BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Hasil observasi yang menunjukkan
kurangnya perhatian siswa kelas VII D SMP Negeri 16 Pekalongan terhadap materi
kemampuan berbicara bahasa Jawa menyebabkan penguasaaan mereka pada materi ini masih
rendah. Hal ini disebabkan pembelajaran berbicara bahasa Jawa di SMP Negeri 16
Pekalongan masih mengacu pada model pembelajaran lihat, dengar, dan catat (LDC),
sehingga guru masih berperan sebagai subjek pembelajaran, sedangkan peran siswa
masih sebagai objek pembelajaran konvensional.
Masih rendahnya kemampuan berbicara
bahasa Jawa pada siswa tersebut, salah satunya disebabkan siswa kesulitan dalam
memahami pembelajaran berbicara bahasa Jawa, karena pembelajaran tidak dikuasai
oleh siswa. Penerapan berbicara bahasa Jawa belum diterapkan sepenuhnya dalam
proses belajar mengajar, karena guru masih menggunakan bahasa Indonesia sebagai
pengantar dalam pembelajaran bahasa Jawa, akibatnya siswa kurang menguasai
penggunaan berbicara bahasa Jawa dalam penerapan di sekolah maupun dalam
kehidupan sehari-hari.
Faktor yang mempengaruhi permasalahan
yang dihadapi siswa SMP Negeri 16 Pekalongan yang terletak di kelurahan Duwet
tersebut dalam kemampuan berbicara
bahasa Jawa masih rendah diantaranya: (1) siswa kurang minat dan motivasi dalam
pembelajaran keterampilan berbicara bahasa jawa, (2) guru kurang dalam penggunaan variasi
materi pembelajaran berbicara bahasa Jawa, (3) metode belajar tradisonal
ceramah lebih dominan sehingga menimbulkan kejenuhan dan kebosanan.
Kurang berminat dan motivasi siswa dalam
kemampuan berbicara bahasa Jawa, salah satunya disebabkan banyak siswa yang
beranggapan bahwa pelajaran bahasa Jawa merupakan salah satu pelajaran yang
sudah kuno dan siswa lebih menyukai belajar bahasa asing daripada bahasa Jawa.
Penggunaan berbicara bahasa Jawa yang digunakan siswa dalam berkomunikasi
sangat terbatas. Kebanyakan siswa berbicara sering menggunakan bahasa Indonesia
daripada menggunakan bahasa Jawa dalam berkomunikasi baik dalam lingkungan
sekolah maupun luar sekolah.
Guru kurang dalam penggunaan variasi
materi pembelajaran berbicara bahasa Jawa salah satunya penggunaan variasi
materi yang digunakan guru terbatas. Hal ini disebabkan karena proses
pembelajaran berbicara bahasa Jawa guru masih terpacu pada buku paket, LKS dan
buku pegangan, serta pada model pembelajaran lihat, dengar, dan catat (LDC),
sehingga siswa menjadi kejenuhan dan bosan dalam proses belajar mengajar.
metode pembelajaran kontekstual dengan tenik pemodelan menjadikan pembelajaran
berbicara bahasa Jawa lebih bermakna dan menarik bagi siswa.
Metode belajar tradisonal ceramah lebih
dominan sehingga menimbulkan kejenuhan dan kebosanan, karena metode yang
bervariatif serta kurangnya kegiatan yang dapat melatih siswa dalam berbicara
bahasa Jawa. Guru hanya menggunakan satu metode saja yaitu ceramah, sehingga
siswa hanya selalu disuruh menghafal. Metode ceramah ini membuat siswa menjadi
kurang kreatif dan menjadikan suasana kelas menjadi tegang dan menjenuhkan.
Metode pembelajaran kontekstual dengan
teknik bermain peran dan pemodelan perlu digunakan dalam meningkatkan kemampuan
berbicara bahasa Jawa pada siswa, disebabkan karena dalam kebiasaan pelaksanaan
Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) pada salah satu SMP Negeri 16 Pekalongan masih bersifat
konvensional, misalnya salah satu siswa mencatat materi pelajaran di papan
tulis dan siswa yang lain mencatat di buku tulis adalah pandangan sehari-hari dalam
Kegiatan Belajar Mengajar (KBM). Setelah siswa kelelahan mencatat selanjutnya
guru menerangkan atau ceramah di depan kelas, sehingga dalam proses belajar
mengajar seperti itu siswa tidak berperan aktif, menjadikan pelajaran bahasa
Jawa tidak meyenangkan dan membosankan bagi siswa.
Berbicara merupakan suatu keterampilan
mengujarkan bunyi-bunyi bahasa untuk menyampaikan pesan, berupa ide, gagasan,
maksud atau perasaan kepada orang lain. Pelaksanaan keterampilan berbicara
termasuk sulit diajarkan karena menutut kesiapan, mental dan keberanian siswa
untuk tampil di depan orang lain, sehingga dengan berbicara dapat berkomunikasi
antar sesama manusia, yaitu dengan menyampaikan pendapat, menyampaikan maksud,
pesan dan mengungkapkan perasaan dalam kaidah kondisi emosional.
Peningkatan
kemampuan berbicara bahasa Jawa dengan menggunakan metode pembelajaran kontekstual
dengan teknik bermain peran dan pemodelan diharapkan dapat meningkatkan
kemampuan berbicara pada siswa dengan berbagai model pembelajaran yang dipilih
sebagai solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut. Metode pembelajaran
kontekstual dengan teknik bermain peran dan pemodelan sangat membantu guru
menghubungkan mata pelajaran dengan situasi dunia nyata. Pembelajaran dapat
dikuasai dengan tuntas dalam menghubungkan pengetahuan dan menerapkan dalam
kehidupan sehari-hari.
B. Identifikasi
Masalah
Setelah
dilakukan proses pembelajaran Bahasa Jawa materi berbicara dengan tema Resik-resik
Omah di kelas VII D semester II, didapatkan hasil yang masih kurang. Data ini
diperoleh dari hasil evaluasi pada tahap pra siklus/observasi awal yaitu nilai
rata-rata kelas sebesar 57,83 dan hanya 4 dari 35 siswa kelas VII D yang mampu
mencapai ketuntasan belajar yaitu dengan memperoleh nilai ≥75 sesuai dengan
kriteria ketuntasan minimal (KKM) yang telah ditentukan. Berdasarkan hal
tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa sebagian besar siswa mengalami
kesulitan dalam memahami materi ini. Jika keadaan ini dibiarkan maka proses
pembelajaran akan kurang berhasil. Oleh karena itu perlu segera diadakan
perbaikan dalam proses pembelajarannya.
Bertolak
dari hal itu, penulis dengan dibantu teman sejawat mengidentifikasi
masalah-masalah terhadap kekurangan dalam proses pembelajaran Bahasa Jawa
materi berbicara ini. Berdasarkan hasil refleksi terungkap hal-hal sebagi
berikut:
1.
Siswa kurang berminat
pada proses pembelajaran.
2.
Siswa tidak bersemangat
dan bosan dalam mengikuti proses pembelajaran.
3.
Siswa tidak aktif dalam
pembelajaran.
4.
Siswa belum memahami
materi yang disampaikan guru.
5.
Metode pembelajaran
yang diterapkan kurang sesuai.
6.
Belum menggunakan media
pembelajaran.
7.
Sebagian besar siswa (31
orang) tidak tuntas belajar, dan nilai rata-rata kelas yang masih rendah.
C. Analisis
Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang
telah dikemukakan di atas dapat diidentifikasi beberapa permasalahan sebagai
berikut:
1. Kemampuan
berbicara bahasa Jawa pada siswa masih rendah.
2. Siswa
kurang berminat dan motivasi dalam pembelajaran kemampuan berbicara bahasa
Jawa.
3. Guru
kurang dalam penggunaan variasi materi pembelajaran berbicara bahasa Jawa pada
siswa.
4. Metode
belajar tradisonal ceramah lebih dominan sehingga menimbulkan kejenuhan dan
kebosanan.
D. Rumusan
Masalah dan Pemecahannya
Berdasarkan latar belakang yang telah
dikemukakan maka dapat dirumuskan masalah ”Apakah
metode pembelajaran kontekstual melaui teknik bermain peran dan pemodelan dapat
meningkatkan kemampuan berbicara bahasa Jawa pada siswa kelas VII D SMP Negeri
16 Pekalongan?”
Pemecahan
masalah dalam penelitian ini dilakukan dengan memberikan pembelajaran kepada
siswa tentang berbicara menggunakan Metode Pembelajaran Kontekstual melalui
Teknik Bermain Peran dan Pemodelan.
E. Tujuan
Penelitian
Berdasarkan
latar belakang dan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah
untuk meningkatkan kemampuan berbicara bahasa Jawa dengan metode pembelajaran
kontekstual melalui teknik bermain peran dan pemodelan pada siswa kelas VII D
SMP Negeri 16 Pekalongan.
F. Manfaat
Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian
ini dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu manfaat teoritis dan praktis.
1. Manfaat
teoritis
Penelitian ini
dapat memberikan sumbangan pada pemanfaatan teori tentang metode pembelajaran
bahasa Jawa khususnya dalam peningkatan kemampuan berbicara bahasa Jawa.
2. Manfaat
praktis
a)
Bagi guru dapat
menjadikan acuan dalam meningkatkan kreativitas mengajar dengan menggunakan
metode pembelajaran lain, yang baru bagi siswa. Sehingga siswa lebih aktif dan
kreatif dalam pembelajaran kemampuan berbicara bahasa Jawa.
b)
Bagi siswa untuk
mengubah pola pikir siswa untuk menghargai budaya sendiri dan tidak malu
menggunakan bahasa jawa dalam pergaulan sehari-hari, sehingga dapat
meningkatkan kemampuan berbicara bahasa Jawa dan budi pekerti yang baik di
lingkungan.
c)
Bagi sekolah, hasil
penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai masukan positif demi kemajuan
sekolah.
