Kamis, 02 Mei 2024

UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERBICARA BAHASA JAWA DENGAN METODE PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL MELALUI TEKNIK BERMAIN PERAN DAN PERMODELAN PADA SISWA KELAS VII D SEMESTER II TAHUN PELAJARAN 2016 / 2017 SMP NEGERI 16 PEKALONGAN

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah

Hasil observasi yang menunjukkan kurangnya perhatian siswa kelas VII D SMP Negeri 16 Pekalongan terhadap materi kemampuan berbicara bahasa Jawa menyebabkan penguasaaan mereka pada materi ini masih rendah. Hal ini disebabkan pembelajaran berbicara bahasa Jawa di SMP Negeri 16 Pekalongan masih mengacu pada model pembelajaran lihat, dengar, dan catat (LDC), sehingga guru masih berperan sebagai subjek pembelajaran, sedangkan peran siswa masih sebagai objek pembelajaran konvensional.

Masih rendahnya kemampuan berbicara bahasa Jawa pada siswa tersebut, salah satunya disebabkan siswa kesulitan dalam memahami pembelajaran berbicara bahasa Jawa, karena pembelajaran tidak dikuasai oleh siswa. Penerapan berbicara bahasa Jawa belum diterapkan sepenuhnya dalam proses belajar mengajar, karena guru masih menggunakan bahasa Indonesia sebagai pengantar dalam pembelajaran bahasa Jawa, akibatnya siswa kurang menguasai penggunaan berbicara bahasa Jawa dalam penerapan di sekolah maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Faktor yang mempengaruhi permasalahan yang dihadapi siswa SMP Negeri 16 Pekalongan yang terletak di kelurahan Duwet tersebut dalam  kemampuan berbicara bahasa Jawa masih rendah diantaranya: (1) siswa kurang minat dan motivasi dalam pembelajaran keterampilan berbicara bahasa jawa,     (2) guru kurang dalam penggunaan variasi materi pembelajaran berbicara bahasa Jawa, (3) metode belajar tradisonal ceramah lebih dominan sehingga menimbulkan kejenuhan dan kebosanan.

Kurang berminat dan motivasi siswa dalam kemampuan berbicara bahasa Jawa, salah satunya disebabkan banyak siswa yang beranggapan bahwa pelajaran bahasa Jawa merupakan salah satu pelajaran yang sudah kuno dan siswa lebih menyukai belajar bahasa asing daripada bahasa Jawa. Penggunaan berbicara bahasa Jawa yang digunakan siswa dalam berkomunikasi sangat terbatas. Kebanyakan siswa berbicara sering menggunakan bahasa Indonesia daripada menggunakan bahasa Jawa dalam berkomunikasi baik dalam lingkungan sekolah maupun luar sekolah.

Guru kurang dalam penggunaan variasi materi pembelajaran berbicara bahasa Jawa salah satunya penggunaan variasi materi yang digunakan guru terbatas. Hal ini disebabkan karena proses pembelajaran berbicara bahasa Jawa guru masih terpacu pada buku paket, LKS dan buku pegangan, serta pada model pembelajaran lihat, dengar, dan catat (LDC), sehingga siswa menjadi kejenuhan dan bosan dalam proses belajar mengajar. metode pembelajaran kontekstual dengan tenik pemodelan menjadikan pembelajaran berbicara bahasa Jawa lebih bermakna dan menarik bagi siswa.

Metode belajar tradisonal ceramah lebih dominan sehingga menimbulkan kejenuhan dan kebosanan, karena metode yang bervariatif serta kurangnya kegiatan yang dapat melatih siswa dalam berbicara bahasa Jawa. Guru hanya menggunakan satu metode saja yaitu ceramah, sehingga siswa hanya selalu disuruh menghafal. Metode ceramah ini membuat siswa menjadi kurang kreatif dan menjadikan suasana kelas menjadi tegang dan menjenuhkan.

Metode pembelajaran kontekstual dengan teknik bermain peran dan pemodelan perlu digunakan dalam meningkatkan kemampuan berbicara bahasa Jawa pada siswa, disebabkan karena dalam kebiasaan pelaksanaan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) pada salah satu SMP Negeri 16 Pekalongan masih bersifat konvensional, misalnya salah satu siswa mencatat materi pelajaran di papan tulis dan siswa yang lain mencatat di buku tulis adalah pandangan sehari-hari dalam Kegiatan Belajar Mengajar (KBM). Setelah siswa kelelahan mencatat selanjutnya guru menerangkan atau ceramah di depan kelas, sehingga dalam proses belajar mengajar seperti itu siswa tidak berperan aktif, menjadikan pelajaran bahasa Jawa tidak meyenangkan dan membosankan bagi siswa.

Berbicara merupakan suatu keterampilan mengujarkan bunyi-bunyi bahasa untuk menyampaikan pesan, berupa ide, gagasan, maksud atau perasaan kepada orang lain. Pelaksanaan keterampilan berbicara termasuk sulit diajarkan karena menutut kesiapan, mental dan keberanian siswa untuk tampil di depan orang lain, sehingga dengan berbicara dapat berkomunikasi antar sesama manusia, yaitu dengan menyampaikan pendapat, menyampaikan maksud, pesan dan mengungkapkan perasaan dalam kaidah kondisi emosional.

Peningkatan kemampuan berbicara bahasa Jawa dengan menggunakan metode pembelajaran kontekstual dengan teknik bermain peran dan pemodelan diharapkan dapat meningkatkan kemampuan berbicara pada siswa dengan berbagai model pembelajaran yang dipilih sebagai solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut. Metode pembelajaran kontekstual dengan teknik bermain peran dan pemodelan sangat membantu guru menghubungkan mata pelajaran dengan situasi dunia nyata. Pembelajaran dapat dikuasai dengan tuntas dalam menghubungkan pengetahuan dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari.

B.       Identifikasi Masalah

Setelah dilakukan proses pembelajaran Bahasa Jawa materi berbicara dengan tema Resik-resik Omah di kelas VII D semester II, didapatkan hasil yang masih kurang. Data ini diperoleh dari hasil evaluasi pada tahap pra siklus/observasi awal yaitu nilai rata-rata kelas sebesar 57,83 dan hanya 4 dari 35 siswa kelas VII D yang mampu mencapai ketuntasan belajar yaitu dengan memperoleh nilai ≥75 sesuai dengan kriteria ketuntasan minimal (KKM) yang telah ditentukan. Berdasarkan hal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa sebagian besar siswa mengalami kesulitan dalam memahami materi ini. Jika keadaan ini dibiarkan maka proses pembelajaran akan kurang berhasil. Oleh karena itu perlu segera diadakan perbaikan dalam proses pembelajarannya.

Bertolak dari hal itu, penulis dengan dibantu teman sejawat mengidentifikasi masalah-masalah terhadap kekurangan dalam proses pembelajaran Bahasa Jawa materi berbicara ini. Berdasarkan hasil refleksi terungkap hal-hal sebagi berikut:

1.        Siswa kurang berminat pada proses pembelajaran.

2.        Siswa tidak bersemangat dan bosan dalam mengikuti proses pembelajaran.

3.        Siswa tidak aktif dalam pembelajaran.

4.        Siswa belum memahami materi yang disampaikan guru.

5.        Metode pembelajaran yang diterapkan kurang sesuai.

6.        Belum menggunakan media pembelajaran.

7.        Sebagian besar siswa (31 orang) tidak tuntas belajar, dan nilai rata-rata kelas yang masih rendah.

C.      Analisis Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas dapat diidentifikasi beberapa permasalahan sebagai berikut:

1.    Kemampuan berbicara bahasa Jawa pada siswa masih rendah.

2.    Siswa kurang berminat dan motivasi dalam pembelajaran kemampuan berbicara bahasa Jawa.

3.    Guru kurang dalam penggunaan variasi materi pembelajaran berbicara bahasa Jawa pada siswa.

4.    Metode belajar tradisonal ceramah lebih dominan sehingga menimbulkan kejenuhan dan kebosanan.

D.      Rumusan Masalah dan Pemecahannya

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan maka dapat dirumuskan masalah ”Apakah metode pembelajaran kontekstual melaui teknik bermain peran dan pemodelan dapat meningkatkan kemampuan berbicara bahasa Jawa pada siswa kelas VII D SMP Negeri 16 Pekalongan?

Pemecahan masalah dalam penelitian ini dilakukan dengan memberikan pembelajaran kepada siswa tentang berbicara menggunakan Metode Pembelajaran Kontekstual melalui Teknik Bermain Peran dan Pemodelan.

E.       Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan kemampuan berbicara bahasa Jawa dengan metode pembelajaran kontekstual melalui teknik bermain peran dan pemodelan pada siswa kelas VII D SMP Negeri 16 Pekalongan.

F.       Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu manfaat teoritis dan praktis.

1.      Manfaat teoritis

Penelitian ini dapat memberikan sumbangan pada pemanfaatan teori tentang metode pembelajaran bahasa Jawa khususnya dalam peningkatan kemampuan berbicara bahasa Jawa.

