Kamis, 07 Februari 2013

LPIR IPS 2011


MENCONTEK
 SEBAGAI BENTUK PERILAKU PENYIMPANGAN SOSIAL
YANG MENJADI  BUDAYA BAGI SISWA  
DI SMP NEGERI 16 PEKALONGAN

PERINGKAT IV LPIR 2011
Tk. KOTA PEKALONGAN


ABSTRAKSI


Firman Allah menegaskan bahwa Dia telah menjadikan manusia makhluk ciptaan-Nya yang paling baik. Manusia diberikan-Nya akal dan dipersiapkan untuk menerima bermacam-macam ilmu pengetahuan dan kepandaian; sehingga dapat berkreasi (berdaya cipta) dan sanggup menguasai alam. Manusia juga harus bersosialisasi dengan lingkungan, yang merupakan pendidikan awal dalam suatu interaksi sosial. Hal ini menjadikan manusia harus mempunyai ilmu pengetahuan yang berlandaskan ketuhanan. Karena dengan ilmu tersebut manusia dapat membedakan antara yang hak dengan yang bukan hak, antara kewajiban dan yang bukan kewajiban. Sehingga norma-norma dalam lingkungan berjalan dengan harmonis dan seimbang. Agar norma-norma tersebut berjalan haruslah manusia di didik dengan berkesinambungan, agar hasil dari pendidikan yakni kebudayaan dapat diimplementasikan dimasyarakat.
Sangat disayangkan manusia dengan kesempurnaannya dalam proses pembelajaran yang seharusnya mampu merubah perilaku siswa menjadi baik serta dengan ilmu tersebut manusia dapat membedakan antara yang hak dengan yang bukan hak, antara kewajiban dan yang bukan kewajiban, hanya karena demi prestasi yang tinggi siswa rela melakukan hal-hal yang tidak seharusnya dilakukan dalam belajar, yakni mencontek.
Penulisan karya tulis ilmiah ini berawal dari pengalaman dan studi literatur yang membahas tentang bidang yang berhubungan dengan tujuan ditulisnya karya ilmiah ini.
Mencontek yang dianggap sebagai budaya ternyata berawal dari suatu kebiasaan, faktor internal dan eksternal (pengaruh lingkungan) serta meniru teman. Akhirnya kebiasaan ini menjadi tradisi yang turun temurun.
Untuk itulah perlu adanya upaya untuk mencegah kebiasaan tersebut, karena dapat merusak kehidupan siswa di masa yang akan datang.


Kata kunci : Mencontek, perilaku penyimpangan, dan budaya siswa


BAB I
PENDAHULUAN


1.1    Latar Belakang
Kehidupan manusia sangatlah komplek, begitu pula hubungan yang terjadi pada manusia sangatlah luas. Hubungan tersebut dapat terjadi antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, manusia dengan makhluk hidup yang ada di alam, dan manusia dengan Sang Pencipta. Setiap hubungan tersebut harus berjalan seimbang. Selain itu manusia juga diciptakan dengan sesempurna penciptaan, dengan sebaik-baik bentuk yang dimiliki. Hal ini diisyaratkan dalam surat At-Tiin: 4
“Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.
Dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa Dia telah menjadikan manusia makhluk ciptaan-Nya yang paling baik. Manusia diberikan-Nya akal dan dipersiapkan untuk menerima bermacam-macam ilmu pengetahuan dan kepandaian; sehingga dapat berkreasi (berdaya cipta) dan sanggup menguasai alam. Manusia juga harus bersosialisasi dengan lingkungan, yang merupakan pendidikan awal dalam suatu interaksi sosial. Hal ini menjadikan manusia harus mempunyai ilmu pengetahuan yang berlandaskan ketuhanan. Karena dengan ilmu tersebut manusia dapat membedakan antara yang hak dengan yang bukan hak, antara kewajiban dan yang bukan kewajiban. Sehingga norma-norma dalam lingkungan berjalan dengan harmonis dan seimbang. Agar norma-norma tersebut berjalan haruslah manusia dididik dengan berkesinambungan, agar hasil dari pendidikan yakni kebudayaan dapat diimplementasikan dimasyarakat.
Sangat disayangkan manusia dengan kesempurnaannya dalam proses pembelajaran yang seharusnya mampu merubah perilaku siswa menjadi baik serta dengan ilmu tersebut manusia dapat membedakan antara yang hak dengan yang bukan hak, antara kewajiban dan yang bukan kewajiban, hanya karena demi prestasi yang tinggi siswa rela melakukan hal-hal yang tidak seharusnya dilakukan dalam belajar, yakni mencontek.
Berdasarkan kondisi di SMP Negeri 16 Pekalongan yang mayoritas siswanya memiliki tingkat motivasi belajar dan kemampuan akademis yang relative rendah, mencontek memang sudah menjadi tradisi dan kebudayaan yang sangat susah untuk di hindarkan. Keinginan untuk mendapat nilai yang bagus dengan tidak di ikuti rajin belajar, mencontek adalah salah satu alternatif yang paling banyak dilakukan oleh siswa. Tidak hanya siswa tak pintar saja yang mencontek, bahkan siswa yang berprestasi pun tidak luput dari mencontek walau hanya sebagian.
Suatu fenomena yang menarik, karena kebiasaan mencontek telah menjadi budaya di sekolah ini. Dengan latar belakang masalah itulah penulis ingin tahu mengenai kebiasaan mencontek yang dianggap sebagai suatu budaya yang sulit dihilangkan.

