentunya kebutuhan lembaga yang memiliki kemampuan untuk menyerap aspirasi masyarakat tentang pengembangan syawalan di masa mendatang menjadi amat penting.
Saat ini harapan seluruh warga bahwa tradisi ini akan terus berkembang dan tetap disesuaikan dengan makna asli, akan tetapi menjadi paket wisata yang menarik (Harun Rosyid, Dok. Kel. Krapyak Kidul).

2.2    Resepsi Remaja terhadap Tradisi Budaya
Resepsi atau tanggapan dalam penelitian ini sebenarnya menyadur dalam sebuah teori Resepsi sastra yang secara singkat dapat disebut sebagai aliran yang meneliti teks sastra dengan bertitik tolak pada pembaca yang memberi reaksi atau tanggapan terhadap teks itu. Pembaca selaku pemberi makna adalah variabel menurut ruang, waktu dan golongan sosial budaya (http://id.wikipedia.org/wiki/Resepsi_sastra).
Secara umum teori resepsi diartikan sebagai penerimaan, penyambutan, tanggapan, reaksi, dan sikap pembaca terhadap suatu karya sastra. Dalam teori yang demikan, teori resepsi, pembaca memegang peranan penting. Pembaca adalah mediator, tanpa pembaca karya sastra seolah-olah tidak memiliki arti. Tanpa peran serta audiens, seperti: pendengar, penikmat, penonton, pemirsa, penerjemah, dan para pengguna lainnya, khususnya pembaca itu sendiri, maka keseluruhan aspek kultur seolah-olah kehilangan maknanya. Teori Resepsi dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
·      Resepsi secara sinkronis, peneliti dalam kaitannya dengan pembaca sezamannya.
·      Resepsi diakronis, penelitian dalam kaitannya dengan pembaca sepanjang sejarahnya (I Gusti Ngurah Jayanti, http://varianwisatabudayasundakecil.blogspot.com/p/teori resepsi.html?zx=4413d07f5781b7a8).
Mengacu pada teori tersebut maka penelitian ini bermaksud untuk mengetahui resepsi atau tanggapan remaja mengenai suatu tradisi khususnya Tradisi Syawalan yang ada di Krapyak Kidul Kota Pekalongan dengan mengacu dari pemahaman dan pengetahuan remaja itu sendiri. Seperti yang didasarkan pada teori tersebut bahwa tradisi itu sendiri tidak memiliki arti dan kehilangan aspek kultur apabila tidak ada tanggapan dari masyarakat sebagai pelaksana sekaligus pemilik.
Tradisi (Bahasa Latin: traditio, "diteruskan") atau kebiasaan, dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun (sering kali) lisan, karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah (http://id.wikipedia.org/wiki/Tradisi).
Upacara tradisional adalah suatu kegiatan sosial yang melibatkan para warga masyarakat pendukungnya dalam usaha bersama untuk mencapai tujuan keselamatan. Upacara tradisional mengandung aturan-aturan yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh masyarakat pendukungnya.
Aturan-aturan tersebut tumbuh dan berkembang secara turun temurun, sehingga mempunyai peranan untuk melestarikan ketertiban hidup, merekatkan hubungan antar individu dan antar kelompok dalam masyarakat. Masyarakat pendukung suatu upacara tradisional bersedia untuk mematuhi aturan-aturan yang ditentukan, karena ada sanksi yang bersifat sakral dan magis. Dengan demikian upacara tradisional merupakan suatu pranata sosial yang tidak tertulis, tetapi wajib dikenal dan dipatuhi oleh setiap warga untuk mengatur tingkah lakunya, agar tidak menyimpang dari adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.
Di samping sebagai pranata sosial, upacara tradisional juga merupakan alat komunikasi antar sesama manusia serta antara dunia yang nyata dan dunia yang ghaib. Hubungan komunikasi antara dunia nyata dan dunia ghaib dapat dipelajari melalui simbol-simbol. Pesan-pesan ajaran agama, nilai-nilai etis dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat disampaikan kepada seluruh warga masyarakat pendukungnya melalui simbol-simbol. Oleh karena itu, upacara tradisional merupakan sarana sosialisasi nilai-nilai, terutama kepada generasi muda yang masih harus menyesuaikan diri dengan kehidupan masyarakat              ( T.t :2003).
Menurut kajian teoritis, tradisi atau upacara tradisional diperlukan oleh semua kelompok sosial dalam masyarakat, baik masyarakat yang lama maupun masyarakat yang baru. Upacara tradisional sangat diperlukan sebagai media integrasi sosial dalam suatu kelompok masyrakat, serta sebagai media bagi setiap warga untuk memperkenalkan diri dan menunjukkan statusnya dalam kelompoknya. Isi yang terpenting dalam tradisi adalah integrasi dan konfigurasi simbol, baik simbol lama maupun baru, yang diiplementasikan dalam aktivitas upacara (Ayatrohaedi : 1986 hal 5).
Dalam upacara tradisional yang masih berkembang dalam masyarakat, dapat diketahui juga fungsinya sebagai media integrasi dan pengukuhan status yang sangat dibutuhkan oleh suatu kelompok masyarakat. Oleh karena itu, upacara tradisional harus selalu dilestarikan dan diaktualisasikan secara terus menerus, dengan mempertahankan unsur-unsur lama dan memodifikasinya dengan unsur-unsur yang baru. Unsur atau simbol baru senantiasa diperlukan untuk aktualisa agar tradisi itu tidak usang dan tetap didukung oleh masyarakatnya.
Upaya-upaya pelestarian dan penghargaan terhadap kearifan tradisional dan nilai-nilai budaya lokal tidak dapat dipisahkan dari kondisi pemilik dan pengguna utamanya, yaitu masyarakat. Remaja merupakan bagian dari masyarakat yang keberadaannya perlu diperhitungkan. Sebagai generasi muda penerus bangsa, tanggung jawab akan kelestarian budaya lokal ada di tangan remaja. Hal pertama yang perlu disadari oleh para remaja adalah bagaimana kita dapat menghargai budaya lokal tersebut. Menghargai erat kaitannya dengan adanya penghormatan, pengakuan, rasa memiliki, dan akhirnya menuju pada usaha-usaha untuk mau menjaga.
Wujud penghargaan remaja terhadap budaya lokal dengan nyata tergambar dalam kesehariannya. Baik dalam pendidikan formal, maupun kegiatan yang bersifat informal dalam lingkungan pergaulan. Mengedepankan muatan budaya lokal sebagai sebuah kecintaan terhadap tradisi daerah lokal, sebut saja bahasa jawa, seni tari jawa, seni membatik, itu semua dapat menjadi satu ukuran seberapa besar penghargaan remaja terhadap budaya lokal.
Saatnya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata menaruh perhatian lebih terhadap kearifan budaya lokal khususnya tradisi Syawalan, bagaimana tradisi ini dapat di kemas seapik mungkin sehingga menimbulkan daya tarik bagi remaja. Dan dapat merangsang remaja untuk memiliki budayanya. Selain itu, nilai-nilai budaya lokal utamanya yang menyangkut pendidikan budi pekerti sebaiknya di tekankan. Sebagai contoh, betapa hormatnya seorang remaja yang melintas di depan orang yang dituakan lalu membungkukkan badannya dan mengucapkan “Nuwun sewu”. Kondisi demikian semakin langka dijumpai, padahal menyangkut nilai-nilai budaya lokal. Demikian pula pada aspek kehidupan lain. Seperti etika berbicara. Nilai-nilai lokal mengajarkan sopan santun dan menghargai yang dituakan, sehingga ketika salah seorang yang dituakan berbicara maka pantang memotongnya dan secara santun mengeluarkan pendapat ketika ingin menanggapi pembicaraan tersebut.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah seberapa pentingnya penghargaan remaja terhadap budaya lokal? Dewasa ini, terdapat beberapa tantangan dampak globalisasi bagi remaja. Salah satunya kemajuan zaman dan pola pikir remaja tidak lagi dapat dibatasi. Tidak dapat di pungkiri ada anggapan bahwa budaya tradisional tidak mampu menyaingi budaya global yang sedang mendunia. Disinilah perlunya kesadaran remaja bahwa budaya lokal senantiasa akan bertahan apabila kita tidak membiarkannya tertindas.
Hal ini perlu didukung dengan wujud nyata terhadap pengembangan dan pelestarian budaya lokal dan kesenian tradisional. Kegiatan tersebut dalam upaya memposisikan secara aktual peran stategis yang harus dimainkan budaya lokal. Karena selama ini persoalan budaya semakin mendapat tantangan yang berdimensi global, utamanya menyangkut kondisi pemahaman dan aktualisasi nilai-nilai budaya.
Selain itu, kini banyak terjadi ketimpangan tindakan remaja dalam kehidupan sosial dimasyarakat. Hal ini membutuhkan perhatian atau konsentrasi yang lebih dari dinas budaya dan pariwisata untuk merespon persoalan-persoalan ini. Tentunya melalui pendidikan formal maupun informal. Pemahaman nilai-nilai budaya lokal dan kesenian tradisional kepada remaja dapat dilakukan melalui berbagai kegiatan, seperti pendidikan muatan lokal bagi siswa sekolah, pendidikan muatan lokal, lomba karya tulis, pameran budaya, karnaval budaya, dsb. Penghargaan terhadap kearifan budaya lokal akan bermanfaat luas bagi terwujudnya warga negara yang beradab dan demokratis apabila dapat dikolaborasi secara kreatif dan dinamis. Dengan menghargai budaya lokal, seorang remaja juga telah berupaya mengikat sikap dan perilaku dalam dalam bermasyarakat untuk lebih apresiasif  terhadap nilai-nilai kebaikan, dalam mengantarkan transisi menuju demokrasi yang lebih baik (Kharisma Ayu, 2009).











