Selasa, 02 September 2014

TINGKAT PEMAHAMAN MASYARAKAT
KELURAHAN KURIPAN LOR TERHADAP MAKNA DAN NILAI SIMBOLIK TRADISI RABU KASAN ATAU PUNGKASAN




LAPORAN PENELITIAN ILMIAH
Disusun dalam rangka untuk mengikuti LPIR
(Lomba Penelitian Ilmiah Remaja)
Tahun 2014


JUARA II BIDANG IPS
KOTA PEKALONGAN




PEMERINTAH KOTA PEKALONGAN
DINAS PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAH RAGA
SMP NEGERI 16 KOTA PEKALONGAN

Jl. Ampera Km. 1 Kelurahan Duwet – Pekalongan Selatan (0285) 7939039


BAB I
PENDAHULUAN


1.1    Latar Belakang
Kota Pekalongan merupakan kota yang terletak di pesisir pantai utara Laut Jawa dan memiliki banyak tradisi budaya islam. Tidak hanya syawalan yang dirayakan satu minggu setelah hari raya Idul Fitri tetapi masih banyak tradisi yang lain. Salah satu dari tradisi yang sudah mengakar dimasyarakat kita, khususnya kelurahan Kuripan Lor yakni rangkaian ritual yang populer dengan sebutan “Rabu Kasan atau Pungkasan“, ritual ini dilaksanakan sekali dalam satu tahun setiap hari rabu akhir pada bulan Shofar atau bulan kedua dari penanggalan Hijriyah.
Upacara tradisional yang masih berkembang dalam masyarakat, dapat diketahui juga fungsinya sebagai media integrasi dan pengukuhan status yang sangat dibutuhkan oleh suatu kelompok masyarakat. Oleh karena itu, upacara tradisional harus selalu dilestarikan dan diaktualisasikan secara terus menerus dengan mempertahankan unsur-unsur lama dan memodifikasinya dengan unsur-unsur yang baru. Unsur atau simbol baru senantiasa diperlukan untuk aktualisasi agar tradisi itu tidak usang dan tetap didukung oleh masyarakatnya.
Upacara tradisional diadakan dalam waktu-waktu dan peristiwa tertentu sesuai dengan fungsinya. Di suatu daerah, terdapat bermacam-macam bentuk upacara tradisional, sesuai dengan kebutuhan kelompok sosial. Sebagai contoh, wilayah Kota Pekalongan khususnya kelurahan Kuripan Lor yakni rangkaian ritual yang populer dengan sebutan “Rabu Kasan atau Pungkasan“.
Tradisi yang telah ada secara turun temurun ini mengalami perubahan sampai sekarang. Banyak makna dan sejarah yang terkandung dalam upacara tradisi tersebut. Tradisi ini tidak hanya dirayakan oleh warga kelurahan Kuripan Lor saja, tetapi juga sebagian besar masyarakat kota Pekalongan lainnya.
Sesuatu yang menarik dalam tradisi ini khususnya di kelurahan Kuripan Lor, adalah adanya kegiatan menyebar uang dengan cara dilempar di depan halaman rumah atau yang dikenal dengan istilah “udik-udikan”. Acara ini paling menarik dan ditunggu-tunggu oleh warga masyarakat.
Hal inilah yang mendorong penulis ingin mengetahui tingkat pemahaman masyarakat Kelurahan Kuripan Lor mengenai makna dan nilai simbolik tradisi Rabu Kasan atau Pungkasan.

1.2    Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah di uraikan diatas, maka dapat diidentifikasikan beberapa permasalahan sebagai berikut :
1)   Deskripsi Tradisi Rabu Kasan atau Pungkasan makna dan nilai simbolik yang terkandung didalamnya.
2)   Tingkat pemahaman masyarakat Kelurahan Kuripan Lor mengenai makna dan nilai simbolik tradisi Rabu Kasan atau Pungkasan.

1.3    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dalam penelitian ini dirumuskan masalah sebagai berikut:
1)   Apakah tradisi Rabu Kasan atau Pungkasan itu?
2)   Bagaimanakah tingkat pemahaman masyarakat Kelurahan Kuripan Lor mengenai makna dan nilai simbolik Tradisi Rabu Kasan atau Pungkasan?

1.4    Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian adalah untuk mengungkap makna dan nilai simbolik yang terkandung dalam tradisi Rabu Kasan atau Pungkasan, sehingga dapat dipelajari dan dipahami oleh generasi penerus yang diharapkan dapat mewarisi dan melestarikan nilai-nilai luhur dalam upacara tradisonal tersebut serta memperkenalkan potensi budaya Kota Pekalongan kepada masyarakat luas.
Tujuan khusus penelitian adalah untuk mengidentifikasi tingkat pemahaman masyarakat Kelurahan Kuripan Lor terhadap makna dan nilai simbolik tradisi Rabu Kasan atau Pungkasan.

1.5    Manfaat
1)   Menambah pengetahuan akademis maupun non akademis tentang makna dan nilai simbolik tradisi Rabu Kasan atau Pungkasan.
2)   Memperkuat otonomi daerah, mengingat upacara tradisional ini berfungsi untuk memperkuat integrasi sosial, khususnya integrasi dan kebersamaan masyarakat Kota Pekalongan.
3)   Sebagai bahan informasi mengenai tingkat pemahaman masyarakat Kelurahan Kuripan Lor mengenai makna dan nilai simbolik tradisi Rabu Kasan atau Pungkasan.
4)   Sebagai landasan preventif agar masyarakat dapat memahami dan melestarikan tradisi leluhur serta tidak terpengaruh terhadap budaya global yang tidak sesuai dengan nilai-nilai masyarakat.
5)   Sebagai bahan masukan kepada masyarakat Kelurahan Kuripan Lor agar mengenal, mengetahui dan memahami tradisi-tradisi yang ada di kota Pekalongan.
6)   Sumber informasi dan data dasar bagi penelitian selanjutnya dalam ruang lingkup yang sama.




