BAB II
KAJIAN
PUSTAKA
A. Diskripsi
Teori
1. Hakikat
Berbicara
a. Definisi
Berbicara
Berbicara
merupakan salah satu keterampilan berbahasa dalam kehidupan sehari-hari.
Seseorang lebih sering memilih berbicara untuk berkomunikasi, karena komunikasi
lebih efektif jika dilakukan dengan berbicara. Berbicara memegang peranan
penting dalam kehidupan sehari-hari.Beberapa ahli bahasa telah mendefinisikan
pengertian berbicara, diantaranya sebagai berikut :
Tarigan
(1986: 3) mengemukakan bahwa berbicara adalah kemampuan seseorang dalam
mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata yang bertujuan untuk
mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan dan perasaan
orang tersebut.
Kamus
Besar Bahasa Indonesia (1996: 144) berbicara adalah suatu berkata, bercakap,
berbahasa atau melahirkan pendapat, dengan berbicara manusia dapat
mengungkapkan ide, gagasan, perasaan kepada orang lain sehingga dapat
melahirkan suatu intraksi. Berdasarkan beberapa pengertian yang dikemukakan di
atas, dapat disimpulkan bahwa berbicara adalah suatu kemampuan seseorang untuk bercakap-cakap
dengan mengujarkan bunyi-bunyi bahasa untuk menyampaikan pesan berupa ide,
gagasan, maksud atau perasaan untuk melahirkan intraksi kepada orang lain.
b. Metode
Pembelajaran Berbicara
Pembelajaran
berbicara mempunyai sejumlah komponen yang pembahasanya diarahkan pada segi
metode pengajaran. Guru harus dapat mengajarkan keterampilan berbicara dengan
menarik dan bervariasi. MenurutTarigan (1987: 106) ada 4 metode pengajaran
berbicara antara lain:
1)
Percakapan
Percakapan
adalah pertukaran pikiran atau pendapat mengenai suatu topik tertentu antara
dua atau lebih pembaca. Greene dan Petty dalam Tarigan (1987: 106). Percakapan
selalu terjadi dua proses yakni proses menyimak dan berbicara secara simultan.
Percakapan biasanya dalam suasana akrab dan peserta merasa dekat satu sama lain
dan spontanlitas. Percakapan merupakan dasar keterampilan berbicara baik bagi
anak-anak maupun orang dewasa.
2)
Bertelepon
Menurut Tarigan
(1987: 124) telepon sebagai alat komunikasi yang sudah meluas sekali
pemakaianya. Keterampilan menggunakan telepon bisnis, menyampaikan berita atau
pesan. Penggunaan telepon menuntut syarat-syarat tertentu antara lain:
berbicara dengan bahasa yang jelas, singkat dan lugas. Metode bertelepon dapat
digunakan sebagai metode pengajaran berbicara. Melalui metode bertelepon
diharapkan siswa didik berbicara jelas, singkat dan lugas. Siswa harus dapat
menggunakan waktu seefisien mungkin.
3)
Wawancara
Menurut Tarigan
(1987: 126) wawancara atau interview sering digunakan dalam kehidupan
sehari-hari, misalnya wartawan mewawancarai para menteri, pejabat atau
tokoh-tokoh masyarakat mengenai isu penting.Wawancara dapat digunakan sebagai
metode pengajaran berbicara, pada hakekatnya wawancara adalah bentuk kelanjutan
dari percakapan atau tanya jawab. Percakapan dan tanya jawab sudah biasa
digunakan sebagai metode pengajaran berbicara.
4)
Diskusi
Diskusi sering
digunakan sebagai kegiatan dalam kelas. Metode diskusi sangat berguna bagi
siswa dalam melatih dan mengembangkan keterampilan berbicara dan siswa juga
turut memikirkan masalah yang didiskusikan. Menurut Kim Hoa Nio dalam Tarigan
(1987: 128) diskusi ialah proses pelibatan dua atau lebih individu yang
berintraksi secara verbal dan tatap muka, mengenai tujuan yang sudah tentu
melalui cara tukar menukar informasi untuk memecahkan masalah.
c. Faktor
penunjang keefektivan berbicara
Berbicara
adalah suatu kegiatan komunikasi antara 2 orang atau lebih menggunakan bahasa
lisan. Menurut Maidar dan Mukti (1993: 18) dalamberbicara ada beberapa faktor
yang menunjang keefektifan berbicara. Faktor-faktor tersebut antara lain :
1) Faktor
kebahasaan
· Ketepatan
ucapan, pengucapan bunyi-bunyian harus tepat, begitu juga dengan penempatan
tekanan, durasi, dan nada yang sesuai.
· Pemilihan
kata atau diksi, harus jelas, tepat dan bervariasi sehingga dapat memancing
kepahaman dari pendengar.
· Ketepatan
sasaran pembicara, pemakaian kalimat atau keefektivan kalimat memudahkan
pendengar untuk menangkap isi pembicaraan.
2) Faktor
non kebahasaan
· Sikap
yang tidak kaku.
· Kesediaan
menghargai pendapat.
· Pandangan
ke pendengar.
· Gerak-gerik
atau mimik tepat.
· Kenyaringan
suara.
· Kelancaran
berbicara.
· Penguasaan
topik.
d. Penilaian
Keterampilan Berbicara
Setiap
kegiatan belajar perlu diadakan penilaian, setelah proses belajar mengajar itu
selesai. Penilaian ini dapat diperoleh melalui tes. Tes merupakan alat yang
dapat digunakan untuk mengukur atau mengetahui sejauh mana siswa mampu
mengikuti proses belajar mengajar yang telah berlangsung. Cara yang dapat
digunakan untuk mengetahui sejauh mana siswa mampu berbicara adalah tes
kemampuan keterampilan berbicara. Pada prinsipnya ujian keterampilan berbicara
memberikan kesempatan kepada siswa untuk berbicara yang difokuskan pada praktik
berbicara.
Penilaian
di dalam keterampilan berbicara ditentukan dari 2 hal, yaitu faktor kebahasaan
dan faktor non kebahasaan (Nurgiyantoro, 1995: 152). Penilaian dari faktor
kebahasaan meliputi: (1) Ucapan, (2) tata bahasa, (3) kosakata, sedangkan
penilaian dari faktor non kebahasaan meliputi: (1) ketenangan, (2) volume
suara, (3) Kelancaran, (4) pemahaman.
e. Prinsip-prisip
Pembelajaran Berbicara
Pembelajaran
berbicara perlu memahami beberapa prinsip-prinsip yang mendasari kegiatan
berbicara. Bahasa Jawa itu tidak sulit, tetapi juga tidak semudah membalik
telapak tangan, yang penting adalah kemauan dan ketekunan. Menurut H. Douglas
Brown mengemukan lima prinsip belajar berbicara yang efektif berikut ini:
1)
Gaya hidup (Life style)
Praktek dalam
kehidupan sehari-hari, jika siswa ingin belajar berbicara bahasa Jawa dengan
efektif, siswa harus menjadikan bahasa Jawa sebagai bagian dari kehidupan.
Artinya, setiap hari siswa berbicara dengan menggunakan bahasa Jawa, pada
setiap ada kesempatan yang ditemui baik dalam lingkungan sekolah maupun dalam kehidupan
sehari-hari. Bahasa Jawa juga disebut sebagai bahasa ibu karena bahasa Jawa
telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari.
2)
Kemauan (Total komitmen)
Kemauan untuk
menjadikan bahasa Jawa sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan
sehari-hari. Siswa harus memiliki komitmen untuk melibatkan bahasa Jawa dalam
hidup secara fisik, secara mental, dan secara emosional. Secara fisik, siswa
harus bisa mencoba mendengar, membaca dan menulis. Penggunan berbicara bahasa
Jawa terus-menerus dan berulang-ulang, misalnya dalam memahami bahasa Jawa,
jangan kata per-kata, tapi arti secara keseluruhan. Paling penting adalah
keterlibatan secara emosional dengan bahasa Jawa, yaitu perlu memiliki motivasi
yang tinggi untuk belajar berbicara bahasa Jawa.
3)
Mencoba / berlatih (Triying)
Pada tahap
pembelajaran (tahap percobaan), sangat wajar jika melakukan kesalahan, yang
penting adalah mengetahui kesalahan yang dilakukan dan memperbaiki dikesempatan
yang berikutnya. Siswa tidak usah malu bertanya dengan menggunakan bahasa Jawa
dan tidak usah takut melakukan kesalahan dari pertanyaan yang diajukan,
sehingga dengan kesalahan itu siswa bisa belajar banyak dari kesalahan yang
dilakukan dan berusaha memperbaiki kesalahan tersebut.
4)
Pelajaran dalam kelas (Beyond class)
Belajar bahasa
Jawa secara formal (di kelas), biasanya jam-jam belajar sangat terbatas, karena
seminggu hanya satu jam atau dua jam pelajaran, yang pasti jam belajar di kelas
ini tentunya sangat terbatas. Belajar bisa lebih efektif, harus menciptakan
kesempatan untuk belajar juga di luar jam-jam belajar dikelas (in formal),
seperti: berdikusi dengan teman dan berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa
dengan teman-teman, dengan percakapan langsung.
5)
Strategi
Komitmen, keberanian mencoba, dan menjadikan
bahasa Jawa sebagaibagian hidup yang telah diterapkan. Langkah selanjutnya
adalah menerapkan strategi belajar yang tepat untuk menujang proses belajar.
Strategi ini bisa dikembangkan dan disesuaikan dengan kepribadiaan dan gaya
belajar masing-masing siswa, misalnya belajar berbicara bahasa Jawa dengan
menggunakan bermain peran dan percakapan. Berbicara bahasa Jawa tersebut
mencakup tentang bertanya, mendengar, memperbaiki ucapan dan meningkatkan kosa-kata
siswa dengan gaya belajar.
2.