BAB III
METODOLOGI PENELITIAN


3.1    Desain Penelitian
Desain penelitian ini adalah deskriptif dengan menggunakan teori resepsi sastra atau dapat disebut sebagai teori yang meneliti teks sastra (lisan maupun tulis) dengan bertitik tolak pada pembaca yang memberikan reaksi atau tanggapan terhadap teks tersebut. Hal ini diperlukan untuk mengidentifikasi resepsi remaja terhadap makna dan nilai simbolik tradisi syawalan, khususnya remaja Kelurahan Duwet Kecamatan Pekalongan Selatan, serta menggunakan pendekatan historis.

3.2    Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah remaja kelurahan Duwet, khususnya remaja yang menjadi siswa kelas IX di SMP Negeri 16 Pekalongan sejumlah 154 siswa. Penentuan jumlah sampel didasarkan pada ketentuan 25% dari populasi (Arikunto, 1998), sehingga jumlah sampel penelitian sebanyak 39 siswa dengan tekhnik pengambilan sampel yang digunakan adalah Random Sampling.

3.3    Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan berupa daftar pertanyaan wawancara dan angket yang disusun oleh peneliti didasarkan pada konsep dan tinjauan pustaka. Angket terdiri dari dua bagian: (1) informasi karakteristik responden yang berisi nama atau identitas, usia responden, jenis kelamin; (2) resepsi remaja terhadap makna dan nilai simbolik tradisi syawalan.

3.4    Tekhnik Pengumpulan Data
Tahapan pengumpulan data dalam penelitian ini adalah : menjelaskan kepada responden tentang tujuan penelitian dan meminta kesediaannya untuk menjadi responden. Peneliti menjelaskan tentang cara pengisian angket dan mengisi angket secara jujur sesuai dengan pemahaman dan apa yang diketahui tentang tradisi syawalan. Setelah selesai agket dikumpulkan dan diperiksa kelengkapannya. Untuk melengkapi data angket peneliti juga melakukan wawancara tak berstruktur, observasi serta mengumpulkan dokumentasi atau catatan sejarah mengenai tradisi syawalan, baik dari sumber warga setempat maupun studi literatur.

3.5    Analisa Data
Analisa data dilakukan dengan menggunakan tabulasi dan deskriptif presentase serta dipadukan dengan menggunakan metode historis. Hal ini diperlukan untuk mengungkap sejarah awal munculnya tradisi Syawalan dan makna/nilai simbol-simbol yang terkandung didalamnya. Penelitian historis meliputi tahap-tahap sebagai berikut; (1) Pengumpulan, sumber sejarah (heuristik) melalui studi pustaka dan studi arsip untuk memperoleh  sumber atau data primer dan sekunder tentang tradisi Syawalan dan makna simbol yang terkandung didalamnya, (2) Kritik sumber untuk menentukan autentisitas dai kredibilitas sumber sejarah, (3) Penetapan sintesis antar fakta sejarah melalui proses imajinasi, analisis, dan interpretasi untuk menetapkan hubungan antar fakta, (4) Penulisan sejarah.





















BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1    Kondisi Geografis Desa Krapyak Kidul Kota Pekalongan
Kelurahan Krapyak Kidul merupakan salah satu kelurahan yang berada di wilayah kecamatan Pekalongan Utara, dengan luas wilayah ± 668.900 Ha. Kelurahan ini memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut :
·      Sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Krapyak Lor
·      Sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Klego
·      Sebelah barat berbatasan dengan Sungai Pekalongan
·      Sebelah timu berbatasan dengan Desa Degayu
Jumlah penduduk yang menempati wilayah ini sebanyak 5.840 jiwa dengan jumlah penduduk laki-laki sebesar 2.870 jiwa dan jumlah penduduk perempuan sebesar 2.970 jiwa serta 1.681 Kepala Keluarga (KK).
Agama yang dianut oleh sejumlah 5.790 penduduk kelurahan Krapyak adalah agama Islam sedangkan sisanya adalah agama Kristen, Katholik, dan Budha (Monografi Kel. Krapyak tahun 2012). 

