MENCONTEK
SEBAGAI BENTUK PERILAKU
PENYIMPANGAN SOSIAL
YANG MENJADI
BUDAYA BAGI SISWA
DI SMP NEGERI 16 PEKALONGAN
PERINGKAT IV LPIR 2011
Tk. KOTA PEKALONGAN
ABSTRAKSI
Firman
Allah menegaskan bahwa Dia telah menjadikan manusia makhluk ciptaan-Nya yang
paling baik. Manusia diberikan-Nya akal dan dipersiapkan untuk menerima
bermacam-macam ilmu pengetahuan dan kepandaian; sehingga dapat berkreasi
(berdaya cipta) dan sanggup menguasai alam. Manusia juga harus bersosialisasi
dengan lingkungan, yang merupakan pendidikan awal dalam suatu interaksi sosial.
Hal ini menjadikan manusia harus mempunyai ilmu pengetahuan yang berlandaskan
ketuhanan. Karena dengan ilmu tersebut manusia dapat membedakan antara yang hak
dengan yang bukan hak, antara kewajiban dan yang bukan kewajiban. Sehingga
norma-norma dalam lingkungan berjalan dengan harmonis dan seimbang. Agar
norma-norma tersebut berjalan haruslah manusia di didik dengan berkesinambungan,
agar hasil dari pendidikan yakni kebudayaan dapat diimplementasikan dimasyarakat.
Sangat disayangkan manusia dengan kesempurnaannya
dalam proses pembelajaran yang seharusnya mampu merubah perilaku siswa menjadi
baik serta dengan ilmu tersebut manusia dapat membedakan antara yang hak dengan
yang bukan hak, antara kewajiban dan yang bukan kewajiban, hanya karena demi
prestasi yang tinggi siswa rela melakukan hal-hal yang tidak seharusnya
dilakukan dalam belajar, yakni mencontek.
Penulisan karya
tulis ilmiah ini berawal dari pengalaman dan studi literatur yang membahas
tentang bidang yang berhubungan dengan tujuan ditulisnya karya ilmiah ini.
Mencontek yang
dianggap sebagai budaya ternyata berawal dari suatu kebiasaan, faktor internal
dan eksternal (pengaruh lingkungan) serta meniru teman. Akhirnya kebiasaan ini
menjadi tradisi yang turun temurun.
Untuk itulah perlu
adanya upaya untuk mencegah kebiasaan tersebut, karena dapat merusak kehidupan
siswa di masa yang akan datang.
Kata kunci : Mencontek, perilaku penyimpangan, dan budaya siswa
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kehidupan manusia sangatlah komplek,
begitu pula hubungan yang terjadi pada manusia sangatlah luas. Hubungan
tersebut dapat terjadi antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam,
manusia dengan makhluk hidup yang ada di alam, dan manusia dengan Sang
Pencipta. Setiap hubungan tersebut harus berjalan seimbang. Selain itu manusia
juga diciptakan dengan sesempurna penciptaan, dengan sebaik-baik bentuk yang
dimiliki. Hal ini diisyaratkan dalam surat At-Tiin: 4
“Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dalam
bentuk yang sebaik-baiknya”.
Dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa
Dia telah menjadikan manusia makhluk ciptaan-Nya yang paling baik. Manusia
diberikan-Nya akal dan dipersiapkan untuk menerima bermacam-macam ilmu
pengetahuan dan kepandaian; sehingga dapat berkreasi (berdaya cipta) dan
sanggup menguasai alam. Manusia juga harus bersosialisasi dengan lingkungan,
yang merupakan pendidikan awal dalam suatu interaksi sosial. Hal ini menjadikan
manusia harus mempunyai ilmu pengetahuan yang berlandaskan ketuhanan. Karena
dengan ilmu tersebut manusia dapat membedakan antara yang hak dengan yang bukan
hak, antara kewajiban dan yang bukan kewajiban. Sehingga norma-norma dalam
lingkungan berjalan dengan harmonis dan seimbang. Agar norma-norma tersebut
berjalan haruslah manusia dididik dengan berkesinambungan, agar hasil dari
pendidikan yakni kebudayaan dapat diimplementasikan dimasyarakat.
Sangat disayangkan manusia dengan
kesempurnaannya dalam proses pembelajaran yang seharusnya mampu merubah
perilaku siswa menjadi baik serta dengan ilmu tersebut manusia dapat membedakan
antara yang hak dengan yang bukan hak, antara kewajiban dan yang bukan
kewajiban, hanya karena demi prestasi yang tinggi siswa rela melakukan hal-hal
yang tidak seharusnya dilakukan dalam belajar, yakni mencontek.
Berdasarkan kondisi di SMP Negeri 16 Pekalongan yang
mayoritas siswanya memiliki tingkat motivasi belajar dan kemampuan akademis
yang relative rendah, mencontek memang sudah menjadi tradisi
dan kebudayaan yang sangat susah untuk di hindarkan. Keinginan untuk mendapat nilai
yang bagus dengan tidak di ikuti rajin belajar, mencontek adalah salah satu
alternatif yang paling banyak dilakukan oleh siswa. Tidak hanya siswa tak
pintar saja yang mencontek, bahkan siswa yang berprestasi pun tidak luput dari mencontek
walau hanya sebagian.
Suatu fenomena yang
menarik, karena kebiasaan mencontek telah menjadi budaya di sekolah ini. Dengan
latar belakang masalah itulah penulis ingin tahu mengenai kebiasaan mencontek
yang dianggap sebagai suatu budaya yang sulit dihilangkan.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang di atas, maka dalam penelitian ini dirumuskan masalah sebagai berikut:
1)
Mengapa mencontek dianggap
sebagai suatu budaya yang harus dilakukan oleh siswa?