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


2.1    Pengertian Masyarakat
Masyarakat (sebagai terjemahan istilah society) adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Kata "masyarakat" sendiri berakar dari kata dalam bahasa Arab, musyarak. Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-hubungan antar entitas-entitas. Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur.
Masyarakat sering diorganisasikan berdasarkan cara utamanya dalam bermata pencaharian. Pakar ilmu sosial mengidentifikasikan ada: masyarakat pemburu, masyarakat pastoral nomadis, masyarakat bercocok tanam, dan masyarakat agrikultural intensif, yang juga disebut masyarakat peradaban. Sebagian pakar menganggap masyarakat industri dan pasca-industri sebagai kelompok masyarakat yang terpisah dari masyarakat agrikultural tradisional.
Masyarakat mempunyai arti sekumpulan orang yang terdiri dari berbagai kalangan dan tinggal didalam satu wilayah, kalangan bisa terdiri dari kalangan orang mampu hingga orang yang tidak mampu. Masyarakat yang sesungguhnya adalah sekumpulan orang yang telah memiliki hukum adat, norma-norma dan berbagai peraturan yang siap untuk ditaati. Dalam suatu perkembangan daerah, masyarakat bisa dibagi menjadi dua bagian yaitu masyarakat maju dan masyarakat sederhana. Masyarakat maju adalah masyarakat yang memiliki pola pikir untuk kehidupan yang akan dicapainya dengan kebersamaan meskipun berbeda golongan, sedangkan masyarakat sederhana adalah sekumpulan masyarakat yang mempunyai pola pikir yang primitif, yang hanya membedakan antara laki-laki dan perempuan saja (http://9triliun.com/artikel/1174/pengertian-masyarakat.html).



2.2    Pemahaman Tradisi Budaya
Pemahaman berasal dari kata paham yang mempunyai arti mengerti benar, sedangkan pemahaman merupakan proses perbuatan cara memahami (Em Zul, Fajri & Ratu Aprilia Senja, 2008 : 607-608).
Pemahaman berasal dari kata paham yang artinya (1) pengertian; pengetahuan yang banyak, (2) pendapat, pikiran, (3) aliran; pandangan, (4) mengerti benar (akan); tahu benar (akan); (5) pandai dan mengerti benar. Apabila mendapat imbuhan me-i menjadi memahami, berarti : (1) mengerti benar (akan); mengetahui benar, (2) memaklumi. Dan jika mendapat imbuhan pe-an menjadi pemahaman, artinya (1) proses, (2) perbuatan, (3) cara memahami atau memahamkan (mempelajari baik-baik supaya paham) (Depdikbud, 1994: 74). Sehingga dapat diartikan bahwa pemahaman adalah suatu proses, cara memahami cara mempelajari baik-baik supaya paham dan pengetahuan banyak.
Menurut Poesprodjo (1987: 52-53) bahwa pemahaman bukan kegiatan berpikir semata, melainkan pemindahan letak dari dalam berdiri disituasi atau dunia orang lain (sumber pengetahuan tentang hidup, kegiatan melakukan pengalaman pikiran), pengalaman yang terhayati. Pemahaman merupakan suatu kegiatan berpikir secara diam-diam, menemukan dirinya dalam orang lain.
Pemahaman (comprehension), kemampuan ini umumnya mendapat penekanan dalam proses belajar mengajar. Menurut Bloom “Here we are using the tern “comprehension“ to include those objectives, behaviors, or responses which represent an understanding of the literal message contained in a communication.“ Artinya : Disini menggunakan pengertian pemahaman mencakup tujuan, tingkah laku, atau tanggapan mencerminkan sesuatu pemahaman pesan tertulis yang termuat dalam satu komunikasi. Pemahaman didefinisikan proses berpikir dan belajar. Dikatakan demikian karena untuk menuju ke arah pemahaman perlu diikuti dengan belajar dan berpikir. Pemahaman merupakan proses, perbuatan dan cara memahami. Dalam Taksonomi Bloom, pemahaman adalah kesanggupan memahami setingkat lebih tinggi dari pengetahuan. Namun, tidaklah berarti bahwa pengetahuan tidak dipertanyakan sebab untuk dapat memahami, perlu terlebih dahulu mengetahui atau mengenal.
Pemahaman dalam pembelajaran adalah tingkat kemampuan yang mengharapkan seseorang mampu memahami arti atau konsep, situasi serta fakta yang diketahuinya. Dalam hal ini ia tidak hanya hapal secara verbalitas, tetapi memahami konsep dari masalah atau fakta yang ditanyakan, maka operasionalnya dapat membedakan, mengubah, mempersiapkan, menyajikan, mengatur, menginterpretasikan, menjelaskan, mendemonstrasikan, memberi contoh, memperkirakan, menentukan, dan mengambil keputusan.
Ranah kognitif menunjukkan adanya tingkatan-tingkatan kemampuan yang dicapai dari yang terendah sampai yang tertinggi. Dapat dikatakan bahwa pemahaman itu tingkatannya lebih tinggi daripada sekedar pengetahuan, sedangkan menurut Yusuf Anas, yang dimaksud dengan pemahaman adalah kemampuan untuk menggunakan pengetahuan yang sudah diingat lebih-kurang sama dengan yang sudah diajarkan dan sesuai dengan maksud penggunaannya.
Berdasar berbagai pendapat di atas, indikator pemahaman pada dasarnya sama, yaitu dengan memahami sesuatu berarti seseorang dapat mempertahankan, membedakan, menduga, menerangkan, menafsirkan, memerkirakan, menentukan, memperluas, menyimpulkan, menganalisis, memberi contoh, menuliskan kembali, mengklasifikasikan, dan mengikhtisarkan.
Indikator pemahaman menunjukkan bahwa pemahaman mengandung makna lebih luas atau lebih dalam dari pengetahuan. Dengan pengetahuan, seseorang belum tentu memahami sesuatu yang dimaksud secara mendalam, hanya sekedar mengetahui tanpa bisa menangkap makna dan arti dari sesuatu yang dipelajari. Sedangkan dengan pemahaman, seseorang tidak hanya bisa menghapal sesuatu yang dipelajari, tetapi juga mempunyai kemampuan untuk menangkap makna dari sesuatu yang dipelajari juga mampu memahami konsep dari pelajaran tersebut (http://www.referensimakalah.com/2013/05/pengertian-pemahaman-dalam-pembelajaran.html).
Tradisi (Bahasa Latin: traditio, "diteruskan") atau kebiasaan, dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun (sering kali) lisan, karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah (http://id.wikipedia.org/wiki/Tradisi).
Upacara tradisional adalah suatu kegiatan sosial yang melibatkan para warga masyarakat pendukungnya dalam usaha bersama untuk mencapai tujuan keselamatan. Upacara tradisional mengandung aturan-aturan yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh masyarakat pendukungnya.
Aturan-aturan tersebut tumbuh dan berkembang secara turun temurun, sehingga mempunyai peranan untuk melestarikan ketertiban hidup, merekatkan hubungan antar individu dan antar kelompok dalam masyarakat. Masyarakat pendukung suatu upacara tradisional bersedia untuk mematuhi aturan-aturan yang ditentukan, karena ada sanksi yang bersifat sakral dan magis. Dengan demikian upacara tradisional merupakan suatu pranata sosial yang tidak tertulis, tetapi wajib dikenal dan dipatuhi oleh setiap warga untuk mengatur tingkah lakunya, agar tidak menyimpang dari adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.
Di samping sebagai pranata sosial, upacara tradisional juga merupakan alat komunikasi antar sesama manusia serta antara dunia yang nyata dan dunia yang ghaib. Hubungan komunikasi antara dunia nyata dan dunia ghaib dapat dipelajari melalui simbol-simbol. Pesan-pesan ajaran agama, nilai-nilai etis dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat disampaikan kepada seluruh warga masyarakat pendukungnya melalui simbol-simbol. Oleh karena itu, upacara tradisional merupakan sarana sosialisasi nilai-nilai, terutama kepada generasi muda yang masih harus menyesuaikan diri dengan kehidupan masyarakat ( T.t :2003).
Dalam upacara tradisional yang masih berkembang dalam masyarakat, dapat diketahui juga fungsinya sebagai media integrasi dan pengukuhan status yang sangat dibutuhkan oleh suatu kelompok masyarakat. Oleh karena itu, upacara tradisional harus selalu dilestarikan dan diaktualisasikan secara terus menerus, dengan mempertahankan unsur-unsur lama dan memodifikasinya dengan unsur-unsur yang baru. Unsur atau simbol baru senantiasa diperlukan untuk aktualisa agar tradisi itu tidak usang dan tetap didukung oleh masyarakatnya.
Upaya-upaya pelestarian dan penghargaan terhadap kearifan tradisional dan nilai-nilai budaya lokal tidak dapat dipisahkan dari kondisi pemilik dan pengguna utamanya, yaitu masyarakat.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah seberapa pentingnya penghargaan masyarakat terhadap budaya lokal? Dewasa ini, terdapat beberapa tantangan dampak globalisasi bagi masyarakat. Tidak dapat di pungkiri ada anggapan bahwa budaya tradisional tidak mampu menyaingi budaya global yang sedang mendunia. Disinilah perlunya kesadaran masyarakat bahwa budaya lokal senantiasa akan bertahan apabila kita tidak membiarkannya tertindas.
Mengacu pada teori tersebut maka penelitian ini bermaksud untuk mengetahui tingkat pemahaman masyarakat mengenai suatu tradisi khususnya Tradisi Rabu Kasan atau Pungkasan dengan mengacu dari pemahaman dan pengetahuan masyarakat itu sendiri. Seperti yang didasarkan pada teori tersebut bahwa tradisi itu sendiri tidak memiliki arti dan kehilangan aspek kultur apabila tidak ada tanggapan dari masyarakat sebagai pelaksana sekaligus pemilik.