4.2    Hasil Penelitian
4.2.1    Karakteristik Responden
Tabel 1.  Data Karakteristik Responden Remaja Kelurahan Duwet yang Menjadi Siswa SMP Negeri 16 Pekalongan
No
Karakteristik Responden
Jumlah
Persentase (%)
1.
Usia responden
15 – 16 tahun
17 – 18 tahun
Mean

34
5
16,5

87,2
12,8
2.
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan

20
19

51,3
48,7

Berdasarkan tabel diatas bahwa usia responden pada rentang 15 – 16 tahun sebanyak 34 atau 87,2% dan berusia 17 – 18 tahun sebanyak 5 orang atau 12,8%  dengan usia termuda 15 tahun dan usia tertua 18 tahun sehingga rata-rata usia responden 16,5 tahun. Sebagian besar responden adalah perempuan sebanyak 19 atau 48,7%, sedangkan laki-laki sebanyak 20 atau 51,3%.

4.2.2   Resepsi Remaja Kelurahan Duwet terhadap tradisi Syawalan di Krapyak Kidul Kota Pekalongan
Tabel 2.  Resepsi Responden terhadap Tradisi Syawalan di Krapyak Kidul Kota Pekalongan
No.
Resepsi Remaja terhadap Tradisi Syawalan
Resepsi Responden
belum
pernah
Selalu
1.
Apakah kamu pernah mendengar tradisi syawalan yang ada di Krapyak Kidul?
0
17,9%
82,1%
2.
Apakah kamu pernah mengunjunginya?
7,7%
79,5%
12,8%

Hasil pengumpulan angket dari respoden mengenai resepsi awal tradisi syawalan yang ada di Krapyak Kidul, menunjukkan bahwa sebagian responden sudah mendengar tradisi tersebut. Terbukti hasil tabulasi data diatas menunjukkan  tidak ada responden yang belum mendengar, tapi 82,1% atau sebanyak 32 responden selalu mendengar sedangkan 17,9%  atau sebanyak 7 responden hanya pernah mendengar tradisi tersebut.
Hasil angket mengenai pernah mengunjungi tradisi tersebut ternyata sebagian kecil yakni 12,8% atau 5 responden selalu mengunjungi sedangkan sebagian besar 79,5% atau 31 responden pernah dan 7,7% atau 3 responden belum pernah sekalipun mengunjungi tradisi tersebut.
4.2.3   Resepsi Remaja Kelurahan Duwet terhadap Nilai dan Makna Simbolik Tradisi Syawalan di Krapyak Kidul Kota Pekalongan
Tabel 3.  Resepsi Responden terhadap Nilai dan Makna Simbolik
 Tradisi Syawalan di Krapyak Kidul Kota Pekalongan
No.
Resepsi Remaja terhadap Nilai dan Makna Simbolik Tradisi Syawalan
Resepsi Responden
Tidak tahu
Ragu-ragu
Tahu
1.
Apakah kamu tahu makna adanya tradisi syawalan di Krapyak Kidul?
38,5%
46,2%
15,4%
2.
Apakah kamu tahu makanan khas yang lain selain lopis yang disajikan sewaktu syawalan di Krapyak Kidul?
25,6%
61,5%
12,8%
3.
Apakah kamu tahu makna dari simbol yang berupa makanan tersebut?
89,7%
5,1%
5,1%
4.
Apakah kamu tahu kegiatan atau acara apa saja yang terdapat dalam tradisi tersebut?
53,8%
41%
5,1%
5.
Apakah kamu percaya terhadap makna dari simbol yang ada di tradisi tersebut?
84,6%
15,4%
0%