Hakikat Metode
Pembelajaran Kontekstual dengan Tehnik Bermain Peran dan Pemodelan
a. Definisi
Pembelajaran Kontekstual
Menurut
Knowles dalam Sudjana (2005: 14) metode adalah pengorganisasian peserta didik
di dalam upaya mencapai tujuan. Metode kontekstual atau dikenal dengan istilah
metode pembelajaran kontekstual menurut Mulyasa (2006: 102) merupakan konsep
pembelajaran yang menekankan pada keterkaitan antara materi pembelajaran dengan
dunia kehidupan siswa secara nyata, sehingga siswa mampu menghubungkan dan menerapkan
kompetensi hasil belajar dalam kehidupan sehari-hari.
Sesuai
dengan pendapat Sanjaya (2006: 109) Metode pembelajaran kontekstual adalah
suatu pendekatan pembelajaran yang menekankan pada proses keterlibatan siswa
secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkan
dengan situasi kehidupan nyata, sehingga mendorong siswa untuk menerapkannya
dalam kehidupan. Pengertian tersebut terdapat tiga konsep metode pembelajaran
kontekstual yaitu:
1) Metode
pembelajaran kontekstual menekankan pada proses keterlibatan siswa untuk
menemukan materi artinya proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman
secara langsung.
2) Metode
pembelajaran kontekstual mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan antara
materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata. Artinya siswa dituntut
untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan
kehidupan nyata, sehingga materi akan bermakna dan tertanam erat dalam memori
siswa sehingga tidak mudah terlupakan.
3) Metode
pembelajaran kontekstual mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam
kehidupan artinya, metode pembelajaran kontekstual bukan hanya mengharapkan
siswa dapat memahami materi yang dipelajari.
b. Pendekatan
Metode Pembelajaran Kontekstual
Sebagai
satu konsep pendekatan kontekstual merupakan padanan dan istilah metode
pembelajaran kontekstual sebagai satu konsep yang memiliki definisi:
Menurut
Suprijono (2010: 79) metode pembelajaran kontekstual dapat didefinisikan
sebagai mengajar dan belajar yang membantu guru menghubungkan mata pelajaran
dengan situasi nyata dan yang memotivasi siswa agar menghubungkan pengetahuan
dan terapannya dengan kehidupan sehari-hari sebagai anggota keluarga dan
masyarakat.
Menurut
Sanjaya, (2006: 225) metode pembelajaran kontekstual adalah suatu strategi pembelajaran
yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat
menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan
nyata, sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan
mereka.
Kedua
pendekatan di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kontekstual adalah
pembelajaran yang memungkinkan siswa menguatkan, memperluas dan menerapkan
pengetahuan dan keterampilan akademik mereka dalam berbagai macam tatanan dalam
sekolah dan luar sekolah agar dapat memecahkan masalah-masalah dunia nyata atau
masalah-masalah yang disimulasikan. Pembelajaran kontekstual merupakan prosedur
pendidikan yang bertujuan membantu peserta didik memahami makna bahan pelajaran
yang mereka pelajari dengan cara menghubungkanya dengan konteks kehidupan
mereka sendiri dalam lingkungan sosial dan budaya masyarakat.
c. Strategi
Pembelajaran Kontekstual
Strategi
pembelajaran merupakan kegiatan yang dipilih dapat memberikan fasilitas atau
bantuan kepada peserta didik untuk mencapai tujuan pembelajaran. Strategi
berupa urut-urutan kegiatan yang dipilih untuk menyampaikan metode pembelajaran
dalam lingkungan tertentu, yang mencakup pengaturan materi pembelajaran yang
akan disampaikan kepada peserta didik.
Berdasarkan
Center for Occupational Research and Development(CORD) dalam Suprijono
(2010: 83) penerapan strategi pembelajaran kontekstual digambarkan sebagai
berikut:
·
Relating,
merupakan kerangka kerja yang dirancang guru untuk membantu peserta didik agar
yang dipelajari bermakna dalam konteks pengalaman hidup siswa pada peristiwa
dan kondisi sehari-hari.
·
Experiencing, belajar
adalah kegiatan ”mengalami” peserta didik berproses secara aktif dengan hal
yang dipelajari dan berupaya melakukan eksplorasi terhadap hal yang dikaji, berusaha
menemukan dan menciptakan hal baru dari apa yang dipelajarinya.
·
Applying,
belajar menekankan pada proses mendemotrasikan pengetahuan yang dimiliki dalam
konteks dan pemanfaatanya.
·
Comperating, belajar
merupakan proses kolaboratif dan kooperatif melalui belajar berkelompok,
komunikasi interpersonal atau hubungan intersubjektif. Strategi pembelajaran
yang utama dalam pengajaran kontekstual dengan pengalaman bekerjasama tidak
hanya membantu sebagian besar siswa untuk mempelajari bahan ajar.
·
Transferring, belajar
menekankan pada terwujudnya kemampuan memanfaatkan pengetahuan dalam situasi
atau konteks.
Pembelajaran
kontekstual diawali dengan pengaktifan pengetahuan yang sudah ada atau yang
telah dimiliki peserta didik, sehingga memperoleh pengetahuan baru dengan cara
mempelajari secara keseluruhan dan memperhatikan secara detail. Metode
pembelajaran kontekstual dengan teknik pemodelan menawarkan strategi
pembelajaran yang memungkinkan siswa dalam belajar lebih bermakna dan
menyenangkan. Strategi yang ditawarkan dalam metode pembelajaran kontekstual
ini diharapkan dapat membantu siswa aktif dan kreatif.
d. Definisi
Teknik Bermain Peran
Menurut
Tarigan (1987: 122) metode bermain peran sangat baik dalam mendidik siswa dalam
menggunakan ragam-ragam bahasa. Berbicara orangtua tentu berbeda dengan cara
berbicara dengan anak-anak. Fungsi dan peranan seorang menuntut cara berbicara
dan berbahasa tertentu. Bermain peran siswa bertindak, berlaku dan berbahasa
sesuai dengan perananya, misalnya sebagai guru, siswa atau sebagai orang tua,
karena setiap tokoh yang diperankan menurut karakteristik tertentu.
Menurut
Sanjaya (2006: 161) bermain peran adalah pembelajaran sebagai bagian dari
simulasi yang diarahkan untuk mengkreasi peristiwa-peristiwa aktual atau
kejadian yang mungkin akan muncul pada masa mendatang.
Berdasarkan
beberapa pengertian yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa teknik
bermain peran adalah suatu pembelajaran sebagai bagian dari simulasi yang
diarahkan untuk mengkreasi peristiwa-peristiwa atau kejadian yang mungkin akan
muncul pada masa mendatang yang peranya sangat baik dalam mendidik siswa dalam
menggunakan ragam bahasa Jawa.
e. Definisi
Teknik Pemodelan
Menurut
Sanjaya (2006: 267) pemodelan merupakan proses pembelajaran dengan memperagakan
sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa. Pembelajaran
kontekstual, guru bukanlah model satu-satunya, tetapi dapat juga guru
memanfaatkan siswa yang dianggap memiliki kemampuan. Seorang siswa dapat
ditunjuk untuk menjadi model di hadapan teman lainnya, misalnya dalam
memperagakan unggah-ungguh dengan bermain peran antara murid dengan guru dan
murid dengan murid. Proses pemodelan tidak terbatas dari guru saja, akan tetapi
dapat juga guru memanfaatkan siswa yang dianggap memiliki kemampuan.
Menurut
Suprijono (2010: 88) pembelajaran kontekstual menekankan arti penting
pendemotrasian terhadap hal yang dipelajari peserta didik. Pemodelan memusatkan
pada arti penting pengetahuan prosedural. Melalui pemodelan peserta didik dapat
meniru terhadap hal yang dimodelkan. Model bisa berupa cara mengoperasikan
sesuatu, seperti berbicara bahasa jawa dalam lingkungan sekolah, lingkungan
keluarga maupun dalam lingkungan masyarakat.
Pemodelan
merupakan asas yang cukup penting dalam pebelajaran kontekstual, sebab melalui
pemodelan siswa dapat terhindar dari pembelajaran yang teoritis abstrak yang
dapat memungkinkan terjadinya verbalisme.
B. Kerangka
Berfikir
Keterampilan berbicara bahasa Jawa pada
siswa SMP Negeri 16 Pekalongan
khususnya kelas VII
D masih sangat rendah. Rendahnya keterampilan
berbicara bahasa Jawa pada siswa disebabkan oleh berbagai faktor salah satunya
adalah penggunaan metode pembelajaran yang kurang efektif, karena selama ini
siswa dituntut untuk menghafal bukan memahami setiap materi pembelajaran yang diberikan
guru, sehingga dalam proses pembelajaran bahasa Jawa menimbulkan kebosanan pada
diri siswa. Strategi pembelajaran yang tidak sesuai dengan karaktristik siswa
dapat menyebabkan kejenuhan bagi siswa, sehingga mengakibatkan kemampuan
berbicara bahasa Jawa pada siswa rendah.
Metode pembelajaran kontekstual
merupakan mengajar dan belajar yang membantu guru menghubungkan mata pelajaran
dengan situasi nyata dan memotivasi siswa agar menghubungkan pengetahuan dan
terapannya dengan kehidupan sehari-hari sebagai anggota keluarga dan
masyarakat. Pembelajaran kontekstual dengan teknik bermain peran dan pemodelan
diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam berbicara bahasa Jawa,
sehingga mampu menghubungkan pengetahuan siswa yang diperoleh di kelas dan
menerapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Penggunaan metode pembelajaran
kontekstual dengan tehnik bermain peran dan pemodelan untuk pembelajaran
berbicara bahasa Jawa dapat menjadi salah satu metode yang efektif dan
memotivasi siswa untuk aktif dalam pembelajaran berbicara bahasa Jawa. Siswa
akan menjadi terpacu atau termotivasi dalam pembelajaran keterampilan berbicara
bahasa Jawa, karena siswa dapat memaknai dan mengaplikasikan kemampuan mereka
dalam kehidupan sehari-hari. Melalui metode pembelajaran kontekstual dengan
tehnik bermain peran dan pemodelan dapat meningkatkan kemampuan berbicara
bahasa Jawa pada siswa.