2.3    Tradisi Rabu Kasan atau Pungkasan
Orang Jawa memang penuh perhitungan dan perayaan. Tradisi Rabu Kasan atau Pungkasan adalah salah satu buktinya. Dalam arti yang sama, beberapa orang Jawa menyebutnya Rebo Kasan atau Pungkasan atau Wungkasan. Rebo dalam bahasa Jawa berarti hari Rabu dan Kasan atau Pungkasan berarti terakhir, sehingga istilah Rebo Kasan atau Pungkasan atau Wungkasan berarti hari Rabu terakhir pada bulan Sapar dalam tahun Islam. Rebo Wungkasan biasa digelar oleh seluruh masyarakat yang berada disekitar pantai utara Laut Jawa (http://jogjatrip.com/id/658/Tradisi-Rabo-Pungkasan).
2.3.1   Istilah Rebo Kasan atau Pungkasan
Istilah Rebo Kasan sendiri terjadi selisih pendapat. Sebagian mengasumsikan kata kasan merupakan penggalan dari kata Pungkasan yang berarti akhir dengan mambuang suku kata depan menjadi kasan Teori  ini lebih mudah dimengerti. sebab Rebo Kasan adalah hari rabu yang terakhir dari bulan Sapar atau Shofar, bulan kedua dari penanggalan hijriyyah.
Sebagian yang lain memahami kata Kasan merupakan penggalan dari kata Wekasan yang dalam Bahasa Indonesia mempunyai arti Pesanan, Berangkat dari teori ini istilah  Rebo Kasan berarti hari Rebo yang spesial tidak seperti hari-hari Rabo yang lain.  Seperti barang pesanan yang dibikin secara husus dan tidak dijual kepada semua orang. Kesimpulan ini bisa dipahami oleh karena Rebo Kasan memang hanya terjadi sekali dalam setahun dimana para sesepuh manti–manti (wekas) agar hati-hati pada hari itu.
Selain kedua versi tersebut ada satu lagi yang mengasumsikan kata kasan dari kata  bahasa arab hasan yang berarti baik. Kata kasan adalah kata yang utuh bukan penggalan dari kata lain. Walaupun  penalaranya agak sedikit rumit akan tetapi tampak paling mendekati benar karena asumsi yang dipakai keutuhan kalimatnya bukan penggalan dari kalimat lain.
Barangkali kata kasan yang berarti baik sengaja dibubuhkan untuk memberi sugesti pada umat atau masyarakat agar tidak terlalu cemas dengan gambaran yang ada pada hari Rebo Kasan tersebut.
2.3.2   Asal Mula Ritual Rebo Kasan atau Pungkasan
Disebutkan dalam banyak sumber dari referensi Islam Klasik bahwa salah seorang Waliyulloh yang telah mencapai makom kasyaf (mendapatkan ilmu tentang sesuatu yang sulit dimengerti orang lain seperti hal–hal gaib) mengatakan bahwa dalam setiap tahun Alloh SWT menurunkan bala’ sebanyak 320.000 (tiga ratus dua puluh ribu) macam dalam satu malam. Malam itu bertepatan setiap malam Rebo akhir dari bulan Shofar.
Oleh karena itu Wali tersebut memberi nasehat mengajak pada umat untuk bertaqorrub pada Allah seraya meminta agar dijauhkan dari semua bala’ yang diturunkan pada hari itu. Lebih jauh beliau memberi tuntunan tatacara bertaqorrub dengan rangkaian do’a - do’a yang dalam istilah jawa lebih dikenal sebagai do’a tolak-bala. Pada intinya rangkaian doa itu diberikan oleh para wali-wali Allah sebagai upaya memohon kepada Allah untuk diberikan keselamatan dan dijauhkan dari semua macam bala yang diturunkan pada hari itu. Tata cara dan bentuk do’a yang diberikanpun berbeda-beda dari satu guru keguru yang lain. Inilah asal muasal ritual Rebo Kasan yang mengakar dan di lakukan oleh masyarakat dari generasi ke generasi.
2.3.3   Bentuk Ritual
Bentuk ritual rebo kasan yang banyak  dilakukan meliputi empat macam, yaitu ; Sholat yang populer di masyarakat dengan sebutan sholat tolak bala atau sholat rebo kasan, doa kemudian minum air jimat dan yang keempat selamatan. Berikut ini kupasan keempat macam ritual tersebut :
a.    Do’a
Diantara do’a-do’a yang banyak dibaca pada hari Rebo Kasan adalah rangkaian do’a seperti yang terdapat pada kitab Kanzun Najah karya Abdul Hamid Kudus halaman 26.
b.    Minum air azimat
Disebutkan dalam kitab Nihayatuz Zain karya imam Nawawi Aljawi Albantani yang merupakan syarah atau penjelasan dari kitab matan Fiqih Qurrotul ‘Ain, barang  siapa yang menulis ayat salamah tujuh yaitu tujuh ayat Alqur’an yang diawali dengan lafal Salaamun :
Salaamun Qoulammirrobirrohim, Salaamun ‘ala nuhin fil’alamin, Salaamun ‘ala ibrohiim, Salaamun ‘ala musa wa harun, Salaamun ‘ala ilyasin, Salaamun ‘alaikum thibtum fadkhuluha kholidin,  Salaamun hiya hatta mathla’il fajr
Kemudian tulisan tersebut dilebur/direndam dengan air, maka barang siapa yang mau meminum air tersebut akan diselamatkan dari baliyyah/bala’ yang diturunkan.
c.    Selamatan
Pada sebagian masyarakat disamping ritual-ritual diatas dilakukan pula selamatan dengan membagikan nasi pada tetangga dan saudara. Disebagian daerah nasi itu dibawa ke suatu tempat seperti Masjid atau Musholla untuk dinikmati bersama-sama. Mereka yang tidak mampu membuat nasi cukup membawa jajan atau minuman. Semua itu dilakukan sebagai bentuk taqorrub dengan mengeluarakan sebagian haknya/shodaqoh didasari harapan diselamatkan dari segala bentuk bala’ dengan sodaqohnya. Sesuai dengan tuntunan yang artinya bahwa Sodaqoh itu dapat menangkal turunya  bala’.
d.         Sholat Sunnah
Pada dasarnya sholat yang khusus untuk Rabu Kasan atau sholat tolak bala tidak ada dalam literatur islam, seperti halnya sholat roghoib dan semacamnya. Hal ini berbeda dengan ritual-ritual yang lain seperti do’a, dzikir dan lain sebagainya dimana pada selain sholat bisa diakomodir bentuk-bentuk baru yang belum dikenal sebelumnya. Sedang sholat segala sesuatunya sudah ditentukan dari mulai tatacara sholat sampai jenis-jenis atau macam-macam sholat. Dengan kata lain dalam sholat tidak ada ruang inovasi baru baik dalam tatacara maupun macam-macamnya.
2.3.4   Tinjauan Hukum
Bagaimana hukum melaksanakan tradisi Rebo Kasan?, Hukum melaksanakan tradisi Rebo Kasan sebagaimana rangkaian diatas adalah sebagai mana melaksanakan tradisi-tradisi  lainnya. Artinya dari sudut pandang kegiatan itu sebagai tradisi maka pelaksanaanya tidak bisa dikatakan harom ataupun sunnah apalagi wajib (lihat mafahim, sayyid Muhmmad Almaliki hal 339-341).
Bagaimana teknis pelaksanakan ceremoninya dari tradisi itu sendiri yang menentukan status hukumnya. Sesuai dengan diskripsi di atas maka ceremony yang umum dilakukan ada tiga macam: diawali dengan sholat sunnah dan dilanjutkan do’a kemudian meminum air jimat, dan sebagian dilengkapi dengan selamatan.  Dalam pembahasan sholat sunnah sudah dipaparkan bahwa sholat sunnah yang memilki sifat fleksibelitas adalah sholat sunnah mutlak. Maka bilamana dalam melakukan sholat tersebut dengan cara sunnah mutlak maka hukumnya boleh dan bisa mendapatkan pahala dari sisi melaksanakan sholat sunnahnya. Sedang bilamana dalam melakukan sholat sunnah tersebut niatnya sunnah rebo kasan atau sholat tolak bala maka hukumnya tidak sah dan berdosa karena telah membuat syariat baru yang tidak dikenal pada masa Rosululloh SAW.
Begitupula dengan ritual meminum air jimat. Sebagai seorang yang beriman barang tentu meyakini bahwa tidak satupun bisa mendatangkan manfaat dan madlorot kecuali Alloh SWT. Dan dalam kapasitas sebagai seorang hamba orang yang beriman mesti melakukan upaya/ihktiar untuk mendapatkan manfaat dan terhindar dari madlorot. Keberadaan air jimat adalah dalam kapasitas ikhtiar, sama dengan keberadaan nasi maupun obat-obatan sebagai ikhtiar untuk mendapatkan kenyang dan kesembuhan. Ikhtiar dengan menggunakan air jimat ini pernah pula dilakukan para shohabat pada masa hidupnya  Rosululloh SAW.
Sedangkan selamatan dengan membagikan makanan ataupun minuman pada orang lain merupakan suatu perbuatan positif yang sangat dianjurkan oleh Alloh dalam banyak ayat, karena diakui atau tidak tradisi selamatan yang banyak dilakukan oleh masyarakat merupakan wujud dari rasa kepedulian dan kebersamaan yang sangat dianjurkan oleh agama kapanpun dan dimanapun tanpa terkecuali hari Rebo kasan ataupun hari-hari lainnya. Teramat banyak ayat-ayat Alqur’an yang menerangkan tuntunan itu sehingga tidak perlu kami paparkan disini.