Resepsi remaja dari hasil angket mengenai makna dan simbol tradisi syawalan diperoleh hasil bahwa sebanyak 15 atau 38,5% responden tidak tahu, 18 atau 46,2% ragu-ragu, dan hanya 6 atau 15,4% responden tahu makna dan simbol yang ada dalam tradisi syawalan. Sedangkan hasil angket tentang makanan khas selain lopis yang disajikan dalam tradisi tersebut sebanyak 10 atau 25,6% responden menjawab tidak tahu, 24 atau 61,5% responden ragu-ragu, dan sebanyak 5 atau 12,8% responden menjawab tahu.
Mengenai makna dari simbol dalam bentuk makanan yang terdapat dalam tradisi syawalan hanya 2 atau 5,1% responden menyatakan tahu dan ragu-ragu, sedangkan sebagian besar responden yakni sebanyak 35 atau 89,7% tidak tahu. Hasil angket tentang kegiatan atau acara apa saja yang ada dalam tradisi syawalan hampir sebagian besar yakni 21 atau 53,8% menjawab tidak tahu, 16 atau 41% responden ragu-ragu serta 2 atau 5,1% responden menyatakan tahu. Hasil kepercayaan responden mengenai makna dari simbol sebanyak 33 atau 84,6% responden menyatakan tidak tahu, 6 atau 15,4% ragu-ragu dan tidak ada responden yang tahu atau percaya akan makna dalam tradisi tersebut. 
4.2.4   Hasil Data Primer mengenai Sejarah, Makna dan Nilai Tradisi Syawalan di Krapyak Kidul
Informasi yang diperoleh dari data primer,  baik dari studi literatur dan sumber informan mengenai tradisi syawalan mulai dari sejarah awal dan perkembangannya adalah sebagai berikut:
·      Tradisi Syawalan yang rutin dilakukan oleh masyarakat Kota Pekalongan ini sudah dimulai sejak 130-an tahun yang lalu, tepatnya pada tahun  1855 M.  Kali pertama yang menggelar hajatan Syawalan ini adalah     KH. Abdullah Sirodj yang merupakan keturunan dari Kyai Bahu Rekso (http://perwakilan.jatengprov.go.id/wisata/kota-pekalongan.html). Adapun silsilah lengkapnya adalah sebagai berikut : KH. Abdullah Sirodj putera   RA. Martoloyo putera Amir Zahid putera Amir Sulaiman putera                 R. Tjondrodimerto putera R. Surodimejo putera Kyai Bahu Rekso putera Kyai Ageng Tjempaluk putera Pangeran Nowo putera pangeran Haryo Mangor putera Waliyullah Abdul Muhyi Pamijahan. Beliau wafat di Magelang sedang makam beliau terletak dikompleks pemakaman Masjid Payaman Magelang, yang hingga kini makamnya masih banyak dikunjungi peziarah dari segenap penjuru tanah air, khususnya Jawa Tengah, baik pagi, siang, sore ataupun malam hari sepanjang tahun.
Adapun Khoulnya bertepatan dengan Syawalan disini (Kota Pekalongan);  yaitu tanggal 8 Syawal tahun hijriyah. Kembali pada pokok permasalahan, pada tanggal 8 Syawalnya, masyarakat Krapyak berhari raya kembali setelah berpuasa 6 hari, dalam kesempatan ini, merekapun membuat acara ‘open house’ menerima para tamu baik dari manca desa maupun manca kota. Hal ini diketahui oleh masyarakat diluar krapyak, sehingga merekapun tidak mengadakan kunjungan silaturahmi pada hari-hari antara tanggal 2 hingga 7 dalam bulan Syawal, melainkan berbondong-bondong berkunjung pada tanggal 8 Syawal. Yang demikian ini berkembang luas, bahkan meningkat terus dari masa ke masa sehingga terjadilah tradisi Syawalan seperti sekarang ini. Demikianlah asal mulanya terjadi Syawalan. Sedikit tentang mengapa beliau wafat dan dikebumikan di Magelang : Kota Pekalongan, tepatnya Krapyak ini, beliau pernah mendirikan suatu organisasi untuk menggembleng para pemuda, baik jasmani maupun rohani mereka guna menghadapi penjajah Belanda, organisasi tersebut bernama WAROQOTUL ISLAM. Namun sayang seribu sayang, baru ditengah perjalanan, hal terendus oleh penjajah Belanda dan tak ayal pemerintahan Belanda memerintahkan untuk menangkap KH Abdullah Sirodj hidup atau mati. Oleh para santrinya, beliau diamankan di Magelang. Ditempat pengungsian ini beliau meraih berbagai kesuksesan diberbagai bidang. Dan pada gilirannya beliau dipinang untuk dijadikan menantu oleh Bupati Magelang pada saat itu dan dijadikan sebagai kepala RAT Igama (sekarang Kepala Kantor Departemen Agama). Akhirnya beliau wafat di Magelang. Semasa hidupnya KH Abdullah Sirodj akrab dipanggil dengan sebutan Mbah Agung Sirodj (Sumber Kantor Pariwisata & Kebudayaan).