2.      Manfaat praktis

a)         Bagi guru dapat menjadikan acuan dalam meningkatkan kreativitas mengajar dengan menggunakan metode pembelajaran lain, yang baru bagi siswa. Sehingga siswa lebih aktif dan kreatif dalam pembelajaran kemampuan berbicara bahasa Jawa.

b)        Bagi siswa untuk mengubah pola pikir siswa untuk menghargai budaya sendiri dan tidak malu menggunakan bahasa jawa dalam pergaulan sehari-hari, sehingga dapat meningkatkan kemampuan berbicara bahasa Jawa dan budi pekerti yang baik di lingkungan.

c)         Bagi sekolah, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai masukan positif demi kemajuan sekolah.

 

 

 

 

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A.      Diskripsi Teori

1.    Hakikat Berbicara

a.    Definisi Berbicara

Berbicara merupakan salah satu keterampilan berbahasa dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang lebih sering memilih berbicara untuk berkomunikasi, karena komunikasi lebih efektif jika dilakukan dengan berbicara. Berbicara memegang peranan penting dalam kehidupan sehari-hari.Beberapa ahli bahasa telah mendefinisikan pengertian berbicara, diantaranya sebagai berikut :

Tarigan (1986: 3) mengemukakan bahwa berbicara adalah kemampuan seseorang dalam mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata yang bertujuan untuk mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan dan perasaan orang tersebut.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996: 144) berbicara adalah suatu berkata, bercakap, berbahasa atau melahirkan pendapat, dengan berbicara manusia dapat mengungkapkan ide, gagasan, perasaan kepada orang lain sehingga dapat melahirkan suatu intraksi. Berdasarkan beberapa pengertian yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa berbicara adalah suatu kemampuan seseorang untuk bercakap-cakap dengan mengujarkan bunyi-bunyi bahasa untuk menyampaikan pesan berupa ide, gagasan, maksud atau perasaan untuk melahirkan intraksi kepada orang lain.

b.   Metode Pembelajaran Berbicara

Pembelajaran berbicara mempunyai sejumlah komponen yang pembahasanya diarahkan pada segi metode pengajaran. Guru harus dapat mengajarkan keterampilan berbicara dengan menarik dan bervariasi. MenurutTarigan (1987: 106) ada 4 metode pengajaran berbicara antara lain:

1)        Percakapan

Percakapan adalah pertukaran pikiran atau pendapat mengenai suatu topik tertentu antara dua atau lebih pembaca. Greene dan Petty dalam Tarigan (1987: 106). Percakapan selalu terjadi dua proses yakni proses menyimak dan berbicara secara simultan. Percakapan biasanya dalam suasana akrab dan peserta merasa dekat satu sama lain dan spontanlitas. Percakapan merupakan dasar keterampilan berbicara baik bagi anak-anak maupun orang dewasa.

2)        Bertelepon

Menurut Tarigan (1987: 124) telepon sebagai alat komunikasi yang sudah meluas sekali pemakaianya. Keterampilan menggunakan telepon bisnis, menyampaikan berita atau pesan. Penggunaan telepon menuntut syarat-syarat tertentu antara lain: berbicara dengan bahasa yang jelas, singkat dan lugas. Metode bertelepon dapat digunakan sebagai metode pengajaran berbicara. Melalui metode bertelepon diharapkan siswa didik berbicara jelas, singkat dan lugas. Siswa harus dapat menggunakan waktu seefisien mungkin.

 

3)        Wawancara

Menurut Tarigan (1987: 126) wawancara atau interview sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya wartawan mewawancarai para menteri, pejabat atau tokoh-tokoh masyarakat mengenai isu penting.Wawancara dapat digunakan sebagai metode pengajaran berbicara, pada hakekatnya wawancara adalah bentuk kelanjutan dari percakapan atau tanya jawab. Percakapan dan tanya jawab sudah biasa digunakan sebagai metode pengajaran berbicara.

4)        Diskusi

Diskusi sering digunakan sebagai kegiatan dalam kelas. Metode diskusi sangat berguna bagi siswa dalam melatih dan mengembangkan keterampilan berbicara dan siswa juga turut memikirkan masalah yang didiskusikan. Menurut Kim Hoa Nio dalam Tarigan (1987: 128) diskusi ialah proses pelibatan dua atau lebih individu yang berintraksi secara verbal dan tatap muka, mengenai tujuan yang sudah tentu melalui cara tukar menukar informasi untuk memecahkan masalah.

c.    Faktor penunjang keefektivan berbicara

Berbicara adalah suatu kegiatan komunikasi antara 2 orang atau lebih menggunakan bahasa lisan. Menurut Maidar dan Mukti (1993: 18) dalamberbicara ada beberapa faktor yang menunjang keefektifan berbicara. Faktor-faktor tersebut antara lain :

1)      Faktor kebahasaan

·      Ketepatan ucapan, pengucapan bunyi-bunyian harus tepat, begitu juga dengan penempatan tekanan, durasi, dan nada yang sesuai.

·      Pemilihan kata atau diksi, harus jelas, tepat dan bervariasi sehingga dapat memancing kepahaman dari pendengar.

·      Ketepatan sasaran pembicara, pemakaian kalimat atau keefektivan kalimat memudahkan pendengar untuk menangkap isi pembicaraan.

2)      Faktor non kebahasaan

·       Sikap yang tidak kaku.

·       Kesediaan menghargai pendapat.

·       Pandangan ke pendengar.

·       Gerak-gerik atau mimik tepat.

·       Kenyaringan suara.

·       Kelancaran berbicara.

·       Penguasaan topik.

d.   Penilaian Keterampilan Berbicara

Setiap kegiatan belajar perlu diadakan penilaian, setelah proses belajar mengajar itu selesai. Penilaian ini dapat diperoleh melalui tes. Tes merupakan alat yang dapat digunakan untuk mengukur atau mengetahui sejauh mana siswa mampu mengikuti proses belajar mengajar yang telah berlangsung. Cara yang dapat digunakan untuk mengetahui sejauh mana siswa mampu berbicara adalah tes kemampuan keterampilan berbicara. Pada prinsipnya ujian keterampilan berbicara memberikan kesempatan kepada siswa untuk berbicara yang difokuskan pada praktik berbicara.

Penilaian di dalam keterampilan berbicara ditentukan dari 2 hal, yaitu faktor kebahasaan dan faktor non kebahasaan (Nurgiyantoro, 1995: 152). Penilaian dari faktor kebahasaan meliputi: (1) Ucapan, (2) tata bahasa, (3) kosakata, sedangkan penilaian dari faktor non kebahasaan meliputi: (1) ketenangan, (2) volume suara, (3) Kelancaran,                      (4) pemahaman.

e.    Prinsip-prisip Pembelajaran Berbicara

Pembelajaran berbicara perlu memahami beberapa prinsip-prinsip yang mendasari kegiatan berbicara. Bahasa Jawa itu tidak sulit, tetapi juga tidak semudah membalik telapak tangan, yang penting adalah kemauan dan ketekunan. Menurut H. Douglas Brown mengemukan lima prinsip belajar berbicara yang efektif berikut ini:

1)   Gaya hidup (Life style)

Praktek dalam kehidupan sehari-hari, jika siswa ingin belajar berbicara bahasa Jawa dengan efektif, siswa harus menjadikan bahasa Jawa sebagai bagian dari kehidupan. Artinya, setiap hari siswa berbicara dengan menggunakan bahasa Jawa, pada setiap ada kesempatan yang ditemui baik dalam lingkungan sekolah maupun dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa Jawa juga disebut sebagai bahasa ibu karena bahasa Jawa telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari.

2)   Kemauan (Total komitmen)

Kemauan untuk menjadikan bahasa Jawa sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Siswa harus memiliki komitmen untuk melibatkan bahasa Jawa dalam hidup secara fisik, secara mental, dan secara emosional. Secara fisik, siswa harus bisa mencoba mendengar, membaca dan menulis. Penggunan berbicara bahasa Jawa terus-menerus dan berulang-ulang, misalnya dalam memahami bahasa Jawa, jangan kata per-kata, tapi arti secara keseluruhan. Paling penting adalah keterlibatan secara emosional dengan bahasa Jawa, yaitu perlu memiliki motivasi yang tinggi untuk belajar berbicara bahasa Jawa.

3)   Mencoba / berlatih (Triying)

Pada tahap pembelajaran (tahap percobaan), sangat wajar jika melakukan kesalahan, yang penting adalah mengetahui kesalahan yang dilakukan dan memperbaiki dikesempatan yang berikutnya. Siswa tidak usah malu bertanya dengan menggunakan bahasa Jawa dan tidak usah takut melakukan kesalahan dari pertanyaan yang diajukan, sehingga dengan kesalahan itu siswa bisa belajar banyak dari kesalahan yang dilakukan dan berusaha memperbaiki kesalahan tersebut.

4)   Pelajaran dalam kelas (Beyond class)

Belajar bahasa Jawa secara formal (di kelas), biasanya jam-jam belajar sangat terbatas, karena seminggu hanya satu jam atau dua jam pelajaran, yang pasti jam belajar di kelas ini tentunya sangat terbatas. Belajar bisa lebih efektif, harus menciptakan kesempatan untuk belajar juga di luar jam-jam belajar dikelas (in formal), seperti: berdikusi dengan teman dan berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa dengan teman-teman, dengan percakapan langsung.