2.3.5   Makna dan Simbol
Setidaknya ada dua makna yang terselubung dalam perayaan rebo wekasan bagi masyarakat muslim, kedua makna tersebut adalah makna yang sangat sakral dan makna ketenangan.
a)         Makna Sakral
b)         Makna Ketenangan
(http://lukmankudus94.blogspot.com/2013/11/rebo-wekasan.html)
Terdapat berbagai macam simbol yang digunakan dalam tradisi rabu kasan, tergantung daerah yang melaksanakannya. Seperti di daerah Yogyakarta, Persisnya di daerah Wonokromo, Pleret, Bantul, Yogyakarta menggunakan simbol makanan berupa lemper dengan prosesi yang disebut "ngarak lemper" atau membawa lemper besar (http://localdap.blogspot.com/2013/06/upacara-rebo-pungkasan-dilihat-dari.html).
Ataupun berupa makanan tertentu yang lain sebagai wujud selamatan. Dengan demikian, mengikuti premis Weber tersebut, dari simbol-simbol budaya yang seharusnya dipahami atau ditangkap esensinya adalah makna yang tersirat. Dapat dikatakan bahwa dalam satu makna (esensi), simbol boleh berbeda otoritas asal makna masih sama. Hanya saja yang perlu dikoreksi adalah simbol-simbol tadi pada dasarnya adalah kata benda. Sedangkan menurut logika berfikir, kata benda atau simbol-simbol tadi yang sering diperdebatkan untuk kemungkinan disalahkan atau dibenarkan. Perdebatan simbol itu akan menggiring kita untuk kemudian memitoskan sesuatu.
Dahulu orang menciptakan simbol agar perasaan kita tajam, namun karena pengaruh Barat kita menangkap semua itu dengan visi dan paradigma positivisme. Dari pembicaraan simbol-simbol (untuk pengungkapan nilai) Islam diatas yang berpotensi memunculkan bid’ah, maka kemudian timbul pertanyaan apakah tidak mungkin kalau keadaan tersebut justru mengakibatkan budaya yang tidak Islami? Kalau konsepsi tentang budaya di awal mengacu pada perpsektif ‘kata benda’ maka akan menjawab Islam atau tidak kiranya akan lebih mengena jika menggunakan pendekatan budaya sebagai ‘kata kerja’. Dalam pengertian yang terakhir ini budaya dipahami sebagai kreatifitas atau rekayasa (http://filsafat.kompasiana.com/2013/06/13/religi-orang-jawa-masa-akulturasi-budaya-jawa-agami-jawi-gerakan-mistik-magic-ilmu-kebatinan-serta-memahami-konstruksi-sosial-tradisi-islam-lokal-568544.html).