2)
Faktor apakah yang mendorong
siswa untuk mencontek siswa lain?
3)
Kapankah seorang siswa mulai
terbiasa mencontek siswa lain?
4)
Apakah guru merespon terhadap
siswa yang mencontek ?
Kebiasaan mencontek yang dilakukan
siswa sangat mengganggu siswa lain terutama yang dicontek dan ternyata
berpengaruh terhadap hasil prestasi akademik siswa. Hal inilah yang dapat
menimbulkan dan menularkan sifat malas kepada siswa lain. Apabila hal ini
dibiarkan tentunya akan menjadi budaya yang berdampak bagi siswa di masa depan.
1.
Tujuan
a)
Untuk mengetahui faktor yang
mempengaruhi siswa mencontek dari siswa lain.
b)
Untuk mengetahui kapan siswa
memiliki kebiasaan mencontek
c)
Untuk mengetahui respon guru
terhadap siswa yang memiliki kebiasaan mencontek
2.
Manfaat
a)
Memberi informasi kepada pihak
sekolah mengenai faktor-faktor yang mendorong siswa untuk mencontek siswa lain
b)
Memberi informasi mengenai
kapan seorang siswa mulai terbiasa mencontek
Memberikan informasi kepada sekolah mengenai
respon guru terhadap siswa yang mencontek
BAB II
TELAAH PUSTAKA
Mencontek atau menjiplak menurut Kamus Bahasa Indonesia
karangan W.J.S. Purwadarminta adalah mencontoh, meniru, atau mengutip tulisan,
pekerjaan orang lain sebagaimana aslinya. Dalam artikel yang ditulis
oleh Alhadza (2004) kata mencontek sama dengan cheating. Beliau mengutip pendapat
Bower (1964) yang mengatakan cheating adalah perbuatan yang menggunakan
cara-cara yang tidak sah untuk tujuan yang sah atau terhormat yaitu mendapatkan
keberhasilan akademis atau menghindari kegagalan akademis. Sedang menurut
Deighton (1971), cheating adalah upaya yang dilakukan seseorang untuk mendapatkan
keberhasilan dengan cara-cara yang tidak fair (tidak jujur). Menurut Suparno (2000). Segala sistem dan taktik
penyontekan sudah dikenal siswa. Sistem suap agar mendapat nilai baik, juga
membayar guru agar membocorkan soal ulangan, sudah menjadi taktik biasa dalam
dunia pendidikan di Indonesia.
Berdasarkan contoh-contoh pengalaman diatas dalam tulisan
ini mencontek adalah suatu perbuatan atau cara-cara yang tidak jujur, curang,
dan menghalalkan segala cara untuk mencapai nilai yang terbaik dalam ulangan
atau ujian pada setiap mata pelajaran. Mencontek merupakan suatu bentuk
penyimpangan dalam belajar, khususnya untuk meraih prestasi belajar. Demi memperoleh
angka atau nilai yang baik tidak sedikit siswa yang menggunakan cara-cara tidak
dibenarkan atau dilarang oleh para guru (pengajar).
Mencontek dapat dikatagorikan dalam dua bagian ; pertama mencontek
dengan usaha sendiri; kedua dengan kerjasama. Dalam makalah yang ditulis
Alhadza (2004) yang termasuk dalam kategori mencontek antara lain adalah meniru
pekerjaan teman, bertanya langsung pada teman ketika sedang mengerjakan
tes/ujian, membawa catatan pada kertas, pada anggota badan atau pada pakaian
masuk ke ruang ujian, menerima dropping jawaban dari pihak luar, mencari
bocoran soal, arisan (saling tukar) mengerjakan tugas dengan teman, menyuruh
atau meminta bantuan orang lain dalam menyelesaikan tugas ujian di kelas atau
tugas penulisan paper dan take home test.
Menurut Bandura (dalam Vegawati, Oki dan Noviani, 2004),
fungsi psikologis merupakan hubungan timbal balik yang interdependen dan
berlangsung terus menerus antara faktor individu, tingkah laku, dan lingkungan.
Dalam hal ini, faktor penentu tingkah laku internal (a.l., keyakinan dan
harapan), serta faktor penentu eksternal (a.l., "hadiah" dan
"hukuman") merupakan bagian dari sistem pengaruh yang saling
berinteraksi. Proses interaksi yang terjadi dalam individu terdiri dari empat proses,
yaitu atensi, retensi, repenugasanoduksi motorik, dan motivasi.
Berdasarkan teori-teori tentang motivasi, diketahui bahwa
cheating bisa terjadi apabila seseorang berada dalam kondisi underpenugasanessure,
atau apabila dorongan atau harapan untuk berpenugasanestasi jauh lebih besar
dari pada potensi yang dimiliki. Semakin besar harapan atau semakin tinggi penugasanestasi
yang diinginkan dan semakin kecil potensi yang dimiliki maka semakin besar
hasrat dan kemungkinan untuk melakukan cheating. Dalam hal seperti itu maka,
perilaku cheating tinggal menunggu kesempatan atau peluang saja, seperti kita
dengar iklan di televisi mengatakan tentang teori kriminal bahwa kejahatan akan
terjadi apabila bertemu antara niat dan kesempatan.
Pertimbangan-pertimbangan yang sering digunakan adalah
nilai-nilai agama yang akan memunculkan perasaan bersalah dan perasaan berdosa,
kepuasan diri terhadap "penugasanestasi" akademik yang dimilikinya,
dan juga karena sistem pengawasan ujian, kondusif atau tidak untuk mencontek.