 

5)   Strategi

Komitmen, keberanian mencoba, dan menjadikan bahasa Jawa sebagaibagian hidup yang telah diterapkan. Langkah selanjutnya adalah menerapkan strategi belajar yang tepat untuk menujang proses belajar. Strategi ini bisa dikembangkan dan disesuaikan dengan kepribadiaan dan gaya belajar masing-masing siswa, misalnya belajar berbicara bahasa Jawa dengan menggunakan bermain peran dan percakapan. Berbicara bahasa Jawa tersebut mencakup tentang bertanya, mendengar, memperbaiki ucapan dan meningkatkan kosa-kata siswa dengan gaya belajar.

2.         Hakikat Metode Pembelajaran Kontekstual dengan Tehnik Bermain Peran dan Pemodelan

a.      Definisi Pembelajaran Kontekstual

Menurut Knowles dalam Sudjana (2005: 14) metode adalah pengorganisasian peserta didik di dalam upaya mencapai tujuan. Metode kontekstual atau dikenal dengan istilah metode pembelajaran kontekstual menurut Mulyasa (2006: 102) merupakan konsep pembelajaran yang menekankan pada keterkaitan antara materi pembelajaran dengan dunia kehidupan siswa secara nyata, sehingga siswa mampu menghubungkan dan menerapkan kompetensi hasil belajar dalam kehidupan sehari-hari.

Sesuai dengan pendapat Sanjaya (2006: 109) Metode pembelajaran kontekstual adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menekankan pada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkan dengan situasi kehidupan nyata, sehingga mendorong siswa untuk menerapkannya dalam kehidupan. Pengertian tersebut terdapat tiga konsep metode pembelajaran kontekstual yaitu:

1)      Metode pembelajaran kontekstual menekankan pada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi artinya proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung.

2)      Metode pembelajaran kontekstual mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata. Artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata, sehingga materi akan bermakna dan tertanam erat dalam memori siswa sehingga tidak mudah terlupakan.

3)      Metode pembelajaran kontekstual mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan artinya, metode pembelajaran kontekstual bukan hanya mengharapkan siswa dapat memahami materi yang dipelajari.

b.      Pendekatan Metode Pembelajaran Kontekstual

Sebagai satu konsep pendekatan kontekstual merupakan padanan dan istilah metode pembelajaran kontekstual sebagai satu konsep yang memiliki definisi:

Menurut Suprijono (2010: 79) metode pembelajaran kontekstual dapat didefinisikan sebagai mengajar dan belajar yang membantu guru menghubungkan mata pelajaran dengan situasi nyata dan yang memotivasi siswa agar menghubungkan pengetahuan dan terapannya dengan kehidupan sehari-hari sebagai anggota keluarga dan masyarakat.

Menurut Sanjaya, (2006: 225) metode pembelajaran kontekstual adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata, sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka.

Kedua pendekatan di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang memungkinkan siswa menguatkan, memperluas dan menerapkan pengetahuan dan keterampilan akademik mereka dalam berbagai macam tatanan dalam sekolah dan luar sekolah agar dapat memecahkan masalah-masalah dunia nyata atau masalah-masalah yang disimulasikan. Pembelajaran kontekstual merupakan prosedur pendidikan yang bertujuan membantu peserta didik memahami makna bahan pelajaran yang mereka pelajari dengan cara menghubungkanya dengan konteks kehidupan mereka sendiri dalam lingkungan sosial dan budaya masyarakat.

c.       Strategi Pembelajaran Kontekstual

Strategi pembelajaran merupakan kegiatan yang dipilih dapat memberikan fasilitas atau bantuan kepada peserta didik untuk mencapai tujuan pembelajaran. Strategi berupa urut-urutan kegiatan yang dipilih untuk menyampaikan metode pembelajaran dalam lingkungan tertentu, yang mencakup pengaturan materi pembelajaran yang akan disampaikan kepada peserta didik.

Berdasarkan Center for Occupational Research and Development(CORD) dalam Suprijono (2010: 83) penerapan strategi pembelajaran kontekstual digambarkan sebagai berikut:

·           Relating, merupakan kerangka kerja yang dirancang guru untuk membantu peserta didik agar yang dipelajari bermakna dalam konteks pengalaman hidup siswa pada peristiwa dan kondisi sehari-hari.

·           Experiencing, belajar adalah kegiatan ”mengalami” peserta didik berproses secara aktif dengan hal yang dipelajari dan berupaya melakukan eksplorasi terhadap hal yang dikaji, berusaha menemukan dan menciptakan hal baru dari apa yang dipelajarinya.

·           Applying, belajar menekankan pada proses mendemotrasikan pengetahuan yang dimiliki dalam konteks dan pemanfaatanya.

·           Comperating, belajar merupakan proses kolaboratif dan kooperatif melalui belajar berkelompok, komunikasi interpersonal atau hubungan intersubjektif. Strategi pembelajaran yang utama dalam pengajaran kontekstual dengan pengalaman bekerjasama tidak hanya membantu sebagian besar siswa untuk mempelajari bahan ajar.

·           Transferring, belajar menekankan pada terwujudnya kemampuan memanfaatkan pengetahuan dalam situasi atau konteks.

Pembelajaran kontekstual diawali dengan pengaktifan pengetahuan yang sudah ada atau yang telah dimiliki peserta didik, sehingga memperoleh pengetahuan baru dengan cara mempelajari secara keseluruhan dan memperhatikan secara detail. Metode pembelajaran kontekstual dengan teknik pemodelan menawarkan strategi pembelajaran yang memungkinkan siswa dalam belajar lebih bermakna dan menyenangkan. Strategi yang ditawarkan dalam metode pembelajaran kontekstual ini diharapkan dapat membantu siswa aktif dan kreatif.

d.      Definisi Teknik Bermain Peran

Menurut Tarigan (1987: 122) metode bermain peran sangat baik dalam mendidik siswa dalam menggunakan ragam-ragam bahasa. Berbicara orangtua tentu berbeda dengan cara berbicara dengan anak-anak. Fungsi dan peranan seorang menuntut cara berbicara dan berbahasa tertentu. Bermain peran siswa bertindak, berlaku dan berbahasa sesuai dengan perananya, misalnya sebagai guru, siswa atau sebagai orang tua, karena setiap tokoh yang diperankan menurut karakteristik tertentu.

Menurut Sanjaya (2006: 161) bermain peran adalah pembelajaran sebagai bagian dari simulasi yang diarahkan untuk mengkreasi peristiwa-peristiwa aktual atau kejadian yang mungkin akan muncul pada masa mendatang.

Berdasarkan beberapa pengertian yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa teknik bermain peran adalah suatu pembelajaran sebagai bagian dari simulasi yang diarahkan untuk mengkreasi peristiwa-peristiwa atau kejadian yang mungkin akan muncul pada masa mendatang yang peranya sangat baik dalam mendidik siswa dalam menggunakan ragam bahasa Jawa.

 

e.       Definisi Teknik Pemodelan

Menurut Sanjaya (2006: 267) pemodelan merupakan proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa. Pembelajaran kontekstual, guru bukanlah model satu-satunya, tetapi dapat juga guru memanfaatkan siswa yang dianggap memiliki kemampuan. Seorang siswa dapat ditunjuk untuk menjadi model di hadapan teman lainnya, misalnya dalam memperagakan unggah-ungguh dengan bermain peran antara murid dengan guru dan murid dengan murid. Proses pemodelan tidak terbatas dari guru saja, akan tetapi dapat juga guru memanfaatkan siswa yang dianggap memiliki kemampuan.

Menurut Suprijono (2010: 88) pembelajaran kontekstual menekankan arti penting pendemotrasian terhadap hal yang dipelajari peserta didik. Pemodelan memusatkan pada arti penting pengetahuan prosedural. Melalui pemodelan peserta didik dapat meniru terhadap hal yang dimodelkan. Model bisa berupa cara mengoperasikan sesuatu, seperti berbicara bahasa jawa dalam lingkungan sekolah, lingkungan keluarga maupun dalam lingkungan masyarakat.

Pemodelan merupakan asas yang cukup penting dalam pebelajaran kontekstual, sebab melalui pemodelan siswa dapat terhindar dari pembelajaran yang teoritis abstrak yang dapat memungkinkan terjadinya verbalisme.

 

B.       Kerangka Berfikir

Keterampilan berbicara bahasa Jawa pada siswa SMP Negeri 16 Pekalongan khususnya kelas VII D masih sangat rendah. Rendahnya keterampilan berbicara bahasa Jawa pada siswa disebabkan oleh berbagai faktor salah satunya adalah penggunaan metode pembelajaran yang kurang efektif, karena selama ini siswa dituntut untuk menghafal bukan memahami setiap materi pembelajaran yang diberikan guru, sehingga dalam proses pembelajaran bahasa Jawa menimbulkan kebosanan pada diri siswa. Strategi pembelajaran yang tidak sesuai dengan karaktristik siswa dapat menyebabkan kejenuhan bagi siswa, sehingga mengakibatkan kemampuan berbicara bahasa Jawa pada siswa rendah.

Metode pembelajaran kontekstual merupakan mengajar dan belajar yang membantu guru menghubungkan mata pelajaran dengan situasi nyata dan memotivasi siswa agar menghubungkan pengetahuan dan terapannya dengan kehidupan sehari-hari sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Pembelajaran kontekstual dengan teknik bermain peran dan pemodelan diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam berbicara bahasa Jawa, sehingga mampu menghubungkan pengetahuan siswa yang diperoleh di kelas dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Penggunaan metode pembelajaran kontekstual dengan tehnik bermain peran dan pemodelan untuk pembelajaran berbicara bahasa Jawa dapat menjadi salah satu metode yang efektif dan memotivasi siswa untuk aktif dalam pembelajaran berbicara bahasa Jawa. Siswa akan menjadi terpacu atau termotivasi dalam pembelajaran keterampilan berbicara bahasa Jawa, karena siswa dapat memaknai dan mengaplikasikan kemampuan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Melalui metode pembelajaran kontekstual dengan tehnik bermain peran dan pemodelan dapat meningkatkan kemampuan berbicara bahasa Jawa pada siswa.

 

C.      Hipotesis

Hipotesis tindakan penelitian ini adalah penggunaan metode pembelajaran kontekstual dengan teknik bermain peran dan pemodelan dapat meningkatkan kemampuan berbicara bahasa Jawa pada siswa kelas VII D SMP Negeri 16 Pekalongan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PELAKSANAAN PENELITIAN

A.       Setting dan Subjek Penelitian

1.      Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di SMP Negeri 16 Pekalongan, yang beralamat di Jalan Ampera Km. 1 Kelurahan Duwet Pekalongan, tepatnya di kelas VII D tahun pelajaran 2016/2017.

Waktu penelitian adalah pada semester II tahun pelajaran 2016/2017, dimulai pada bulan Februari sampai dengan bulan April 2017, dengan alasan karena pada bulan tersebut adalah saat penyampaian materi berbicara. Adapun jadwal waktu kegiatan penelitiannya adalah sebagai berikut:

Tabel 3.1

Jadwal Waktu Kegiatan Penelitian

 

No

Kegiatan

Februari

Maret

April

1

2

3

4

5

1

2

3

4

1

2

1.

Penyusunan proposal

X

X

 

 

 

 

 

 

 

 

 

2.

Revisi proposal

 

 

X

 

 

 

 

 

 

 

 

3.

Persiapan penelitian

 

 

 

X

X

 

 

 

 

 

 

4.

Pra Siklus

 

 

 

 

 

X

 

 

 

 

 

5.

Tindakan Siklus I

 

 

 

 

 

 

X

 

 

 

 

6.

Tindakan Siklus II

 

 

 

 

 

 

 

X

 

 

 

7.

Interpretasi, penyimpulan data

 

 

 

 

 

 

 

 

X

 

 

8.

Penyusunan laporan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

X

X

 

 

 

2.         Subjek Penelitian

Subjek penelitiannya adalah siswa kelas VII D SMP Negeri 16 Pekalongan Tahun pelajaran 2016/2017, dengan jumlah siswa 32 orang terdiri dari 18 orang laki-laki dan 14 orang perempuan. Kelas ini dijadikan subjek penelitian karena merupakan kelas yang hasil belajarnya paling rendah dibandingkan kelas VII A, VII B, VII C, VII E dan VII F, dimana keenam kelas tersebut adalah kelas yang diampu penulis.

3.      Pihak yang Membantu Penelitian

Pihak-pihak yang membantu penelitian tindakan kelas ini adalah:

a.         Sunarto, M.Si selaku Kepala SMP Negeri 16 Pekalongan.

b.         Bapak Mirza Rofiq, S.Pd selaku teman sejawat dan kolaborator dalam penelitian ini.

c.         Rekan-rekan guru SMP Negeri 16 Pekalongan yang memberikan dorongan moral juga saran dan masukan yang positif untuk penelitian ini.

B.       Prosedur Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain Penelitian Tindakan Kelas (PTK), artinya objek penelitian ini adalah proses pembelajaran yang merupakan interaksi antara guru, siswa, dan bahan ajar.

Penelitian ini menggunakan dua siklus, yaitu siklus I dan siklus II. Masing-masing siklus terdiri dari empat kegiatan yaitu perencanaan, pelaksanaan/tindakan, observasi, dan refleksi.

 

1.         Siklus I

Siklus I dilaksanakan dalam dua kali pertemuan (4 x 40 menit). Adapun tahapan dalam siklus I ini adalah sebagai berikut:

a.    Perencanaan

Perencanaan ini merupakan refleksi awal dari kegiatan penelitian. Berdasarkan hasil evaluasi pembelajaran pra siklus, maka disusun perencanaan sebagai berikut:

1)   Menyusun Rencana Program Pembelajaran

2)   Menyiapkan media pembelajaran berbicara berupa naskah dialog “Resik-resik Omah”

3)   Menyiapkan naskah dialog dari buku sumber

4)   Menyusun lembar observasi, dan pedoman wawancara.

5)   Menyusun alat evaluasi untuk mengukur penguasaan materi.

b.    Pelaksanaan

1)        Peneliti (guru) membuka pembelajaran dengan kegiatan apersepsi yaitu menanyakan kepada siswa bagaimana kebiasaan mereka ketika berbicara kepada orang yang lebih tua atau teman sebaya dalam kehidupan sehari-hari?

2)        Selanjutnya Peneliti (guru) memotivasi siswa dengan menampilkan adegan orang berdialog atau berbicara melalui LCD proyektor.

3)        Kemudian Peneliti (guru) menyampaikan tujuan pembelajaran.

4)        Peneliti (guru) mendemonstrasikan cara berbicara yang baik dengan orang tua atau teman sebaya.

5)        Siswa menyimak dan mengeksplorasi materi dari demonstrasi model atau teman sebaya.

6)        Pada pertemuan kedua siswa diberikan soal evaluasi memahami isi dialog dengan menyusun pesan atau himbauan dari dialog tersebut dalam bahasa ngoko dan mengubah teks pesan berbahasa Jawa ngoko ke krama.

c.    Observasi

1)        Peneliti (guru) dan kolaborator/observer mengamati perilaku siswa selama proses pembelajaran.

2)        Mengamati perilaku siswa saat mengerjakan soal evaluasi.

3)        Mengoreksi dan mengamati hasil evaluasi pembelajaran siswa.

4)        Mengamati dan mencatat jawaban siswa yang diwawancara.

d.   Refleksi

1)        Menganalisis hasil observasi dan evaluasi pembelajaran siswa untuk membuat simpulan sementara terhadap pelaksanaan  siklus I.

2)        Peneliti (guru) dan kolaborator/observer mendiskusikan hasil analisis untuk kegiatan pembelajaran pada siklus II.

3)        Berdasarkan analisis data dan diskusi dengan kolaborator, peneliti dan kolaborator menemukan satu treatment yang akan dilakukan dalam pembelajaran siklus II yaitu dengan mengelompokkan siswa menjadi beberapa kelompok dengan dua atau tiga orang siswa yang dianggap pandai untuk menjadi model pada kelompoknya masing-masing.

2.         Siklus II

Siklus II juga dilaksanakan dalam dua kali pertemuan (4 x 40 menit). Adapun tahapannya adalah sebagai berikut:

a.    Perencanaan

Berdasarkan refleksi pada siklus I, maka disusun perencanaan sebagai berikut:

1)        Menyusun Rencana Program Pembelajaran dengan pembagian kelompok siswa dan penunjukkan model untuk bermain peran sesuai dengan tehnik pemebalajaran yang digunakan..

2)        Menyiapkan media pembelajaran dan naskah dialog Berbicara.

3)        Menyiapkan buku sumber.

4)        Menyusun lembar observasi, dan pedoman wawancara.

5)        Menyusun alat evaluasi untuk mengukur penguasaan materi.

b.    Pelaksanaan

1)        Peneliti (guru) membuka pembelajaran dengan kegiatan apersepsi yaitu menanyakan kepada siswa bahasa yang baik ketika berbicara dengan orang tua atau dengan teman sebaya?

2)        Selanjutnya Peneliti (guru) memotivasi siswa dengan bercerita tentang cara berbicara dan memahami dialog.

3)        Kemudian Peneliti (guru) menyampaikan tujuan pembelajaran.

4)        Peneliti (guru) mendemonstrasikan naskah dialog cara berbicara dengan menggunakan bahasa yang baik dan memahami situasi ketika berbicara.

5)        Siswa menyimak dan mengeksplorasi materi dari demonstrasi guru.

6)        Siswa dibagi kedalam beberapa kelompok yang beranggotakan 4-5 orang siswa.

7)        Dua atau tiga siswa pada masing-masing kelompok ditunjuk sebagai model untuk bermain peran dalam pembelajaran.

8)        Masing-masing kelompok memilih model dan mencoba mendemonstrasikan cara berbicara dengan bermain peran menggunakan naskah dialog yang temanya sudah ditentukan.

9)        Pada pertemuan kedua siswa diberikan soal evaluasi memahami isi dialog.

c.    Observasi

1)        Peneliti (guru) dan kolaborator/observer mengamati perilaku siswa selama proses pembelajaran.

2)        Mengamati siswa setelah dikelompokkan dan setelah bermain peran dengan pemodelan.

3)        Mengamati perilaku siswa saat mengerjakan soal evaluasi.

4)        Mengoreksi dan mengamati hasil evaluasi pembelajaran siswa.

5)        Mengamati dan mencatat jawaban siswa yang diwawancara.

d.   Refleksi

1)        Menganalisis hasil observasi dan evaluasi pembelajaran siswa untuk membuat simpulan terhadap pelaksanaan siklus II.

2)        Membandingkan hasil tes evaluasi pembelajaran pada siklus II dengan siklus I.

3)        Refleksi aktivitas yaitu dengan cara memperhatikan kejadian-kejadian selama proses pembelajaran yang dicatat pada lembar observasi dan dibandingkan dengan hasil observasi yang dicapai siswa pada siklus I, sebagai upaya evaluasi yang dilakukan guru dan kolabolator dalam penelitian tindakan kelas.

4)        Peneliti (guru) dan kolaborator/observer mendiskusikan terhadap berbagai masalah yang muncul di kelas penelitian yang diperoleh dari analisis data sebagai bentuk  dari pengaruh tindakan yang telah dirancang.

5)        Menelaah aspek-aspek mengapa, bagaimana, dan sejauh mana tindakan yang dilakukan mampu memperbaiki  masalah secara optimal

C.      Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas instrumen tes dan instrumen non tes. Instrumen tes berupa soal tertulis, yaitu soal-soal yang berkaitan dengan pemahaman konsep berbicara. Sedangkan instrumen non tes berupa lembar observasi, dan pedoman wawancara.

D.      Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan dua teknik pengumpulan data, yaitu teknik tes dan teknik non tes. Teknik tes dilakukan pada saat pembelajaran sedang berlangsung. Teknik non tes yang digunakan adalah observasi dan wawancara. Teknik observasi dilakukan pada saat pembelajaran berlangsung dan diperuntukkan bagi seluruh siswa. Wawancara dilakukan setelah proses pembelajaran dan digunakan untuk mengungkap data penyebab kesulitan dan hambatan yang dialami siswa dalam proses pembelajaran.

E.       Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik deskriptif komparatif, yaitu dengan membandingkan data-data yang diperoleh dari pra siklus, siklus I, dan siklus II, dimana terdiri dari dua teknik analisis data yaitu teknik kuantitatif dan teknik kualitatif. Teknik kuantitatif dipakai untuk menganalisis data kuantitatif yang diperoleh dari hasil tes. Analisis data tes secara kuantitatif dilakukan dengan merekap skor yang diperoleh siswa, menghitung skor rata-rata kelas, dan menghitung persentase. Hasil perhitungan nilai siswa dari masing-masing tes di siklus I dan siklus II ini kemudian dibandingkan. Hasil ini akan memberikan gambaran mengenai persentase kemampuan siswa tentang tata cara berbicara dan memahami isi pesan dalam suatu dialog.

Teknik kualitatif digunakan untuk menganalisis data yang sifatnya kualitatif, yaitu data yang diperoleh dari hasil data non tes. Data kualitatif dalam penelitian ini berasal dari hasil observasi, dan wawancara. Analisis data ini dilakukan dengan menelaah seluruh data non tes yang diperoleh.

F.       Indikator Keberhasilan

Keberhasilan dalam penelitian ini diukur dari adanya peningkatan kemampuan siswa tentang cara berbicara, baik secara individual maupun klasikal. Keberhasilan individual ditentukan dengan nilai minimal yang harus dicapai oleh siswa adalah 75 (KKM), sedangkan keberhasilan klasikal adalah siswa yang mendapat nilai 75 setidaknya berjumlah 85% dari seluruh siswa di kelas yang diteliti ini.

Indikator keberhasilan ditetapkan kriteria bahwa semakin meningkat perolehan hasil tes pada kategori diatasnya menunjukkan kriteria peningkatan pembelajaran dalam penelitian tindakan kelas ini. Jadi seumpama pada siklus II kategori kemampuan lebih besar daripada siklus I berarti terjadi peningkatan yang positif sebagaimana terlihat pada tabel berikut ini:

Tabel 3.2

Kualifikasi Tingkat Kemampuan

Kategori

Interval Nilai

Sangat Mampu

91 – 100

Mampu

75 – 90

Kurang Mampu

61 – 74

Tidak Mampu

0 – 60

 

Penelitian ini akan dihentikan jika ≥ 85% siswa dikelas tersebut sudah mencapai kategori mampu (75-90) atau sangat mampu (91-100.)

 

 

 

 

 

 

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.    Hasil Penelitian

1.      Deskripsi Pra Siklus

Sebelum penulis membahas deskripsi siklus I dan siklus II, penulis terlebih dahulu menyajikan data-data sebelum diadakan perbaikan pembelajaran (pra siklus), data-data tersebut adalah sebagai berikut:

a.       Catatan guru

1)      Sebagian besar siswa (95%) terlihat jenuh, bosan, dan kebingungan saat guru menjelaskan cara-cara berbicara dalam berdialog.

2)      Saat guru bertanya “apakah kalian sudah bisa?, sebagian besar siswa terdiam, dan ada yang menjawab “bisa”, tetapi beberapa siswa terdengar menjawab “tidak bisa”.

3)      Terdapat beberapa siswa yang terpecah konsentrasinya saat guru memberikan penjelasan cara berbicara.

4)      Ada 2-4 orang siswa yang asyik bermain dan berbicara sendiri.

5)      Guru merasa kebingungan apa yang harus dilakukan dengan keadaan kelasnya.

6)      Pada saat mengerjakan soal tes evaluasi sebagian besar siswa saling menengok hasil pekerjaan siswa lain.

7)      Terdapat 2 orang siswa yang dengan percaya diri mengerjakan soal tes evaluasi.

8)     Beberapa siswa terlihat terdiam dan belum mengerjakan soal evaluasi walaupun waktu sudah berjalan sekitar 15 menit.

b.      Data nilai hasil evaluasi belajar siswa

Tabel 4.1

Hasil Belajar Pra Siklus

Materi Berbicara Kelas VII D

No

Nama

Prasiklus

Nilai

Tidak tuntas

Tuntas

1

ABDILLAH SAIFULLAH

50

 

2

AHMAD ABAS

45

 

3

AISYATUL HIDAYAH

36

 

4

BUDI WIRAKARYA

40

 

5

DEFVI SABILLAH

55

 

6

DHI'FAN ABGHI

60

 

7

DIMAS LEO FIKRI

64

 

8

FAJAR ADITYA PERMANA

48

 

9

FATAKHI SAUQI

64

 

10

FIQI MUNYANI PUTRI

56

 

11

HADI MAULANA

78

 

12

HAIKAL FAHRUDIN

52

 

13

ISTIKHAROH

56

 

14

IVAN MAULANA

56

 

15

KHALUL ANAM

64

 

16

KURNIA SAFITRI

32

 

17

M. RENOV ARDIANSYAH

52

 

18

MAHLUL ADITIYA

56

 

19

MOH. SAMSUL HUDA

60

 

20

MUHAMMAD RIZQI

80

 

21

MUSLIKHUN

60

 

22

NADZARRUDIN MUTTAQIN

48

 

23

NAILATUS SA'ADAH

64

 

24

NAYLUL MUNA

86

 

25

NUR JAMILAH

68

 

26

REZA APRILIA

72

 

27

RISKA FITRIANI

80

 

28

RISTA NAWANG SARI

64

 

29

SEVY DWI AULIA

56

 

30

SINTYA DEWI P.

52

 

No

Nama

Pra Siklus

Nilai

Tidak Tuntas

Tuntas

31 

SITI MAULIDIAH

 35

 

 

32

TEGAR HIRMANSYAH

45

 

Jumlah

1770

28

4

 

Nilai Rata - rata  

55,31

-

-

 

Nilai Tertinggi     

86

-

-

 

Nilai Terendah    

32

-

-

KKM

75

-

-

 

Persentase

-

87,5%

12,5%

 

Dari tabel 4.1 di atas terlihat hasil belajar siswa materi berbicara pada kondisi awal, dari 32 siswa hanya 4 siswa (12,5%) yang mencapai ketuntasan belajar (KKM 75), sedangkan 28 siswa (87,5%) lainnya belum tuntas belajar. Dan jika dikelompokkan ke dalam kelompok rentang nilai, maka akan tampak seperti pada tabel berikut:

Tabel 4.2

Hasil Belajar Berdasarkan Kelompok Rentang Nilai

Pra siklus

 

No.

Rentang Nilai

Frek

Persentase

1

91 – 100

0

0 %

2

75 – 90

4

12,5 %

3

61 – 74

7

21,9 %

4

≤ 60

21

65,6 %

 

Jika data pada tabel 4.2 di atas ditransformasikan dalam tingkat kemampuan berdasar tabel 3.2, maka akan tampak hasilnya seperti pada grafik di bawah ini:

 

 

Grafik 4.1

Tingkat Kemampuan Siswa pada Berbicara

Pra siklus

 

21

 

7

 

4

 

0

 

2.      Tindakan Siklus I

a.       Perencanaan

Berdasarkan hasil observasi terhadap proses pembelajaran dan hasil belajar siswa pada kondisi awal (pra siklus), dapat diperoleh informasi sebagai data awal penelitian. Hasil catatan pengamatan guru menunjukkan proses pembelajaran tidak berjalan efektif. Siswa merasa kesulitan memahami materi sehingga membuat mereka bosan dan malas untuk mengerjakan soal evaluasi yang diberikan oleh guru, dan pada akhirnya hasil belajar merekapun menjadi sangat kurang yaitu dari 32 siswa kelas VII D SMP Negeri 16 Pekalongan hanya terdapat 4 siswa yang telah mencapai KKM dan 28 lainya masih belum mencapai batas ketuntasan minimal.

Atas dasar hal tersebut, guru (peneliti) melakukan koordinasi dengan kolaborator/observer tentang alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut diatas.

Berdasarkan hasil koordinasi dengan kolaborator, peneliti memilih mencoba menggunakan metode pembelajaran kontekstual melaui teknik bermain peran dan pemodelan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam materi berbicara.

Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam persiapan pembelajaran adalah sebagai berikut :

1)        Menyusun Rencana Program Pembelajaran

2)        Menyiapkan materi berbicara dengan metode pembelajaran kontekstual melalui teknik bermain peran dan pemodelan

3)        Menyiapkan buku sumber dan naskah dialog dengan tema yang sudah ditentukan.

4)        Menyusun lembar observasi, dan pedoman wawancara.

5)        Menyusun alat evaluasi untuk mengukur penguasaan materi.

b.      Pelaksanaan

Dalam tahap ini, guru (peneliti) melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan metode pembelajaran kontekstual melaui teknik bermain peran dan pemodelan sesuai dengan rencana yang telah disusun.

Pada siklus ini materi yang diajarkan adalah cara berbicara dengan menggunakan naskah dialog. Kegiatan diawali dengan doa bersama, kemudian dilanjutkan dengan mengabsen siswa. Sebagai kegiatan awal, guru melakukan apersepsi menanyakan kepada siswa bagaimanakah cara berbicara yang baik?, kemudian memberi motivasi kepada siswa dengan menampilkan adegan orang berdialog melalui LCD proyektor, dan dilanjutkan dengan menyampaikan tujuan pembelajaran yang hendak dicapai yaitu siswa dapat berbicara yang baik.

Pada kegiatan inti, guru (peneliti) menjelaskan dan mendemonstrasikan cara berbicara yang baik dengan menggunakan naskah bacaan dialog, kemudian memberikan latihan soal memahami cara berbicara kepada siswa dan memantau siswa dalam mengerjakan latihan soal tersebut.

Pada kegiatan akhir, guru (peneliti) membimbing siswa membuat simpulan, memberikan kesempatan bertanya untuk siswa yang masih belum mampu menguasai materi, dan menyampaikan rencana pertemuan berikutnya.

Pada pertemuan kedua dilaksanakan evaluasi pembelajaran dengan pemberian soal tes evaluasi kepada siswa.

c.       Observasi

Dalam tahap ini, guru (peneliti) secara kolaboratif dengan kolaborator melakukan pengamatan terhadap pelaksanaan pembelajaran yang dilaksanakan dengan menggunakan alat bantu berupa lembar observasi. Observasi ini dilakukan untuk memperoleh data mengenai kesesuaian pelaksanaan pembelajaran dengan rencana pembelajaran yang telah disusun serta mengetahui seberapa besar pembelajaran dengan menggunakan metode pembelajaran kontekstual melaui teknik bermain peran dan pemodelan materi berbicara pada siswa kelas VII D SMP Negeri 16 Pekalongan tahun pelajaran 2016/2017. Oleh karena itu pengamatan tidak hanya ditujukan pada aktivitas siswa dalam proses pembelajaran, namun juga pada aspek tindakan guru dalam melaksanakan pembelajaran, termasuk suasana kelas pada setiap pertemuan.

1)      Data hasil observasi

Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan oleh observer/kolaborator, diperoleh temuan-temuan sebagai berikut :

a)      Aspek Guru

·      Guru sudah menyesuaikan kegiatan apersepsi dengan materi pelajaran

·      Guru sudah menyampaikan kompetensi yang akan dicapai

·      Guru sudah menguasai materi pelajaran

·      Guru sudah melakukan pembelajaran inovatif

·      Guru sudah membuat siswa aktif dalam pembelajaran

·      Guru sudah memantau kemajuan belajar siswa

·      Guru sudah menggunakan bahasa yang baik, benar dan sesuai

·      Guru sudah melakukan refleksi dan tindak lanjut

b)        Aspek siswa

·       Siswa aktif memperhatikan penjelasan guru

·       Siswa aktif menjawab pertanyaan guru

·       Rasa ingin tahu dan keberanian siswa cukup tinggi

·       Kreatifitas dan inisiatif siswa meningkat

·       Siswa aktif mengerjakan tugas.

c)        Catatan observer/kolaborator

·      Hampir seluruh siswa terlihat tertarik dalam pembelajaran dengan model bermain peran dan pemodelan pembelajaran yang dilakukan oleh masing-masing kelompoknya. Siswa yang duduk di kursi belakang berdiri dan berusaha untuk melihat pemodelan atau tampilan yang dilakukan oleh temannya.

·      Saat pembelajaran berlangsung siswa antusias mengikuti dan memperhatikan demonstrasi cara berbicara dengan tehnik bermain peran dan pemodelan temannya.

·      Ada 5 orang siswa yang berdiri untuk melihat demonstrasi yang dilakukan oleh teman dari kelompok lain, dan siswa yang berada di belakangnya ribut memprotes siswa yang berdiri karena menghalangi pandangan.

·      Terdapat sebagian siswa yang masih terlihat bingung.

·      Pada saat guru membuka kesempatan bertanya, beberapa siswa mengajukan pertanyaan terkait cara berbicara yang baik dalam bahasa jawa ini.

·      Ada siswa yang terlihat bertanya kepada teman satu mejanya.

·      Saat dilakukan tes evaluasi, sebagian besar siswa terlihat serius dan tekun mengerjakan soal, tetapi sebagian yang lain masih terlihat kesulitan dan berusaha menengok hasil pekerjaan temannya.

2)      Data hasil tes evaluasi belajar siswa

Data hasil tes evaluasi belajar siswa pada siklus I tampak seperti pada tabel berikut ini:

Tabel 4.4

Hasil Belajar Siklus 1

 

Materi Berbicara Kelas VII D

 

No

Nama

Prasiklus

Nilai

Tidak tuntas

Tuntas

1

ABDILLAH SAIFULLAH

76

2

AHMAD ABAS

70

3

AISYATUL HIDAYAH

80

4

BUDI WIRAKARYA

72

5

DEFVI SABILLAH

76

6

DHI'FAN ABGHI

70

7

DIMAS LEO FIKRI

76

8

FAJAR ADITYA PERMANA

76

9

FATAKHI SAUQI

76

10

FIQI MUNYANI PUTRI

80

11

HADI MAULANA

52

12

HAIKAL FAHRUDIN

76

13

ISTIKHAROH

78

14

IVAN MAULANA

76

15

KHALUL ANAM

76

16

KURNIA SAFITRI

52

17

M. RENOV ARDIANSYAH

64

18

MAHLUL ADITIYA

64

19

MOH. SAMSUL HUDA

50

20

MUHAMMAD RIZQI

80

21

MUSLIKHUN

80

22

NADZARRUDIN MUTTAQIN

60

23

NAILATUS SA'ADAH

76

24

NAYLUL MUNA

80

25

NUR JAMILAH

85

26

REZA APRILIA

90

27

RISKA FITRIANI

90

28

RISTA NAWANG SARI

80

29

SEVY DWI AULIA

68

30

SINTYA DEWI PRIYANTI

68

No

Nama

Pra Siklus

Nilai

Tidak Tuntas

Tuntas

31 

SITI MAULIDIAH

60

32

TEGAR HIRMANSYAH

78

 

Jumlah

2335

12

20

 

Nilai Rata - rata  

73

 

Nilai Tertinggi     

90

 

Nilai Terendah    

50

KKM

75

 

Persentase

-

37,5%

62,5

 

Tabel 4.5

Hasil Belajar Siklus I

Berdasarkan Tingkat Kemampuan

No.

Rentang Nilai

Kualifikasi

Frek

Persentase

1

91 – 100

Sangat mampu

0

0 %

2

75 – 90

Mampu

20

62,5 %

3

61 – 74

Kurang mampu

7

21,9 %

4

≤ 60

Tidak mampu

5

15,6 %

 

Grafik 4.2

Tingkat Kemampuan Siswa pada Materi Membaca

Siklus I

7

 

20

 

d.      Refleksi

Berdasarkan analisis data yang dilakukan terhadap data hasil observasi maupun data hasil tes evaluasi, disimpulkan bahwa pembelajaran secara umum mengalami peningkatan dan perbaikan tetapi belum mencapai atau memenuhi indikator keberhasilan yang telah ditetapkan. Nilai rata-rata kelas yang dicapai pada siklus I ini adalah 73 dan persentase ketuntasan klasikalnya masih 62,5%         (20 siswa), sedangkan nilai ketuntasan klasikal pada indikator keberhasilan adalah 85%. Jadi nilai ketuntasan klasikal pada siklus I ini masih dibawah indikator keberhasilan. Dari analisis data hasil observasi juga disimpulkan ternyata ada beberapa siswa yang kesulitan melihat demonstrasi bermain peran dari teman kelompok lain dan sebagian siswa yang lain tidak berani bertanya kepada guru, sehingga menjadikan mereka tidak mampu memahami cara berbicara yang baik dan nilai yang terkandung dari suatu dialog.