 

























BAB III
METODOLOGI PENELITIAN


3.1    Desain Penelitian
Desain penelitian ini adalah deskriptif prosentase dengan menggunakan tabulasi dengan bertitik tolak pada responden yang memberikan reaksi atau tanggapan terhadap tradisi tersebut. Hal ini diperlukan untuk mengidentifikasi tingkat pemahaman masyarakat terhadap makna dan nilai simbolik tradisi Rabu Kasan atau Pungkasan, khususnya masyarakat Kelurahan Kuripan Lor, serta menggunakan pendekatan historis.

3.2    Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat kelurahan Kuripan Lor yang beragama islam berjumlah 7.935 orang dengan menggunakan pertimbangan usia dan dikelompokkan berdasar usia tertentu. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh resepsi dari masing-masing kelompok usia tertentu tersebut sebagai perbandingan. Pengelompokkan tersebut terdiri dari, kelompok usia 16 – 30 tahun dan kelompok usia 31 – 68 tahun, sehingga tehnik pengambilan sampel yang digunakan adalah Sampel kelompok atau Cluster Sample.
Penentuan jumlah sampel didasarkan pada ketentuan 25% dari populasi (Arikunto, 1998), akan tetapi karena keterbatasan waktu dan kemampuan dana sehingga jumlah sampel yang digunakan penelitian sebanyak 31 responden.

3.3    Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan berupa daftar pertanyaan wawancara dan angket yang disusun oleh peneliti didasarkan pada konsep dan tinjauan pustaka. Angket terdiri dari dua bagian: (1) informasi karakteristik responden yang berisi nama atau identitas, usia responden, jenis kelamin; (2) resepsi masyarakat terhadap makna dan nilai simbolik tradisi Rabu Kasan atau Pungkasan.



3.4    Tekhnik Pengumpulan Data
Tahapan pengumpulan data dalam penelitian ini adalah : menjelaskan kepada responden tentang tujuan penelitian dan meminta kesediaannya untuk menjadi responden. Peneliti menjelaskan tentang cara pengisian angket untuk mengisi angket secara jujur sesuai dengan pemahaman dan apa yang diketahui tentang tradisi rabu kasan atau wungkasan. Setelah selesai angket dikumpulkan dan diperiksa kelengkapannya. Untuk melengkapi data angket peneliti juga melakukan wawancara tak berstruktur, observasi serta mengumpulkan dokumentasi atau catatan sejarah mengenai tradisi rabu kasan atau wungkasan, baik dari sumber warga setempat maupun studi literatur.

3.5    Analisa Data
Analisa data dilakukan dengan menggunakan tabulasi dan deskriptif presentase serta dipadukan dengan menggunakan metode historis. Hal ini diperlukan untuk mengungkap sejarah awal munculnya tradisi Rabu Kasan atau Pungkasan dan makna atau nilai simbol-simbol yang terkandung didalamnya. Penelitian historis meliputi tahap-tahap sebagai berikut; (1) Pengumpulan, sumber sejarah (heuristik) melalui studi pustaka dan studi arsip untuk memperoleh  sumber atau data primer dan sekunder tentang tradisi Rabu Kasan atau Pungkasan dan makna simbol yang terkandung didalamnya, (2) Kritik sumber untuk menentukan autentisitas dai kredibilitas sumber sejarah, (3) Penetapan sintesis antar fakta sejarah melalui proses imajinasi, analisis, dan interpretasi untuk menetapkan hubungan antar fakta, (4) Penulisan sejarah.










BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1    Kondisi Geografis Kelurahan Kuripan Lor Kecamatan Pekalongan Selatan
Data monografi Kelurahan Kuripan Lor
a.    Luas dan batas wilayah :
1)   Luas : 59.2030 Ha
2)   Batas wilayah
·      Sebelah Utara             : Kelurahan Landungsari / Kelurahan
  Yosorejo
·      Sebelah Selatan           : Kelurahan Kuripan Kidul
·      Sebelah Barat              : Kelurahan Kertoharjo / Kelurahan Jenggot
·      Sebelah Timur             : Kelurahan Duwet
b.    Jumlah Penduduk Menurut :
1)   Jenis Kelamin
·      Laki – laki       : 3.951 Orang
·      Perempuan       : 4.043 Orang
Jumlah                  : 7.994 Orang
2)   Jumlah Penduduk Menurut Agama / Penghayat terhadap Tuhan Yang Maha Esa
·      Islam                : 7.935 Orang
·      Kristen             : 30 Orang
·      Katholik          : 14 Orang
·      Hindu              : -  Orang
·      Budha              : 15 Orang
·      Penganut/Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuahan Yang Maha Esa : - Orang
(Data monografi Kelurahan Kuripan Lor).