Masalah kepuasan "penugasanestasi" akademik juga akan menjadi sebuah
konsekuensi yang mungkin menjadi pertimbangan bagi seseorang untuk mencontek.
Bila ia mencontek, maka ia menjadi tidak puas dengan hasil yang diperolehnya.
Yesmil Anwar (dalam Rakasiwi, 2007) mengatakan, sebenarnya
nilai hanya menjadi alat untuk mencapai tujuan dan bukan tujuan dari pendidikan
itu sendiri. Karena pendidikan sejatinya adalah sebuah proses manusia mencari
pencerahan dari ketidaktahuan. Yesmil Anwar, mengungkapkan, bahwa mencontek
telanjur dianggap sepele oleh masyarakat. Padahal, bahayanya sangat luar biasa.
Bahaya buat si anak didik sekaligus untuk masa depan pendidikan Indonesia.
Hal ini, kemungkinan disebabkan oleh faktor
adanya kesulitan siswa dalam belajar ataupun karena sifat malas dari siswa itu
sendiri. Menurut Martensi dan Mungin Edy Wibowo (1980 : 15-17 ), mengatakan
bahwa faktor-faktor kesulitan belajar digolongkan menjadi 2 macam, yaitu faktor
internal dan faktor eksternal.
A.
Faktor Internal
1)
Penyebab yang bersifat fisik
Kedaan fisik
yang tidak sehat atau tidak fit akan menyebabkan kesulitan belajar mengikuti
pelajaran seperti cacat tubuh, buta , gagap, tuna rungu. Dan juga menderita
penyakit-penyakit tertentu seperti : asma, batuk-batuk, sering sakit perut,
sakit jantung dan semacamnya.
2)
Intelegensi
Peserta didik
yang kurang cerdas atau peserta didik yang lambat belajar (slow leaner )
membutuhkan waktu belajar yang banyak dan sulit mengikuti belajar biasa / pada
umumnya. Peserta didik yang sangat cerdas pula membutuhkan pelajaran tambahan
karena mereka menganggap mudah dan cepat mengikuti program pelajaran biasa.
3)
Bakat khusus
Peserta didik
yang menuntut pelajaran atau ilmu pengetahuan yang tidak sesuai dengan bakatnya
sering mengalami kesukaran dalam belajarnya. Tetapi sebaliknya apabila
pelajaran yang diterimanya sesuai dengan bakatnya maka prestasi belajarnya akan
baik dan bergairah serta giat belajar .
4)
Minat dan Perhatian
Minat dan
perhatian erat hubungannya dengan bakat khusus dan masa peka. Seorang peserta
didik yang mempunyai bakat dalam bidang studi tertentu dengan sendirinya minat
dan perhatian besar sekali terhadap bidang tersebut seperti : a) waktu khusus
belajar , b) tekun / rajin membaca, c) respon tehadap catatan, d) kesangupan
anak dalam mengerjakan tugas, e) baik antar teman maupun antar kelompok.
5)
Keadaan Emosi Tidak Stabil
Keadaan emosi tidak stabil dapat
diuraikan sebagai berikut ;
a.
Perasaan tidak aman,
menyebabkan peserta didik tidak kerasan mengikuti pelajaran .
b.
Tidak dapat menyesuaikan diri
dengan teman atau lingkungan dan tidak senang adanya peraturan atau tata
tertib.
c.
Mudah tergganggu, tersinggung,
lekas marah, perasaan tertekan dan yang semacamnya.
d.
Ketidakmatangan emosi
6)
Sikap-sikap yang merugikan dan
kebiasaan yang salah
Sikap-sikap
merugikan dan kebiasaan yang salah diantaranya adalah:
a.
Acuh tak acuh dan mengabaikan
pekerjaan sekolah .
b.
Tidak mau belajar tetapi sibuk
dengan kegiatan lain di luar sekolah.
c.
Tidak punya semangat / gairah
atau tidak serius.
d.
Tidak mau belajar bersama dan
segan bertanya kalau mendapat kesukaran dan lain-lain.
7)
Gangguan-gangguan psikis
Peserta didik
yang mendapat gangguan psikis seperti ; neurotis, psikotis dan sebaginya , penugasanoses
belajarnya juga terganggu sehingga sering kali tidak dapat menyelesaikan
studinya. Peserta didik tersebut membutuhkan perwatan dan pertolongan seorang
ahli. misalnya : psikiater. Menurut Mulyono Abdurohman (1999 : 13), penugasanestasi
belajar dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Penyebab utama kesulitan belajar ( learning disabilities) adalah faktor
internal yaitu kemungkinan adanya disfungsi neurologis, sedangkan penyebab
utama penugasanoblema belajar adalah
faktor eksternal. Disfungsi neurologis dapat menyebabkan kesulitan belajar
antara lain : a) faktor genetik; b) Luka pada otak; c). Biokimia yang hilang ;
d) Biokimia yang merusak otak ( misal : zat pewarna pada makanan ); e)
Pencemaran Lingkungan; f) Gizi yang tidak memadahi dan g) Pengaruh-pengaruh
psikologis dan sosial yang merugikan perkembangan anak ( depenugasanevasi lingkungan ).
B.
Faktor Eksternal
Menurut Martensi KDj dan Mungin Edy
Wibowo, disamping faktor internal yang mempengaruhi belajar juga faktor-faktor
eksternal yang mempengaruhi pula pada aktivitas belajar adalah keadaan
keluarga, keadaan sekolah dan keadaan masyarakat.
a.
Keadaan Keluarga
1)
Cara Mendidik
2)
Perhatian dan pengawasan Orang
Tua
-
Hubungan orang tua dan anak
-
Teladan orang tua
-
Pekerjaan Orang Tua
3)
Suasana rumah
b.