C. Hipotesis
Hipotesis tindakan penelitian ini adalah
penggunaan metode pembelajaran kontekstual dengan teknik bermain peran dan
pemodelan dapat meningkatkan kemampuan berbicara bahasa Jawa pada siswa kelas
VII D SMP Negeri 16 Pekalongan.
BAB
III
PELAKSANAAN
PENELITIAN
A.
Setting
dan Subjek Penelitian
1.
Tempat
dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di SMP Negeri 16 Pekalongan, yang
beralamat di Jalan Ampera Km. 1 Kelurahan Duwet Pekalongan,
tepatnya di kelas VII D tahun pelajaran 2016/2017.
Waktu penelitian adalah pada semester II tahun pelajaran 2016/2017,
dimulai pada bulan Februari sampai dengan bulan April 2017, dengan alasan
karena pada bulan tersebut adalah saat penyampaian materi berbicara. Adapun jadwal waktu
kegiatan penelitiannya adalah sebagai berikut:
Tabel
3.1
Jadwal Waktu Kegiatan
Penelitian
No |
Kegiatan |
Februari |
Maret |
April |
||||||||
1 |
2 |
3 |
4 |
5 |
1 |
2 |
3 |
4 |
1 |
2 |
||
1. |
Penyusunan
proposal |
X |
X |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
2. |
Revisi
proposal |
|
|
X |
|
|
|
|
|
|
|
|
3. |
Persiapan
penelitian |
|
|
|
X |
X |
|
|
|
|
|
|
4. |
Pra
Siklus |
|
|
|
|
|
X |
|
|
|
|
|
5. |
Tindakan
Siklus I |
|
|
|
|
|
|
X |
|
|
|
|
6. |
Tindakan
Siklus II |
|
|
|
|
|
|
|
X |
|
|
|
7. |
Interpretasi,
penyimpulan data |
|
|
|
|
|
|
|
|
X |
|
|
8. |
Penyusunan
laporan |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
X |
X |
2.
Subjek
Penelitian
Subjek
penelitiannya adalah siswa kelas VII D SMP Negeri 16 Pekalongan Tahun
pelajaran 2016/2017, dengan jumlah siswa 32 orang terdiri dari 18 orang
laki-laki dan 14 orang perempuan. Kelas ini dijadikan subjek penelitian karena
merupakan kelas yang hasil belajarnya paling rendah dibandingkan kelas VII A, VII B, VII C, VII E
dan VII F, dimana keenam
kelas tersebut adalah kelas yang diampu penulis.
3.
Pihak
yang Membantu Penelitian
Pihak-pihak yang membantu penelitian
tindakan kelas ini adalah:
a.
Sunarto, M.Si selaku
Kepala SMP Negeri 16
Pekalongan.
b.
Bapak Mirza Rofiq, S.Pd selaku teman
sejawat dan kolaborator dalam penelitian ini.
c.
Rekan-rekan guru SMP
Negeri 16 Pekalongan yang
memberikan dorongan moral juga saran dan masukan yang positif untuk penelitian
ini.
B.
Prosedur
Penelitian
Penelitian ini
menggunakan desain Penelitian Tindakan Kelas (PTK), artinya objek penelitian
ini adalah proses pembelajaran yang merupakan interaksi antara guru, siswa, dan
bahan ajar.
Penelitian ini
menggunakan dua siklus, yaitu siklus I dan siklus II. Masing-masing siklus
terdiri dari empat kegiatan yaitu perencanaan, pelaksanaan/tindakan, observasi,
dan refleksi.
1.
Siklus I
Siklus I dilaksanakan dalam dua kali
pertemuan (4 x 40 menit). Adapun tahapan dalam siklus I ini adalah sebagai
berikut:
a. Perencanaan
Perencanaan ini merupakan refleksi awal
dari kegiatan penelitian. Berdasarkan hasil evaluasi pembelajaran pra siklus,
maka disusun perencanaan sebagai berikut:
1) Menyusun
Rencana Program Pembelajaran
2) Menyiapkan
media pembelajaran berbicara berupa naskah
dialog “Resik-resik Omah”
3) Menyiapkan
naskah dialog dari buku sumber
4) Menyusun
lembar observasi, dan pedoman wawancara.
5) Menyusun
alat evaluasi untuk mengukur penguasaan materi.
b. Pelaksanaan
1)
Peneliti (guru) membuka
pembelajaran dengan kegiatan apersepsi yaitu menanyakan kepada siswa bagaimana
kebiasaan mereka ketika berbicara kepada orang yang lebih tua atau teman sebaya
dalam kehidupan sehari-hari?
2)
Selanjutnya Peneliti
(guru) memotivasi siswa dengan menampilkan adegan
orang berdialog atau berbicara melalui LCD proyektor.
3)
Kemudian Peneliti
(guru) menyampaikan tujuan pembelajaran.
4)
Peneliti (guru)
mendemonstrasikan cara berbicara
yang baik dengan orang tua atau teman sebaya.
5)
Siswa menyimak dan
mengeksplorasi materi dari demonstrasi model atau teman sebaya.
6)
Pada pertemuan kedua
siswa diberikan soal evaluasi memahami
isi dialog dengan menyusun pesan atau himbauan dari
dialog tersebut dalam bahasa ngoko dan mengubah teks pesan berbahasa Jawa ngoko
ke krama.
c. Observasi
1)
Peneliti (guru) dan
kolaborator/observer mengamati perilaku siswa selama proses pembelajaran.
2)
Mengamati perilaku
siswa saat mengerjakan soal evaluasi.
3)
Mengoreksi dan
mengamati hasil evaluasi pembelajaran siswa.
4)
Mengamati dan mencatat
jawaban siswa yang diwawancara.
d. Refleksi
1)
Menganalisis hasil
observasi dan evaluasi pembelajaran siswa untuk membuat simpulan sementara
terhadap pelaksanaan siklus I.
2)
Peneliti (guru) dan
kolaborator/observer mendiskusikan hasil analisis untuk kegiatan pembelajaran
pada siklus II.
3)
Berdasarkan analisis
data dan diskusi dengan kolaborator, peneliti dan kolaborator menemukan satu treatment yang akan dilakukan dalam
pembelajaran siklus II yaitu dengan mengelompokkan siswa menjadi beberapa
kelompok dengan dua atau tiga orang siswa yang dianggap pandai untuk menjadi model
pada kelompoknya masing-masing.
2.
Siklus II
Siklus II juga dilaksanakan dalam dua
kali pertemuan (4 x 40 menit). Adapun tahapannya adalah sebagai berikut:
a. Perencanaan
Berdasarkan refleksi
pada siklus I, maka disusun perencanaan sebagai berikut:
1)
Menyusun Rencana
Program Pembelajaran dengan pembagian kelompok siswa dan penunjukkan model
untuk bermain peran sesuai dengan tehnik pemebalajaran yang digunakan..
2)
Menyiapkan media
pembelajaran dan naskah dialog Berbicara.
3)
Menyiapkan buku sumber.
4)
Menyusun lembar
observasi, dan pedoman wawancara.
5)
Menyusun alat evaluasi
untuk mengukur penguasaan materi.
b. Pelaksanaan
1)
Peneliti (guru) membuka
pembelajaran dengan kegiatan apersepsi yaitu menanyakan kepada siswa bahasa yang baik ketika berbicara dengan orang tua
atau dengan teman sebaya?
2)
Selanjutnya Peneliti
(guru) memotivasi siswa dengan bercerita tentang cara berbicara dan memahami dialog.
3)
Kemudian Peneliti
(guru) menyampaikan tujuan pembelajaran.
4)
Peneliti (guru)
mendemonstrasikan naskah dialog cara berbicara dengan menggunakan bahasa yang baik dan
memahami situasi ketika berbicara.
5)
Siswa menyimak dan
mengeksplorasi materi dari demonstrasi guru.
6)
Siswa dibagi kedalam
beberapa kelompok yang beranggotakan 4-5 orang siswa.
7)
Dua atau tiga siswa
pada masing-masing kelompok ditunjuk sebagai model untuk bermain peran dalam
pembelajaran.
8)
Masing-masing kelompok memilih
model dan mencoba mendemonstrasikan cara berbicara
dengan bermain peran menggunakan naskah dialog
yang temanya sudah ditentukan.
9)
Pada pertemuan kedua
siswa diberikan soal evaluasi memahami
isi dialog.
c. Observasi
1)
Peneliti (guru) dan
kolaborator/observer mengamati perilaku siswa selama proses pembelajaran.
2)
Mengamati siswa setelah
dikelompokkan dan setelah bermain peran dengan pemodelan.
3)
Mengamati perilaku
siswa saat mengerjakan soal evaluasi.
4)
Mengoreksi dan
mengamati hasil evaluasi pembelajaran siswa.
5)
Mengamati dan mencatat
jawaban siswa yang diwawancara.
d. Refleksi
1)
Menganalisis hasil
observasi dan evaluasi pembelajaran siswa untuk membuat simpulan terhadap
pelaksanaan siklus II.
2)
Membandingkan hasil tes
evaluasi pembelajaran pada siklus II dengan siklus I.
3)
Refleksi aktivitas
yaitu dengan cara memperhatikan kejadian-kejadian selama proses pembelajaran
yang dicatat pada lembar observasi dan dibandingkan dengan hasil observasi yang
dicapai siswa pada siklus I, sebagai upaya evaluasi yang dilakukan guru dan
kolabolator dalam penelitian tindakan kelas.
4)
Peneliti (guru) dan
kolaborator/observer mendiskusikan terhadap berbagai masalah yang muncul di
kelas penelitian yang diperoleh dari analisis data sebagai bentuk dari pengaruh tindakan yang telah dirancang.
5)
Menelaah aspek-aspek
mengapa, bagaimana, dan sejauh mana tindakan yang dilakukan mampu
memperbaiki masalah secara optimal
C.
Instrumen
Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam
penelitian ini terdiri atas instrumen tes dan instrumen non tes. Instrumen tes
berupa soal tertulis, yaitu soal-soal yang berkaitan dengan pemahaman konsep berbicara. Sedangkan instrumen
non tes berupa lembar observasi, dan pedoman wawancara.
D.
Teknik
Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan dua
teknik pengumpulan data, yaitu teknik tes dan teknik non tes. Teknik tes
dilakukan pada saat pembelajaran sedang berlangsung. Teknik non tes yang
digunakan adalah observasi dan wawancara. Teknik observasi dilakukan pada saat
pembelajaran berlangsung dan diperuntukkan bagi seluruh siswa. Wawancara
dilakukan setelah proses pembelajaran dan digunakan untuk mengungkap data
penyebab kesulitan dan hambatan yang dialami siswa dalam proses pembelajaran.
E.
Teknik
Analisis Data
Analisis data dalam
penelitian ini menggunakan teknik deskriptif komparatif, yaitu dengan
membandingkan data-data yang diperoleh dari pra siklus, siklus I, dan siklus
II, dimana terdiri dari dua teknik analisis data yaitu teknik kuantitatif dan
teknik kualitatif. Teknik kuantitatif dipakai untuk menganalisis data
kuantitatif yang diperoleh dari hasil tes. Analisis data tes secara kuantitatif
dilakukan dengan merekap skor yang diperoleh siswa, menghitung skor rata-rata
kelas, dan menghitung persentase. Hasil perhitungan nilai siswa dari
masing-masing tes di siklus I dan siklus II ini kemudian dibandingkan. Hasil
ini akan memberikan gambaran mengenai persentase kemampuan siswa tentang tata
cara berbicara dan memahami isi pesan dalam suatu dialog.
Teknik kualitatif digunakan untuk
menganalisis data yang sifatnya kualitatif, yaitu data yang diperoleh dari
hasil data non tes. Data kualitatif dalam penelitian ini berasal dari hasil
observasi, dan wawancara. Analisis data ini dilakukan dengan menelaah seluruh
data non tes yang diperoleh.
F.
Indikator
Keberhasilan
Keberhasilan
dalam penelitian ini diukur dari adanya peningkatan kemampuan siswa tentang cara
berbicara, baik secara
individual maupun klasikal. Keberhasilan individual ditentukan dengan nilai
minimal yang harus dicapai oleh siswa adalah 75 (KKM), sedangkan keberhasilan
klasikal adalah siswa yang mendapat nilai 75 setidaknya berjumlah 85% dari
seluruh siswa di kelas yang diteliti ini.
Indikator
keberhasilan ditetapkan kriteria bahwa semakin meningkat perolehan hasil tes
pada kategori diatasnya menunjukkan kriteria peningkatan pembelajaran dalam
penelitian tindakan kelas ini. Jadi seumpama pada siklus II kategori kemampuan
lebih besar daripada siklus I berarti terjadi peningkatan yang positif
sebagaimana terlihat pada tabel berikut ini:
Tabel 3.2
Kualifikasi
Tingkat Kemampuan
Kategori |
Interval
Nilai |
Sangat Mampu |
91 – 100 |
Mampu |
75 – 90 |
Kurang Mampu |
61 – 74 |
Tidak Mampu |
0 – 60 |
Penelitian ini akan dihentikan jika ≥
85% siswa dikelas tersebut sudah mencapai kategori mampu (75-90) atau sangat mampu (91-100.)
BAB
IV
HASIL
PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Deskripsi Pra Siklus
Sebelum penulis membahas deskripsi siklus I dan siklus
II, penulis terlebih dahulu menyajikan data-data sebelum diadakan perbaikan
pembelajaran (pra siklus), data-data tersebut adalah sebagai berikut:
a. Catatan guru
1) Sebagian besar siswa (95%) terlihat jenuh, bosan, dan kebingungan
saat guru menjelaskan cara-cara berbicara dalam berdialog.
2) Saat guru bertanya “apakah kalian sudah bisa?,
sebagian besar siswa terdiam, dan ada yang menjawab “bisa”, tetapi beberapa
siswa terdengar menjawab “tidak bisa”.
3) Terdapat beberapa siswa yang terpecah konsentrasinya saat
guru memberikan penjelasan cara berbicara.
4) Ada 2-4 orang siswa yang asyik bermain dan berbicara
sendiri.
5) Guru merasa kebingungan apa yang harus dilakukan
dengan keadaan kelasnya.
6) Pada saat mengerjakan soal tes evaluasi sebagian besar
siswa saling menengok hasil pekerjaan siswa lain.
7) Terdapat 2 orang siswa yang dengan percaya diri
mengerjakan soal tes evaluasi.
8)
Beberapa siswa terlihat terdiam dan belum mengerjakan soal evaluasi
walaupun waktu sudah berjalan sekitar 15 menit.
b. Data nilai hasil evaluasi belajar siswa
Tabel 4.1
Hasil
Belajar Pra Siklus |
||||
Materi
Berbicara Kelas VII D |
||||
No |
Nama |
Prasiklus |
||
Nilai |
Tidak
tuntas |
Tuntas |
||
1 |
ABDILLAH SAIFULLAH |
50 |
√ |
|
2 |
AHMAD ABAS |
45 |
√ |
|
3 |
AISYATUL HIDAYAH |
36 |
√ |
|
4 |
BUDI WIRAKARYA |
40 |
√ |
|
5 |
DEFVI SABILLAH |
55 |
√ |
|
6 |
DHI'FAN ABGHI |
60 |
√ |
|
7 |
DIMAS LEO FIKRI |
64 |
√ |
|
8 |
FAJAR ADITYA PERMANA |
48 |
√ |
|
9 |
FATAKHI SAUQI |
64 |
√ |
|
10 |
FIQI MUNYANI PUTRI |
56 |
√ |
|
11 |
HADI MAULANA |
78 |
|
√ |
12 |
HAIKAL FAHRUDIN |
52 |
√ |
|
13 |
ISTIKHAROH |
56 |
√ |
|
14 |
IVAN MAULANA |
56 |
√ |
|
15 |
KHALUL ANAM |
64 |
√ |
|
16 |
KURNIA SAFITRI |
32 |
√ |
|
17 |
M. RENOV ARDIANSYAH |
52 |
√ |
|
18 |
MAHLUL ADITIYA |
56 |
√ |
|
19 |
MOH. SAMSUL HUDA |
60 |
√ |
|
20 |
MUHAMMAD RIZQI |
80 |
|
√ |
21 |
MUSLIKHUN |
60 |
√ |
|
22 |
NADZARRUDIN MUTTAQIN |
48 |
√ |
|
23 |
NAILATUS SA'ADAH |
64 |
√ |
|
24 |
NAYLUL MUNA |
86 |
|
√ |
25 |
NUR JAMILAH |
68 |
√ |
|
26 |
REZA APRILIA |
72 |
√ |
|
27 |
RISKA FITRIANI |
80 |
|
√ |
28 |
RISTA NAWANG SARI |
64 |
√ |
|
29 |
SEVY DWI AULIA |
56 |
√ |
|
30 |
SINTYA DEWI P. |
52 |
√ |
|
No |
Nama |
Pra Siklus |
||
Nilai |
Tidak
Tuntas |
Tuntas |
||
31 |
SITI MAULIDIAH |
35 |
√ |
|
32 |
TEGAR HIRMANSYAH |
45 |
√ |
|
|
Jumlah |
1770 |
28 |
4 |
|
Nilai Rata - rata |
55,31 |
- |
- |
|
Nilai Tertinggi |
86 |
- |
- |
|
Nilai Terendah |
32 |
- |
- |
KKM |
75 |
- |
- |
|
|
Persentase |
- |
87,5% |
12,5% |
Dari tabel 4.1
di atas terlihat hasil belajar siswa materi berbicara pada kondisi awal, dari 32
siswa hanya 4 siswa (12,5%) yang mencapai ketuntasan belajar (KKM 75),
sedangkan 28 siswa (87,5%) lainnya belum tuntas belajar. Dan jika dikelompokkan
ke dalam kelompok rentang nilai, maka akan tampak seperti pada tabel berikut:
Tabel 4.2
Hasil Belajar Berdasarkan Kelompok Rentang Nilai
Pra siklus
Rentang Nilai |
Frek |
Persentase |
|
1 |
91
– 100 |
0 |
0
% |
2 |
75
– 90 |
4 |
12,5
% |
3 |
61
– 74 |
7 |
21,9
% |
4 |
≤
60 |
21 |
65,6
% |
Jika data pada
tabel 4.2 di atas ditransformasikan dalam tingkat kemampuan berdasar tabel 3.2,
maka akan tampak hasilnya seperti pada grafik di bawah ini:
Grafik 4.1
Tingkat Kemampuan Siswa pada Berbicara
Pra siklus
21 7 4 0
2. Tindakan Siklus I
a.
Perencanaan
Berdasarkan hasil observasi terhadap proses pembelajaran dan hasil belajar
siswa pada kondisi awal (pra siklus), dapat diperoleh informasi sebagai data
awal penelitian. Hasil catatan pengamatan guru menunjukkan proses pembelajaran
tidak berjalan efektif. Siswa merasa kesulitan memahami materi sehingga membuat
mereka bosan dan malas untuk mengerjakan soal evaluasi yang diberikan oleh
guru, dan pada akhirnya hasil belajar merekapun menjadi sangat kurang yaitu
dari 32 siswa kelas VII D SMP Negeri 16 Pekalongan hanya terdapat 4 siswa yang
telah mencapai KKM dan 28 lainya masih belum mencapai batas ketuntasan minimal.
Atas dasar hal tersebut, guru (peneliti) melakukan koordinasi dengan
kolaborator/observer tentang alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi
masalah tersebut diatas.
Berdasarkan hasil koordinasi dengan kolaborator, peneliti memilih mencoba
menggunakan metode
pembelajaran kontekstual melaui teknik bermain peran dan pemodelan untuk meningkatkan kemampuan
siswa dalam materi berbicara.
Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam persiapan pembelajaran adalah
sebagai berikut :
1)
Menyusun Rencana
Program Pembelajaran
2)
Menyiapkan materi
berbicara dengan metode pembelajaran kontekstual melalui teknik bermain peran
dan pemodelan
3)
Menyiapkan buku sumber
dan naskah dialog dengan tema yang sudah ditentukan.
4)
Menyusun lembar
observasi, dan pedoman wawancara.
5)
Menyusun alat evaluasi
untuk mengukur penguasaan materi.
b.
Pelaksanaan
Dalam tahap ini, guru (peneliti) melaksanakan pembelajaran dengan
menggunakan metode pembelajaran kontekstual melaui
teknik bermain peran dan pemodelan sesuai dengan rencana yang telah disusun.
Pada siklus ini materi yang diajarkan adalah cara berbicara dengan
menggunakan naskah dialog. Kegiatan diawali dengan doa bersama, kemudian
dilanjutkan dengan mengabsen siswa. Sebagai kegiatan awal, guru melakukan
apersepsi menanyakan kepada siswa bagaimanakah
cara berbicara yang baik?, kemudian memberi motivasi kepada siswa dengan
menampilkan adegan orang berdialog melalui LCD proyektor, dan dilanjutkan
dengan menyampaikan tujuan pembelajaran yang hendak dicapai yaitu siswa dapat berbicara
yang baik.
Pada kegiatan inti, guru (peneliti) menjelaskan dan mendemonstrasikan
cara berbicara yang baik dengan menggunakan naskah bacaan dialog, kemudian
memberikan latihan soal memahami cara berbicara kepada siswa dan memantau siswa
dalam mengerjakan latihan soal tersebut.
Pada kegiatan akhir, guru (peneliti) membimbing siswa membuat simpulan,
memberikan kesempatan bertanya untuk siswa yang masih belum mampu menguasai
materi, dan menyampaikan rencana pertemuan berikutnya.
Pada pertemuan kedua dilaksanakan evaluasi pembelajaran dengan pemberian
soal tes evaluasi kepada siswa.
c.
Observasi
Dalam tahap ini, guru (peneliti) secara kolaboratif dengan kolaborator
melakukan pengamatan terhadap pelaksanaan pembelajaran yang dilaksanakan dengan
menggunakan alat bantu berupa lembar observasi. Observasi ini dilakukan untuk
memperoleh data mengenai kesesuaian pelaksanaan pembelajaran dengan rencana
pembelajaran yang telah disusun serta mengetahui seberapa besar pembelajaran
dengan menggunakan metode
pembelajaran kontekstual melaui teknik bermain peran dan pemodelan materi
berbicara pada siswa kelas VII D SMP Negeri 16 Pekalongan tahun pelajaran 2016/2017.
Oleh karena itu pengamatan tidak hanya ditujukan pada aktivitas siswa dalam
proses pembelajaran, namun juga pada aspek tindakan guru dalam melaksanakan
pembelajaran, termasuk suasana kelas pada setiap pertemuan.
1)
Data hasil observasi
Berdasarkan hasil observasi
yang dilakukan oleh observer/kolaborator, diperoleh temuan-temuan sebagai
berikut :
a)
Aspek Guru
·
Guru sudah menyesuaikan kegiatan apersepsi dengan
materi pelajaran
·
Guru sudah menyampaikan kompetensi yang akan
dicapai
·
Guru sudah menguasai materi pelajaran
·
Guru sudah melakukan pembelajaran inovatif
·
Guru sudah membuat siswa aktif dalam pembelajaran
·
Guru sudah memantau kemajuan belajar siswa
·
Guru sudah menggunakan bahasa yang baik, benar
dan sesuai
·
Guru sudah melakukan refleksi dan tindak lanjut
b)
Aspek siswa
·
Siswa aktif memperhatikan penjelasan guru
·
Siswa aktif menjawab pertanyaan guru
·
Rasa ingin tahu dan keberanian siswa cukup tinggi
·
Kreatifitas dan inisiatif siswa meningkat
·
Siswa aktif mengerjakan tugas.
c)
Catatan observer/kolaborator
·
Hampir seluruh siswa terlihat tertarik dalam
pembelajaran dengan model bermain peran dan pemodelan pembelajaran yang dilakukan
oleh masing-masing kelompoknya. Siswa yang duduk di kursi belakang berdiri dan
berusaha untuk melihat pemodelan atau tampilan yang dilakukan oleh temannya.
·
Saat pembelajaran berlangsung siswa antusias
mengikuti dan memperhatikan demonstrasi cara berbicara dengan tehnik bermain
peran dan pemodelan temannya.
·
Ada 5 orang siswa yang berdiri untuk melihat
demonstrasi yang dilakukan oleh teman dari kelompok lain, dan siswa yang berada
di belakangnya ribut memprotes siswa yang berdiri karena menghalangi pandangan.
·
Terdapat sebagian siswa yang masih terlihat
bingung.
·
Pada saat guru membuka kesempatan bertanya,
beberapa siswa mengajukan pertanyaan terkait cara berbicara yang baik dalam
bahasa jawa ini.
·
Ada siswa yang terlihat bertanya kepada teman
satu mejanya.
·
Saat dilakukan tes evaluasi, sebagian besar siswa
terlihat serius dan tekun mengerjakan soal, tetapi sebagian yang lain masih
terlihat kesulitan dan berusaha menengok hasil pekerjaan temannya.
2)
Data hasil tes evaluasi belajar siswa
Data hasil tes evaluasi belajar siswa pada siklus I tampak seperti pada
tabel berikut ini:
Tabel 4.4
Hasil
Belajar Siklus 1 |
|
||||
Materi
Berbicara Kelas VII D |
|
||||
No |
Nama |
Prasiklus |
|||
Nilai |
Tidak
tuntas |
Tuntas |
|||
1 |
ABDILLAH SAIFULLAH |
76 |
√ |
||
2 |
AHMAD ABAS |
70 |
√ |
||
3 |
AISYATUL HIDAYAH |
80 |
√ |
||
4 |
BUDI WIRAKARYA |
72 |
√ |
||
5 |
DEFVI SABILLAH |
76 |
√ |
||
6 |
DHI'FAN ABGHI |
70 |
√ |
||
7 |
DIMAS LEO FIKRI |
76 |
√ |
||
8 |
FAJAR ADITYA PERMANA |
76 |
√ |
||
9 |
FATAKHI SAUQI |
76 |
√ |
||
10 |
FIQI MUNYANI PUTRI |
80 |
√ |
||
11 |
HADI MAULANA |
52 |
√ |
||
12 |
HAIKAL FAHRUDIN |
76 |
√ |
||
13 |
ISTIKHAROH |
78 |
√ |
||
14 |
IVAN MAULANA |
76 |
√ |
||
15 |
KHALUL ANAM |
76 |
√ |
||
16 |
KURNIA SAFITRI |
52 |
√ |
||
17 |
M. RENOV ARDIANSYAH |
64 |
√ |
||
18 |
MAHLUL ADITIYA |
64 |
√ |
||
19 |
MOH. SAMSUL HUDA |
50 |
√ |
||
20 |
MUHAMMAD RIZQI |
80 |
√ |
||
21 |
MUSLIKHUN |
80 |
√ |
||
22 |
NADZARRUDIN MUTTAQIN |
60 |
√ |
||
23 |
NAILATUS SA'ADAH |
76 |
√ |
||
24 |
NAYLUL MUNA |
80 |
√ |
||
25 |
NUR JAMILAH |
85 |
√ |
||
26 |
REZA APRILIA |
90 |
√ |
||
27 |
RISKA FITRIANI |
90 |
√ |
||
28 |
RISTA NAWANG SARI |
80 |
√ |
||
29 |
SEVY DWI AULIA |
68 |
√ |
||
30 |
SINTYA DEWI PRIYANTI |
68 |
√ |
||
No |
Nama |
Pra Siklus |
|||
Nilai |
Tidak
Tuntas |
Tuntas |
|||
31 |
SITI MAULIDIAH |
60 |
√ |
||
32 |
TEGAR HIRMANSYAH |
78 |
√ |
||
|
Jumlah |
2335 |
12 |
20 |
|
|
Nilai Rata - rata |
73 |
|||
|
Nilai Tertinggi |
90 |
|||
|
Nilai Terendah |
50 |
|||
KKM |
75 |
||||
|
Persentase |
- |
37,5% |
62,5 |
|
Tabel 4.5
Hasil Belajar Siklus I
Berdasarkan Tingkat Kemampuan
No. |
Rentang Nilai |
Kualifikasi |
Frek |
Persentase |
1 |
91 – 100 |
Sangat mampu |
0 |
0 % |
2 |
75 – 90 |
Mampu |
20 |
62,5 % |
3 |
61 – 74 |
Kurang mampu |
7 |
21,9 % |
4 |
≤ 60 |
Tidak mampu |
5 |
15,6 % |
Grafik 4.2
Tingkat Kemampuan Siswa pada Materi Membaca
Siklus I
7 20
d.
Refleksi
Berdasarkan analisis data yang dilakukan
terhadap data hasil observasi maupun data hasil tes evaluasi, disimpulkan bahwa
pembelajaran secara umum mengalami peningkatan dan perbaikan tetapi belum
mencapai atau memenuhi indikator keberhasilan yang telah ditetapkan. Nilai
rata-rata kelas yang dicapai pada siklus I ini adalah 73 dan persentase
ketuntasan klasikalnya masih 62,5% (20 siswa), sedangkan nilai ketuntasan
klasikal pada indikator keberhasilan adalah 85%. Jadi nilai ketuntasan klasikal
pada siklus I ini masih dibawah indikator keberhasilan. Dari analisis data
hasil observasi juga disimpulkan ternyata ada beberapa siswa yang kesulitan
melihat demonstrasi bermain peran dari teman kelompok lain dan sebagian siswa
yang lain tidak berani bertanya kepada guru, sehingga menjadikan mereka tidak mampu
memahami cara berbicara yang baik dan nilai yang terkandung dari suatu dialog.
Dari hasil analisis data tersebut,
peneliti dan kolaborator/observer akhirnya mengambil keputusan untuk
melaksanakan pembelajaran siklus II , dengan beberapa treatment sebagai berikut:
1.
Memaksimalkan tehnik
bermain peran dengan pemodelan dalam pembelajaran cara berbicara dalam bahasa
jawa.
2.
Mengefektifkan kerja
kelompok dengan membagi siswa menjadi beberapa kelompok yang beranggotakan 4-5
orang siswa.
3.
Menunjuk salah dua atau
tiga siswa dalam kelompoknya
masing-masing untuk menjadi model bagi siswa lainnya.
3.
Tindakan Siklus II
a.
Perencanaan
Berdasarkan refleksi pada
siklus I, guru (peneliti) dan kolaborator/observer merencanakan kegiatan
pembelajaran siklus II sebagai berikut:
6) Menyusun
Rencana Program Pembelajaran dengan pembagian kelompok siswa dan penunjukan model
dalam setiap kelompoknya.
7) Menyiapkan
media pembelajaran berupa naskah dialog
dalam bahasa jawa.
8) Menyiapkan
buku sumber
9) Menyusun
lembar observasi, dan pedoman wawancara.
10)
Menyusun alat evaluasi
untuk mengukur penguasaan materi.
b.
Pelaksanaan
Dalam tahap ini, guru
(peneliti) melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan tehnik bermain peran
dan pemodelan sesuai dengan rencana yang telah disusun.
Pada siklus II ini materi
yang diajarkan adalah cara berbicara dan memahami makna dalam dialog dengan
menggunakan bahasa jawa.
Kegiatan diawali dengan doa
bersama, kemudian dilanjutkan dengan mengabsen siswa. Sebagai kegiatan awal,
guru melakukan apersepsi dengan menanyakan kepada
siswa apakah dalam setiap dialog terkandung makna atau pesan?, dilanjutkan memotivasi
siswa dengan bercerita tentang makna atau pesan dalam suatu dialog, kemudian menyampaikan tujuan
pembelajaran yang hendak dicapai yaitu siswa mampu melakukan bicara yang baik
serta menangkap pesan atau maknanya yang terkandung dalam suatu dialog.
Pada kegiatan inti, guru
(peneliti) menjelaskan dan bermain peran dengan menunjuk beberapa anak untuk
menjadi model, membagi siswa menjadi beberapa kelompok yang beranggotakan 4-5
orang siswa dan menunjuk salah satu siswa pada masing-masing kelompok untuk
menjadi model dalam bermain peran, memberikan soal latihan dan memantau siswa
dalam mengerjakan soal latihan tersebut.
Pada kegiatan akhir, guru
(peneliti) membimbing siswa membuat simpulan, memberikan kesempatan bertanya
untuk siswa yang masih belum mampu menguasai materi, dan menyampaikan rencana
pertemuan berikutnya.
Pada pertemuan kedua
dilaksanakan evaluasi pembelajaran dengan pemberian soal tes evaluasi kepada
siswa.
c.
Observasi
1)
Data hasil observasi
Berdasarkan hasil observasi
yang dilakukan oleh observer/kolaborator, diperoleh temuan-temuan sebagai
berikut :
a)
Aspek Guru
i)
Guru sudah menyesuaikan kegiatan apersepsi dengan
materi pelajaran
ii)
Guru sudah menyampaikan kompetensi yang akan
dicapai
iii)
Guru sudah menguasai materi pelajaran
iv)
Guru sudah melakukan pembelajaran inovatif
v)
Guru memaksimalkan dalam pembelajaran dengan
tehnik bermain peran dan pemodelan.
vi)
Guru sudah membuat siswa aktif dalam pembelajaran
vii)
Guru sudah mengaktifkan siswa yang paling mampu
untuk menjadi model.
viii)
Guru sudah memantau kemajuan belajar siswa
ix)
Guru sudah menggunakan bahasa yang baik, benar
dan sesuai
x)
Guru sudah melakukan refleksi dan tindak lanjut
b)
Aspek siswa
i)
Siswa aktif memperhatikan penjelasan guru
ii)
Siswa aktif menjawab pertanyaan guru
iii)
Rasa ingin tahu dan keberanian siswa cukup tinggi
iv)
Kreatifitas dan inisiatif siswa meningkat
v)
Siswa yang mampu berusaha membantu memberi
penjelasan kepada siswa lainnya tentang cara berbicara yang baik serta
menangkap makna atau pesan dalam sebuah dialog
vi)
Siswa aktif mengerjakan soal.
c)
Catatan observer/kolaborator
i)
Seluruh siswa antusias mengikuti dan
memperhatikan cara berbicara dengan tehnik bermain peran dan pemodelan.
ii)
Siswa yang ditunjuk sebagai model terlihat sangat
serius dalam memerankan peran dalam sebuah dialog, dan beberapa diantara mereka
mengajukan pertanyaan kepada guru.
iii)
Saat diskusi kelompok berlangsung, masing-masing
anggota kelompok memperhatikan tampilan para model yang sedang berdialog saat
bermain peran.
iv)
Beberapa anggota kelompok bertanya kepada model
dan beberapa anggota yang lain meminta untuk mengulang lagi tampilan dialognya.
v)
Para Model terlihat mengetes beberapa siswa
anggota kelompok untuk mencoba mengulangi cara bicara dengan naskah dialog.
2)
Data hasil tes evaluasi belajar siswa
Data hasil tes evaluasi
belajar siswa siklus II terlihat dalam tabel berikut ini:
Tabel 4.6
Hasil Belajar Siklus II |
||||
Materi Berbicara Kelas VII D |
||||
No |
Nama |
Siklus II |
||
Nilai |
Tidak tuntas |
Tuntas |
||
1 |
ABDILLAH SAIFULLAH |
80 |
|
√ |
2 |
AHMAD ABAS |
60 |
√ |
|
3 |
AISYATUL HIDAYAH |
80 |
√ |
|
4 |
BUDI WIRAKARYA |
72 |
√ |
|
5 |
DEFVI SABILLAH |
80 |
|
√ |
6 |
DHI'FAN ABGHI |
85 |
|
√ |
No |
Nama |
Siklus 2 |
||
Nilai |
Tidak Tuntas |
Tuntas |
||
7 |
DIMAS LEO FIKRI |
85 |
|
√ |
8 |
FAJAR ADITYA PERMANA |
80 |
|
√ |
9 |
FATAKHI SAUQI |
80 |
|
√ |
10 |
FIQI MUNYANI PUTRI |
90 |
|
√ |
11 |
HADI MAULANA |
80 |
|
√ |
12 |
HAIKAL FAHRUDIN |
100 |
|
√ |
13 |
ISTIKHAROH |
80 |
|
√ |
14 |
IVAN MAULANA |
85 |
|
√ |
15 |
KHALUL ANAM |
65 |
√ |
|
16 |
KURNIA SAFITRI |
86 |
√ |
|
17 |
M. RENOV ARDIANSYAH |
85 |
|
√ |
18 |
MAHLUL ADITIYA |
80 |
|
√ |
19 |
MOH. SAMSUL HUDA |
90 |
|
√ |
20 |
MUHAMMAD RIZQI |
80 |
|
√ |
21 |
MUSLIKHUN |
90 |
|
√ |
22 |
NADZARRUDIN MUTTAQIN |
80 |
|
√ |
23 |
NAILATUS SA'ADAH |
100 |
|
√ |
24 |
NAYLUL MUNA |
100 |
|
√ |
25 |
NUR JAMILAH |
80 |
|
√ |
26 |
REZA APRILIA |
100 |
|
√ |
27 |
RISKA FITRIANI |
100 |
|
√ |
28 |
RISTA NAWANG SARI |
100 |
|
√ |
29 |
SEVY DWI AULIA |
85 |
|
√ |
30 |
SINTYA DEWI PRIYANTI |
76 |
√ |
|
31 |
SITI MAULIDIAH |
80 |
√ |
|
32 |
TEGAR HIRMANSYAH |
65 |
√ |
|
|
Jumlah |
2679 |
4 |
28 |
|
Nilai
Rata - rata |
83,7 |
- |
- |
|
Nilai
Tertinggi |
100 |
- |
- |
|
Nilai
Terendah |
60 |
- |
- |
KKM |
75 |
|||
|
Persentase |
- |
12,5% |
87,5% |
Tabel 4.7
Hasil Belajar Siklus II
Berdasarkan Tingkat Kemampuan
No. |
Rentang
Nilai |
Kualifikasi |
Frek |
Persentase |
1 |
91 – 100 |
Sangat paham |
6 |
18,8 % |
2 |
75 – 90 |
Paham |
22 |
68,8 % |
3 |
61 – 74 |
Kurang paham |
3 |
9,4 % |
4 |
≤ 60 |
Tidak paham |
1 |
3,1% |
Grafik 4.3
Tingkat Kemampuan Siswa pada Materi Berbicara
Siklus II
d.
Refleksi
Setelah peneliti melakukan analisis data
yang ada pada siklus II ini, disimpulkan bahwa kelas terlihat kondusif,
pembelajaran berjalan dengan baik dan lebih meningkat dari siklus I. Siswa
kelihatan aktif pembelajaran dan gurupun merasa tenang dan nyaman dengan
keadaan kelas tersebut.
Dari data nilai tes evaluasi terlihat
peningkatan nilai rata-rata kelas dari 73 pada siklus I, meningkat menjadi 83,7
pada siklus II. Persentase ketuntasan klasikal juga meningkat dari 62,5% pada
siklus I, menjadi 87,5% pada siklus II. Data ini jika dikomparatifkan dengan
indikator keberhasilan yang sudah ditetapkan yaitu nilai ketuntasan klasikal
85%, maka kegiatan pembelajaran pada siklus II ini dinyatakan sudah memenuhi
indikator keberhasilan tersebut. oleh karena itu penelitian ini dihentikan pada
siklus II saja dan tidak memerlukan siklus selanjutnya.
B. Pembahasan Hasil Penelitian
Dari data hasil penelitian di atas,
dapat dilihat perbandingan masing-masing tahap mulai dari pra siklus, siklus I,
dan siklus II seperti tampak dalam grafik-grafik berikut ini:
Grafik 4.4
Perbandingan Antar Siklus
Tingkat Kemampuan Siswa pada Materi Berbicara
Grafik 4.5
Perbandingan Antar Siklus
Ketuntasan Belajar Siswa pada Materi Berbicara
Grafik 4.6
Perbandingan Antar Siklus
Nilai Rata-rata Kelas
Hasil pengolahan data di atas dapat
disimpulkan bahwa proses perbaikan pembelajaran berjalan dengan baik dan hasil
belajar siswa juga baik. Hasil belajar
siswa pada materi berbicara dalam bahasa jawa meningkat secara bertahap.Sebelum
diadakan perbaikan (pra siklus) nilai rata-rata kelas hanya 55,31
meningkat menjadi 73 pada siklus I dan 83,7
pada siklus II. Persentase ketuntasan siswa dalam pembelajaran juga mengalami
peningkatan. Sebelum diadakan perbaikan pembelajaran siswa yang tuntas hanya 12,5%
atau hanya 4 dari 32 siswa yang ada di kelas VII D tersebut, setelah diadakan
perbaikan pembelajaran siswa yang tuntas meningkat menjadi 62,5% pada siklus I
dan pada siklus II siswa yang tuntas meningkat lagi menjadi 87,5%.
Pada siklus I terjadi peningkatan dan
perbaikan dalam proses pembelajaran dan hasilnya. Peningkatan ini terlihat
cukup signifikan. Walaupun begitu pada siklus I ini ternyata belum memenuhi
atau mencapai indikator keberhasilan yang telah ditetapkan. Hasil dari refleksi
yang dilakukan oleh peneliti ternyata ada beberapa siswa yang kesulitan menangkap
pesan dan makna yang terkandung dalam suatu dialog dari permainan peran yang
diperagakan oleh model. Hal ini disebabkan karena dalam pembelajaran klasikal
tidak semua anak memperhatikan pementasan peran
dan ada beberapa siswa yang tidak berani bertanya kepada guru walaupun
ia merasa belum memahami materi yang disampaikan oleh guru atau saat permainan
peran yang dimainkan oleh para model tersebut. Dari dua penyebab kekurangan
ini, akhirnya peneliti mengambil langkah untuk mengubah strategi pembelajaran
yang awalnya klasikal menjadi pembelajaran kolaboratif (kelompok). Karena
menurut Anitah W (2013:3.5) pembelajaran kolaboratif memiliki manfaat sebagai
berikut: 1) meningkatkan pengetahuan anggota kelompok, 2) pebelajar belajar
memecahkan masalah bersama dalam kelompok, 3) memupuk rasa kebersamaan antar
siswa, 4) meningkatkan keberanian memunculkan ide atau pendapat untuk pemecahan
masalah bagi setiap individu yang diarahkan untuk mengajarkan atau memberitahu
kepada teman kelompoknya jika mengetahui dan menguasai permasalahan, 5) memupuk
rasa tanggungjawab individu dalam mencapai suatu tujuan bersama, 6) setiap
anggota melihat dirinya sebagai milik kelompok yang merasa memiliki
tanggungjawab karena kebersamaan dalam belajar menyebabkan mereka juga sangat
memperhatikan kelompok.
Pada siklus II, proses pembelajaran dan
hasilnya lebih meningkat lagi
dibandingkan siklus I. Data pada siklus II menunjukkan nilai rata-rata kelas
adalah 83,7 dan nilai ketuntasan klasikalnya adalah 87,5%. Ini menunjukkan
bahwa kegiatan perbaikan pembelajaran yang dilakukan pada siklus II ini sudah
memenuhi bahkan melebihi dari indikator keberhasilan yang telah ditetapkan
yaitu ketuntasan klasikal 85%. Jadi hipotesis tindakan yang diajukan peneliti
yaitu bahwa pembelajaran dengan menggunakan tehnik peran dengan pemodelan dapat
meningkatkan kemampuan materi berbicara bahasa jawa pada siswa kelas VII D SMP
Negeri 16 Pekalongan tahun pelajaran 2016/2017 telah terbukti.
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan deskripsi hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab
IV dapat disimpulkan
bahwa, dalam proses
pembelajaran dengan metode pembelajaran kontekstual
dengan teknik bermain
peran dan pemodelan
dapat meningkatkan kemampuan
berbicara bahasa Jawa.
Peningkatan hasil dapat
dilihat pada nilai-nilai rata-rata dari pra tindakan hingga siklus II, nilai rata-rata pada pra tindakan sebesar 55,31 meningkat menjadi 73 pada siklus I, meningkat menjadi 83,7
pada siklus II. Hasil pada siklus II dengan nilai rata-rata 87,5 menujukkan bahwa siswa telah memenuhi nilai kriteria
ketuntasan minimal sebesar 85.
Selain
itu, penelitian ini
juga menghasilkan perubahan
sikap siswa menjadi lebih termotivasi dalam
belajar berbicara bahasa
Jawa. Terbukti dengan
menggunakan metode pembelajaran
kontekstual dengan teknik pemodelan telah mendapatkan perubahan
hasil yang berupa
perubahan siswa dari
awalnya belum mampu memahami
materi menjadi mampu memahami materi pembelajaran berbicara bahasa Jawa. Peningkatan proses
dapat dilihat dari
keaktifan siswa yang
ditandai dengan peningkatan
aktivitas siswa dalam
bertanya, berpendapat dan
ketenangan siswa pada
saat melakukan praktik
di depan kelas.
Pada setiap pertemuan
siswa sudah mulai
dapat menerapkan bahasa
Jawa dengan guru,
mengukapkan pendapat dan menjawab pertanyaan dengan menggunakan bahasa Jawa.
B.
Implikasi
Metode
pembelajaran kontekstual dengan
teknik bermain peran
dan pemodelan dapat digunakan oleh guru bahasa Jawa di SMP Negeri 16 Pekalongan sebagai alternatif metode pembelajaran yang tepat
dalam pembelajaran kemampuan berbicara bahasa
Jawa. Metode pembelajaran
kontekstual dengan teknik bermain
peran danpemodelan dapat meningkatkan
kemampuan berbicara bahasa
Jawa, khususnya memotivasi siswa
dalam belajar antar
teman.
Metode pembelajaran kontekstual dengan teknik
bermain peran dan pemodelan dapat digunakan guru sebagai metode dalam pembelajaran berbicara bahasa Jawa, sehingga metode
pembelajaran disekolah dapat lebih bervariasi.
Oleh karena itu, metode pembelajaran kontekstual dengan teknik bermain peran dan pemodelan dapat diterapkan dalam proses pembelajaran berbicara
bahasa Jawa
.
C. Saran
Saran yang dapat diberikan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1.
Penggunaan metode pembelajaran kontekstual dengan teknik bermain peran dan
pemodelan sebagai metode pembelajaranberbicara bahasa Jawa ini hendaknya
membutuhkan perencanaan yang matang terutama pada media pembelajaran dan teks dialog
percakapan, agar kemampuan siswa dalam berbicara bahasa Jawa semakin meningkat.
2.
Guru Bahasa Jawa disarankan menggunakan metode pembelajaran kontekstual dengan teknik
bermain peran dan pemodelan untuk mengajarkan materi lain tidak terbatas pada
pembelajaran berbicara bahasa Jawa, misalnya pembelajaran sesorah, pranatacara,
pelajaran unggah ungguh bahasa Jawa dan sebagainya.
3.
Bagi peneliti berikutnya diharapkan untuk lebih meningkatkan kemampuan berbicara
bahasa Jawa, terutama pada aspek pelafalan, aspek diksi, aspek kelancaran
berbicara dan aspek runtut, logis dan kreatif, karena kemampuan aspek tersebut masih kurang.
Daftar Pustaka
Arikunto, S. 2006. Prosedur
Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:RinekaCipta.
Arsyad, Maidar dan
Mukti.1988. Pembinaan Kemampuan Berbicara Bahasa Indonesia. Jakarta:
Erlangga.
Depdikbud.1996. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Makalah Seminar
Nasional. Pembelajaran Bahasa
dan Satra Daerah
Dalam Kerangka Budaya. 2007. Jurusan Pendidikan Bahasa Jawa.
Madya, S. 2006. Teori dan
Praktik Penelitian Tindakan Kelas (ActionResearch ). Bandung: Alfabeta.
Moleong, L. 2008. Metodologi
Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Nurgiyantoro, B. 1988.Penilaian
Dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra.Yogyakarta:BPFE.
Sanjaya, W. 2007.Strategi
Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Suprijono, A. 2010, Cooperative
Learning Teori dan Aplikasi Paikem.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Susilo. 2007. Penelitian
Tindakan Kelas. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.
Tarigan, H. 1979. Berbicara
Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa Bandung.
___1986.Berbicara Sebagai
Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
_______1987.Tehnik
Pengajaran Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
_______1997.Pengembangan
Keterampilan Berbicara. Jakarta: Depdikbud.
Parjono, dkk. 2007. Panduan
Penelitian Kelas. Yogyakarta: Lembaga Penelitian UNY.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar