TINGKAT
PEMAHAMAN MASYARAKAT
KELURAHAN
KURIPAN LOR TERHADAP MAKNA DAN NILAI SIMBOLIK TRADISI RABU KASAN ATAU PUNGKASAN
LAPORAN
PENELITIAN ILMIAH
Disusun dalam rangka untuk
mengikuti LPIR
(Lomba Penelitian Ilmiah Remaja)
Tahun 2014
JUARA II BIDANG IPS
KOTA PEKALONGAN
PEMERINTAH KOTA PEKALONGAN
DINAS PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAH
RAGA
SMP
NEGERI 16 KOTA PEKALONGAN
Jl. Ampera Km. 1
Kelurahan Duwet – Pekalongan Selatan (0285) 7939039
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Kota Pekalongan merupakan kota yang terletak di
pesisir pantai utara Laut Jawa dan memiliki banyak tradisi budaya islam. Tidak
hanya syawalan yang dirayakan satu minggu setelah hari raya Idul Fitri tetapi masih
banyak tradisi yang lain. Salah satu dari tradisi yang sudah mengakar
dimasyarakat kita, khususnya kelurahan Kuripan Lor yakni rangkaian ritual yang
populer dengan sebutan “Rabu Kasan atau Pungkasan“, ritual ini dilaksanakan
sekali dalam satu tahun setiap hari rabu akhir pada bulan Shofar atau bulan
kedua dari penanggalan Hijriyah.
Upacara tradisional
yang masih berkembang dalam masyarakat, dapat diketahui juga fungsinya sebagai
media integrasi dan pengukuhan status yang sangat dibutuhkan oleh suatu
kelompok masyarakat. Oleh karena itu, upacara tradisional harus selalu
dilestarikan dan diaktualisasikan secara terus menerus dengan mempertahankan
unsur-unsur lama dan memodifikasinya dengan unsur-unsur yang baru. Unsur atau
simbol baru senantiasa diperlukan untuk aktualisasi agar tradisi itu tidak
usang dan tetap didukung oleh masyarakatnya.
Upacara tradisional diadakan dalam waktu-waktu dan
peristiwa tertentu sesuai dengan fungsinya. Di suatu daerah, terdapat
bermacam-macam bentuk upacara tradisional, sesuai dengan kebutuhan kelompok
sosial. Sebagai contoh, wilayah Kota Pekalongan khususnya kelurahan Kuripan Lor
yakni rangkaian ritual yang populer dengan sebutan “Rabu Kasan atau Pungkasan“.
Tradisi yang telah ada secara turun temurun ini
mengalami perubahan sampai sekarang. Banyak makna dan sejarah yang terkandung
dalam upacara tradisi tersebut. Tradisi ini tidak hanya dirayakan oleh warga
kelurahan Kuripan Lor saja, tetapi juga sebagian besar masyarakat kota
Pekalongan lainnya.
Sesuatu yang menarik dalam tradisi ini khususnya di kelurahan
Kuripan Lor, adalah adanya kegiatan menyebar uang dengan cara dilempar di depan
halaman rumah atau yang dikenal dengan istilah “udik-udikan”. Acara ini paling
menarik dan ditunggu-tunggu oleh warga masyarakat.
Hal inilah yang mendorong penulis ingin mengetahui tingkat
pemahaman masyarakat Kelurahan Kuripan Lor mengenai makna dan nilai simbolik tradisi
Rabu Kasan atau Pungkasan.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah yang telah di uraikan diatas, maka dapat
diidentifikasikan beberapa permasalahan sebagai berikut :
1) Deskripsi
Tradisi Rabu Kasan atau Pungkasan makna dan nilai simbolik yang terkandung
didalamnya.
2) Tingkat
pemahaman masyarakat Kelurahan Kuripan Lor mengenai makna dan nilai simbolik tradisi
Rabu Kasan atau Pungkasan.
1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dalam
penelitian ini dirumuskan masalah sebagai berikut:
1)
Apakah tradisi Rabu Kasan atau
Pungkasan itu?
2)
Bagaimanakah tingkat pemahaman
masyarakat Kelurahan Kuripan Lor mengenai makna dan nilai simbolik Tradisi Rabu
Kasan atau Pungkasan?
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian
adalah untuk mengungkap makna dan nilai simbolik yang terkandung dalam tradisi
Rabu Kasan atau Pungkasan, sehingga dapat dipelajari dan dipahami oleh generasi
penerus yang diharapkan dapat mewarisi dan melestarikan nilai-nilai luhur dalam
upacara tradisonal tersebut serta memperkenalkan potensi budaya Kota Pekalongan
kepada masyarakat luas.
Tujuan khusus
penelitian adalah untuk mengidentifikasi tingkat pemahaman masyarakat Kelurahan
Kuripan Lor terhadap makna dan nilai simbolik tradisi Rabu Kasan atau Pungkasan.
1.5 Manfaat
1) Menambah
pengetahuan akademis maupun non akademis tentang makna dan nilai simbolik tradisi
Rabu Kasan atau Pungkasan.
2) Memperkuat
otonomi daerah, mengingat upacara tradisional ini berfungsi untuk memperkuat
integrasi sosial, khususnya integrasi dan kebersamaan masyarakat Kota
Pekalongan.
3)
Sebagai bahan informasi mengenai tingkat
pemahaman masyarakat Kelurahan Kuripan Lor mengenai makna dan nilai simbolik tradisi
Rabu Kasan atau Pungkasan.
4)
Sebagai landasan preventif agar
masyarakat dapat memahami dan melestarikan tradisi leluhur serta tidak
terpengaruh terhadap budaya global yang tidak sesuai dengan nilai-nilai masyarakat.
5)
Sebagai bahan masukan kepada masyarakat Kelurahan
Kuripan Lor agar mengenal, mengetahui dan memahami tradisi-tradisi yang ada di
kota Pekalongan.
6) Sumber
informasi dan data dasar bagi penelitian selanjutnya dalam ruang lingkup yang
sama.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1
Pengertian
Masyarakat
Masyarakat (sebagai
terjemahan istilah society) adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah
sistem semi tertutup (atau semi terbuka), dimana sebagian besar interaksi
adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Kata
"masyarakat" sendiri berakar dari kata dalam bahasa Arab, musyarak.
Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-hubungan
antar entitas-entitas. Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen
(saling tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk
mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur.
Masyarakat sering
diorganisasikan berdasarkan cara utamanya dalam bermata pencaharian. Pakar ilmu
sosial mengidentifikasikan ada: masyarakat pemburu, masyarakat pastoral
nomadis, masyarakat bercocok tanam, dan masyarakat agrikultural intensif, yang
juga disebut masyarakat peradaban. Sebagian pakar menganggap masyarakat industri
dan pasca-industri sebagai kelompok masyarakat yang terpisah dari masyarakat
agrikultural tradisional.