Keadaan Sekolah
1)
Hubungan antar teman
2)
Kurikukulum
3)
Waktu sekolah yang kurang tepat
4)
Pendidik / Guru
5)
Sarana pembelajaran
(a)
Alat pelajaran
(b)
Kelengkapan bacaan
(c)
Kondisi gedung
c.
Keadaan masyarakat
(1)
Teman-teman bergaul yang tidak
dikontrol yang berpengaruh tidak baik
terhadap para peserta didik kita cukup banyak .
(2)
Mass media
Menurut Totok Santoso faktor
eksternal adalah faktor lingkungan belajar dalam sekolah dan di luar sekolah.
1.
Lingkungan belajar dalam
sekolah terdiri dari : lingkungan alam seperti suhu udara, penukaran udara atau
cahaya, penerangan dan tumbuh-tumbuhan di dalam areal sekolah. Lingkungan
sosial seperti suasana hubungan timbal balik antara semua personal yang
terlibat dalam kegiatan belajar.
2.
Faktor sistem instruksional.
Yang didorong faktor ini adalah kurikulum, bahan belajar, dan metode penyajian.
3.
Faktor situasional. Keadaan
politik, ekonomis, keadaan waktu mencakup jumlah hari, keadaan tempat atau
lokasi, ruang kelas. Keadaan musim. Iklim kerap menciptakan kondisi psikis atau
kondisi fisik pada guru atau siswa yang kurang menguntungkan. ( Totok Santoso,
1998 : 18-20 )
2.2
Kebiasaan Mencontek dengan
Siswa Lain
1.
Hal-hal yang mendorong siswa
untuk mencontek siswa lain
Mencontek siswa lain dapat dilatar
belakang oleh banyak hal, antara lain:
a.
Jumlah soal atau materi yang terlalu
banyak
b.
Penugasan yang terrlalu sulit
c.
Guru yang tidak mau membahas
atau mengoreksi penugasan
d.
Rasa malas siswa dalam
mengerjakan tugas
2.
Sanksi bagi siswa yang tidak
mengerjakan penugasan
Sanksi atau hukuman memang perlu
diberikan untuk siswa yang tidak mengerjakan penugasan. Selain dapat memotivasi
siswa agar mau mengerjakan penugasan, pemberian sanksi juga dapat berguna untuk
mencegah berkembangnya kebiasaan siswa untuk menjiplak penugasan siswa lain.
3.
Keuntungan bagi siswa yang
mengerjakan penugasan dan kerugian bagi siswa yang tidak mengerjakan penugasan.
a.
Keuntungan untuk siswa yang
mengerjakan penugasan
-
Ada persiapan untuk pelajaran
yang akan datang
-
Menggali lebih dalam materi
yang telah didapatkan di kelas.
-
Mendapatkan informasi yang
lebih dari suatu materi.
-
Mengulang dan berlatih
pelajaran yang sudah di dapat
-
Melatih disiplin diri.
b.Kerugian untuk siswa yang tidak mengerjakan penugasan
-
Bisa dikenai hukuman oleh guru
yang memberi penugasan
-
Tidak ada persiapan untuk
pelajaran yang akan datang, apalagi bila diadakan ulangan mendadak.
-
Hanya tahu informasi sebatas
yang diberikan oleh guru saja dari suatu materi.
-
Tidak bisa berlatih dengan soal
yang lebih menantang
-
Mudah lupa mengenai materi yang
telah diberikan guru
4.Matode mengerjakan penugasan secara tepat
-
Memilih waktu yang paling
sesuai untuk mengerjakan penugasan, dan selalu berusaha untuk menempati waktu
tersebut.
-
Megerjakan tugas yang menurut
kita paling sulit terlebih dahulu selagi waktu yang tersedia masih panjang.
-
Menyediakan waktu istirahat
kira-kira 5 menit ketika mengerjakan penugasan. Waktu istirahat tersebut
digunakan untuk menghilangkan kejenuhan sesaat.
-
Menyiapkan segala alat yang
dibutuhkan untuk mengerjakan penugasan segala sesuatu yang kita butuhkan ada di dekat
kita.
-
Berusaha untuk membentuk
kelompok belajar, karena dengan kelompok belajar penugasan akan terasa lebih mudah.
-
Kerjakan penugasan atau tugas secepat mungkin, jangan
ditunda-tunda. Dengan begitu pekerjaan akan lebih mudah karena materi pelajaran
yang telah diberikan oleh guru masih teringat dengan baik.
-
Ada baiknya menyiapkan makanan
secara khusus untuk mengisi perut hal ini terutama bagi yang belajar hingga
larut malam.
2.3
Mencontek Sebagai Budaya yang
Menyimpang
Kata budaya merupakan bentuk majemuk
kata budi-daya yang berarti cipta, karsa, dan rasa. Sebenarnya kata budaya
hanya dipakai sebagai singkatan kata kebudayaan, yang berasal dari Bahasa
Sangsekerta budhayah yaitu bentuk jamak dari budhi yang
berarti budi atau akal. Budaya atau kebudayaan dalam Bahasa Belanda di
istilahkan dengan kata culturur.
Dalam bahasa Inggris culture.
Sedangkan dalam bahasa Latin dari kata colera.
Colera berarti mengolah, mengerjakan, menyuburkan, dan mengembangkan tanah
(bertani). Kemudian pengertian ini berkembang dalam arti culture, yaitu sebagai
segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam.
Definisi budaya dalam pandangan ahli
antropologi sangat berbeda dengan pandangan ahli berbagai ilmu sosial lain.
Ahli-ahli antropologi merumuskan definisi budaya sebagai berikut:
E.B. Taylor: 1871 berpendapat bahwa
budaya adalah: Suatu
keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, kesusilaan,
hukum, adat istiadat, serta kesanggupan dan kebiasaan lainnya yang dipelajari
manusia sebagai anggota masyarakat.
Sedangkan Linton: 1940, mengartikan
budaya dengan: Keseluruhan
dari pengetahuan, sikap dan pola perilaku yang merupakan kebiasaan yang
dimiliki dan diwariskan oleh anggota suatu masyarakat tertentu. Lain halnya
dengan Koentjaraningrat, 1979 yang mengartikan budaya dengan: Keseluruhan sistem gagasan,
tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang
dijadikan milik diri manusia dengan belajar.
Berdasarkan definisi para ahli
tersebut dapat dinyatakan bahwa unsur belajar merupakan hal terpenting dalam
tindakan manusia yang berkebudayaan. Hanya sedikit tindakan manusia dalam
rangka kehidupan bermasyarakat yang tak perlu dibiasakan dengan belajar.
Dari kerangka tersebut diatas tampak
jelas benang merah yang menghubungkan antara pendidikan dan kebudayaan. Dimana
budaya lahir melalui proses belajar yang merupakan kegiatan inti dalam dunia
pendidikan. Selain itu terdapat tiga wujud kebudayaan yaitu :
1) wujud pikiran, gagasan, ide-ide,
norma-norma, peraturan,dan sebagainya. Wujud pertama dari kebudayaan ini
bersifat abstrak, berada dalam pikiran masing-masing anggota masyarakat di
tempat kebudayaan itu hidup;
2) aktifitas kelakuan berpola manusia
dalam masyarakat. Sistem sosial terdiri atas aktifitas-aktifitas manusia yang
saling berinteraksi, berhubungan serta bergaul satu dengan yang lain setiap
saat dan selalu mengikuti pola-pola tertentu berdasarkan adat kelakuan. Sistem
sosial ini bersifat nyata atau konkret;
3) Wujud fisik, merupakan seluruh
total hasil fisik dari aktifitas perbuatan dan karya manusia dalam masyarakat.
Melihat konsep budaya tersebut dapat disimpulkan bahwa mencontek
dikategorikan sebagai hasil kebudayaan karena terdiri dari aktivitas yang
dilakukan secara turun temurun akibatnya menjadi suatu kebiasaan. Kebudayaan yang dimiliki
oleh manusia juga dimiliki dengan cara belajar. Dia tidak diturunkan secara
bilogis atau pewarisan melalui unsur genetis. Hal ini perlu ditegaskan untuk membedakan
perilaku manusia yang digerakan oleh kebudayaan dengan perilaku mahluk lain
yang tingkahlakunya digerakan oleh insting. Ketika baru dilahirkan, semua
tingkah laku manusia yang baru lahir tersebut digerakkan olen insting dan
naluri. Insting atau naluri ini tidak termasuk dalam kebudayaan, tetapi
mempengaruhi kebudayaan. Contohnya adalah kebutuhan akan makan. Makan adalah
kebutuhan dasar yang tidak termasuk dalam kebudayaan. Tetapi bagaimana
kebutuhan itu dipenuhi; apa yang dimakan, bagaimana cara memakan adalah bagian
dari kebudayaan. Semua manusia perlu makan, tetapi kebudayaan yang berbeda
dari kelompokkelompoknya menyebabkan manusia melakukan kegiatan dasar itu
dengan cara yang berbeda. Contohnya adalah cara makan yang berlaku sekarang. Pada
masa dulu orang makan hanya dengan menggunakan tangannya saja, langsung
menyuapkan makanan kedalam mulutnya, tetapi cara tersebut perlahan lahan
berubah, manusia mulai menggunakan alat yang sederhana dari kayu untuk
menyendok dan menyuapkan makanannya dan sekarang alat tersebut dibuat dari
banyak bahan. Demikian mencontek banyak cara telah dilakukan siswa dalam
kegiatannya. Seiring perkembangan teknologi akibatnya tindakan mencontekpun
dapat dilakukan siswa dengan canggih.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1
Studi Literatur
Penulisan karya tulis ilmiah ini berawal
dari studi literatur yang membahas tentang bidang yang berhubungan dengan
tujuan ditulisnya karya ilmiah ini. Studi literatur ini didapatkan dari
buku-buku, jurnal ilmiah, majalah, koran, internet, dan sebagainya. Pokok
bahasan yang diambil dari studi literatur meliputi:
- Identifikasi Kesulitan Belajar Mengajar
- Pengelolaan Kegiatan Belajar Mengajar
- Dasar-dasar Pendidikan
- Antropologi dan Konsep Kebudayaan
- Kamus Besar Bahasa Indonesia
3.2 Prosedur pengumpulan data
Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan
beberapa cara, yaitu :
1.
Angket yaitu dengan menggunakan
sejumlah pertanyaan tertulis untuk memperoleh informasi dari sumber data yang
berhubungan dengan variabel kebiasaan menyontek
2.
Dokumen yaitu berupa laporan
dan hasil tertulis yang berhubungan variabel prestasi belajar siswa (dalam hal
ini buku rapor) dan informasi lain seperti data kelas dan jumlah siswa.
3.