4.2    Hasil Penelitian
4.2.1   Karakteristik Responden
Tabel 1.  Data Karakteristik Responden
No
Karakteristik Responden
Jumlah
Persentase (%)
1.
Usia responden
16 – 30 tahun
31 – 68 tahun
Mean

12
19
42

38,7
61,3
2.
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
Jumlah

16
15
31

51,6
48,4
Berdasarkan tabel diatas bahwa rentang usia responden terdiri dari kelompok usia 16 – 30 tahun sebanyak 12 atau 38,7% dan kelompok usia     31 – 68 tahun sebanyak 19 orang atau 61,3%  dengan usia termuda 16 tahun dan usia tertua 68 tahun, sehingga rata-rata usia responden 42 tahun. Jenis kelamin responden adalah perempuan sebanyak 15 atau 48,4%, sedangkan laki-laki sebanyak 16 atau 51,6%.

4.2.2   Pemahaman Masyarakat Kelurahan Kuripan Lor terhadap tradisi Rabu Kasan atau Pungkasan
Tabel 2. Prosentase Partisipasi Responden dalam Tradisi Rabu Kasan
atau Pungkasan berdasarkan Kelompok Usia
No
Pernyataan
16 – 30 th
31 – 68 th
Keseluruhan
Ya
Tdk
Ya
Tdk
Ya
Tdk
1.
Apakah anda berpartisipasi dalam tradisi tersebut?
75%
25%
84,2%
15,8%
80,6%
19,4%

Tabel prosentase partisipasi responden berdasarkan kelompok umur diatas menunjukkan, bahwa untuk kelompok usia 16-30 tahun dengan 12 responden sebanyak 9 responden atau 75% berpartisipasi dalam tradisi tersebut, sedangkan 25% atau 3 responden tidak berpartisipasi. Sedangkan, untuk usia 31-68 tahun sebanyak 16 responden atau 84,2% berpartisipasi dan 15,8% atau 3 responden tidak berpartisipasi.
Tabel 3. Prosentase Bentuk Partisipasi Responden Berdasarkan
Kelompok Umur dalam Tradisi Rabu Kasan atau Pungkasan
No.
Bentuk Partisipasi
Kelompok Umur
Keseluruhan
16 – 30 tahun
31 – 68 tahun
1.
Udik-udikan
50%
21,1%
32,3%
2.
Selamatan
16,7%
31,6%
25,8%
3.
Sholat dan berdo’a
8,3%
21,1%
16,1%
4.
Potong Rambut
0
10,5%
6,5%
5.
Tidak berpartisipasi
25%
15,8%
19,4%

Jumlah
100
100
100
Partisipasi yang diwujudkan oleh responden dari masing-masing kelompok usia adanya variasi, seperti ikut berdo’a bersama, melaksanakan sholat sunnah tolak bala, memberikan selamatan, memotong rambut, dan menyelenggarakan udik-udikan. Bahkan ada beberapa yang berpartisipasi hanya ikut memperebutkan udik-udikan saja, khususnya dikelompok usia 16-30 tahun dengan tingkat prosentase 50% atau 6 responden dan dikelompok usia 31-68 tahun berpartisipasi sebanyak 21,1% atau 4 responden.
Tabel 4. Prosentase Pemahaman Responden Berdasarkan Kelompok
              Usia mengenai Simbolik yang digunakan dalam Tradisi Rabu
Kasan atau Pungkasan
No
Simbol yang Digunakan
Kelompok
Usia 16 – 30 tahun
Kelompok
Usia 31 – 68 tahun
Keseluruhan
1.
Nasi Kuning
41,7%
57,9%
51,6%
2.
Bubur Abang Putih
0
15,8%
9,7%
3.
Nasi Golong / Kluban
41,7%
26,3%
32,3%
4.
Udik-udikan
16,7%
0
6,5%
5.
Lainnya
0
0
0


100
100
100

Tabel mengenai simbol yang digunakan dalam tradisi Rabo Pungkasan diatas menunjukkan bahwa sebanyak 41,7% atau 5 responden usia 16-30 tahun dan 57,9% atau 11 responden usia 31-68 tahun menggunakan nasi kuning, sebanyak 3 atau 15,8% responden usia 31-68 tahun menggunakan bubur abang putih, dan sebanyak 2 atau 16,7% responden usia 16-30 tahun menggunakan simbol udik-udikan.
Tabel 5. Prosentase Pemahaman Responden mengenai Makna dan  
             Nilai Simbol dalam Tradisi Rabu Kasan atau Pungkasan
No
Makna Simbol
Kelompok Usia
Keseluruhan
16-30 th
31-68 th
1
Tolak bala
75%
89,5%
83,9%
2
Tasyakuran
16,7%
10,5%
12,9%
3
Tidak ada
8,3%
0
3,2%

Jumlah
100
100
100

Sebagian besar responden, baik dari usia 16-30 tahun dan usia 31-68 tahun menyatakan bahwa makna dan nilai simbol adanya tradisi ini adalah sebagai tolak bala dengan tingkat 83,9%.
Tabel 6. Prosentase Pemahaman Responden mengenai adanya Urutan
              Kegiatan dan Anjuran Tertentu dalam Tradisi Rabu Kasan
              atau Pungkasan
No
Urutan dan Anjuran
Ya
Tidak
1
Apakah ada urutan kegiatan dan anjuran tertentu dalam tradisi tersebut?
54,8%
45,2%

Berdasarkan tabel pemahaman mengenai urutan atau anjuran tertentu dalam tradisi Rabu Kasan menunjukkan sebanyak 17 responden atau 54,8% adanya urutan kegiatan dan adanya anjuran tertentu dalam tradisi tersebut, sedangkan 14 responden atau 45,2% menunjukkan tidak adanya urutan dan anjuran tertentu dalam tradisi rabu kasan.
Tabel 7. Prosentase Pemahaman Responden mengenai Hukum
       Pelaksanaan Tradisi Rabu Kasan atau Pungkasan
No
Pemahaman Hukum
Kelompok Usia
16-30 th
Kelompok Usia
31-68 th
Keseluruhan
Ya
Tdk
Ya
Tdk
Ya
Tdk
1.
Apakah Saudara paham hukum pelaksanaan tradisi Rabu Kasan
33,3%
66,7%
36,8%
63,2%
35,5%
64,5%

Berdasarkan tabel diatas mengenai pemahaman hukum pelaksanaan tradisi untuk kelompok usia 16-30 th 66,7% atau 8 responden dan 63,2% atau 12 responden dari kelompok usia 31-68 th menyatakan tidak paham hanya sekedar mengikuti karena sudah tradisi.