Masyarakat mempunyai
arti sekumpulan orang yang terdiri dari berbagai kalangan dan tinggal didalam
satu wilayah, kalangan bisa terdiri dari kalangan orang mampu hingga orang yang
tidak mampu. Masyarakat yang sesungguhnya adalah sekumpulan orang yang telah
memiliki hukum adat, norma-norma dan berbagai peraturan yang siap untuk
ditaati. Dalam suatu perkembangan daerah, masyarakat bisa dibagi menjadi dua bagian
yaitu masyarakat maju dan masyarakat sederhana. Masyarakat maju adalah
masyarakat yang memiliki pola pikir untuk kehidupan yang akan dicapainya dengan
kebersamaan meskipun berbeda golongan, sedangkan masyarakat sederhana adalah
sekumpulan masyarakat yang mempunyai pola pikir yang primitif, yang hanya
membedakan antara laki-laki dan perempuan saja (http://9triliun.com/artikel/1174/pengertian-masyarakat.html).
2.2
Pemahaman
Tradisi Budaya
Pemahaman berasal dari
kata paham yang mempunyai arti mengerti benar, sedangkan pemahaman merupakan
proses perbuatan cara memahami (Em Zul, Fajri & Ratu Aprilia Senja, 2008 :
607-608).
Pemahaman berasal dari
kata paham yang artinya (1) pengertian; pengetahuan yang banyak, (2) pendapat,
pikiran, (3) aliran; pandangan, (4) mengerti benar (akan); tahu benar (akan);
(5) pandai dan mengerti benar. Apabila mendapat imbuhan me-i menjadi memahami,
berarti : (1) mengerti benar (akan); mengetahui benar, (2) memaklumi. Dan jika
mendapat imbuhan pe-an menjadi pemahaman, artinya (1) proses, (2) perbuatan,
(3) cara memahami atau memahamkan (mempelajari baik-baik supaya paham)
(Depdikbud, 1994: 74). Sehingga dapat diartikan bahwa pemahaman adalah suatu
proses, cara memahami cara mempelajari baik-baik supaya paham dan pengetahuan
banyak.
Menurut Poesprodjo
(1987: 52-53) bahwa pemahaman bukan kegiatan berpikir semata, melainkan
pemindahan letak dari dalam berdiri disituasi atau dunia orang lain (sumber
pengetahuan tentang hidup, kegiatan melakukan pengalaman pikiran), pengalaman
yang terhayati. Pemahaman merupakan suatu kegiatan berpikir secara diam-diam,
menemukan dirinya dalam orang lain.
Pemahaman
(comprehension), kemampuan ini umumnya mendapat penekanan dalam proses belajar
mengajar. Menurut Bloom “Here we are using the tern “comprehension“ to include
those objectives, behaviors, or responses which represent an understanding of
the literal message contained in a communication.“ Artinya : Disini menggunakan
pengertian pemahaman mencakup tujuan, tingkah laku, atau tanggapan mencerminkan
sesuatu pemahaman pesan tertulis yang termuat dalam satu komunikasi. Pemahaman
didefinisikan proses berpikir dan belajar. Dikatakan demikian karena untuk
menuju ke arah pemahaman perlu diikuti dengan belajar dan berpikir. Pemahaman
merupakan proses, perbuatan dan cara memahami. Dalam Taksonomi Bloom, pemahaman
adalah kesanggupan memahami setingkat lebih tinggi dari pengetahuan. Namun,
tidaklah berarti bahwa pengetahuan tidak dipertanyakan sebab untuk dapat
memahami, perlu terlebih dahulu mengetahui atau mengenal.
Pemahaman
dalam pembelajaran adalah tingkat kemampuan yang mengharapkan seseorang mampu
memahami arti atau konsep, situasi serta fakta yang diketahuinya. Dalam hal ini
ia tidak hanya hapal secara verbalitas, tetapi memahami konsep dari masalah
atau fakta yang ditanyakan, maka operasionalnya dapat membedakan, mengubah,
mempersiapkan, menyajikan, mengatur, menginterpretasikan, menjelaskan,
mendemonstrasikan, memberi contoh, memperkirakan, menentukan, dan mengambil
keputusan.
Ranah
kognitif menunjukkan adanya tingkatan-tingkatan kemampuan yang dicapai dari
yang terendah sampai yang tertinggi. Dapat dikatakan bahwa pemahaman itu
tingkatannya lebih tinggi daripada sekedar pengetahuan, sedangkan menurut Yusuf
Anas, yang dimaksud dengan pemahaman adalah kemampuan untuk menggunakan
pengetahuan yang sudah diingat lebih-kurang sama dengan yang sudah diajarkan
dan sesuai dengan maksud penggunaannya.
Berdasar berbagai
pendapat di atas, indikator pemahaman pada dasarnya sama, yaitu dengan memahami
sesuatu berarti seseorang dapat mempertahankan, membedakan, menduga,
menerangkan, menafsirkan, memerkirakan, menentukan, memperluas, menyimpulkan,
menganalisis, memberi contoh, menuliskan kembali, mengklasifikasikan, dan
mengikhtisarkan.
Indikator
pemahaman menunjukkan bahwa pemahaman mengandung makna lebih luas atau lebih
dalam dari pengetahuan. Dengan pengetahuan, seseorang belum tentu memahami
sesuatu yang dimaksud secara mendalam, hanya sekedar mengetahui tanpa bisa
menangkap makna dan arti dari sesuatu yang dipelajari. Sedangkan dengan
pemahaman, seseorang tidak hanya bisa menghapal sesuatu yang dipelajari, tetapi
juga mempunyai kemampuan untuk menangkap makna dari sesuatu yang dipelajari
juga mampu memahami konsep dari pelajaran tersebut (http://www.referensimakalah.com/2013/05/pengertian-pemahaman-dalam-pembelajaran.html).
Tradisi (Bahasa Latin:
traditio, "diteruskan") atau kebiasaan, dalam pengertian yang paling
sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi
bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan,
waktu, atau agama yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah
adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun
(sering kali) lisan, karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah (http://id.wikipedia.org/wiki/Tradisi).
Upacara tradisional
adalah suatu kegiatan sosial yang melibatkan para warga masyarakat pendukungnya
dalam usaha bersama untuk mencapai tujuan keselamatan. Upacara tradisional
mengandung aturan-aturan yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh masyarakat
pendukungnya.
Aturan-aturan tersebut
tumbuh dan berkembang secara turun temurun, sehingga mempunyai peranan untuk
melestarikan ketertiban hidup, merekatkan hubungan antar individu dan antar
kelompok dalam masyarakat. Masyarakat pendukung suatu upacara tradisional
bersedia untuk mematuhi aturan-aturan yang ditentukan, karena ada sanksi yang
bersifat sakral dan magis. Dengan demikian upacara tradisional merupakan suatu
pranata sosial yang tidak tertulis, tetapi wajib dikenal dan dipatuhi oleh
setiap warga untuk mengatur tingkah lakunya, agar tidak menyimpang dari adat
kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.