Wawancara yaitu melakukan tanya
jawab dan dialog baik dengan siswa, guru maupun kepala sekolah mengenai keadaan
dan profil sekolah. Data yang diperoleh melalui wawancara ini sifatnya lebih
banyak untuk cek silang kebenaran data yang dieroleh melalui kuesioner dan
dokumentasi
3.3
Metode analisa dan pemecahan masalah dengan cara:
Data yang
terkumpul selanjutnya akan dianalisis sesuai dengan permasalahan yang akan
dikaji dan tujuan penelitia, yaitu menggunakan teknik deskriptif prosentase
dengan maksud klasifikasi dan kualifikasi pengelompokan data dalam bentuk tabel
:
1)
Angka kebiasaan menyontek
2)
Faktor-faktor yang mendorong
siswa menyontek
3)
Awal dimulai kebiasaan
menyontek
3.4 Analisis dan Sintesis
Menyontek merupakan suatu bentuk penyimpangan dalam belajar,
khususnya untuk meraih prestasi belajar. Demi memperoleh angka atau nilai yang
baik tidak sedikit siswa yang menggunakan cara-cara tidak dibenarkan atau
dilarang oleh para guru (pengajar).
Tinjauan
Psikologi Tentang Menyontek atau Cheating
Menurut, Dien F. Iqbal, dosen Fakultas Psikologi Unpad, seperti yang dikutip Rakasiwi (2007) orang menyontek disebabkan faktor dari dalam dan di luar dirinya. Dalam ilmu psikologi, ada yang disebut konsep diri dan harga diri. Konsep diri merupakan gambaran apa yang orang-orang bayangkan, nilai dan rasakan tentang dirinya sendiri. Misalnya, anggapan bahwa, "Saya adalah orang pintar". Anggapan itu lalu akan memunculkan kompenen afektif yang disebut harga diri. Namun, anggapan seperti itu bisa runtuh, terutama saat berhadapan dengan lingkungan di luar penugasanibadinya. Di mana sebagai kelompok, maka harus sepenanggungan dan senasib. Senang bersama, duka mesti dibagi.
Menurut, Dien F. Iqbal, dosen Fakultas Psikologi Unpad, seperti yang dikutip Rakasiwi (2007) orang menyontek disebabkan faktor dari dalam dan di luar dirinya. Dalam ilmu psikologi, ada yang disebut konsep diri dan harga diri. Konsep diri merupakan gambaran apa yang orang-orang bayangkan, nilai dan rasakan tentang dirinya sendiri. Misalnya, anggapan bahwa, "Saya adalah orang pintar". Anggapan itu lalu akan memunculkan kompenen afektif yang disebut harga diri. Namun, anggapan seperti itu bisa runtuh, terutama saat berhadapan dengan lingkungan di luar penugasanibadinya. Di mana sebagai kelompok, maka harus sepenanggungan dan senasib. Senang bersama, duka mesti dibagi.
Yesmil Anwar
(dalam Rakasiwi, 2007) mengatakan, sebenarnya nilai hanya menjadi alat untuk
mencapai tujuan dan bukan tujuan dari pendidikan itu sendiri. Karena pendidikan
sejatinya adalah sebuah penugasanoses manusia mencari pencerahan dari ketidaktahuan. Yesmil
Anwar, mengungkapkan, bahwa menyontek telanjur dianggap sepele oleh masyarakat.
Padahal, bahayanya sangat luar biasa. Bahaya buat si anak didik sekaligus untuk
masa depan pendidikan Indonesia.
Hal ini, kemungkinan disebabkan oleh faktor adanya kesulitan
siswa dalam belajar ataupun karena sifat malas dari siswa itu sendiri. Menurut
Martensi dan Mungin Edy Wibowo (1980: 15-17), mengatakan bahwa faktor-faktor
kesulitan belajar digolongkan menjadi 2 macam, yaitu faktor internal dan faktor
eksternal.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Angka Kebiasaan Mencontek Siswa di SMP N 16 Pekalongan
Dari 100
angket penelitian yang disebarkan pada 10 kelas di SMP Negeri 16 Pekalongan
(Kelas VII dan Kelas VIII), angket-angket yang sudah dikumpulkan diseleksi,
agar data yang diperoleh benar-benar menunjukkan kenyataan yang ada. Adapun
kriteria angket yang bisa dijadikan data yaitu:
1)
Jawaban antara pertanyaan yang
satu tidak berlawanan dengan jawaban pada pertanyaan yang lain.
2)
Semua pertanyaan diisi lengkap
3)
Sesui dengan data pendukung
yang diperoleh dengan metode dokumentasi dan wawancara
Setelah diseleksi, angket yang dinyatakan dapat diambil
sebagai data ada 90 buah. Dan setelah 90 angket tersebut dianalisis, maka
diperoleh data sebagai berikut:
Tabel 1. Angka Kebiasaan Mencontek Siswa
Kriteria
Siswa
|
Sering
Mencontek
|
Kadang-kadang
Mencontek
|
Tidak
Pernah mencontek
|
Total
|
Jml Siswa
(Orang)
|
35
|
55
|
0
|
90
|
Prosentase
|
38,9%
|
61,1%
|
0%
|
100%
|
Dari
tabel dapat disimpulkan bahwa siswa yang kadang-kadang mengerjakan tuga dengan mencontek
adalah paling banyak (61,1%). Siswa yang sering mencontek dalam mengerjakan tugas
ada 38,9%. Siswa yang tidak pernah mencontek dalam mengerjakan tugas tidak ada
(0%). Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas dapat dilihat pada grafik
berikut ini
4.2.