·      Sumber lain menyatakan bahwa asal mula terjadinya tradisi ini Bagi masyarakat Krapyak Lor dan Krapyak Kidul, tradisi syawalan yang dimulai dengan pemotongan lopis raksasa telah dikenal secara turun temurun sejak tahun 1950-an. Seorang ulama setempat, KH. Zaenuddin Ismail menjelaskan, saat itu, ada seorang ulama yang menyarankan kepada warga Krapyak untuk melaksanakan puasa selama enam hari setelah Lebaran. ”Karena itu, apabila ada warga yang akan bersilaturahmi ke Krapyak, menunggu sampai delapan hari setelah Lebaran untuk menghormati warga yang berpuasa. Lopis raksasa tersebut dibuat untuk menjamu tamu yang bersilaturahmi ke Krapyak pada saat Syawalan,” terangnya. Menurut Nurman (generasi kedua pembuat lopis raksasa yang menjadi tradisi Syawalan masyarakat Krapyak Kidul dan Krapyak Lor), pembuatan lopis terinspirasi dari pidato Presiden Soekarno saat berpidato di hadapan masyarakat Pekalongan di Bon Raja (sekarang THR-red), sekitar tahun 1958. Nurman menceritakan, dalam pidatonya, Presiden Soekarno mengimbau kepada masyarakat Pekalongan untuk bersatu. Masyarakat diharapkan memiliki sifat seperti lopis. Karena teksturnya yang lengket dan kuat, makanan ini dianggap sebagai simbol perekat dan pemersatu umat. ”Rakyat Pekalongan diminta bersatu dan kokoh seperti halnya lopis,” jelasnya. Setelah mendengarkan pidato hari itu, Nurman bersama beberapa warga lainnya kemudian berinisiatif untuk membuat lopis dengan cara swadaya masyarakat sekitar. Dia dan 14 warga lainnya berhasil membuat lopis raksasa pertama dengan bahan baku beras ketan sebanyak 170 kg. Lopis yang telah matang kemudian disuguhkan kepada warga dari luar Krapyak yang bersilaturahmi ke kelurahan tersebut pada saat Syawalan. ”Adanya lopis ini juga untuk menarik warga dari kelurahan lain untuk bersilaturahmi dengan kami. Lopis ini dibuat untuk warga luar daerah yang bersilaturahmi ke tempat kami, namun dia tidak punya saudara di kampung kami.” Sejak saat itu, setiap tahun masyarakat Krapyak membuat lopis raksasa. Tradisi itu terjaga hingga kini (Suara Pantura, 26 Agustus 2012).
·      Sumber informasi mengenai makanan khas sebagai simbol yang disajikan pada saat tradisi syawalan yang diperoleh dari penuturan M. Abdu warga Krapyak mengatakan bahwa pada mulanya makanan yang disajikan sebagai penjamu tamu sebenarnya adalah sama dengan sajian khas saat lebaran di daerah lain, yakni ketupat dan opor ayam. Akan tetapi saat itu terpikir dalam penyajiannya terlalu repot dan biaya yang dikeluarkan relatif banyak karena tamu yang datang juga banyak. Akhirnya, digantikanlah dengan lopis yang dibungkus daun pisang, dapat membuat kenyang tamu yang datangnya dari jauh serta bisa menjamu untuk orang banyak. Bapak Abdullah Sholeh sebagai warga Krapyak dan juga sumber informan menambahi bahwa sebenarnya dipilih lopis yang dibungkus daun pisang dengan diikat karena hal ini memiliki makna yang sangat fundamental. Dipilih daun pisang karena semua bagian yang ada di pohon tersebut dapat dimanfaatkan oleh manusia dan relatif lebih praktis ketimbang disajikan dalam piring serta harganyapun relatif murah. Lopis yang terbuat dari bahan ketan yang memiliki sifat kenyal dan daya lekat, ini menunjukkan bahwa hubungan antar manusia diharapkan dapat selalu rekat antara satu dengan yang lain. Ditambah lagi dengan ikatan pada bungkus daun pisangnya yang menunjukka adanya persatuan dan kesatuan dalam menjaga ukhwah islamiah. Sedangkan pada saat ini makanan yang disajikan menurut beliau mengalami perkembangan selain lopis juga tersaji lotis. Makanan yang terdiri dari berbagai macam buah-buahan dan sambal ini juga memiliki simbol makna yakni adanya keberagaman manusia. Sebenarnya disajikan makanan ini karena pada dulunya wilayah Krapyak merupakan sentra atau pusatnya pasar buah-buahan di kota Pekalongan, sehingga dapat mudah memperolehnya untuk sajian para tamu.
·      Acara yang dilaksanakan dalam tradisi ini menurut penuturan aparat kelurahan Krapyak pada awalnya hanyalah silahturahmi biasa, akan tetapi mengalami perkembangan pada saat ini. Semula sebelum acara silahturahmi biasanya didahului acara “udik-udikan” atau membagi uang dalam bentuk recehan dengan cara ditaburkan agar diambil para pengunjung secara beramai-ramai dan berebutan akan tetapi acara ini diganti pelaksanaannya. Kegiatan yang sekarang dilaksanakan cenderung mengarah pada hiburan, sehingga ditakutkan mengurangi makna asli dari makna kegiatan yang sebenarnya.

4.3    Pembahasan 
Desain penelitian ini adalah deskriptif dengan menggunakan teori resepsi sastra atau dapat disebut sebagai teori yang meneliti teks sastra (lisan maupun tulis) dengan bertitik tolak pada pembaca yang memberikan reaksi atau tanggapan terhadap teks tersebut. Hal ini diperlukan untuk mengidentifikasi resepsi remaja terhadap makna dan nilai simbolik tradisi syawalan, khususnya remaja Kelurahan Duwet Kecamatan Pekalongan Selatan, serta menggunakan pendekatan historis.
Sebanyak 39 responden dilihat dari rentang umur terdiri dari kelompok umur 15 – 16 tahun sebanyak 34 (87,2%) dan kelompok umur 17 – 18 tahun sebanyak 5 (12,8%) dengan rata-rata (mean) umur responden adalah 16,5 , sehingga dapat dikategorikan bahwa seluruh responden adalah remaja. Dilihat dari jenis kelamin, terdiri dari 20 laki-laki dan 19 perempuan.
Remaja dalam kehidupannya cenderung dinamis yang biasanya mudah terpengaruh sesuai dengan lingkungan pergaulannya. Tidak terlepas pula kemampuan pemahaman maupun pengetahuan remaja sekarang yang cenderung mengikuti kemajuan zaman, terutama dalam tuntutan penguasaan teknologi. Hal inilah yang kadang membuat remaja melupakan nilai-nilai tradisi ataupun budaya nenek moyang yang seharusnya dihargai dan dilestarikan. Terbukti dari hasil penelitian sesuai tabel 2 dan tabel 3 resepsi atau tanggapan remaja tentang tradisi yang ada di daerahnya khususnya tradisi syawalan menunjukkan resepsi yang tidak signifikan. Sebanyak 32 atau 82% dari 39 responden walaupun selalu mengetahui dan sebanyak 31 atau 79,5% pernah mengunjungi ternyata hanya 6 atau 15,4% saja yang tahu makna dari tradisi tersebut. Alasan yang mereka kemukakan pun bervariasi mereka banyak mengetahui karena tradisi ini rutin tiap tahun dilaksanakan serta pernah mengunjungi karena alasan diajak teman untuk sekedar cari hiburan atau penasaran karena hanya ingin melihat lopis raksasa. Hal inilah yang membuat mereka tidak tahu makna tradisi itu sendiri, karena sebagian besar acara yang ditonjolkan dalam kegiatan tersebut berupa panggunu-panggung hiburan semata.   
Terlebih lagi makna simbol yang ada dalam tradisi tersebut, sebagian besar menyatakan tidak tahu dan ragu-ragu dan hanya 5 atau 12,8% responden saja yang tahu simbol-simbol yang disajikan.  Sebanyak 2 atau 5,1% dari 39 responden yang mengetahui makna dari simbol-simbol dan rangkaian acara yang ada dalam kegiatan syawalan. Alasan mereka mengetahui karena memiliki saudara yang tinggal di daerah Krapyak sehingga sering mendengar cerita dari saudaranya. Sedangkan untuk kepercayaan mengenai makna simbol para responden sebagian besar memilih tidak tahu dan ragu-ragu.
Hasil penelitian ini menunjukkan betapa rendahnya resepsi atau tanggapan remaja terhadap nilai-nilai tradisi yang ada, sehingga tidak menutup kemungkinan suatu tradisi dan nilai yang terkandung didalamnya akan mengalami pergeseran atau malah akan hilang.  Hal inilah perlunya upaya berbagai pihak untuk menanamkan nilai-nilai penghargaan kepada para remaja untuk selalu mencintai tradisi dan budaya sendiri.
Karena bagaimanapun remaja merupakan bagian dari masyarakat pendukung dari suatu kebudayaan. Mereka tidak hanya dituntut untuk maju sehingga melupakan tradisi sejarah yang ada, tetapi mereka adalah generasi penerus yang harus dibekali dengan jiwa tradisi nenek moyang untuk dapat menunjukkan martabat dan kepribadian bangsa.





BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN


5.1    Kesimpulan
Masa remaja menurut Singgih merupakan masa peralihan dengan kategori usia 13/14 tahun – 21 tahun dan biasanya masih mengalami perkembangan baik secara fisik maupun fisiologis, sehingga dibutuhkan dorongan dari masyarakat agar dapat menemukan identitasnya. Hal ini diperlukan agar remaja mengetahui peranannya dalam masyarakat. Remaja merupakan bagian dari masyarakat yang keberadaannya perlu diperhitungkan. Sebagai generasi muda penerus bangsa, tanggung jawab akan kelestarian budaya lokal ada di tangan remaja. Hal pertama yang perlu disadari oleh para remaja adalah bagaimana kita dapat menghargai budaya lokal tersebut. Menghargai erat kaitannya dengan adanya penghormatan, pengakuan, rasa memiliki, dan akhirnya menuju pada usaha-usaha untuk mau menjaga.
Salah satu kecenderungan yang tampak dengan jelas dari dinamika kehidupan remaja ini ialah perubahan-perubahan yang disebabkan oleh upaya-upaya di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang berlangsung kian cepat. Perubahan-perubahan tersebut terasa besar sekali pengaruhnya bagi berbagai aspek kehidupan, termasuk di dalamnya adalah pengaruh yang tak terhindarkan pada kehidupan budaya daerah dengan berbagai segi, termasuk seni dan tradisi.