Di samping sebagai
pranata sosial, upacara tradisional juga merupakan alat komunikasi antar sesama
manusia serta antara dunia yang nyata dan dunia yang ghaib. Hubungan komunikasi
antara dunia nyata dan dunia ghaib dapat dipelajari melalui simbol-simbol.
Pesan-pesan ajaran agama, nilai-nilai etis dan norma-norma yang berlaku dalam
masyarakat disampaikan kepada seluruh warga masyarakat pendukungnya melalui
simbol-simbol. Oleh karena itu, upacara tradisional merupakan sarana
sosialisasi nilai-nilai, terutama kepada generasi muda yang masih harus
menyesuaikan diri dengan kehidupan masyarakat ( T.t :2003).
Dalam upacara
tradisional yang masih berkembang dalam masyarakat, dapat diketahui juga
fungsinya sebagai media integrasi dan pengukuhan status yang sangat dibutuhkan
oleh suatu kelompok masyarakat. Oleh karena itu, upacara tradisional harus
selalu dilestarikan dan diaktualisasikan secara terus menerus, dengan
mempertahankan unsur-unsur lama dan memodifikasinya dengan unsur-unsur yang
baru. Unsur atau simbol baru senantiasa diperlukan untuk aktualisa agar tradisi
itu tidak usang dan tetap didukung oleh masyarakatnya.
Upaya-upaya pelestarian
dan penghargaan terhadap kearifan tradisional dan nilai-nilai budaya lokal
tidak dapat dipisahkan dari kondisi pemilik dan pengguna utamanya, yaitu
masyarakat.
Pertanyaan
yang muncul kemudian adalah seberapa pentingnya penghargaan masyarakat terhadap
budaya lokal? Dewasa ini, terdapat beberapa tantangan dampak globalisasi bagi
masyarakat. Tidak dapat di pungkiri ada anggapan bahwa budaya tradisional tidak
mampu menyaingi budaya global yang sedang mendunia. Disinilah perlunya
kesadaran masyarakat bahwa budaya lokal senantiasa akan bertahan apabila kita
tidak membiarkannya tertindas.
Mengacu pada teori tersebut maka penelitian ini
bermaksud untuk mengetahui tingkat pemahaman masyarakat mengenai suatu tradisi
khususnya Tradisi Rabu Kasan atau Pungkasan dengan mengacu dari pemahaman dan
pengetahuan masyarakat itu sendiri. Seperti yang didasarkan pada teori tersebut
bahwa tradisi itu sendiri tidak memiliki arti dan kehilangan aspek kultur
apabila tidak ada tanggapan dari masyarakat sebagai pelaksana sekaligus
pemilik.
2.3
Tradisi
Rabu Kasan atau Pungkasan
Orang Jawa memang penuh perhitungan dan
perayaan. Tradisi Rabu Kasan atau Pungkasan adalah salah satu buktinya. Dalam
arti yang sama, beberapa orang Jawa menyebutnya Rebo Kasan atau Pungkasan atau
Wungkasan. Rebo dalam bahasa Jawa berarti hari Rabu dan Kasan atau Pungkasan
berarti terakhir, sehingga istilah Rebo Kasan atau Pungkasan atau Wungkasan berarti
hari Rabu terakhir pada bulan Sapar dalam tahun Islam. Rebo Wungkasan biasa
digelar oleh seluruh masyarakat yang berada disekitar pantai utara Laut Jawa
(http://jogjatrip.com/id/658/Tradisi-Rabo-Pungkasan).
2.3.1
Istilah
Rebo Kasan atau Pungkasan
Istilah Rebo Kasan sendiri terjadi selisih pendapat.
Sebagian mengasumsikan kata kasan merupakan penggalan dari kata Pungkasan yang
berarti akhir dengan mambuang suku kata depan menjadi kasan Teori ini lebih mudah dimengerti. sebab Rebo Kasan
adalah hari rabu yang terakhir dari bulan Sapar atau Shofar, bulan kedua dari
penanggalan hijriyyah.
Sebagian yang lain memahami kata Kasan merupakan
penggalan dari kata Wekasan yang dalam Bahasa Indonesia mempunyai arti Pesanan,
Berangkat dari teori ini istilah Rebo
Kasan berarti hari Rebo yang spesial tidak seperti hari-hari Rabo yang
lain. Seperti barang pesanan yang
dibikin secara husus dan tidak dijual kepada semua orang. Kesimpulan ini bisa
dipahami oleh karena Rebo Kasan memang hanya terjadi sekali dalam setahun
dimana para sesepuh manti–manti (wekas) agar hati-hati pada hari itu.
Selain kedua versi tersebut ada satu lagi yang
mengasumsikan kata kasan dari kata
bahasa arab hasan yang berarti baik. Kata kasan adalah kata yang utuh
bukan penggalan dari kata lain. Walaupun
penalaranya agak sedikit rumit akan tetapi tampak paling mendekati benar
karena asumsi yang dipakai keutuhan kalimatnya bukan penggalan dari kalimat
lain.
Barangkali
kata kasan yang berarti baik sengaja dibubuhkan untuk memberi sugesti pada umat
atau masyarakat agar tidak terlalu cemas dengan gambaran yang ada pada hari Rebo
Kasan tersebut.
2.3.2
Asal
Mula Ritual Rebo Kasan atau Pungkasan
Disebutkan dalam banyak sumber dari referensi Islam
Klasik bahwa salah seorang Waliyulloh yang telah mencapai makom kasyaf
(mendapatkan ilmu tentang sesuatu yang sulit dimengerti orang lain seperti
hal–hal gaib) mengatakan bahwa dalam setiap tahun Alloh SWT menurunkan bala’
sebanyak 320.000 (tiga ratus dua puluh ribu) macam dalam satu malam. Malam itu
bertepatan setiap malam Rebo akhir dari bulan Shofar.
Oleh
karena itu Wali tersebut memberi nasehat mengajak pada umat untuk bertaqorrub
pada Allah seraya meminta agar dijauhkan dari semua bala’ yang diturunkan pada
hari itu. Lebih jauh beliau memberi tuntunan tatacara bertaqorrub dengan
rangkaian do’a - do’a yang dalam istilah jawa lebih dikenal sebagai do’a tolak-bala.
Pada intinya rangkaian doa itu diberikan oleh para wali-wali Allah sebagai
upaya memohon kepada Allah untuk diberikan keselamatan dan dijauhkan dari semua
macam bala yang diturunkan pada hari itu. Tata cara dan bentuk do’a yang diberikanpun
berbeda-beda dari satu guru keguru yang lain. Inilah asal muasal ritual Rebo
Kasan yang mengakar dan di lakukan oleh masyarakat dari generasi ke generasi.
2.3.3
Bentuk
Ritual
Bentuk ritual rebo kasan yang banyak dilakukan meliputi empat macam, yaitu ; Sholat
yang populer di masyarakat dengan sebutan sholat tolak bala atau sholat rebo
kasan, doa kemudian minum air jimat dan yang keempat selamatan. Berikut ini
kupasan keempat macam ritual tersebut :
a.
Do’a
Diantara do’a-do’a yang banyak dibaca pada hari Rebo
Kasan adalah rangkaian do’a seperti yang terdapat pada kitab Kanzun Najah karya
Abdul Hamid Kudus halaman 26.
b.
Minum
air azimat
Disebutkan
dalam kitab Nihayatuz Zain karya imam Nawawi Aljawi Albantani yang merupakan
syarah atau penjelasan dari kitab matan Fiqih Qurrotul ‘Ain, barang siapa yang menulis ayat salamah tujuh yaitu
tujuh ayat Alqur’an yang diawali dengan lafal Salaamun :
Salaamun Qoulammirrobirrohim,
Salaamun ‘ala nuhin fil’alamin, Salaamun ‘ala ibrohiim, Salaamun ‘ala musa wa
harun, Salaamun ‘ala ilyasin, Salaamun ‘alaikum thibtum fadkhuluha
kholidin, Salaamun hiya hatta mathla’il
fajr
Kemudian
tulisan tersebut dilebur/direndam dengan air, maka barang siapa yang mau
meminum air tersebut akan diselamatkan dari baliyyah/bala’ yang diturunkan.
c.
Selamatan
Pada sebagian masyarakat disamping ritual-ritual
diatas dilakukan pula selamatan dengan membagikan nasi pada tetangga dan
saudara. Disebagian daerah nasi itu dibawa ke suatu tempat seperti Masjid atau
Musholla untuk dinikmati bersama-sama. Mereka yang tidak mampu membuat nasi
cukup membawa jajan atau minuman. Semua itu dilakukan sebagai bentuk taqorrub
dengan mengeluarakan sebagian haknya/shodaqoh didasari harapan diselamatkan
dari segala bentuk bala’ dengan sodaqohnya. Sesuai dengan tuntunan yang artinya
bahwa Sodaqoh itu dapat menangkal turunya
bala’.
d.
Sholat
Sunnah
Pada dasarnya sholat yang khusus untuk Rabu Kasan
atau sholat tolak bala tidak ada dalam literatur islam, seperti halnya sholat
roghoib dan semacamnya. Hal ini berbeda dengan ritual-ritual yang lain seperti
do’a, dzikir dan lain sebagainya dimana pada selain sholat bisa diakomodir
bentuk-bentuk baru yang belum dikenal sebelumnya. Sedang sholat segala
sesuatunya sudah ditentukan dari mulai tatacara sholat sampai jenis-jenis atau
macam-macam sholat. Dengan kata lain dalam sholat tidak ada ruang inovasi baru
baik dalam tatacara maupun macam-macamnya.
2.3.4
Tinjauan
Hukum
Bagaimana hukum melaksanakan tradisi Rebo Kasan?,
Hukum melaksanakan tradisi Rebo Kasan sebagaimana rangkaian diatas adalah sebagai
mana melaksanakan tradisi-tradisi
lainnya. Artinya dari sudut pandang kegiatan itu sebagai tradisi maka
pelaksanaanya tidak bisa dikatakan harom ataupun sunnah apalagi wajib (lihat
mafahim, sayyid Muhmmad Almaliki hal 339-341).
Bagaimana teknis pelaksanakan ceremoninya dari
tradisi itu sendiri yang menentukan status hukumnya. Sesuai dengan diskripsi di
atas maka ceremony yang umum dilakukan ada tiga macam: diawali dengan sholat
sunnah dan dilanjutkan do’a kemudian meminum air jimat, dan sebagian dilengkapi
dengan selamatan. Dalam pembahasan
sholat sunnah sudah dipaparkan bahwa sholat sunnah yang memilki sifat
fleksibelitas adalah sholat sunnah mutlak. Maka bilamana dalam melakukan sholat
tersebut dengan cara sunnah mutlak maka hukumnya boleh dan bisa mendapatkan
pahala dari sisi melaksanakan sholat sunnahnya. Sedang bilamana dalam melakukan
sholat sunnah tersebut niatnya sunnah rebo kasan atau sholat tolak bala maka
hukumnya tidak sah dan berdosa karena telah membuat syariat baru yang tidak
dikenal pada masa Rosululloh SAW.
Begitupula dengan ritual meminum air jimat. Sebagai
seorang yang beriman barang tentu meyakini bahwa tidak satupun bisa
mendatangkan manfaat dan madlorot kecuali Alloh SWT. Dan dalam kapasitas
sebagai seorang hamba orang yang beriman mesti melakukan upaya/ihktiar untuk
mendapatkan manfaat dan terhindar dari madlorot. Keberadaan air jimat adalah
dalam kapasitas ikhtiar, sama dengan keberadaan nasi maupun obat-obatan sebagai
ikhtiar untuk mendapatkan kenyang dan kesembuhan. Ikhtiar dengan menggunakan
air jimat ini pernah pula dilakukan para shohabat pada masa hidupnya Rosululloh SAW.
Sedangkan selamatan dengan membagikan makanan
ataupun minuman pada orang lain merupakan suatu perbuatan positif yang sangat
dianjurkan oleh Alloh dalam banyak ayat, karena diakui atau tidak tradisi
selamatan yang banyak dilakukan oleh masyarakat merupakan wujud dari rasa
kepedulian dan kebersamaan yang sangat dianjurkan oleh agama kapanpun dan
dimanapun tanpa terkecuali hari Rebo kasan ataupun hari-hari lainnya. Teramat
banyak ayat-ayat Alqur’an yang menerangkan tuntunan itu sehingga tidak perlu
kami paparkan disini.
2.3.5 Makna
dan Simbol
Setidaknya ada dua makna yang terselubung dalam perayaan rebo wekasan bagi
masyarakat muslim, kedua makna tersebut adalah makna yang sangat sakral dan
makna ketenangan.
a)
Makna Sakral
b)
Makna Ketenangan
(http://lukmankudus94.blogspot.com/2013/11/rebo-wekasan.html)
Terdapat berbagai macam
simbol yang digunakan dalam tradisi rabu kasan, tergantung daerah yang
melaksanakannya. Seperti di daerah Yogyakarta, Persisnya di daerah Wonokromo, Pleret,
Bantul, Yogyakarta menggunakan simbol makanan berupa lemper dengan prosesi yang
disebut "ngarak lemper" atau
membawa lemper besar (http://localdap.blogspot.com/2013/06/upacara-rebo-pungkasan-dilihat-dari.html).
Ataupun
berupa makanan tertentu yang lain sebagai wujud selamatan. Dengan demikian, mengikuti premis Weber tersebut, dari simbol-simbol budaya
yang seharusnya dipahami atau ditangkap esensinya adalah makna yang tersirat.
Dapat dikatakan bahwa dalam satu makna (esensi), simbol boleh berbeda otoritas
asal makna masih sama. Hanya saja yang perlu dikoreksi adalah simbol-simbol
tadi pada dasarnya adalah kata benda. Sedangkan menurut logika berfikir, kata
benda atau simbol-simbol tadi yang sering diperdebatkan untuk kemungkinan
disalahkan atau dibenarkan. Perdebatan simbol itu akan menggiring kita untuk
kemudian memitoskan sesuatu.
Dahulu orang menciptakan simbol agar perasaan kita
tajam, namun karena pengaruh Barat kita menangkap semua itu dengan visi dan
paradigma positivisme. Dari pembicaraan simbol-simbol (untuk pengungkapan
nilai) Islam diatas yang berpotensi memunculkan bid’ah, maka kemudian timbul
pertanyaan apakah tidak mungkin kalau keadaan tersebut justru mengakibatkan
budaya yang tidak Islami? Kalau konsepsi tentang budaya di awal mengacu pada
perpsektif ‘kata benda’ maka
akan menjawab Islam atau tidak kiranya akan lebih mengena jika menggunakan
pendekatan budaya sebagai ‘kata kerja’. Dalam pengertian yang terakhir ini
budaya dipahami sebagai kreatifitas atau rekayasa
(http://filsafat.kompasiana.com/2013/06/13/religi-orang-jawa-masa-akulturasi-budaya-jawa-agami-jawi-gerakan-mistik-magic-ilmu-kebatinan-serta-memahami-konstruksi-sosial-tradisi-islam-lokal-568544.html).
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Desain
Penelitian
Desain
penelitian ini adalah deskriptif prosentase dengan menggunakan tabulasi dengan bertitik tolak pada responden yang memberikan
reaksi atau tanggapan terhadap tradisi tersebut. Hal ini diperlukan untuk
mengidentifikasi tingkat pemahaman masyarakat terhadap makna dan nilai simbolik
tradisi Rabu Kasan atau Pungkasan, khususnya masyarakat Kelurahan Kuripan Lor, serta menggunakan pendekatan
historis.
3.2 Populasi
dan Sampel
Populasi
dalam penelitian ini adalah masyarakat kelurahan Kuripan Lor yang beragama
islam berjumlah 7.935 orang
dengan menggunakan pertimbangan usia dan dikelompokkan berdasar usia tertentu.
Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh resepsi dari masing-masing kelompok usia
tertentu tersebut sebagai perbandingan. Pengelompokkan tersebut terdiri dari,
kelompok usia 16 – 30 tahun dan kelompok usia 31 – 68 tahun, sehingga tehnik
pengambilan sampel yang digunakan adalah Sampel kelompok atau Cluster Sample.
Penentuan
jumlah sampel didasarkan pada ketentuan 25% dari populasi (Arikunto, 1998), akan
tetapi karena keterbatasan waktu dan kemampuan dana sehingga jumlah sampel yang
digunakan penelitian sebanyak 31 responden.
3.3 Instrumen
Penelitian
Instrumen yang digunakan berupa
daftar pertanyaan wawancara dan angket yang disusun oleh peneliti didasarkan
pada konsep dan tinjauan pustaka. Angket terdiri dari dua bagian: (1) informasi
karakteristik responden yang berisi nama atau identitas, usia responden, jenis
kelamin; (2) resepsi masyarakat terhadap makna dan nilai simbolik tradisi Rabu
Kasan atau Pungkasan.
3.4 Tekhnik
Pengumpulan Data
Tahapan
pengumpulan data dalam penelitian ini adalah : menjelaskan kepada responden
tentang tujuan penelitian dan meminta kesediaannya untuk menjadi responden.
Peneliti menjelaskan tentang cara pengisian angket untuk mengisi angket secara
jujur sesuai dengan pemahaman dan apa yang diketahui tentang tradisi rabu kasan
atau wungkasan. Setelah selesai angket dikumpulkan dan diperiksa
kelengkapannya. Untuk melengkapi data angket peneliti juga melakukan wawancara tak berstruktur, observasi serta
mengumpulkan dokumentasi atau catatan sejarah mengenai tradisi rabu kasan atau wungkasan,
baik dari sumber warga setempat maupun studi literatur.
3.5 Analisa
Data
Analisa
data dilakukan dengan menggunakan tabulasi dan deskriptif presentase serta
dipadukan dengan menggunakan metode historis. Hal ini diperlukan untuk
mengungkap sejarah awal munculnya tradisi Rabu Kasan atau Pungkasan dan makna
atau nilai simbol-simbol yang terkandung didalamnya. Penelitian historis
meliputi tahap-tahap sebagai berikut; (1) Pengumpulan, sumber sejarah
(heuristik) melalui studi pustaka dan studi arsip untuk memperoleh sumber atau data primer dan sekunder tentang
tradisi Rabu Kasan atau Pungkasan dan makna simbol yang terkandung didalamnya,
(2) Kritik sumber untuk menentukan autentisitas dai kredibilitas sumber
sejarah, (3) Penetapan sintesis antar fakta sejarah melalui proses imajinasi,
analisis, dan interpretasi untuk menetapkan hubungan antar fakta, (4) Penulisan
sejarah.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Kondisi Geografis Kelurahan Kuripan
Lor Kecamatan Pekalongan Selatan
Data monografi Kelurahan Kuripan Lor
a.
Luas dan batas
wilayah :
1)
Luas : 59.2030
Ha
2)
Batas wilayah
·
Sebelah Utara : Kelurahan Landungsari / Kelurahan
Yosorejo
·
Sebelah
Selatan :
Kelurahan Kuripan Kidul
·
Sebelah Barat : Kelurahan Kertoharjo / Kelurahan
Jenggot
·
Sebelah Timur : Kelurahan Duwet
b.
Jumlah
Penduduk Menurut :
1)
Jenis Kelamin
·
Laki – laki : 3.951 Orang
·
Perempuan : 4.043 Orang
Jumlah :
7.994 Orang
2)
Jumlah
Penduduk Menurut Agama / Penghayat terhadap Tuhan Yang Maha Esa
·
Islam : 7.935 Orang
·
Kristen : 30 Orang
·
Katholik : 14 Orang
·
Hindu : - Orang
·
Budha : 15 Orang
·
Penganut/Penghayat
Kepercayaan Terhadap Tuahan Yang Maha Esa : - Orang
(Data monografi Kelurahan Kuripan Lor).
4.2 Hasil
Penelitian
4.2.1
Karakteristik
Responden
Tabel
1. Data Karakteristik Responden
No
|
Karakteristik
Responden
|
Jumlah
|
Persentase
(%)
|
1.
|
Usia
responden
16
– 30 tahun
31
– 68 tahun
Mean
|
12
19
42
|
38,7
61,3
|
2.
|
Jenis
kelamin
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
|
16
15
31
|
51,6
48,4
|
Berdasarkan
tabel diatas bahwa rentang usia responden terdiri dari kelompok usia 16 – 30
tahun sebanyak 12 atau 38,7% dan kelompok usia 31 – 68 tahun sebanyak 19 orang atau 61,3% dengan usia termuda 16 tahun dan usia tertua 68
tahun, sehingga rata-rata usia responden 42 tahun. Jenis kelamin responden
adalah perempuan sebanyak 15 atau 48,4%, sedangkan laki-laki sebanyak 16 atau 51,6%.
4.2.2 Pemahaman Masyarakat Kelurahan
Kuripan Lor terhadap tradisi Rabu Kasan atau Pungkasan
Tabel 2. Prosentase Partisipasi Responden dalam
Tradisi Rabu Kasan
atau Pungkasan berdasarkan Kelompok Usia
No
|
Pernyataan
|
16 – 30 th
|
31 – 68 th
|
Keseluruhan
|
|||
Ya
|
Tdk
|
Ya
|
Tdk
|
Ya
|
Tdk
|
||
1.
|
Apakah anda berpartisipasi dalam tradisi tersebut?
|
75%
|
25%
|
84,2%
|
15,8%
|
80,6%
|
19,4%
|
Tabel prosentase partisipasi responden
berdasarkan kelompok umur diatas menunjukkan, bahwa untuk kelompok usia 16-30
tahun dengan 12 responden sebanyak 9 responden atau 75% berpartisipasi dalam
tradisi tersebut, sedangkan 25% atau 3 responden tidak berpartisipasi.
Sedangkan, untuk usia 31-68 tahun sebanyak 16 responden atau 84,2%
berpartisipasi dan 15,8% atau 3 responden tidak berpartisipasi.
Tabel 3. Prosentase Bentuk Partisipasi Responden Berdasarkan
Kelompok Umur
dalam Tradisi Rabu Kasan atau Pungkasan
No.
|
Bentuk Partisipasi
|
Kelompok Umur
|
Keseluruhan
|
|
16 – 30 tahun
|
31 – 68 tahun
|
|||
1.
|
Udik-udikan
|
50%
|
21,1%
|
32,3%
|
2.
|
Selamatan
|
16,7%
|
31,6%
|
25,8%
|
3.
|
Sholat dan
berdo’a
|
8,3%
|
21,1%
|
16,1%
|
4.
|
Potong
Rambut
|
0
|
10,5%
|
6,5%
|
5.
|
Tidak
berpartisipasi
|
25%
|
15,8%
|
19,4%
|
|
Jumlah
|
100
|
100
|
100
|
Partisipasi yang diwujudkan oleh
responden dari masing-masing kelompok usia adanya variasi, seperti ikut berdo’a
bersama, melaksanakan sholat sunnah tolak bala, memberikan selamatan, memotong
rambut, dan menyelenggarakan udik-udikan. Bahkan ada beberapa yang
berpartisipasi hanya ikut memperebutkan udik-udikan saja, khususnya dikelompok
usia 16-30 tahun dengan tingkat prosentase 50% atau 6 responden dan dikelompok
usia 31-68 tahun berpartisipasi sebanyak 21,1% atau 4 responden.
Tabel 4. Prosentase Pemahaman Responden Berdasarkan
Kelompok
Usia
mengenai Simbolik yang digunakan dalam Tradisi Rabu
Kasan atau Pungkasan
No
|
Simbol yang Digunakan
|
Kelompok
Usia 16 – 30 tahun
|
Kelompok
Usia
31 – 68 tahun
|
Keseluruhan
|
1.
|
Nasi Kuning
|
41,7%
|
57,9%
|
51,6%
|
2.
|
Bubur Abang
Putih
|
0
|
15,8%
|
9,7%
|
3.
|
Nasi Golong
/ Kluban
|
41,7%
|
26,3%
|
32,3%
|
4.
|
Udik-udikan
|
16,7%
|
0
|
6,5%
|
5.
|
Lainnya
|
0
|
0
|
0
|
|
|
100
|
100
|
100
|
Tabel mengenai simbol yang
digunakan dalam tradisi Rabo Pungkasan diatas menunjukkan bahwa sebanyak 41,7%
atau 5 responden usia 16-30 tahun dan 57,9% atau 11 responden usia 31-68 tahun
menggunakan nasi kuning, sebanyak 3 atau 15,8% responden usia 31-68 tahun
menggunakan bubur abang putih, dan sebanyak 2 atau 16,7% responden usia 16-30
tahun menggunakan simbol udik-udikan.
Tabel 5. Prosentase Pemahaman Responden mengenai Makna dan
Nilai Simbol dalam
Tradisi Rabu Kasan atau Pungkasan
No
|
Makna Simbol
|
Kelompok Usia
|
Keseluruhan
|
|
16-30 th
|
31-68 th
|
|||
1
|
Tolak bala
|
75%
|
89,5%
|
83,9%
|
2
|
Tasyakuran
|
16,7%
|
10,5%
|
12,9%
|
3
|
Tidak ada
|
8,3%
|
0
|
3,2%
|
|
Jumlah
|
100
|
100
|
100
|
Sebagian besar
responden, baik dari usia 16-30 tahun dan usia 31-68 tahun menyatakan bahwa
makna dan nilai simbol adanya tradisi ini adalah sebagai tolak bala dengan
tingkat 83,9%.
Tabel 6. Prosentase Pemahaman Responden mengenai adanya Urutan
Kegiatan dan Anjuran
Tertentu dalam Tradisi Rabu Kasan
atau Pungkasan
No
|
Urutan dan Anjuran
|
Ya
|
Tidak
|
1
|
Apakah ada
urutan kegiatan dan anjuran tertentu dalam tradisi tersebut?
|
54,8%
|
45,2%
|
Berdasarkan
tabel pemahaman mengenai urutan atau anjuran tertentu dalam tradisi Rabu Kasan
menunjukkan sebanyak 17 responden atau 54,8% adanya urutan kegiatan dan adanya anjuran
tertentu dalam tradisi tersebut, sedangkan 14 responden atau 45,2% menunjukkan
tidak adanya urutan dan anjuran tertentu dalam tradisi rabu kasan.