Respon Siswa Setelah Mencontek Penugasan
Bagimanakah respon atau sikap siswa setelah melakukan
perilaku menyimpang yaitu mencontek siswa lain ?. Ternyata sejumlah 75 siswa
atau sebesar 83 % merasa “biasa-biasa saja” dan hanya 5 siswa atau sebesar 5,5
% yang “merasa bersalah” bahkan yang lebih mengejutkan ada sejumlah 10 siswa
atau sebesar 11 % yang merasa “senang” atau barangkali lega karena bebas dari
sangsi guru. Selengkapnya nampak pada tabel berikut ini :
Tabel 2 : Respon siswa setelah mencontek siswa lain
Kriteria Siswa
|
Merasa
Senang
|
Merasa
Bersalah
|
Merasa
Biasa Saja
|
Total
|
Jml Siswa
|
5
|
10
|
75
|
90
|
Prosentase
|
5,5 %
|
11 %
|
83 %
|
100 %
|
Apakah fenomena diatas dapat diartikan bahwa siswa SMP
Negeri 16 Pekalongan menganggap perilaku menyimpang berupa tidak jujur,
menjiplak (plagiat) merupakan tindakan yang wajar-wajar saja ?. Rasanya terlalu
dini untuk mengambil kesimpulan seperti itu, walaupun dari beberapa siswa yang
ditanya ada yang memberikan jawaban berbau diplomasi “ Sekedar membantu orang
tua”. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada grafik berikut ini
4.3 Faktor-faktor yang Mendorong Siswa
Mengerjakan tugas dengan Mencontek Siswa Lain
Secara umum ada 3 faktor yang mendorong siswa untuk mengerjakan penugasan
dengan mencontek, yaitu:
1.
Penugasan terlalu sulit sehingga siswa tidak bisa
mengerjakan.
2.
Siswa malas untuk mengerjakan tugas
3.
Siswa sibuk dengan tugas-tugas
yang lain, sehingga tidak ada waktu untuk mengerjakan tugas
Lalu dari ketiga faktor tersebut, menurut hasil survei penelitian
ini ternyata faktor penugasan yang terlalu sulit adalah faktor yang paling
banyak menyebabkan siswa mencontek siswa lain (48,9%), sedangkan faktor
kemalasan siswa menduduki peringkat ke-2 (38,9%) dan faktor kesibukan siswa
menduduki peringkat ke-3 (12,2%). Hal tersebut ditunjukkan pada tabel berikut:
Tabel 3. Faktor yang mendorong
siswa untuk mencontek
Faktor mendorong siswa mencontek PR
|
Jumlah siswa
|
Prosentase
|
PR yang
sulit
|
44
|
48,9%
|
Malas
mengerjakan
|
35
|
38,9%
|
Kesibukan
siswa
|
11
|
12,2%
|
Total
|
90
|
100%
|
Faktor kemalasan siswa yang berjumlah 21,38 % ini cukup mengejutkan,
karena hal ini sekaligus juga mencerminkan minat dan motivasi belajar siswa SMP
Negeri 16 Pekalongan. Untuk lebih
jelasnya perhatikan grafik berikut ini
4.4 Mata Pelajaran Yang Sering Dicontek Siswa
Berdasarkan jawaban responden atas pertanyaan “Pada pelajaran apa
saja Anda biasa mencontek (Pilihan boleh lebih dari satu)” diperoleh data
sebagai berikut:
Tabel 4 : Mata Pelajaran yang sering dicontek Siswa
No.
|
Mapel
|
Siswa
|
Ketr.
|
No.
|
Mapel
|
Siswa
|
Ketr.
|
1.
|
Matematika
|
75
|
Setiap siswa bisa memilih lebih dari satu Mata
Pelajaran
|
8.
|
Bhs Jawa
|
48
|
Siswa bisa memilih lebih dari satu Mata Pelajaran
|
2.
|
IPA
|
39
|
9.
|
TIK
|
15
|
||
3.
|
IPS
|
33
|
10.
|
PAI
|
10
|
||
4.
|
PKN
|
15
|
11.
|
Sn Bdy
|
10
|
||
5.
|
B.
Inggris
|
31
|
|
|
|
||
6.
|
B. Indon
|
16
|
|
|
|
||
7.
|
TABUS
|
17
|
|
|
|
Dari tabel diatas nampak bahwa mata pelajaran yang paling banyak
dicontek siswa adalah Matematika disusul mata pelajaran Bhs Jawa, IPA, IPS dan
Bahasa Inggris. Hal ini bisa berarti bahwa dimata para siswa SMP Negeri 16 Pekalongan,
mata pelajaran tersebut merupakan mata pelajaran yang paling sulit.
4.5 Awal
Kebiasaan Mencontek
Berdasarkan angket, siswa mulai melakukan kegiatan mencontek
diperoleh hasil sebagai berikut :
a.
65 siswa atau sebesar 72,2%
mulai di Sekolah Dasar
b.
25 siswa atau sebesar 27,8%
mulai di SMP
4.6 Respon Guru Terhadap Penugasan yang
dikerjakan Siswa
Dari 90 angket yang dianalisis, untuk pertanyaan “Apakah Guru
memberi respon terhadap penugasan yang dikerjakan siswa (berupa dikoreksi atau
dibahas)”, diperoleh jawaban sebagai berikut :
Tabel 5: Respon Guru Terhadap Penugasan yang dikerjakan Siswa
Kriteria Siswa
|
Sering
|
Kadang-kadang
|
Tidak
Pernah
|
Total
|
Jml Siswa
|
25
|
50
|
15
|
90
|
Prosentase
|
27,8%
|
55,6 %
|
16,7 %
|
100 %
|
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa sebagian besar Guru telah
memberi respon atas tugas yang dikerjakan siswa dalam bentuk dikoreksi atau
dibahas kembali, walaupun tidak seluruhnya. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat
pada rafik berikut ini :
4.7 Dampak Respon Guru terhadap Motivasi
Siswa Mengerjakan Penugasan
Ternyata guru yang memberi tanggapan atas penugasan yang telah
dikerjakan siswa berupa dikoreksi atau dibahas kembali mempunyai pengaruh
terhadap motivasi siswa dalam mengerjakan tugas. Hal ini terungkap dari jawaban
siswa atas angket yang diberikan sebagai berikut :
Tabel 6 : Guru yang Tidak Merespon dan Pengaruhnya terhadap Motivasi
Siswa Mengerjakan Pekerjaan Rumah
Kriteria Siswa
|
Malas
|
Kadang-kadang
|
Tetap
Mengerjakan
|
Total
|
Jml Siswa
|
60
|
5
|
25
|
90
|
Prosentase
|
66,7 %
|
5,6 %
|
27,8 %
|
100 %
|
Tabel diatas menunjukkan bahwa siswa akan menjadi malas ( 66,7 % )
dan kadang-kadang malas (5,6 %) untuk mengerjakan bila guru tidak pernah
memberikan respon atas pekerjaan mereka. Hanya 25 siswa saja atau 27,8 % yang
masih bersemangat untuk mengerjakan PR walaupun guru tidak memberikan
tanggapan.
4.8 Hubungan Kebiasaan Mencontek dengan Budaya
Linton: 1940, mengartikan budaya
dengan: Keseluruhan
dari pengetahuan, sikap dan pola perilaku yang merupakan kebiasaan yang
dimiliki dan diwariskan oleh anggota suatu masyarakat tertentu.
Berdasarkan data awal
kebiasaan mencontek diketahui bahwa :
a.
65 siswa atau sebesar 72,2%
mulai di Sekolah Dasar
b.
25 siswa atau sebesar 27,8%
mulai di SMP
Dari hasil tersebut dan wawancara yang dilakukan terhadap siswa mengenai
awal kebiasaan tersebut, ternyata bahwa banyak siswa yang meniru terhadap
kebiasaan teman dan terbawa kebiasaan yang lama.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari
hasil dan pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.
Faktor yang paling mendorong
siswa untuk mencontek siswa lain adalah siswa merasa sulit.(64,84%)
- Kebanyakan siswa mengerjakan penugasan dengan mencontek siswa lain pada pelajaran matematika.
- Kebanyakan siswa mulai terbiasa mencontek dibangku SD (72,2%). Hal tersebut dipengaruhi oleh kurangnya pengawasan guru terhadap masing-masing siswa sebagai akibat banyaknya tugas sampingan guru selain sebagai pengajar.
- Sebagian besar guru kadang-kadang memberi respon terhadap penugasan yang dikerjakan siswa (55,6%). Siswa akan termotivasi untuk mengerjakan penugasan apabila guru mau memberikan respon atas tugas yang diberikan. Respon tersebut dapat berupa mengoreksi, memberi nilai, atau membahas penugasan yang dikerjakan oleh siswa.
- Sebagian siswa menganggap mencontek sudah merupakan tradisi karena hal tersebut dilakukan secara turun-temurun dan kebiasaan ini dapat cepat dilakukan oleh siswa yang lain. Dengan kata lain siswa meniru kebiasaan mencontek.
- 5.2 Saran
1.
Mengingat mencontek termasuk
perilaku menyimpang, para siswa diharapkan mau mengerjakan penugasan sendiri,
atau bila mengalami kesulitan bisa dikerjakan secara kelompok
- Para guru diharapkan mau memberikan respon positif terhadap penugasan yang diberikan kepada siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi, 1998, Prosedur Penelitian, PT. Rineka
Cipta, Jakarta.
Abdurochman, Mulyono,
1999, Dasr-dasar Pendidikan, PT. Ghalia, Jakarta.
Depdikbud RI, 1994, Kurikulum
Sekolah Menengah Umum: Landasan Program dan Pengembangan, Depdikbud,
Jakarta.
Koestoer, Potoisastro,
1984, Diagnosa Dan Pemecahan Kesulitan Belajar, Penerbit Erlangga,
Jakarta.
Martensi KDJ dan Mungin
Edi Wibowo,1980, Identifikasi Kesulitan Belajar Mengajar, FIP-IKIP
Semarang, Semarang.
Ngaslim, Purwanto, 1990,
Psikologi Pendidikan, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Nursito, 2002, Pengelolaan
Kegiatan Belajar Mengajar, PT. Balai Pustaka, Jakarta.
Santoso, Totok, 1998, Layanan
Bimbingan di Sekolah, Setya Wacana, Solo.
Sardiman, 1996, Interaksi
Dan Motivasi Belajar Mengajar, PT. Rajawali, Jakarta.
Sardiman, 1992, Psikologi
Pendidikan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Satmoko, Retno
Sriningsih, 2000, Statistika Inferensial, IKIP Semarang Press, Semarang.
Sudjana, Nana dan
Ibrahim, 1992, Penelitian dan Penilaian Pendidikan, Sinar Baru, Bandung
Sumanto, Wasty, 1998,
Psikologi Pendidikan (Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan), PT. Rineka
Cipta, Jakarta.
Suryabrata, Sumadi, 1998,
Psikologi Pendidikan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Syahrani, Femmy, 2002, Kuasai
Lebih Cepat, Penerbit Kaifa, Bandung.
Tim Penyusun Kamus Binaan
Dan Pengembangan Bahasa, 1997, Kamus Besar Bahasa Indonesia, PT. BLAI
PUSTAKA, Jakarta.
pa, boleh lihat contoh angketnya?
BalasHapusboleh aja...klo bisa lwt email saja
Hapusasrie.mustari@yahoo.co.id itu emailnya pa.. makasih banyak sebelumnya.. ditunggu kirimannya :)
BalasHapus