Dari hasil analisis data tersebut, peneliti dan kolaborator/observer akhirnya mengambil keputusan untuk melaksanakan pembelajaran siklus II , dengan beberapa treatment sebagai berikut:

1.    Memaksimalkan tehnik bermain peran dengan pemodelan dalam pembelajaran cara berbicara dalam bahasa jawa.

2.    Mengefektifkan kerja kelompok dengan membagi siswa menjadi beberapa kelompok yang beranggotakan 4-5 orang siswa.

3.    Menunjuk salah dua atau tiga  siswa dalam kelompoknya masing-masing untuk menjadi model bagi siswa lainnya.

3.      Tindakan Siklus II

a.       Perencanaan

Berdasarkan refleksi pada siklus I, guru (peneliti) dan kolaborator/observer merencanakan kegiatan pembelajaran siklus II sebagai berikut:

6)      Menyusun Rencana Program Pembelajaran dengan pembagian kelompok siswa dan penunjukan model dalam setiap kelompoknya.

7)      Menyiapkan media pembelajaran berupa naskah dialog dalam bahasa jawa.

8)      Menyiapkan buku sumber

9)      Menyusun lembar observasi, dan pedoman wawancara.

10)  Menyusun alat evaluasi untuk mengukur penguasaan materi.

b.      Pelaksanaan

Dalam tahap ini, guru (peneliti) melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan tehnik bermain peran dan pemodelan sesuai dengan rencana yang telah disusun.

Pada siklus II ini materi yang diajarkan adalah cara berbicara dan memahami makna dalam dialog dengan menggunakan bahasa jawa.

Kegiatan diawali dengan doa bersama, kemudian dilanjutkan dengan mengabsen siswa. Sebagai kegiatan awal, guru melakukan apersepsi dengan menanyakan kepada siswa apakah dalam setiap dialog terkandung makna atau pesan?, dilanjutkan memotivasi siswa dengan bercerita tentang makna atau pesan dalam suatu dialog, kemudian menyampaikan tujuan pembelajaran yang hendak dicapai yaitu siswa mampu melakukan bicara yang baik serta menangkap pesan atau maknanya yang terkandung dalam suatu dialog.

Pada kegiatan inti, guru (peneliti) menjelaskan dan bermain peran dengan menunjuk beberapa anak untuk menjadi model, membagi siswa menjadi beberapa kelompok yang beranggotakan 4-5 orang siswa dan menunjuk salah satu siswa pada masing-masing kelompok untuk menjadi model dalam bermain peran, memberikan soal latihan dan memantau siswa dalam mengerjakan soal latihan tersebut.

Pada kegiatan akhir, guru (peneliti) membimbing siswa membuat simpulan, memberikan kesempatan bertanya untuk siswa yang masih belum mampu menguasai materi, dan menyampaikan rencana pertemuan berikutnya.

Pada pertemuan kedua dilaksanakan evaluasi pembelajaran dengan pemberian soal tes evaluasi kepada siswa.

c.       Observasi

1)      Data hasil observasi

Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan oleh observer/kolaborator, diperoleh temuan-temuan sebagai berikut :

a)      Aspek Guru

i)        Guru sudah menyesuaikan kegiatan apersepsi dengan materi pelajaran

ii)      Guru sudah menyampaikan kompetensi yang akan dicapai

iii)    Guru sudah menguasai materi pelajaran

iv)    Guru sudah melakukan pembelajaran inovatif

v)      Guru memaksimalkan dalam pembelajaran dengan tehnik bermain peran dan pemodelan.

vi)    Guru sudah membuat siswa aktif dalam pembelajaran

vii)  Guru sudah mengaktifkan siswa yang paling mampu untuk menjadi model.

viii)    Guru sudah memantau kemajuan belajar siswa

ix)    Guru sudah menggunakan bahasa yang baik, benar dan sesuai

x)      Guru sudah melakukan refleksi dan tindak lanjut

b)      Aspek siswa

i)        Siswa aktif memperhatikan penjelasan guru

ii)      Siswa aktif menjawab pertanyaan guru

iii)    Rasa ingin tahu dan keberanian siswa cukup tinggi

iv)    Kreatifitas dan inisiatif siswa meningkat

v)      Siswa yang mampu berusaha membantu memberi penjelasan kepada siswa lainnya tentang cara berbicara yang baik serta menangkap makna atau pesan dalam sebuah dialog

vi)    Siswa aktif mengerjakan soal.

c)      Catatan observer/kolaborator

i)        Seluruh siswa antusias mengikuti dan memperhatikan cara berbicara dengan tehnik bermain peran dan pemodelan.

ii)      Siswa yang ditunjuk sebagai model terlihat sangat serius dalam memerankan peran dalam sebuah dialog, dan beberapa diantara mereka mengajukan pertanyaan kepada guru.

iii)    Saat diskusi kelompok berlangsung, masing-masing anggota kelompok memperhatikan tampilan para model yang sedang berdialog saat bermain peran.

iv)    Beberapa anggota kelompok bertanya kepada model dan beberapa anggota yang lain meminta untuk mengulang lagi tampilan dialognya.

v)      Para Model terlihat mengetes beberapa siswa anggota kelompok untuk mencoba mengulangi cara bicara dengan naskah dialog.

2)      Data hasil tes evaluasi belajar siswa

Data hasil tes evaluasi belajar siswa siklus II terlihat dalam tabel berikut ini:

Tabel 4.6

Hasil Belajar Siklus II

Materi Berbicara Kelas VII D

No

Nama

Siklus II

Nilai

Tidak tuntas

Tuntas

1

ABDILLAH SAIFULLAH

80

 

2

AHMAD ABAS

60

√ 

3

AISYATUL HIDAYAH

80

√ 

4

BUDI WIRAKARYA

72

√ 

5

DEFVI SABILLAH

80

 

6

DHI'FAN ABGHI

85

 

No

Nama

Siklus 2

Nilai

Tidak Tuntas

Tuntas

7

DIMAS LEO FIKRI

85

 

8

FAJAR ADITYA PERMANA

80

 

9

FATAKHI SAUQI

80

 

10

FIQI MUNYANI PUTRI

90

 

11

HADI MAULANA

80

 

12

HAIKAL FAHRUDIN

100

 

13

ISTIKHAROH

80

 

14

IVAN MAULANA

85

 

15

KHALUL ANAM

65

√ 

16

KURNIA SAFITRI

86

√ 

17

M. RENOV ARDIANSYAH

85

 

18

MAHLUL ADITIYA

80

 

19

MOH. SAMSUL HUDA

90

 

20

MUHAMMAD RIZQI

80

 

21

MUSLIKHUN

90

 

22

NADZARRUDIN MUTTAQIN

80

 

23

NAILATUS SA'ADAH

100

 

24

NAYLUL MUNA

100

 

25

NUR JAMILAH

80

 

26

REZA APRILIA

100

 

27

RISKA FITRIANI

100

 

28

RISTA NAWANG SARI

100

 

29

SEVY DWI AULIA

85

 

30

SINTYA DEWI PRIYANTI

76

 √

31

SITI MAULIDIAH

80

32

TEGAR HIRMANSYAH

65

 

Jumlah

2679

4

28

 

Nilai Rata - rata  

83,7

-

-

 

Nilai Tertinggi     

100

-

-

 

Nilai Terendah    

60

-

-

KKM

75

 

Persentase

-

12,5%

87,5%

 

 

 

 

Tabel 4.7

Hasil Belajar Siklus II

Berdasarkan Tingkat Kemampuan

No.

Rentang Nilai

Kualifikasi

Frek

Persentase

1

91 – 100

Sangat paham

6

18,8 %

2

75 – 90

Paham

22

68,8 %

3

61 – 74

Kurang paham

3

9,4 %

4

≤ 60

Tidak paham

1

3,1%

 

Grafik 4.3

Tingkat Kemampuan Siswa pada Materi Berbicara

Siklus II

 

d.      Refleksi

Setelah peneliti melakukan analisis data yang ada pada siklus II ini, disimpulkan bahwa kelas terlihat kondusif, pembelajaran berjalan dengan baik dan lebih meningkat dari siklus I. Siswa kelihatan aktif pembelajaran dan gurupun merasa tenang dan nyaman dengan keadaan kelas tersebut.

Dari data nilai tes evaluasi terlihat peningkatan nilai rata-rata kelas dari 73 pada siklus I, meningkat menjadi 83,7 pada siklus II. Persentase ketuntasan klasikal juga meningkat dari 62,5% pada siklus I, menjadi 87,5% pada siklus II. Data ini jika dikomparatifkan dengan indikator keberhasilan yang sudah ditetapkan yaitu nilai ketuntasan klasikal 85%, maka kegiatan pembelajaran pada siklus II ini dinyatakan sudah memenuhi indikator keberhasilan tersebut. oleh karena itu penelitian ini dihentikan pada siklus II saja dan tidak memerlukan siklus selanjutnya.