Tabel 7. Prosentase Pemahaman Responden mengenai Hukum
Pelaksanaan Tradisi Rabu
Kasan atau Pungkasan
No
|
Pemahaman Hukum
|
Kelompok Usia
16-30 th
|
Kelompok Usia
31-68 th
|
Keseluruhan
|
|||
Ya
|
Tdk
|
Ya
|
Tdk
|
Ya
|
Tdk
|
||
1.
|
Apakah
Saudara paham hukum pelaksanaan tradisi Rabu Kasan
|
33,3%
|
66,7%
|
36,8%
|
63,2%
|
35,5%
|
64,5%
|
Berdasarkan tabel diatas mengenai pemahaman hukum
pelaksanaan tradisi untuk kelompok usia 16-30 th 66,7% atau 8 responden dan
63,2% atau 12 responden dari kelompok usia 31-68 th menyatakan tidak paham
hanya sekedar mengikuti karena sudah tradisi.
4.2.3 Hasil Data Primer mengenai Sejarah,
Makna dan Nilai Tradisi Rabo Kasan di Kelurahan Kuripan Lor
Rebo Wekasan artinya
hari Rabu terakhir, maksudnya hari Rabu terakhir dari bulan Shafar. Pada hari
ini, konon menurut para wali, diturunkan 320.000 cobaan. Untuk menghindarnya
maka harus shalat 4 raka’at, dalam setiap raka’at membaca al-Fatihah 1 kali,
Surat al-Kautsar 17 kali, surat al-Ikhlash 15 kali dan al-Falaq-an-Nas 1 kali,
lalu berdo’a.
Menurut penuturan Siti temu (68
tahun) sebagai sumber primer menyatakan, bahwa bagi masyarakat muslim Kelurahan
Kuripan Lor kebanyakan mereka meyakini bahwa hari rabu terakhir bulan Shafar
atau rebo wekasan mempunyai makna yang mendalam dan disakralkan karena dianggap
hari nahas, hari dimana Allah SWT menurunkan 320 ribu bala’, hari yang
menakutkan atau hari yang bisa menjadikan seseorang mendapatkan bahaya.
Kemudian sebutan hari nahas ini menurut beberapa orang berdasarkan pada tafsir
QS. Al-Qomar : 19, sehingga setelah melaksanakan ritual dan tradisi ini, maka
penyakit dan marabahaya tidak akan pernah datang.
Selain itu, menurut penuturan Supriyah (50 tahun)
bahwa Setelah mereka melakukan ritual sebagaimana diatas, mereka merasakan
ketenangan dalam hati serta tidak was-was kan bahaya yang menimpanya. Ia
meyakini bahwa setelah melakukan ritual dengan segala rangkaiannya ia merasa
tenang karena sudah berusaha dengan berdo’a, shalat li daf’il bala,
melakukan sedekah yang menurut keyakinanorang Islam sebagai penolak bala’
karena berdasarkan hadits, bahwa shadaqah akan menolak segala bahaya. Di
samping itu, ia sudah merasa berusaha untuk meminum air yang telah diberikan
wafaq atau rajah yang berisi tulisan-tulisan al-Qur’an, dengan harapan
mendapatkan berkah dari tulisan tadi. Setelah mereka melakukan ritual
sebagaimana diatas, mereka merasakan ketenangan dalam hati serta tidak was-was
kan bahaya yang menimpanya. Sebutlah Solihin (56 tahun) ia meyakini bahwa
setelah melakukan ritual dengan segala rangkaiannya ia merasa tenang karena
sudah berusaha dengan berdo’a, shalat li daf’il bala, melakukan sedekah
yang menurut keyakinanorang Islam sebagai penolak bala’ karena berdasarkan
hadits, bahwa shadaqah akan menolak segala bahaya. Di samping itu, ia sudah
merasa berusaha untuk meminum air yang telah diberikan wafaq atau rajah yang
berisi tulisan-tulisan al-Qur’an, dengan harapan mendapatkan berkah dari
tulisan tadi seandainya perbuatan yang mereka lakukan itu kurang ada
tuntunannya menurut teks-teks al-Qur’an atau hadits, mereka masih mengatakan
itu sekedar ibadah afdhaliyatu a’mal dan tentu tetap mendapatkan pahala. Dari
keyakinan-keyakinan inilah mereka merasa puas bahagia, tenang, tentram tidak
merasa takut dalam menjalani hari-hari mereka pada hari Rebo Wekasan
Menurut Idrus Ramli, seorang Kyai muda NU dari Jember,
Jawa Timur, tradisi Rebo Wekasan sangat bagus untuk ditradisikan, sebab memang
dianjurkan oleh para wali sebagaimana tercatat dalam kitab Mujarrabat
ad-Dairabil-Kabir. Arahan para wali, menurutnya masuk pada
ranah ilhamyang tidak bisa dijadikan dasar hukum. Akan tetapi
karena ilham Rebo Wekasan ini hanya mengabarkan perkara ghaib, dan
tidak ada kaitannya dengan hukum, maka sah-sah saja untuk diterima. Terlebih
sebuah riwayat dari Nabi SAW, menurutnya mengukuhkan adanya Rebo Wekasan ini.
Sebuah riwayat Ibn Marduwaih tentang penafsiran ayat ‘Sesungguhnya Kami
telah menghembuskan kepada mereka (kaum ‘Ad) angin yang sangat kencang pada
hari nahas/sial yang terus menerus.” (QS. al-Qamar [54] : 19) menjelaskan
bahwa hari yang dimaksud adalah hari Rabu terakhir. Idrus Ramli tidak menampik
bahwa riwayat yang tercantum dalam al-Jami’us-Shaghir 1 : 4 tersebut
statusnya dla’if. Tetapi menurutnya, para ulama sudah sepakat, hadits
dla’if dalam urusan amal-amal tambahan (fadla`ilul-a’mal) bisa diamalkan (islamdamai-idrusramli.blogspot.com).
Sementara itu, KH. Zakaria Ansor dari NU Pekalongan
menyatakan bahwa Rebo Wekasan memang bukan sunnah Nabi saw, ia hanya merupakan
tradisi. Namun ia menegaskan tidak semua tradisi kemudian disebut bid’ah. Untuk
menilainya, menurutnya, dikembalikan pada bentuk tradisi tersebut, yakni apa
saja yang dilakukan dalam tradisi Rebo Wekasan. Sebagaimana diketahui ada empat
hal yang dilakukan dalam ritual Rebo Wekasan, yaitu: (1) Shalat tolak bala atau
sholat Rebo Wekasan seperti sudah disinggung di atas, (2) do’a dijauhkan dari
marabahaya, (3) minum air jimat, dan (4) selamatan dengan membagikan nasi
kepada saudara dan tetangga. Keempat amal di atas, menurutnya, adalah amal-amal
yang bagus. Shalat tolak bala bisa dibenarkan dengan dalil shalat mutlaq, yakni
bahwa Nabi SAW pernah shalat tanpa terikat oleh waktu atau sebab apapun.