4.2.3   Hasil Data Primer mengenai Sejarah, Makna dan Nilai Tradisi Rabo Kasan di Kelurahan Kuripan Lor
Rebo Wekasan artinya hari Rabu terakhir, maksudnya hari Rabu terakhir dari bulan Shafar. Pada hari ini, konon menurut para wali, diturunkan 320.000 cobaan. Untuk menghindarnya maka harus shalat 4 raka’at, dalam setiap raka’at membaca al-Fatihah 1 kali, Surat al-Kautsar 17 kali, surat al-Ikhlash 15 kali dan al-Falaq-an-Nas 1 kali, lalu berdo’a.
Menurut penuturan Siti temu (68 tahun) sebagai sumber primer menyatakan, bahwa bagi masyarakat muslim Kelurahan Kuripan Lor kebanyakan mereka meyakini bahwa hari rabu terakhir bulan Shafar atau rebo wekasan mempunyai makna yang mendalam dan disakralkan karena dianggap hari nahas, hari dimana Allah SWT menurunkan 320 ribu bala’, hari yang menakutkan atau hari yang bisa menjadikan seseorang mendapatkan bahaya. Kemudian sebutan hari nahas ini menurut beberapa orang berdasarkan pada tafsir QS. Al-Qomar : 19, sehingga setelah melaksanakan ritual dan tradisi ini, maka penyakit dan marabahaya tidak akan pernah datang.
Selain itu, menurut penuturan Supriyah (50 tahun) bahwa Setelah mereka melakukan ritual sebagaimana diatas, mereka merasakan ketenangan dalam hati serta tidak was-was kan bahaya yang menimpanya. Ia meyakini bahwa setelah melakukan ritual dengan segala rangkaiannya ia merasa tenang karena sudah berusaha dengan berdo’a, shalat li daf’il bala, melakukan sedekah yang menurut keyakinanorang Islam sebagai penolak bala’ karena berdasarkan hadits, bahwa shadaqah akan menolak segala bahaya. Di samping itu, ia sudah merasa berusaha untuk meminum air yang telah diberikan wafaq atau rajah yang berisi tulisan-tulisan al-Qur’an, dengan harapan mendapatkan berkah dari tulisan tadi. Setelah mereka melakukan ritual sebagaimana diatas, mereka merasakan ketenangan dalam hati serta tidak was-was kan bahaya yang menimpanya. Sebutlah Solihin (56 tahun) ia meyakini bahwa setelah melakukan ritual dengan segala rangkaiannya ia merasa tenang karena sudah berusaha dengan berdo’a, shalat li daf’il bala, melakukan sedekah yang menurut keyakinanorang Islam sebagai penolak bala’ karena berdasarkan hadits, bahwa shadaqah akan menolak segala bahaya. Di samping itu, ia sudah merasa berusaha untuk meminum air yang telah diberikan wafaq atau rajah yang berisi tulisan-tulisan al-Qur’an, dengan harapan mendapatkan berkah dari tulisan tadi seandainya perbuatan yang mereka lakukan itu kurang ada tuntunannya menurut teks-teks al-Qur’an atau hadits, mereka masih mengatakan itu sekedar ibadah afdhaliyatu a’mal dan tentu tetap mendapatkan pahala. Dari keyakinan-keyakinan inilah mereka merasa puas bahagia, tenang, tentram tidak merasa takut dalam menjalani hari-hari mereka pada hari Rebo Wekasan
Menurut Idrus Ramli, seorang Kyai muda NU dari Jember, Jawa Timur, tradisi Rebo Wekasan sangat bagus untuk ditradisikan, sebab memang dianjurkan oleh para wali sebagaimana tercatat dalam kitab Mujarrabat ad-Dairabil-Kabir. Arahan para wali, menurutnya masuk pada ranah ilhamyang tidak bisa dijadikan dasar hukum. Akan tetapi karena ilham Rebo Wekasan ini hanya mengabarkan perkara ghaib, dan tidak ada kaitannya dengan hukum, maka sah-sah saja untuk diterima. Terlebih sebuah riwayat dari Nabi SAW, menurutnya mengukuhkan adanya Rebo Wekasan ini. Sebuah riwayat Ibn Marduwaih tentang penafsiran ayat ‘Sesungguhnya Kami telah menghembuskan kepada mereka (kaum ‘Ad) angin yang sangat kencang pada hari nahas/sial yang terus menerus.” (QS. al-Qamar [54] : 19) menjelaskan bahwa hari yang dimaksud adalah hari Rabu terakhir. Idrus Ramli tidak menampik bahwa riwayat yang tercantum dalam al-Jami’us-Shaghir 1 : 4 tersebut statusnya dla’if. Tetapi menurutnya, para ulama sudah sepakat, hadits dla’if dalam urusan amal-amal tambahan (fadla`ilul-a’mal) bisa diamalkan (islamdamai-idrusramli.blogspot.com).
Sementara itu, KH. Zakaria Ansor dari NU Pekalongan menyatakan bahwa Rebo Wekasan memang bukan sunnah Nabi saw, ia hanya merupakan tradisi. Namun ia menegaskan tidak semua tradisi kemudian disebut bid’ah. Untuk menilainya, menurutnya, dikembalikan pada bentuk tradisi tersebut, yakni apa saja yang dilakukan dalam tradisi Rebo Wekasan. Sebagaimana diketahui ada empat hal yang dilakukan dalam ritual Rebo Wekasan, yaitu: (1) Shalat tolak bala atau sholat Rebo Wekasan seperti sudah disinggung di atas, (2) do’a dijauhkan dari marabahaya, (3) minum air jimat, dan (4) selamatan dengan membagikan nasi kepada saudara dan tetangga. Keempat amal di atas, menurutnya, adalah amal-amal yang bagus. Shalat tolak bala bisa dibenarkan dengan dalil shalat mutlaq, yakni bahwa Nabi SAW pernah shalat tanpa terikat oleh waktu atau sebab apapun. Sementara do’a, jelas tidak dibatasi oleh Nabi saw, boleh kapan, di mana, dan bagaimanapun caranya. Air jimat adalah air karamah yang sudah dimasukkan ke dalamnya tulisan tujuh ayat yang ada kata-kata salamun, sebagaimana diarahkan oleh Imam an-Nawawi al-Bantani. Dan selamatan adalah perbuatan baik. Kalaupun Rebo Wekasan ini hendak disebut bid’ah, maka statusnya adalah bid’ah hasanah/bid’ah yang baik (www.NUbatik.net).