1.2   Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dalam penelitian ini dirumuskan masalah sebagai berikut:
1)      Mengapa mencontek dianggap sebagai suatu budaya yang harus dilakukan oleh siswa?
2)      Faktor apakah yang mendorong siswa untuk mencontek siswa lain?
3)      Kapankah seorang siswa mulai terbiasa mencontek siswa lain?
4)      Apakah guru merespon terhadap siswa yang mencontek ?
 1.3  Gagasan Kreatif
Kebiasaan mencontek yang dilakukan siswa sangat mengganggu siswa lain terutama yang dicontek dan ternyata berpengaruh terhadap hasil prestasi akademik siswa. Hal inilah yang dapat menimbulkan dan menularkan sifat malas kepada siswa lain. Apabila hal ini dibiarkan tentunya akan menjadi budaya yang berdampak bagi siswa di masa depan.
 1.4  Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.      Tujuan
a)      Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi siswa mencontek dari siswa lain.
b)      Untuk mengetahui kapan siswa memiliki kebiasaan mencontek
c)      Untuk mengetahui respon guru terhadap siswa yang memiliki kebiasaan mencontek
2.      Manfaat
a)      Memberi informasi kepada pihak sekolah mengenai faktor-faktor yang mendorong siswa untuk mencontek siswa lain
b)      Memberi informasi mengenai kapan seorang siswa mulai terbiasa mencontek
Memberikan informasi kepada sekolah mengenai respon guru terhadap siswa yang mencontek