5.2    Saran
1)      Eksistensi budaya dan tradisi selalu berada dalam jaringan strategis, baik dalam relasi dan interaksinya dengan seni lain maupun dalam relasi dan interaksinya dengan fenomena budaya yang lebih luas. Karenanya, kekhasan eksistensi tersebut harus dijaga keberlangsungan-nya.
2)      Upaya pengembangan budaya dan tradisi selalu merupakan kesatuan yang padu antara gagasan dan wujud nyata, yang secara metodologis bertolak pada prinsip aksi dan refleksi. Tindakan-tindakan konkret dilakukan berbarengan dengan ditumbuhkannya kesadaran terhadap realitas yang “mengepungnya”, yang tidak sebatas pada realitas seni budaya. Untuk itu, cara dan bentuk upaya pengembangan hendaknya dilakukan secara strategis, tersistem, berkesinambungan, dan melembaga.
3)      Untuk saat ini dan mendatang, terdapat sejumlah perspektif dan konteks penting yang perlu diperhitungkan: (1) menguatnya ideologi multikulturalisme sebagai akibat globalisasi, yang memberi peluang munculnya rezim global berikut dampaknya dalam hampir semua aspek kehidupan; (2) pentingnya wacana kemandirian dalam berbagai aspek di tengah kehidupan budaya yang berkembang di masyarakat.
4)      Pentingnya pengembangan untuk melaksanakan dan menghasilkan aktivitas dan produk budaya dan tradisi yang berkualitas, memiliki keunggulan kompetitif, dan selalu diupayakan menuju bobot yang diakui dalam berbagai tingkatan. Konteks dan perspektif ini diharapkan mampu menjaga relevansi semua bentuk pengembangannya.
5)      Pentingnya pengembangan yang dilakukan diarahkan pada, atau sekaligus merupakan gerakan penyadaran di kalangan seluruh unsur penyangga budaya dan tradisi itu sendiri.
6)      Dalam kaitannya dengan perspektif dan konteks pengembangan budaya dan tradisi dapat diposisikan secara strategis, baik dalam perspektif ekspresif maupun apresiatif, baik secara tekstual maupun kontekstual. Artinya, berbagai bentuk komunikasi artistik dalam dan lewat seni budaya dan tradisi sudah seharusnya diarahkan pada tumbuh-kembangnya kesadaran budaya.
7)      Saatnya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata menaruh perhatian lebih terhadap kearifan budaya lokal, bagaimana budaya lokal dapat di kemas seapik mungkin sehingga menimbulkan daya tarik bagi remaja. Dan dapat merangsang remaja untuk memiliki budayanya. Selain itu, nilai-nilai budaya lokal utamanya yang menyangkut pendidikan budi pekerti sebaiknya di tekankan jangan hanya mengutamakan keuntungan dangan menyajikan hiburan. Pengembangan lain dapat melalui pendidikan formal maupun informal. Pemahaman nilai-nilai budaya lokal dan kesenian tradisional kepada remaja dapat dilakukan melalui berbagai kegiatan, seperti pendidikan muatan lokal bagi siswa sekolah, pendidikan muatan lokal, lomba karya tulis, pameran budaya, karnaval budaya, dsb. Penghargaan terhadap kearifan budaya lokal akan bermanfaat luas bagi terwujudnya warga Negara yang beradab dan demokratis apabila dapat dikolaborasi secara kreatif dan dinamis.
8)      Adanya dukungan dan motivasi dari masyarakat pelaku kesenian ini, niscaya akan menjadikan kesenian tersebut tetap terjaga kelestariannya.





DAFTAR PUSTAKA


Ariyanto NPH, Bagus (2010). “RESEPSI MASYARAKAT KRAPYAK KIDUL
TERHADAP MAKNA SIMBOLIK TRADISI SYAWALAN DI KRAPYAK
KIDUL, PEKALONGAN”. Undergraduate thesis, Fakultas Ilmu Budaya.

Harun Rosyid (Kepala Kelurahan Krapyak) (2002). “Tinjauan Singkat
Syawalan”. Dokumen Kelurahan Krapyak




http://perwakilan.jatengprov.go.id/wisata/kota-pekalongan.html


Isnawati-48. 26 Agustus 2012. “Syawalan dengan Potong Lopis Simbol Perekat
Umat”. Suara Pantura : Suara Merdeka

Mudjahirin Thohir,  25 Agustus 2012. “Wacana  Tradisi Syawalan di Jawa”.
Suara Merdeka

Monografi Kel. Krapyak tahun 2012

 

Oji Saeroji. 17 September 2010 “Syawalan; Tradisi Lebaran Ketupat”.

Kompasiana


Prof. Dr. Singgih D. Gunarsa (1985). “Dasar dan Teori Perkembangan Anak” .
Jakarta : PT. BPK Gunung Mulia.

Rudi, 27 Agustus 2012. Dipercaya Datangkan Rejeki dan Jodoh Tradisi
Syawalan, Lupis Raksasa Jadi Rebutan Warga Pekalongan”. LENSA
INDONESIA













Tidak ada komentar:

Posting Komentar