Sementara do’a, jelas tidak dibatasi oleh Nabi saw, boleh kapan, di mana, dan
bagaimanapun caranya. Air jimat adalah air karamah yang sudah dimasukkan ke
dalamnya tulisan tujuh ayat yang ada kata-kata salamun, sebagaimana
diarahkan oleh Imam an-Nawawi al-Bantani. Dan selamatan adalah perbuatan baik.
Kalaupun Rebo Wekasan ini hendak disebut bid’ah, maka statusnya
adalah bid’ah hasanah/bid’ah yang baik (www.NUbatik.net).
4.3.
Pembahasan
Desain penelitian ini adalah
deskriptif prosentase dengan menggunakan tabulasi dengan bertitik tolak pada
pembaca yang memberikan reaksi atau tanggapan terhadap tradisi tersebut. Hal
ini diperlukan untuk
mengidentifikasi tingkat pemahaman masyarakat terhadap makna dan nilai simbolik
tradisi Rabu Kasan atau Pungkasan, khususnya masyarakat Kelurahan Kuripan Lor, serta menggunakan pendekatan
historis.
Sebanyak 31 responden dilihat
dari rentang umur terdiri dari kelompok umur 16 – 30 tahun sebanyak 12 (38,7%)
dan kelompok umur 31 – 68 tahun sebanyak 19 (61,3%) dengan rata-rata (mean)
umur responden adalah 42. Sedangkan, dilihat dari jenis kelamin, terdiri dari 16
(51,6%) laki-laki dan 15 (48,4%) perempuan.
Upacara tradisional
adalah suatu kegiatan sosial yang melibatkan para warga masyarakat pendukungnya
dalam usaha bersama untuk mencapai tujuan keselamatan. Upacara tradisional
mengandung aturan-aturan yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh masyarakat
pendukungnya. Aturan-aturan tersebut tumbuh dan berkembang secara turun
temurun, sehingga mempunyai peranan untuk melestarikan ketertiban hidup,
merekatkan hubungan antar individu dan antar kelompok dalam masyarakat.
Masyarakat pendukung suatu upacara tradisional bersedia untuk mematuhi
aturan-aturan yang ditentukan, karena ada sanksi yang bersifat sakral dan magis.
Dengan demikian upacara tradisional merupakan suatu pranata sosial yang tidak
tertulis, tetapi wajib dikenal dan dipatuhi oleh setiap warga untuk mengatur
tingkah lakunya, agar tidak menyimpang dari adat kebiasaan yang berlaku dalam
masyarakat.
Sebagaimana masyarakat Kelurahan Kuripan Lor yang memiliki tradisi Rabo
Kasan, dari hasil penelitian baik hasil angket maupun sumber lapangan menunjukkan
bahwa pemahaman masyarakatnya terhadap tradisi tersebut sebagai berikut :
1)
Tingkat partisipasi masyarakat terhadap
tradisi menunjukkan sebagian besar yakni 80,6% atau 25 responden dari semua
kelompok usia ikut melaksanakan tradisi tersebut (tabel 2).
2)
Bentuk partisipasi yang paling banyak
dilakukan oleh responden secara keseluruhan sebanyak 32,3% adalah mengikuti
udik-udikan (tabel 3).
3)
Pemahaman mengenai simbol yang digunakan
pada tradisi tersebut secara keseluruhan sebanyak 51,6% adalah nasi kuning
(tabel 4).
4)
Pemahaman responden mengenai urutan dan
anjuran dalam tradisi tersebut secara keseluruhan sebanyak 54,8% memahami hal
tersebut (tabel 5).
5)
Pemahaman hukum melaksanakan tradisi
Rabu Kasan secara keseluruhan responden sebanyak 64,5% tidak paham hanya
sekedar mengikuti karena sudah menjadi kebiasaan masyarakat Kuripan Lor (tabel
6).
BAB
V
KESIMPULAN
DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Masyarakat Kuripan Lor mempunyai arti sekumpulan
orang yang terdiri dari berbagai kalangan dan tinggal didalam wilayah Kelurahan
Kuripan Lor, yang secara ekonomi terdiri dari kalangan orang mampu hingga orang
yang tidak mampu. Masyarakat Kuripan Lor telah memiliki hukum adat, norma-norma
dan berbagai peraturan serta tradisi yang siap untuk ditaati. Salah satu
tradisi tersebut adalah Rabu Kasan atau Pungkasan.
Setidaknya ada dua makna yang terselubung dalam perayaan rebo kasan bagi
masyarakat muslim Kelurahan Kuripan Lor, kedua makna tersebut adalah makna yang
sangat sakral dan makna ketenangan dengan menggunakan simbol berbagai makanan
dan udik-udikan sebagai tanda keselamatan dan tolak bala.
Warga masyarakat bertanggung jawab akan kelestarian
budaya lokal sehingga pertama yang perlu disadari adalah bagaimana kita dapat
menghargai budaya lokal tersebut. Menghargai erat kaitannya dengan adanya
penghormatan, pengakuan, rasa memiliki, dan akhirnya menuju pada usaha-usaha
untuk mau menjaga.
Salah satu kecenderungan yang tampak dengan jelas
dari dinamika kehidupan masyarakat ini ialah perubahan-perubahan yang
disebabkan oleh upaya-upaya di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang
berlangsung kian cepat. Perubahan-perubahan tersebut terasa besar sekali
pengaruhnya bagi berbagai aspek kehidupan, termasuk di dalamnya adalah pengaruh
yang tak terhindarkan pada kehidupan budaya daerah dengan berbagai segi,
termasuk seni dan tradisi. Hal ini tampak dalam rendahnya pemahaman masyarakat
dalam suatu tradisi.
Untuk itulah diperlukan usaha preventif dengan
mengukur tingkat pemahaman masyarakat terhadap tradisi tersebut, sehingga dapat
lestari dan tetap dilaksanakan oleh generasi berikutnya.
5.2
Saran
1) Eksistensi
budaya dan tradisi selalu berada dalam jaringan strategis, baik dalam relasi
dan interaksinya dengan seni lain maupun dalam relasi dan interaksinya dengan
fenomena budaya yang lebih luas. Karenanya, kekhasan eksistensi tersebut harus
dijaga keberlangsungannya.
2) Saatnya
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata menaruh perhatian lebih terhadap kearifan
budaya lokal, bagaimana budaya lokal dapat di kemas seapik mungkin sehingga
menimbulkan daya tarik. Penghargaan terhadap kearifan budaya lokal akan
bermanfaat luas bagi terwujudnya warga Negara yang beradab dan demokratis
apabila dapat dikolaborasi secara kreatif dan dinamis.
Adanya dukungan dan
motivasi dari masyarakat pelaku tradisi ini terutama dalam pemahaman makna dan
simbol, niscaya akan menjadikan tradisi tersebut tetap terjaga kelestariannya.