4.3.  Pembahasan
Desain penelitian ini adalah deskriptif prosentase dengan menggunakan tabulasi dengan bertitik tolak pada pembaca yang memberikan reaksi atau tanggapan terhadap tradisi tersebut. Hal ini diperlukan untuk mengidentifikasi tingkat pemahaman masyarakat terhadap makna dan nilai simbolik tradisi Rabu Kasan atau Pungkasan, khususnya masyarakat Kelurahan Kuripan Lor, serta menggunakan pendekatan historis.
Sebanyak 31 responden dilihat dari rentang umur terdiri dari kelompok umur 16 – 30 tahun sebanyak 12 (38,7%) dan kelompok umur 31 – 68 tahun sebanyak 19 (61,3%) dengan rata-rata (mean) umur responden adalah 42. Sedangkan, dilihat dari jenis kelamin, terdiri dari 16 (51,6%) laki-laki dan 15 (48,4%) perempuan.
Upacara tradisional adalah suatu kegiatan sosial yang melibatkan para warga masyarakat pendukungnya dalam usaha bersama untuk mencapai tujuan keselamatan. Upacara tradisional mengandung aturan-aturan yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh masyarakat pendukungnya. Aturan-aturan tersebut tumbuh dan berkembang secara turun temurun, sehingga mempunyai peranan untuk melestarikan ketertiban hidup, merekatkan hubungan antar individu dan antar kelompok dalam masyarakat. Masyarakat pendukung suatu upacara tradisional bersedia untuk mematuhi aturan-aturan yang ditentukan, karena ada sanksi yang bersifat sakral dan magis. Dengan demikian upacara tradisional merupakan suatu pranata sosial yang tidak tertulis, tetapi wajib dikenal dan dipatuhi oleh setiap warga untuk mengatur tingkah lakunya, agar tidak menyimpang dari adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.
Sebagaimana masyarakat Kelurahan Kuripan Lor yang memiliki tradisi Rabo Kasan, dari hasil penelitian baik hasil angket maupun sumber lapangan menunjukkan bahwa pemahaman masyarakatnya terhadap tradisi tersebut sebagai berikut :
1)        Tingkat partisipasi masyarakat terhadap tradisi menunjukkan sebagian besar yakni 80,6% atau 25 responden dari semua kelompok usia ikut melaksanakan tradisi tersebut (tabel 2).
2)        Bentuk partisipasi yang paling banyak dilakukan oleh responden secara keseluruhan sebanyak 32,3% adalah mengikuti udik-udikan (tabel 3).
3)        Pemahaman mengenai simbol yang digunakan pada tradisi tersebut secara keseluruhan sebanyak 51,6% adalah nasi kuning (tabel 4).
4)        Pemahaman responden mengenai urutan dan anjuran dalam tradisi tersebut secara keseluruhan sebanyak 54,8% memahami hal tersebut (tabel 5).
5)        Pemahaman hukum melaksanakan tradisi Rabu Kasan secara keseluruhan responden sebanyak 64,5% tidak paham hanya sekedar mengikuti karena sudah menjadi kebiasaan masyarakat Kuripan Lor (tabel 6).













BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN


5.1    Kesimpulan
Masyarakat Kuripan Lor mempunyai arti sekumpulan orang yang terdiri dari berbagai kalangan dan tinggal didalam wilayah Kelurahan Kuripan Lor, yang secara ekonomi terdiri dari kalangan orang mampu hingga orang yang tidak mampu. Masyarakat Kuripan Lor telah memiliki hukum adat, norma-norma dan berbagai peraturan serta tradisi yang siap untuk ditaati. Salah satu tradisi tersebut adalah Rabu Kasan atau Pungkasan.
Setidaknya ada dua makna yang terselubung dalam perayaan rebo kasan bagi masyarakat muslim Kelurahan Kuripan Lor, kedua makna tersebut adalah makna yang sangat sakral dan makna ketenangan dengan menggunakan simbol berbagai makanan dan udik-udikan sebagai tanda keselamatan dan tolak bala.
Warga masyarakat bertanggung jawab akan kelestarian budaya lokal sehingga pertama yang perlu disadari adalah bagaimana kita dapat menghargai budaya lokal tersebut. Menghargai erat kaitannya dengan adanya penghormatan, pengakuan, rasa memiliki, dan akhirnya menuju pada usaha-usaha untuk mau menjaga.
Salah satu kecenderungan yang tampak dengan jelas dari dinamika kehidupan masyarakat ini ialah perubahan-perubahan yang disebabkan oleh upaya-upaya di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang berlangsung kian cepat. Perubahan-perubahan tersebut terasa besar sekali pengaruhnya bagi berbagai aspek kehidupan, termasuk di dalamnya adalah pengaruh yang tak terhindarkan pada kehidupan budaya daerah dengan berbagai segi, termasuk seni dan tradisi. Hal ini tampak dalam rendahnya pemahaman masyarakat dalam suatu tradisi.
Untuk itulah diperlukan usaha preventif dengan mengukur tingkat pemahaman masyarakat terhadap tradisi tersebut, sehingga dapat lestari dan tetap dilaksanakan oleh generasi berikutnya.


5.2    Saran
1)      Eksistensi budaya dan tradisi selalu berada dalam jaringan strategis, baik dalam relasi dan interaksinya dengan seni lain maupun dalam relasi dan interaksinya dengan fenomena budaya yang lebih luas. Karenanya, kekhasan eksistensi tersebut harus dijaga keberlangsungannya.
2)      Saatnya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata menaruh perhatian lebih terhadap kearifan budaya lokal, bagaimana budaya lokal dapat di kemas seapik mungkin sehingga menimbulkan daya tarik. Penghargaan terhadap kearifan budaya lokal akan bermanfaat luas bagi terwujudnya warga Negara yang beradab dan demokratis apabila dapat dikolaborasi secara kreatif dan dinamis.
Adanya dukungan dan motivasi dari masyarakat pelaku tradisi ini terutama dalam pemahaman makna dan simbol, niscaya akan menjadikan tradisi tersebut tetap terjaga kelestariannya.