BAB II
TELAAH PUSTAKA

 2.1        Mencontek
Mencontek atau menjiplak menurut Kamus Bahasa Indonesia karangan W.J.S. Purwadarminta adalah mencontoh, meniru, atau mengutip tulisan, pekerjaan orang lain sebagaimana aslinya. Dalam artikel yang ditulis oleh Alhadza (2004) kata mencontek sama dengan cheating. Beliau mengutip pendapat Bower (1964) yang mengatakan cheating adalah perbuatan yang menggunakan cara-cara yang tidak sah untuk tujuan yang sah atau terhormat yaitu mendapatkan keberhasilan akademis atau menghindari kegagalan akademis. Sedang menurut Deighton (1971), cheating adalah upaya yang dilakukan seseorang untuk mendapatkan keberhasilan dengan cara-cara yang tidak fair (tidak jujur). Menurut Suparno (2000). Segala sistem dan taktik penyontekan sudah dikenal siswa. Sistem suap agar mendapat nilai baik, juga membayar guru agar membocorkan soal ulangan, sudah menjadi taktik biasa dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Berdasarkan contoh-contoh pengalaman diatas dalam tulisan ini mencontek adalah suatu perbuatan atau cara-cara yang tidak jujur, curang, dan menghalalkan segala cara untuk mencapai nilai yang terbaik dalam ulangan atau ujian pada setiap mata pelajaran. Mencontek merupakan suatu bentuk penyimpangan dalam belajar, khususnya untuk meraih prestasi belajar. Demi memperoleh angka atau nilai yang baik tidak sedikit siswa yang menggunakan cara-cara tidak dibenarkan atau dilarang oleh para guru (pengajar).
Mencontek dapat dikatagorikan dalam dua bagian ; pertama mencontek dengan usaha sendiri; kedua dengan kerjasama. Dalam makalah yang ditulis Alhadza (2004) yang termasuk dalam kategori mencontek antara lain adalah meniru pekerjaan teman, bertanya langsung pada teman ketika sedang mengerjakan tes/ujian, membawa catatan pada kertas, pada anggota badan atau pada pakaian masuk ke ruang ujian, menerima dropping jawaban dari pihak luar, mencari bocoran soal, arisan (saling tukar) mengerjakan tugas dengan teman, menyuruh atau meminta bantuan orang lain dalam menyelesaikan tugas ujian di kelas atau tugas penulisan paper dan take home test. 
Menurut Bandura (dalam Vegawati, Oki dan Noviani, 2004), fungsi psikologis merupakan hubungan timbal balik yang interdependen dan berlangsung terus menerus antara faktor individu, tingkah laku, dan lingkungan. Dalam hal ini, faktor penentu tingkah laku internal (a.l., keyakinan dan harapan), serta faktor penentu eksternal (a.l., "hadiah" dan "hukuman") merupakan bagian dari sistem pengaruh yang saling berinteraksi. Proses interaksi yang terjadi dalam individu terdiri dari empat proses, yaitu atensi, retensi, repenugasanoduksi motorik, dan motivasi.
Berdasarkan teori-teori tentang motivasi, diketahui bahwa cheating bisa terjadi apabila seseorang berada dalam kondisi underpenugasanessure, atau apabila dorongan atau harapan untuk berpenugasanestasi jauh lebih besar dari pada potensi yang dimiliki. Semakin besar harapan atau semakin tinggi penugasanestasi yang diinginkan dan semakin kecil potensi yang dimiliki maka semakin besar hasrat dan kemungkinan untuk melakukan cheating. Dalam hal seperti itu maka, perilaku cheating tinggal menunggu kesempatan atau peluang saja, seperti kita dengar iklan di televisi mengatakan tentang teori kriminal bahwa kejahatan akan terjadi apabila bertemu antara niat dan kesempatan. 
Pertimbangan-pertimbangan yang sering digunakan adalah nilai-nilai agama yang akan memunculkan perasaan bersalah dan perasaan berdosa, kepuasan diri terhadap "penugasanestasi" akademik yang dimilikinya, dan juga karena sistem pengawasan ujian, kondusif atau tidak untuk mencontek. Masalah kepuasan "penugasanestasi" akademik juga akan menjadi sebuah konsekuensi yang mungkin menjadi pertimbangan bagi seseorang untuk mencontek. Bila ia mencontek, maka ia menjadi tidak puas dengan hasil yang diperolehnya. 
Yesmil Anwar (dalam Rakasiwi, 2007) mengatakan, sebenarnya nilai hanya menjadi alat untuk mencapai tujuan dan bukan tujuan dari pendidikan itu sendiri. Karena pendidikan sejatinya adalah sebuah proses manusia mencari pencerahan dari ketidaktahuan. Yesmil Anwar, mengungkapkan, bahwa mencontek telanjur dianggap sepele oleh masyarakat. Padahal, bahayanya sangat luar biasa. Bahaya buat si anak didik sekaligus untuk masa depan pendidikan Indonesia.
Hal ini, kemungkinan disebabkan oleh faktor adanya kesulitan siswa dalam belajar ataupun karena sifat malas dari siswa itu sendiri. Menurut Martensi dan Mungin Edy Wibowo (1980 : 15-17 ), mengatakan bahwa faktor-faktor kesulitan belajar digolongkan menjadi 2 macam, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
A.    Faktor Internal
1)      Penyebab yang bersifat fisik
Kedaan fisik yang tidak sehat atau tidak fit akan menyebabkan kesulitan belajar mengikuti pelajaran seperti cacat tubuh, buta , gagap, tuna rungu. Dan juga menderita penyakit-penyakit tertentu seperti : asma, batuk-batuk, sering sakit perut, sakit jantung dan semacamnya.
2)      Intelegensi
Peserta didik yang kurang cerdas atau peserta didik yang lambat belajar (slow leaner ) membutuhkan waktu belajar yang banyak dan sulit mengikuti belajar biasa / pada umumnya. Peserta didik yang sangat cerdas pula membutuhkan pelajaran tambahan karena mereka menganggap mudah dan cepat mengikuti program pelajaran biasa.
3)      Bakat khusus
Peserta didik yang menuntut pelajaran atau ilmu pengetahuan yang tidak sesuai dengan bakatnya sering mengalami kesukaran dalam belajarnya. Tetapi sebaliknya apabila pelajaran yang diterimanya sesuai dengan bakatnya maka prestasi belajarnya akan baik dan bergairah serta giat belajar .
4)      Minat dan Perhatian
Minat dan perhatian erat hubungannya dengan bakat khusus dan masa peka. Seorang peserta didik yang mempunyai bakat dalam bidang studi tertentu dengan sendirinya minat dan perhatian besar sekali terhadap bidang tersebut seperti : a) waktu khusus belajar , b) tekun / rajin membaca, c) respon tehadap catatan, d) kesangupan anak dalam mengerjakan tugas, e) baik antar teman maupun antar kelompok.
5)      Keadaan Emosi Tidak Stabil
Keadaan emosi tidak stabil dapat diuraikan sebagai berikut ;
a.       Perasaan tidak aman, menyebabkan peserta didik tidak kerasan mengikuti pelajaran .
b.      Tidak dapat menyesuaikan diri dengan teman atau lingkungan dan tidak senang adanya peraturan atau tata tertib.
c.       Mudah tergganggu, tersinggung, lekas marah, perasaan tertekan dan yang semacamnya.
d.      Ketidakmatangan emosi
6)      Sikap-sikap yang merugikan dan kebiasaan yang salah
Sikap-sikap merugikan dan kebiasaan yang salah diantaranya adalah:
a.       Acuh tak acuh dan mengabaikan pekerjaan sekolah .
b.      Tidak mau belajar tetapi sibuk dengan kegiatan lain di luar sekolah.
c.       Tidak punya semangat / gairah atau tidak serius.
d.      Tidak mau belajar bersama dan segan bertanya kalau mendapat kesukaran dan lain-lain.
7)      Gangguan-gangguan psikis
Peserta didik yang mendapat gangguan psikis seperti ; neurotis, psikotis dan sebaginya , penugasanoses belajarnya juga terganggu sehingga sering kali tidak dapat menyelesaikan studinya. Peserta didik tersebut membutuhkan perwatan dan pertolongan seorang ahli. misalnya : psikiater. Menurut Mulyono Abdurohman (1999 : 13), penugasanestasi belajar dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Penyebab utama kesulitan belajar ( learning disabilities) adalah faktor internal yaitu kemungkinan adanya disfungsi neurologis, sedangkan penyebab utama penugasanoblema belajar  adalah faktor eksternal. Disfungsi neurologis dapat menyebabkan kesulitan belajar antara lain : a) faktor genetik; b) Luka pada otak; c). Biokimia yang hilang ; d) Biokimia yang merusak otak ( misal : zat pewarna pada makanan ); e) Pencemaran Lingkungan; f) Gizi yang tidak memadahi dan g) Pengaruh-pengaruh psikologis dan sosial yang merugikan perkembangan anak  ( depenugasanevasi lingkungan ).
B.     Faktor Eksternal
Menurut Martensi KDj dan Mungin Edy Wibowo, disamping faktor internal yang mempengaruhi belajar juga faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi pula pada aktivitas belajar adalah keadaan keluarga, keadaan sekolah dan keadaan masyarakat.
a.       Keadaan Keluarga
1)      Cara Mendidik
2)      Perhatian dan pengawasan Orang Tua
-          Hubungan orang tua dan anak
-          Teladan orang tua
-          Pekerjaan Orang Tua
3)      Suasana rumah
b.       Keadaan Sekolah 
1)      Hubungan antar teman
2)      Kurikukulum
3)      Waktu sekolah yang kurang tepat
4)      Pendidik / Guru
5)      Sarana pembelajaran
(a)    Alat pelajaran
(b)   Kelengkapan bacaan
(c)    Kondisi gedung
c.       Keadaan masyarakat
(1)       Teman-teman bergaul yang tidak dikontrol  yang berpengaruh tidak baik terhadap para peserta didik kita cukup banyak .
(2)   Mass media
Menurut Totok Santoso faktor eksternal adalah faktor lingkungan belajar dalam sekolah dan di luar sekolah.
1.      Lingkungan belajar dalam sekolah terdiri dari : lingkungan alam seperti suhu udara, penukaran udara atau cahaya, penerangan dan tumbuh-tumbuhan di dalam areal sekolah. Lingkungan sosial seperti suasana hubungan timbal balik antara semua personal yang terlibat dalam kegiatan belajar.
2.      Faktor sistem instruksional. Yang didorong faktor ini adalah kurikulum, bahan belajar, dan metode penyajian.
3.      Faktor situasional. Keadaan politik, ekonomis, keadaan waktu mencakup jumlah hari, keadaan tempat atau lokasi, ruang kelas. Keadaan musim. Iklim kerap menciptakan kondisi psikis atau kondisi fisik pada guru atau siswa yang kurang menguntungkan. ( Totok Santoso, 1998 : 18-20 )

2.2    Kebiasaan Mencontek dengan Siswa Lain
1.      Hal-hal yang mendorong siswa untuk mencontek siswa lain
Mencontek siswa lain dapat dilatar belakang oleh banyak hal, antara lain:
a. Jumlah soal atau materi yang terlalu banyak
b.      Penugasan yang terrlalu sulit
c. Guru yang tidak mau membahas atau mengoreksi penugasan
d.      Rasa malas siswa dalam mengerjakan tugas
2.      Sanksi bagi siswa yang tidak mengerjakan penugasan
Sanksi atau hukuman memang perlu diberikan untuk siswa yang tidak mengerjakan penugasan. Selain dapat memotivasi siswa agar mau mengerjakan penugasan, pemberian sanksi juga dapat berguna untuk mencegah berkembangnya kebiasaan siswa untuk menjiplak penugasan  siswa lain.
3.      Keuntungan bagi siswa yang mengerjakan penugasan dan kerugian bagi siswa yang tidak mengerjakan penugasan.
a. Keuntungan untuk siswa yang mengerjakan penugasan
-          Ada persiapan untuk pelajaran yang akan datang
-          Menggali lebih dalam materi yang telah didapatkan di kelas.
-          Mendapatkan informasi yang lebih dari suatu materi.
-          Mengulang dan berlatih pelajaran yang sudah di dapat
-          Melatih disiplin diri.
b.Kerugian untuk siswa yang tidak mengerjakan penugasan
-          Bisa dikenai hukuman oleh guru yang memberi penugasan
-          Tidak ada persiapan untuk pelajaran yang akan datang, apalagi bila diadakan ulangan mendadak.
-          Hanya tahu informasi sebatas yang diberikan oleh guru saja dari suatu materi.
-          Tidak bisa berlatih dengan soal yang lebih menantang
-          Mudah lupa mengenai materi yang telah diberikan guru
4.Matode mengerjakan penugasan  secara tepat
-          Memilih waktu yang paling sesuai untuk mengerjakan penugasan, dan selalu berusaha untuk menempati waktu tersebut.
-          Megerjakan tugas yang menurut kita paling sulit terlebih dahulu selagi waktu yang tersedia masih panjang.
-          Menyediakan waktu istirahat kira-kira 5 menit ketika mengerjakan penugasan. Waktu istirahat tersebut digunakan untuk menghilangkan kejenuhan sesaat.
-          Menyiapkan segala alat yang dibutuhkan untuk mengerjakan penugasan  segala sesuatu yang kita butuhkan ada di dekat kita.
-          Berusaha untuk membentuk kelompok belajar, karena dengan kelompok belajar penugasan  akan terasa lebih mudah.
-          Kerjakan penugasan  atau tugas secepat mungkin, jangan ditunda-tunda. Dengan begitu pekerjaan akan lebih mudah karena materi pelajaran yang telah diberikan oleh guru masih teringat dengan baik.
-          Ada baiknya menyiapkan makanan secara khusus untuk mengisi perut hal ini terutama bagi yang belajar hingga larut malam.

2.3    Mencontek Sebagai Budaya yang Menyimpang
Kata budaya merupakan bentuk majemuk kata budi-daya yang berarti cipta, karsa, dan rasa. Sebenarnya kata budaya hanya dipakai sebagai singkatan kata kebudayaan, yang berasal dari Bahasa Sangsekerta budhayah yaitu bentuk jamak dari budhi yang berarti budi atau akal. Budaya atau kebudayaan dalam Bahasa Belanda di istilahkan dengan kata culturur. Dalam bahasa Inggris culture. Sedangkan dalam bahasa Latin dari kata colera. Colera berarti mengolah, mengerjakan, menyuburkan, dan mengembangkan tanah (bertani). Kemudian pengertian ini berkembang dalam arti culture, yaitu sebagai segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam.
Definisi budaya dalam pandangan ahli antropologi sangat berbeda dengan pandangan ahli berbagai ilmu sosial lain. Ahli-ahli antropologi merumuskan definisi budaya sebagai berikut:
E.B. Taylor: 1871 berpendapat bahwa budaya adalah: Suatu keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, kesusilaan, hukum, adat istiadat, serta kesanggupan dan kebiasaan lainnya yang dipelajari manusia sebagai anggota masyarakat.
Sedangkan Linton: 1940, mengartikan budaya dengan: Keseluruhan dari pengetahuan, sikap dan pola perilaku yang merupakan kebiasaan yang dimiliki dan diwariskan oleh anggota suatu masyarakat tertentu. Lain halnya dengan Koentjaraningrat, 1979 yang mengartikan budaya dengan: Keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.
Berdasarkan definisi para ahli tersebut dapat dinyatakan bahwa unsur belajar merupakan hal terpenting dalam tindakan manusia yang berkebudayaan. Hanya sedikit tindakan manusia dalam rangka kehidupan bermasyarakat yang tak perlu dibiasakan dengan belajar.
Dari kerangka tersebut diatas tampak jelas benang merah yang menghubungkan antara pendidikan dan kebudayaan. Dimana budaya lahir melalui proses belajar yang merupakan kegiatan inti dalam dunia pendidikan. Selain itu terdapat tiga wujud kebudayaan yaitu :
1) wujud pikiran, gagasan, ide-ide, norma-norma, peraturan,dan sebagainya. Wujud pertama dari kebudayaan ini bersifat abstrak, berada dalam pikiran masing-masing anggota masyarakat di tempat kebudayaan itu hidup;
2) aktifitas kelakuan berpola manusia dalam masyarakat. Sistem sosial terdiri atas aktifitas-aktifitas manusia yang saling berinteraksi, berhubungan serta bergaul satu dengan yang lain setiap saat dan selalu mengikuti pola-pola tertentu berdasarkan adat kelakuan. Sistem sosial ini bersifat nyata atau konkret;
3) Wujud fisik, merupakan seluruh total hasil fisik dari aktifitas perbuatan dan karya manusia dalam masyarakat.
Melihat konsep budaya tersebut dapat disimpulkan bahwa mencontek dikategorikan sebagai hasil kebudayaan karena terdiri dari aktivitas yang dilakukan secara turun temurun akibatnya menjadi suatu kebiasaan. Kebudayaan yang dimiliki oleh manusia juga dimiliki dengan cara belajar. Dia tidak diturunkan secara bilogis atau pewarisan melalui unsur genetis. Hal ini perlu ditegaskan untuk membedakan perilaku manusia yang digerakan oleh kebudayaan dengan perilaku mahluk lain yang tingkahlakunya digerakan oleh insting. Ketika baru dilahirkan, semua tingkah laku manusia yang baru lahir tersebut digerakkan olen insting dan naluri. Insting atau naluri ini tidak termasuk dalam kebudayaan, tetapi mempengaruhi kebudayaan. Contohnya adalah kebutuhan akan makan. Makan adalah kebutuhan dasar yang tidak termasuk dalam kebudayaan. Tetapi bagaimana kebutuhan itu dipenuhi; apa yang dimakan, bagaimana cara memakan adalah bagian dari kebudayaan. Semua manusia perlu makan, tetapi kebudayaan yang berbeda dari kelompokkelompoknya menyebabkan manusia melakukan kegiatan dasar itu dengan cara yang berbeda. Contohnya adalah cara makan yang berlaku sekarang. Pada masa dulu orang makan hanya dengan menggunakan tangannya saja, langsung menyuapkan makanan kedalam mulutnya, tetapi cara tersebut perlahan lahan berubah, manusia mulai menggunakan alat yang sederhana dari kayu untuk menyendok dan menyuapkan makanannya dan sekarang alat tersebut dibuat dari banyak bahan. Demikian mencontek banyak cara telah dilakukan siswa dalam kegiatannya. Seiring perkembangan teknologi akibatnya tindakan mencontekpun dapat dilakukan siswa dengan canggih.


BAB III
 METODE PENELITIAN


3.1 Studi Literatur
Penulisan karya tulis ilmiah ini berawal dari studi literatur yang membahas tentang bidang yang berhubungan dengan tujuan ditulisnya karya ilmiah ini. Studi literatur ini didapatkan dari buku-buku, jurnal ilmiah, majalah, koran, internet, dan sebagainya. Pokok bahasan yang diambil dari studi literatur meliputi:
  1. Identifikasi Kesulitan Belajar Mengajar
  2. Pengelolaan Kegiatan Belajar Mengajar
  3. Dasar-dasar Pendidikan
  4. Antropologi dan Konsep Kebudayaan
  5. Kamus Besar Bahasa Indonesia

3.2 Prosedur pengumpulan data
Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan beberapa cara, yaitu :
1.    Angket yaitu dengan menggunakan sejumlah pertanyaan tertulis untuk memperoleh informasi dari sumber data yang berhubungan dengan variabel kebiasaan menyontek
2.    Dokumen yaitu berupa laporan dan hasil tertulis yang berhubungan variabel prestasi belajar siswa (dalam hal ini buku rapor) dan informasi lain seperti data kelas dan jumlah siswa.
3.    Wawancara yaitu melakukan tanya jawab dan dialog baik dengan siswa, guru maupun kepala sekolah mengenai keadaan dan profil sekolah. Data yang diperoleh melalui wawancara ini sifatnya lebih banyak untuk cek silang kebenaran data yang dieroleh melalui kuesioner dan dokumentasi

3.3 Metode analisa dan pemecahan masalah dengan cara:
Data yang terkumpul selanjutnya akan dianalisis sesuai dengan permasalahan yang akan dikaji dan tujuan penelitia, yaitu menggunakan teknik deskriptif prosentase dengan maksud klasifikasi dan kualifikasi pengelompokan data dalam bentuk tabel :
1)             Angka kebiasaan menyontek
2)             Faktor-faktor yang mendorong siswa menyontek
3)             Awal dimulai kebiasaan menyontek

3.4 Analisis dan Sintesis
Menyontek merupakan suatu bentuk penyimpangan dalam belajar, khususnya untuk meraih prestasi belajar. Demi memperoleh angka atau nilai yang baik tidak sedikit siswa yang menggunakan cara-cara tidak dibenarkan atau dilarang oleh para guru (pengajar).
Tinjauan Psikologi Tentang Menyontek atau Cheating
Menurut, Dien F. Iqbal, dosen Fakultas Psikologi Unpad, seperti yang dikutip Rakasiwi (2007) orang menyontek disebabkan faktor dari dalam dan di luar dirinya. Dalam ilmu psikologi, ada yang disebut konsep diri dan harga diri. Konsep diri merupakan gambaran apa yang orang-orang bayangkan, nilai dan rasakan tentang dirinya sendiri. Misalnya, anggapan bahwa, "Saya adalah orang pintar". Anggapan itu lalu akan memunculkan kompenen afektif yang disebut harga diri. Namun, anggapan seperti itu bisa runtuh, terutama saat berhadapan dengan lingkungan di luar
penugasanibadinya. Di mana sebagai kelompok, maka harus sepenanggungan dan senasib. Senang bersama, duka mesti dibagi. 
Yesmil Anwar (dalam Rakasiwi, 2007) mengatakan, sebenarnya nilai hanya menjadi alat untuk mencapai tujuan dan bukan tujuan dari pendidikan itu sendiri. Karena pendidikan sejatinya adalah sebuah penugasanoses manusia mencari pencerahan dari ketidaktahuan. Yesmil Anwar, mengungkapkan, bahwa menyontek telanjur dianggap sepele oleh masyarakat. Padahal, bahayanya sangat luar biasa. Bahaya buat si anak didik sekaligus untuk masa depan pendidikan Indonesia.
Hal ini, kemungkinan disebabkan oleh faktor adanya kesulitan siswa dalam belajar ataupun karena sifat malas dari siswa itu sendiri. Menurut Martensi dan Mungin Edy Wibowo (1980: 15-17), mengatakan bahwa faktor-faktor kesulitan belajar digolongkan menjadi 2 macam, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.

BAB IV
 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


4.1 Angka Kebiasaan Mencontek Siswa di SMP N 16 Pekalongan

Dari 100 angket penelitian yang disebarkan pada 10 kelas di SMP Negeri 16 Pekalongan (Kelas VII dan Kelas VIII), angket-angket yang sudah dikumpulkan diseleksi, agar data yang diperoleh benar-benar menunjukkan kenyataan yang ada. Adapun kriteria angket yang bisa dijadikan data yaitu:
1)      Jawaban antara pertanyaan yang satu tidak berlawanan dengan jawaban pada pertanyaan yang lain.
2)      Semua pertanyaan diisi lengkap
3)      Sesui dengan data pendukung yang diperoleh dengan metode dokumentasi dan wawancara
Setelah diseleksi, angket yang dinyatakan dapat diambil sebagai data ada 90 buah. Dan setelah 90 angket tersebut dianalisis, maka diperoleh data sebagai berikut:

Tabel 1. Angka Kebiasaan Mencontek Siswa

Kriteria Siswa
Sering Mencontek
Kadang-kadang Mencontek
Tidak Pernah mencontek
Total
Jml Siswa
(Orang)

35


55

0

90
Prosentase
38,9%
61,1%
0%
100%

Dari tabel dapat disimpulkan bahwa siswa yang kadang-kadang mengerjakan tuga dengan mencontek adalah paling banyak (61,1%). Siswa yang sering mencontek dalam mengerjakan tugas ada 38,9%. Siswa yang tidak pernah mencontek dalam mengerjakan tugas tidak ada (0%). Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas dapat dilihat pada grafik berikut ini
\s

4.2.  Respon Siswa Setelah Mencontek Penugasan
Bagimanakah respon atau sikap siswa setelah melakukan perilaku menyimpang yaitu mencontek siswa lain ?. Ternyata sejumlah 75 siswa atau sebesar 83 % merasa “biasa-biasa saja” dan hanya 5 siswa atau sebesar 5,5 % yang “merasa bersalah” bahkan yang lebih mengejutkan ada sejumlah 10 siswa atau sebesar 11 % yang merasa “senang” atau barangkali lega karena bebas dari sangsi guru. Selengkapnya nampak pada tabel berikut ini :

Tabel 2 : Respon siswa setelah mencontek siswa lain

         Kriteria Siswa
Merasa Senang
Merasa Bersalah
Merasa Biasa Saja
Total
Jml Siswa
5
10
75
90
Prosentase
5,5 %
11 %
83 %
100 %

Apakah fenomena diatas dapat diartikan bahwa siswa SMP Negeri 16 Pekalongan menganggap perilaku menyimpang berupa tidak jujur, menjiplak (plagiat) merupakan tindakan yang wajar-wajar saja ?. Rasanya terlalu dini untuk mengambil kesimpulan seperti itu, walaupun dari beberapa siswa yang ditanya ada yang memberikan jawaban berbau diplomasi “ Sekedar membantu orang tua”. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada grafik berikut ini
\s

4.3 Faktor-faktor yang Mendorong Siswa Mengerjakan tugas dengan Mencontek Siswa Lain
Secara umum ada 3 faktor yang mendorong siswa untuk mengerjakan penugasan dengan mencontek, yaitu:
1.    Penugasan  terlalu sulit sehingga siswa tidak bisa mengerjakan.
2.    Siswa malas untuk mengerjakan tugas
3.    Siswa sibuk dengan tugas-tugas yang lain, sehingga tidak ada waktu untuk mengerjakan tugas
Lalu dari ketiga faktor tersebut, menurut hasil survei penelitian ini ternyata faktor penugasan yang terlalu sulit adalah faktor yang paling banyak menyebabkan siswa mencontek siswa lain (48,9%), sedangkan faktor kemalasan siswa menduduki peringkat ke-2 (38,9%) dan faktor kesibukan siswa menduduki peringkat ke-3 (12,2%). Hal tersebut ditunjukkan pada tabel berikut:
Tabel 3. Faktor yang mendorong siswa untuk mencontek
Faktor mendorong siswa mencontek PR
Jumlah siswa
Prosentase
PR yang sulit
44
48,9%
Malas mengerjakan
35
38,9%
Kesibukan siswa
11
12,2%
Total
90
100%

Faktor kemalasan siswa yang berjumlah 21,38 % ini cukup mengejutkan, karena hal ini sekaligus juga mencerminkan minat dan motivasi belajar siswa SMP Negeri 16 Pekalongan.  Untuk lebih jelasnya perhatikan grafik berikut ini
\s

4.4  Mata Pelajaran Yang Sering Dicontek Siswa
Berdasarkan jawaban responden atas pertanyaan “Pada pelajaran apa saja Anda biasa mencontek (Pilihan boleh lebih dari satu)” diperoleh data sebagai berikut:
Tabel 4 : Mata Pelajaran yang sering dicontek Siswa
No.
Mapel
Siswa
Ketr.
No.
Mapel
Siswa
Ketr.
1.
Matematika
75
Setiap siswa bisa memilih lebih dari satu Mata Pelajaran
8.
Bhs Jawa
48
Siswa bisa memilih lebih dari satu Mata Pelajaran
2.
IPA
39
9.
TIK
15
3.
IPS
33
10.
PAI
10
4.
PKN
15
11.
Sn Bdy
10
5.
B. Inggris
31



6.
B. Indon
16



7.
TABUS
17




Dari tabel diatas nampak bahwa mata pelajaran yang paling banyak dicontek siswa adalah Matematika disusul mata pelajaran Bhs Jawa, IPA, IPS dan Bahasa Inggris. Hal ini bisa berarti bahwa dimata para siswa SMP Negeri 16 Pekalongan, mata pelajaran tersebut merupakan mata pelajaran yang paling sulit.

4.5 Awal Kebiasaan Mencontek
Berdasarkan angket, siswa mulai melakukan kegiatan mencontek diperoleh hasil sebagai berikut :
a.       65 siswa atau sebesar 72,2% mulai di Sekolah Dasar
b.      25 siswa atau sebesar 27,8% mulai di SMP

4.6  Respon Guru Terhadap Penugasan yang dikerjakan Siswa
Dari 90 angket yang dianalisis, untuk pertanyaan “Apakah Guru memberi respon terhadap penugasan yang dikerjakan siswa (berupa dikoreksi atau dibahas)”, diperoleh jawaban sebagai berikut :
Tabel 5: Respon Guru Terhadap Penugasan  yang dikerjakan Siswa
         Kriteria Siswa
Sering
Kadang-kadang
Tidak Pernah
Total
Jml Siswa
25
50
15
90
Prosentase
27,8%
55,6 %
16,7 %
100 %

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa sebagian besar Guru telah memberi respon atas tugas yang dikerjakan siswa dalam bentuk dikoreksi atau dibahas kembali, walaupun tidak seluruhnya. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada rafik berikut ini :
\s
4.7  Dampak Respon Guru terhadap Motivasi Siswa Mengerjakan Penugasan
Ternyata guru yang memberi tanggapan atas penugasan yang telah dikerjakan siswa berupa dikoreksi atau dibahas kembali mempunyai pengaruh terhadap motivasi siswa dalam mengerjakan tugas. Hal ini terungkap dari jawaban siswa atas angket yang diberikan sebagai berikut :
Tabel 6 : Guru yang Tidak Merespon dan Pengaruhnya terhadap Motivasi Siswa Mengerjakan Pekerjaan Rumah
         Kriteria Siswa
Malas
Kadang-kadang
Tetap Mengerjakan
Total
Jml Siswa
60
5
25
90
Prosentase
66,7 %
5,6 %
27,8 %
100 %
Tabel diatas menunjukkan bahwa siswa akan menjadi malas ( 66,7 % ) dan kadang-kadang malas (5,6 %) untuk mengerjakan bila guru tidak pernah memberikan respon atas pekerjaan mereka. Hanya 25 siswa saja atau 27,8 % yang masih bersemangat untuk mengerjakan PR walaupun guru tidak memberikan tanggapan.

4.8  Hubungan Kebiasaan Mencontek dengan Budaya
Linton: 1940, mengartikan budaya dengan: Keseluruhan dari pengetahuan, sikap dan pola perilaku yang merupakan kebiasaan yang dimiliki dan diwariskan oleh anggota suatu masyarakat tertentu.
Berdasarkan data awal kebiasaan mencontek diketahui bahwa :
a.    65 siswa atau sebesar 72,2% mulai di Sekolah Dasar
b.    25 siswa atau sebesar 27,8% mulai di SMP
Dari hasil tersebut dan wawancara yang dilakukan terhadap siswa mengenai awal kebiasaan tersebut, ternyata bahwa banyak siswa yang meniru terhadap kebiasaan teman dan terbawa kebiasaan yang lama.


BAB V

 KESIMPULAN DAN SARAN

 5.1 Kesimpulan
Dari hasil dan pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.      Faktor yang paling mendorong siswa untuk mencontek siswa lain adalah siswa merasa sulit.(64,84%)
  1. Kebanyakan siswa mengerjakan penugasan dengan mencontek siswa lain pada pelajaran matematika.
  2. Kebanyakan siswa mulai terbiasa mencontek dibangku SD (72,2%). Hal tersebut dipengaruhi oleh kurangnya pengawasan guru terhadap masing-masing siswa sebagai akibat banyaknya tugas sampingan guru selain sebagai pengajar.
  3. Sebagian besar guru kadang-kadang memberi respon terhadap penugasan yang dikerjakan siswa (55,6%). Siswa akan termotivasi untuk mengerjakan penugasan apabila guru mau memberikan respon atas tugas yang diberikan. Respon tersebut dapat berupa mengoreksi, memberi nilai, atau membahas penugasan yang dikerjakan oleh siswa.
  4. Sebagian siswa menganggap mencontek sudah merupakan tradisi karena hal tersebut dilakukan secara turun-temurun dan kebiasaan ini dapat cepat dilakukan oleh siswa yang lain. Dengan kata lain siswa meniru kebiasaan mencontek.
  5. 5.2 Saran 
1.      Mengingat mencontek termasuk perilaku menyimpang, para siswa diharapkan mau mengerjakan penugasan sendiri, atau bila mengalami kesulitan bisa dikerjakan secara kelompok
  1. Para guru diharapkan mau memberikan respon positif terhadap penugasan yang diberikan kepada siswa.


DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi, 1998, Prosedur Penelitian, PT. Rineka Cipta, Jakarta.

Abdurochman, Mulyono, 1999, Dasr-dasar Pendidikan, PT. Ghalia, Jakarta.

Depdikbud RI, 1994, Kurikulum Sekolah Menengah Umum: Landasan Program dan Pengembangan, Depdikbud, Jakarta.

Koestoer, Potoisastro, 1984, Diagnosa Dan Pemecahan Kesulitan Belajar, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Martensi KDJ dan Mungin Edi Wibowo,1980, Identifikasi Kesulitan Belajar Mengajar, FIP-IKIP Semarang, Semarang.

Ngaslim, Purwanto, 1990, Psikologi Pendidikan, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.

Nursito, 2002, Pengelolaan Kegiatan Belajar Mengajar, PT. Balai Pustaka, Jakarta.

Santoso, Totok, 1998, Layanan Bimbingan di Sekolah, Setya Wacana, Solo.

Sardiman, 1996, Interaksi Dan Motivasi Belajar Mengajar, PT. Rajawali, Jakarta.

Sardiman, 1992, Psikologi Pendidikan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Satmoko, Retno Sriningsih, 2000, Statistika Inferensial, IKIP Semarang Press, Semarang.

Sudjana, Nana dan Ibrahim, 1992, Penelitian dan Penilaian Pendidikan, Sinar Baru, Bandung

Sumanto, Wasty, 1998, Psikologi Pendidikan (Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan), PT. Rineka Cipta, Jakarta.

Suryabrata, Sumadi, 1998, Psikologi Pendidikan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Syahrani, Femmy, 2002, Kuasai Lebih Cepat, Penerbit Kaifa, Bandung.

Tim Penyusun Kamus Binaan Dan Pengembangan Bahasa, 1997, Kamus Besar Bahasa Indonesia, PT. BLAI PUSTAKA, Jakarta.







3 komentar:

  1. pa, boleh lihat contoh angketnya?

    BalasHapus
  2. asrie.mustari@yahoo.co.id itu emailnya pa.. makasih banyak sebelumnya.. ditunggu kirimannya :)

    BalasHapus