 

B.    Pembahasan Hasil Penelitian

Dari data hasil penelitian di atas, dapat dilihat perbandingan masing-masing tahap mulai dari pra siklus, siklus I, dan siklus II seperti tampak dalam grafik-grafik berikut ini:

Grafik 4.4

Perbandingan Antar Siklus

Tingkat Kemampuan Siswa pada Materi Berbicara

Grafik 4.5

Perbandingan Antar Siklus

Ketuntasan Belajar Siswa pada Materi Berbicara

Grafik 4.6

Perbandingan Antar Siklus

Nilai Rata-rata Kelas

Hasil pengolahan data di atas dapat disimpulkan bahwa proses perbaikan pembelajaran berjalan dengan baik dan hasil belajar siswa  juga baik. Hasil belajar siswa pada materi berbicara dalam bahasa jawa meningkat secara bertahap.Sebelum diadakan perbaikan (pra siklus) nilai rata-rata kelas hanya 55,31 meningkat  menjadi 73 pada siklus I dan 83,7 pada siklus II. Persentase ketuntasan siswa dalam pembelajaran juga mengalami peningkatan. Sebelum diadakan perbaikan pembelajaran siswa yang tuntas hanya 12,5% atau hanya 4 dari 32 siswa yang ada di kelas VII D tersebut, setelah diadakan perbaikan pembelajaran siswa yang tuntas meningkat menjadi 62,5% pada siklus I dan pada siklus II siswa yang tuntas meningkat lagi menjadi 87,5%.

Pada siklus I terjadi peningkatan dan perbaikan dalam proses pembelajaran dan hasilnya. Peningkatan ini terlihat cukup signifikan. Walaupun begitu pada siklus I ini ternyata belum memenuhi atau mencapai indikator keberhasilan yang telah ditetapkan. Hasil dari refleksi yang dilakukan oleh peneliti ternyata ada beberapa siswa yang kesulitan menangkap pesan dan makna yang terkandung dalam suatu dialog dari permainan peran yang diperagakan oleh model. Hal ini disebabkan karena dalam pembelajaran klasikal tidak semua anak memperhatikan pementasan peran  dan ada beberapa siswa yang tidak berani bertanya kepada guru walaupun ia merasa belum memahami materi yang disampaikan oleh guru atau saat permainan peran yang dimainkan oleh para model tersebut. Dari dua penyebab kekurangan ini, akhirnya peneliti mengambil langkah untuk mengubah strategi pembelajaran yang awalnya klasikal menjadi pembelajaran kolaboratif (kelompok). Karena menurut Anitah W (2013:3.5) pembelajaran kolaboratif memiliki manfaat sebagai berikut: 1) meningkatkan pengetahuan anggota kelompok, 2) pebelajar belajar memecahkan masalah bersama dalam kelompok, 3) memupuk rasa kebersamaan antar siswa, 4) meningkatkan keberanian memunculkan ide atau pendapat untuk pemecahan masalah bagi setiap individu yang diarahkan untuk mengajarkan atau memberitahu kepada teman kelompoknya jika mengetahui dan menguasai permasalahan, 5) memupuk rasa tanggungjawab individu dalam mencapai suatu tujuan bersama, 6) setiap anggota melihat dirinya sebagai milik kelompok yang merasa memiliki tanggungjawab karena kebersamaan dalam belajar menyebabkan mereka juga sangat memperhatikan kelompok.

Pada siklus II, proses pembelajaran dan hasilnya lebih meningkat  lagi dibandingkan siklus I. Data pada siklus II menunjukkan nilai rata-rata kelas adalah 83,7 dan nilai ketuntasan klasikalnya adalah 87,5%. Ini menunjukkan bahwa kegiatan perbaikan pembelajaran yang dilakukan pada siklus II ini sudah memenuhi bahkan melebihi dari indikator keberhasilan yang telah ditetapkan yaitu ketuntasan klasikal 85%. Jadi hipotesis tindakan yang diajukan peneliti yaitu bahwa pembelajaran dengan menggunakan tehnik peran dengan pemodelan dapat meningkatkan kemampuan materi berbicara bahasa jawa pada siswa kelas VII D SMP Negeri 16 Pekalongan tahun pelajaran 2016/2017 telah terbukti.

 

 

 

 

 

 

 

BAB V

PENUTUP

 

A.       Simpulan

Berdasarkan deskripsi hasil penelitian dan pembahasan  yang telah diuraikan pada  bab  IV  dapat  disimpulkan  bahwa,  dalam  proses  pembelajaran  dengan  metode pembelajaran  kontekstual  dengan  teknik  bermain  peran  dan  pemodelan  dapat meningkatkan  kemampuan  berbicara  bahasa  Jawa.  Peningkatan  hasil  dapat  dilihat pada nilai-nilai rata-rata dari pra tindakan hingga siklus II, nilai rata-rata pada pra tindakan sebesar 55,31 meningkat menjadi 73 pada siklus I, meningkat menjadi 83,7 pada siklus II. Hasil pada siklus II dengan nilai rata-rata 87,5 menujukkan bahwa siswa telah memenuhi nilai kriteria ketuntasan minimal sebesar 85.

Selain  itu,  penelitian  ini  juga  menghasilkan  perubahan  sikap  siswa menjadi lebih  termotivasi  dalam  belajar  berbicara  bahasa  Jawa.  Terbukti dengan menggunakan  metode  pembelajaran  kontekstual  dengan  teknik pemodelan  telah mendapatkan  perubahan  hasil  yang  berupa  perubahan  siswa  dari  awalnya  belum mampu memahami materi menjadi mampu memahami materi pembelajaran berbicara bahasa  Jawa. Peningkatan  proses  dapat  dilihat  dari  keaktifan  siswa  yang  ditandai dengan  peningkatan  aktivitas  siswa  dalam  bertanya,  berpendapat  dan  ketenangan siswa  pada  saat  melakukan  praktik  di  depan   kelas.  Pada  setiap  pertemuan  siswa sudah  mulai  dapat  menerapkan  bahasa  Jawa  dengan  guru,  mengukapkan  pendapat dan menjawab pertanyaan dengan menggunakan bahasa Jawa.

 

B.        Implikasi

Metode  pembelajaran  kontekstual  dengan  teknik  bermain  peran  dan pemodelan dapat digunakan oleh guru bahasa Jawa di  SMP Negeri 16 Pekalongan sebagai alternatif metode pembelajaran yang tepat dalam pembelajaran kemampuan berbicara bahasa  Jawa. Metode  pembelajaran  kontekstual  dengan teknik bermain peran danpemodelan  dapat  meningkatkan  kemampuan berbicara bahasa  Jawa,  khususnya memotivasi  siswa  dalam  belajar  antar  teman.

Metode pembelajaran kontekstual dengan teknik bermain peran dan pemodelan dapat digunakan guru sebagai metode dalam pembelajaran berbicara bahasa Jawa, sehingga metode pembelajaran disekolah dapat lebih bervariasi.  Oleh karena itu, metode pembelajaran kontekstual dengan teknik bermain  peran dan pemodelan dapat diterapkan dalam proses pembelajaran berbicara bahasa Jawa

.

C.       Saran

Saran yang dapat diberikan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.      Penggunaan metode pembelajaran kontekstual dengan teknik bermain peran dan pemodelan sebagai metode pembelajaranberbicara bahasa Jawa ini hendaknya membutuhkan perencanaan yang matang terutama pada media pembelajaran dan teks dialog percakapan, agar kemampuan siswa dalam berbicara bahasa Jawa semakin meningkat.

2.      Guru Bahasa Jawa disarankan menggunakan metode pembelajaran kontekstual dengan teknik bermain peran dan pemodelan untuk mengajarkan materi lain tidak terbatas pada pembelajaran berbicara bahasa Jawa, misalnya pembelajaran sesorah, pranatacara, pelajaran unggah ungguh bahasa Jawa dan sebagainya.

3.      Bagi peneliti berikutnya diharapkan untuk lebih meningkatkan kemampuan berbicara bahasa Jawa, terutama pada aspek pelafalan, aspek diksi, aspek kelancaran berbicara dan aspek runtut, logis dan kreatif, karena kemampuan aspek tersebut masih kurang.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

 

Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:RinekaCipta.

 

Arsyad, Maidar dan Mukti.1988. Pembinaan Kemampuan Berbicara Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga.

 

Depdikbud.1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

 

Makalah  Seminar  Nasional.  Pembelajaran  Bahasa  dan  Satra  Daerah  Dalam Kerangka Budaya. 2007. Jurusan Pendidikan Bahasa Jawa.

 

Madya, S. 2006. Teori dan Praktik Penelitian Tindakan Kelas (ActionResearch ). Bandung: Alfabeta.

 

Moleong, L. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

 

Nurgiyantoro, B. 1988.Penilaian Dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra.Yogyakarta:BPFE.

 

Sanjaya, W. 2007.Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana.

 

Suprijono, A. 2010, Cooperative Learning Teori dan Aplikasi Paikem.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

 

Susilo. 2007. Penelitian Tindakan Kelas. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.

 

Tarigan, H. 1979. Berbicara Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa Bandung.

 

___1986.Berbicara Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.

 

_______1987.Tehnik Pengajaran Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.

 

_______1997.Pengembangan Keterampilan Berbicara. Jakarta: Depdikbud.

 

Parjono, dkk. 2007. Panduan Penelitian Kelas. Yogyakarta: Lembaga Penelitian UNY.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar