Minggu, 08 Agustus 2021

PTK: UPAYA MENUMBUHKAN KARAKTER SINTOPIKAL DAN MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA MATA PELAJARAN IPS MELALUI PEMBELAJARAN MODEL READING PADA SISWA KELAS IX A SMP NEGERI 16 PEKALONGAN

 BAB I

PENDAHULUAN

 

 

A.   Latar Belakang Masalah

Sebuah ungkapan mengatakan “You are what you read”, ini berarti bahwa sosok manusia dibangun dari informasi-informasi yang diserapnya. Apapun jenis informasi yang terdiri dari rangkaian data-data dan fakta-fakta yang masuk ke dalam jiwa manusia, maka hasilnya tidak menyimpang dari perilaku manusia yang bersangkutan. Dengan kata lain bahwa untuk membangun karakter, dapat dianalogikan dengan jenis fase membaca. Makna membaca secara luas tidak hanya membaca buku saja, melainkan juga membaca situasi, kondisi, alam, bahkan antar pribadi ( Barkah Nogroho dalam Gerbang edisi 4, 2005). Hal ini menunjukkan bahwa membaca harus dijadikan sebagai suatu budaya, khususnya dikalangan siswa. Sekolah dituntut mampu menumbuhkan budaya tersebut agar dapat menciptakan SDM yang berkarakter dengan pengetahuan yang luas.

Mata pelajaran IPS sesuai kurikulum 2004 merupakan keterpaduan materi Geografi, Ekonomi, Sejarah, Sosiologi dan Humaniora. Materi ini berkenaan dengan fenomena dinamika sosial, budaya dan ekonomi yang menjadi bagian integral dalam kehidupan masyarakat dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat, baik dalam skala kelompok masyarakat, lokal, nasional, regional dan global. Untuk itu diperlukan adanya inovasi pembelajaran yang mampu menumbuhkan potensi peserta didik agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental yang positif terhadap perbaikan segala ketimpangan yang terjadi dan terampil mengatasi masalah sehari-hari baik yang menimpa dirinya maupun masyarakat.

Metode ceramah yang dipergunakan dalam pembelajaran IPS  selama ini menyebabkan siswa terpaku mendengarkan cerita dan betul-betul membosankan, situasi pembelajaran diarahkan pada learning to know, dan permasalahan yang disampaikan cenderung bersifat akademik ( book oriented ) tidak mengaju pada masalah-masalah kontektual yang dekat dengan kehidupan siswa sehingga pembelajaran IPS menjadi kurang bermakna bagi siswa. Kondisi seperti ini  tidak akan menumbuhkembangakan aspek kemampuan dan aktivitas siswa seperti yang diharapkan.  Hal ini tampak pada rendahnya aktivitas  siswa dalam kegiatan belajar mengajar dan hasil  belajar IPS juga kurang memuaskan.

Berdasarkan studi pendahuluan ataupun pengamatan awal terhadap proses pembelajaran IPS di  SMP Negeri 16 Pekalongan  diperoleh informasi bahwa selama proses pembelajaran, guru belum memberdayakan seluruh potensi dirinya sehingga sebagian besar siswa belum mampu mencapai kompetensi individual yang diperlukan untuk mengikuti pelajaran lanjutan. Beberapa siswa belum belajar sampai pada tingkat pemahaman. Siswa baru mampu menghafal fakta, konsep, prinsip, hukum, teori, dan gagasan inovatif lainnya pada tingkat ingatan, mereka belum dapat menggunakan dan menerapkannya secara efektif dalam pemecahan masalah sehari-hari yang kontekstual.

Upaya untuk menumbuhkan aktivitas dan karakter  siswa kelas IX C  SMP Negeri 16 Pekalongan  dalam pembelajaran IPS sudah dilakukan guru Mata pelajaran  dengan berbagai macam cara, seperti memberi kesempatan siswa untuk bertanya dan mengemukakan gagasan, serta mendesain pembelajaran dalam bentuk diskusi kelompok. Namun demikian, hasil pembelajaran IPS pada   Ulangan Harian I di Semester I Tahun 2011/2012 Kelas VI E ( pra siklus ) diperoleh nilai, bahwa 70,59 %  masih dibawah KKM  yaitu 73, sedangkan sisanya                           29,41  %    memperoleh  nilai           diatas   KKM,  dengan   nilai   rata-rata  61,21 serta tingkat aktivitas  siswa  baru  mencapai  42,34. Hal  ini  perlu     ditingkatkan menjadi sebaliknya atau bahkan lebih tinggi lagi.Adapun faktor yang diduga menjadi penyebabnya adalah: (1). pembelajaran lebih ditekankan pada pengumpulan   pengetahuan   tanpa  mempertimbangkan   ketrampilan           dan pembentukan sikap dalam pembelajaran, (2). kurangnya kesempatan                  bagi siswa untuk  mengembangkan kemampuan bernalarnya melalui                              diskusi kelompok, (3). sasaran belajar ditentukan oleh guru                                      sehingga pembelajaran menjadi kurang bermakna bagi siswa.

Rendahnya hasil belajar mata pelajaran IPS yang diperoleh siswa SMP Negeri 16 Pekalongan dengan rata-rata 5,8 setiap akhir semester dan munculnya karakter perilaku keseharian siswa di lingkungan sekolah yang cenderung pasif,  acuh dan kurang peka terhadap permasalahan yang terjadi. Hal ini menunjukkan kurangnya perhatian pihak sekolah pembentukkan karakter siswa dan kurangnya inovasi guru dalam proses pembelajaran.

Kondisi ini tentunya perlu menjadi perhatian bagi semua pihak sekolah khususnya guru mata pelajaran yang berhubungan langsung dengan siswa. Alasan inilah yang mendorong penulis untuk melakukan penelitian dengan menggunakan pendekatan karakter sintopikal dengan model pembelajaran Reading Guide.

 

B.   Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah :

1)    Bagaimanakah tingkat perkembangan aktivitas minat membaca siswa kelas  IX C SMP Negeri 16 Pekalongan dalam pembelajaran dengan model Reading Guide?

2)    Bagaimanakah tingkat karakter sintopikal siswa kelas IX C SMP Negeri 16 Pekalongan dalam pembelajaran dengan model Reading Guide?

3)    Bagaimanakah  tingkat hasil belajar siswa kelas IX C SMP Negeri 16 Pekalongan dalam pembelajaran dengan pendekatan karakter sintopikal melalui model Reading Guide?

4)    Bagaimanakah respon siswa dalam pembelajaran dengan pendekatan karakter sintopikal melalui model Reading Guide?

 

C.   Tujuan

1)    Tujuan Umum :   Penelitian   ini   bertujuan   untuk   mengetahui  hasil   belajar 

siswa   dalam   pembelajaran   dengan  pendekatan  karakter

sintopikal melalui model Reading Guide.

2)    Tujuan Khusus :

·         Mendesain model rencana pembelajaran dan model lembar kerja siswa untuk meningkatkan hasil belajar siswa kelas IX C SMP Negeri 16 Pekalongan dalam pembelajaran IPS.

·         Mendeskripsikan tingkat perkembangan aktivitas minat membaca siswa kelas IX C SMP Negeri 16 Pekalongan.

·         Mendeskripsikan tingkat karakter sintopikal siswa kelas IX C SMP Negeri 16 Pekalongan dalam pembelajaran IPS.

·         Mendeskripsikan tingkat hasil belajar siswa kelas IX C SMP Negeri 16 Pekalongan dalam pembelajaran dengan pendekatan sintopikal melalui model Reading Guide.

·         Mendeskripsikan respon siswa kelas IX C SMP Negeri 16 Pekalongan dalam pembelajaran dengan pendekatan sintopikal melalui model Reading Guide.

·         Seluruh siswa menguasai pelajaran secara tuntas.

 

D.   Manfaat

Pelaksanaan penelitian tindakan kelas ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang berguna bagi perorangan maupun institusi atau lembaga :

1)    Bagi Guru :  dengan dilakukannya  penelitian tindakan kelas ini guru akan mengetahui segala kekurangan yang ada dalam dirinya sehingga dapat dipergunakan sebagai bahan koreksi dan perbaikan untuk proses pembelajaran berikutnya dengan menggunakan strategi pembelajaran  yang tepat.

2)    Bagi Guru lain : dengan membaca laporan penelitian tindakan kelas ini akan mendapatkan gambaran yang jelas tentang bagaimana meningkatkan kemampuan meneliti dan memperbaiki proses pembelajarannya.

3)    Bagi Siswa : hasil penelitian ini akan bermanfaat bagi siswa yang mengalami kesulitan dalam memecahkan masalah, baik dalam pembelajaran IPS maupun kehidupan sosial, sehingga memperoleh peningkatan dalam hasil belajarnya dan menjadi lebih berkarakter serta bersikap mental yang positif.

4)    Bagi Sekolah : hasil penelitian ini akan memberikan sumbangan yang berguna untuk perbaikan proses pembelajaran di sekolah itu sendiri khususnya dan sekolah lain pada umumnya.

BAB II

KERANGKA TEORITIS, KERANGKA BERPIKIR DAN

HIPOTESIS TINDAKAN

 

 

A.   Kerangka Teoritis

1.    Karakter Sintopikal

Karakter sintopikal adalah karakter yang terbentuk ketika atau setelah seseorang melakukan kegiatan membaca. Sedangkan membaca sintopikal atau disebut membaca komparatif merupakan tingkatan dalam membaca buku yang dilakukan dengan cara membandingkan beberapa buku. Tujuannya adalah untuk mengumpulkan informasi dari berbagai penulis dalam menjawab satu pertanyaan atau permasalahan tertentu. Hal ini diungkapkan oleh Mortimer J Adler dan Charles Van Doren yang menggolongkan membaca menjadi tiga besar hirarki tingkatan yang benar, yaitu :

(1)  Tingkat membaca inspeksional, yaitu membaca sekilas atau pra membaca. Dalam tingkatan ini seseorang baru memeriksa dengan membolak-balik buku bertujuan mengetahui isi buku sehingga perlu dibaca atau tidak.

(2)  Tingkat membaca analitis, yaitu membaca dengan menganalisa seluruh isi buku.

(3)  Tingkat membaca sintopikal atau tingkat membaca perbandingan. Tingkatan ini pembaca bertujuan untuk mengumpulkan informasi dari berbagai penulis untuk menjawab satu pertanyaan atau permasalahan tertentu. Membaca sintopikal merupakan jenis membaca yang paling kritis diantara jenis lainnya. Karena si pembaca harus mampu menelaah informasi berdasarkan tulisan dan menggunakan kekuatan imajinatif sangat kritis untuk mencari kebenaran yang diinginkannya. Dalam hal ini, pembaca tidak mudah menerima sebuah fakta yang disuguhkan tidak malas merentangkan wawasan berpikirnya untuk mencari tambah akan ilmu pengetahuannya.

Bahasa yang memiliki empat kompetensi, yaitu mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis. Dalam membaca Anderson (1969) melukiskan sebagai berikut “Reading is verycomplex it requires a concentration’.  Apapun jenis informasi yang terdiri dari rangkaian data-data dan fakta-fakta yang masuk ke dalam jiwa manusia, maka hasilnya tidak menyimpang dari perilaku manusia yang bersangkutan. Ini berarti untuk membangun perilaku, dapat dianalogikan dengan jenis fase membaca buku ( Barkah Nogroho dalam Gerbang edisi V, 2005).

Para ahli pendidikan nasional dalam diskusi panel Hardiknas 2 Mei 1998 di TVRI berkesimpulan bahwa “kemampuan berpikir para siswa rendah karena pembelajaran bahasa kurang melatih siswa untuk berpikir”. Hubungan ini tampak jelas dalam konteks pada otak manusia, karena terdapat 5 (lima) pusat, yaitu : (1) pusat organisasi berpikir, (2) pusat pembentukan kalimat, (3) pusat berpikir abstrak dan jastifikasi, (4) pusat memori kata, dan (5) pusat pengenalan dan asosiasi. Kelima pusat ini dihubungkan oleh saraf sensorik dengan berbagai reseptor pada tubuh manusia yang kesemuanya menyampaikan informasi ke otak. Di otak, informasi ini diolah melalui proses traserdensi di pusat bahasa dan berpikir pada konteks menjadi gagasan (pikiran) yang dikembalikan dalam bentuk perintah (bahasa) untuk dilaksanakan oleh berbagai bagian tubuh tertentu (Ensi Amerika dalam Daan T, 2005).

a.    Tahap-tahap Membaca Sintopikal

·         Tahap Pertama : Mengelola Keperluan Diri

·         Tahap Kedua : Penguasaan Istilah

·         Tahap Ketiga : Menyediakan dalil-dalil untuk suatu permasalahan

·         Tahap Keempat : Menjelaskan Permasalahannya

·         Tahap Kelima : Menganalisa Pembahasannya

Sasaran yang akan dicapai dari berbagai tahapan yang dilakukan adalah pemahaman. Pembaca sintopikal harus obyektif pada waktu mempelajari permasalahan dan mempertimbangkan semua pendapat secara jujur.

 

 

 

b.    Penerapan Karakter Sintopikal

Hubungan membaca sintopikal perilaku sehari-hari dapat dianalogikan dengan membangun karakter-karakter subyek dalam beraktivitas. Harus diketahui makna membaca secara luas tidak hanya membaca buku saja, melainkan juga membaca situasi, kondisi, alam, bahkan antar pribadi. Karakter sintopikal berorientasi lintas batas, artinya seseorang tidak terkukung dalam kesempitan wawasannya, juga tidak takut akan berbuat kesalahan dalam mengeluarkan pendapatnya guna menanggapi suatu permasalahan atau menawarkan inovasi dalam kehidupan.

c.    Langkah Membangun Sintopikal

(1)  Pertama, penciptaan lingkungan berpikir yang kritis dan cerdas. Hal ini berarti bahwa peserta didik harus senantiasa memperhatikan fakta-fakta yang ada lalu menarik kesimpulan akan kebenaran. Mereka harus memiliki sifat terbuka dalam menanggapi suatu permasalahan (open system problem) dan selalu menerima informasi-informasi yang datang dari luar pemikiran yang mungkin mengubah kesimpulannya. Untuk itu diperlukan cara berpikir nalar, yaitu : mengkritisi dan skeptis sebelum membuktikan; berpikir dahulu sebelum bertindak; memperluas pandangan dan menepis prasangka jelek; menghindari keabsolutan kebenaran tanpa reserve; bersifat terbuka dan dewasa dalam menerima kritikan; berorientasi jangka panjang dalam mengambil keputusan; kritis terhadap pendapat orang lain melalui cek dan ricek terhadap diri sendiri; optimis, positif, suka bermusyawaroh dan simpati terhadap orang lain; jujur; dan berpikir dan bertindak secara sistematis (Bambang Marhiyanto dalam Barkah Nugroho, 2005).

(2)  Pembinaan keberanian mengeluarkan pendapat. Cara membina masyarakat didik sangat relatif, situasional dan kondisional.

(3)  Pendidikan keahlian berdiplomasi, yakni pelatihan berbicara dan kepiawaian menggunakan bahasa non verbal. Kemampuan ini sangat menentukan keefektifan dan keefisienan seseorang untuk mencapai kesuksesan. 

Karakter sintopikal yang diharapkan dalam penelitian ini adalah siswa yang memiliki cara berpikir nalar, kritis terhadap pendapat orang lain melalui cek dan ricek terhadap diri sendiri, suka bermusyawaroh dan simpati terhadap orang lain dan berani berpendapat di muka umum.

 

2.    Model Pembelajaran

Gunter et al (1990:67) mendefinisikan an instructional model is a step-by-stepprocedure that leads to specific learning outcomes. Joyce dan  Weil (1980), mendefinisikan model pembelajaran sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan pembelajaran. Dengan demikian, model pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar. Jadi model pembelajaran cenderung dreskriptif, yang relatif sulit dibedakan dengan strategi pembelajaran.

An instructionalstrategy is a method for delivering instruction that is intended to help students achieve alearning objective (Burden & Byrd, 1999:85). Selain memperhatikan rasional teoretik, tujuan, dan hasil yang ingin dicapai, model pembelajaran memiliki lima unsur dasar (Joyce & Weil (1980), yaitu (1) syntax, yaitu langkah-langkah operasional pembelajaran, (2) social system, adalah suasana dan norma yang berlaku dalam pembelajaran, (3) principles of reaction, menggambarkan bagaimana seharusnya guru memandang, memperlakukan, dan merespon siswa, (4) support system ,segala sarana, bahan, alat, atau lingkungan belajar yang mendukung pembelajaran, dan (5) instructional dan nurturant effects, hasil belajar yang diperoleh langsung berdasarkan tujuan yang disasar (instructional effects) dan hasil belajar di luar yang disasar (nurturanteffects) (I Wayan Santyasa, 2007).

 

3.    Model Reading Guide

Reading Guide adalah suatu strategi pembelajaran yang digunakan untuk materi mata pelajaran yang membutuhkan waktu banyak dan tidak mungkin semuanya dijelaskan dalam kelas. Untuk mengefektifkan waktu, maka siswa diberi tugas membaca dan menjawab pertanyaan atau kisi-kisi untuk dikerjakan. Dalam pembelajaran ini siswa dituntut untuk berperan aktif dalam kegiatan pembelajaran. Adapun langkah-langkah dalam strategi model pembelajaran Reading Guide adalah sebagai berikut :

1)    Menentukan topik materi.

2)    Memberikan materi bacaan.

3)    Siswa disuruh membaca materi bacaan yang telah disediakan.

4)    Memberikan guide atau daftar pertanyaan yang harus diselesaikan sesuai dengan bacaan materi yang diberikan.

5)    Siswa mengisi guide atau daftar pertanyaan berdasarkan teks bacaan.

6)    Siswa mempresentasikan hasil pengisisan atau hasil pekerjaannya.

7)    Klarifikasi tugas yang sudah dikerjakan siswa atau materi pokok pembelajaran.

 

4.    Hakekat dan Karakteristik Ilmu Pengetahuan Sosial

Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan integrasi dari berbagai cabang ilmu-ilmu sosial seperti: sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi, politik, hukum, dan budaya.  Ilmu Pengetahuan Sosial dirumuskan atas dasar realitas dan fenomena sosial yang mewujudkan satu pendekatan interdisipliner dari aspek dan cabang-cabang ilmu-ilmu sosial (sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi, politik, hukum, dan budaya). IPS atau studi sosial itu merupakan bagian dari kurikulum  sekolah yang diturunkan dari isi materi cabang-cabang ilmu-ilmu sosial: sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi, politik, antropologi, filsafat, dan psikologi sosial.

Karateristik mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial SMP/MTs antara lain sebagai berikut.

a.    Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan gabungan dari unsur-unsur geografi, sejarah, ekonomi, hukum dan politik, kewarganegaraan, sosiologi, bahkan juga bidang humaniora, pendidikan dan agama (Numan Soemantri, 2001).

b.    Kompetensi Dasar IPS berasal dari struktur keilmuan geografi, sejarah, ekonomi, hukum dan politik, sosiologi, yang dikemas sedemikian rupa sehingga menjadi  pokok bahasan atau topik (tema) tertentu.

c.    Kompetensi Dasar IPS juga menyangkut berbagai masalah sosial yang dirumuskan dengan pendekatan interdisipliner dan multidisipliner.

d.    Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar dapat menyangkut peristiwa dan perubahan kehidupan masyarakat dengan prinsip sebab akibat, kewilayahan, adaptasi dan pengelolaan lingkungan, struktur, proses dan masalah sosial serta upaya-upaya perjuangan hidup agar survive seperti pemenuhan kebutuhan, kekuasaan, keadilan dan jaminan keamanan (Daldjoeni, 1981).

e.    Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar IPS menggunakan tiga dimensi dalam mengkaji dan memahami fenomena sosial serta kehidupan manusia secara keseluruhan.

Tujuan utama Ilmu Pengetahuan Sosial ialah untuk mengembangkan potensi  peserta didik agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental positif terhadap perbaikan segala ketimpangan yang terjadi, dan terampil mengatasi setiap masalah yang terjadi   sehari-hari baik yang menimpa dirinya sendiri maupun yang menimpa masyarakat. Tujuan tersebut dapat dicapai manakala program-program pelajaran IPS di sekolah diorganisasikan secara baik. Dari rumusan tujuan tersebut dapat dirinci sebagai berikut (Awan Mutakin, 1998).

a.    Memiliki kesadaran dan kepedulian terhadap masyarakat atau lingkungannya, melalui pemahaman terhadap nilai-nilai sejarah dan kebudayaan masyarakat.

b.    Mengetahui dan memahami konsep dasar dan mampu menggunakan metode yang diadaptasi dari ilmu-ilmu sosial yang kemudian dapat digunakan untuk memecahkan masalah-masalah sosial.

c.    Mampu menggunakan model-model dan proses berpikir serta membuat keputusan untuk menyelesaikan isu dan masalah yang berkembang di masyarakat.

d.    Menaruh perhatian terhadap isu-isu dan masalah-masalah sosial, serta mampu membuat analisis yang kritis, selanjutnya mampu mengambil tindakan yang tepat.

e.    Mampu mengembangkan berbagai potensi sehingga mampu membangun diri sendiri agar survive yang kemudian bertanggung jawab membangun masyarakat. ( Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas, 2005 )

 

5.    Hakekat Hasil Belajar Siswa

Menurut Nana Sudjana hasil belajar adalah suatu akibat dari proses belajar dengan menggunakan alat pengukuran, yaitu berupa tes yang disusun secara terencana, baik tes tertulis, tes lesan maupun perbuatan. Sedangkan S. Nasution berpendapat bahwa hasil belajar adalah suatu perubahan pada individu yang belajar, tidak hanya mengenai pengetahuan, tetapi juga membentuk kecakapan dan penghayatan dalam diri pribadi individu yang belajar. Hasil belajar adalah hasil yang diperoleh siswa setelah mengikuti suatu materi tertentu dari mata pelajaran yang berupa data kuantitatif maupun kualitatif. Untuk melihat hasil belajar dilakukan suatu penilaian terhadap siswa yang bertujuan untuk mengetahui apakah siswa telah menguasai suatu materi atau belum. Penilaian merupakan suatu upaya sistematis yang dikembangkan oleh suatu institusi pendidikan yang ditujukanuntuk menjamin terciptanya ualitas proses pendidikan serta kualitas kemampuan peserta didik sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan ( Cullen dalam Fathul Himam, 2004).

Hasil belajar dapat dilihat dari hasil nilai ulangan harian (formatif), nilai ulangan tengah semester (sub sumatif), dan nilai ulangan semester (sumatif). Dalam penelitian tindakan kelas ini yang dimaksud prestasi hasil belajar siswa adalah hasil nilai ulangan harian yang diperoleh siswa dalam mata pelajaran IPS. Ulangan harian dilakukan setiap selesai proses pembelajaran dalam satuan pokok bahasan atau kompetensi tertentu. Ulangan harian ini terdiri dari seperangkat soal yang harus dijawab para peserta didik, dan tugas-tugas terstruktur yang berkaitan dengan konsep yang dibahas. Ulangan dilakukan minimal tiga kali dalam setiap semester. Tujuannya untuk memperbaiki modul dan program pembelajaran serta sebagai bahan pertimbangan dalam memberikan nilai bagi para peserta didik.

 

B.   Kerangka Berpikir

1.    Hubungan Karakter Sintopikal dengan Pembelajaran Model Reading Guide

Upaya untuk menumbuhkan karakter sintopikal siswa adalah dengan mengharuskan dan membiasakan siswa untuk membaca materi pelajaran, baik buku panduan, LKS, maupun buku penunjang atau referensi yang lain. Tujuannya adalah untuk membandingkan isi materi yang ada dalam bacaannya. Salah satu model yang digunakan  dalam pembelajaran adalah model Reading Guide, karena model ini menuntut siswa untuk selalu membaca sebelum memecahkan persoalan atau menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru.

Semakin besar minat dalam membaca, maka diharapkan muncul karakter sintopikal dari diri siswa yang sesuai dengan tujuan dalam pembelajaran. Hal ini disebabkan karena kebiasaan membaca dapat menggali bakat dan potensi diri, memacu daya nalar (intelektual) serta berkonsentrasi yang menjadikan pikiran dan emosi terkendali, sehingga mudah untuk berpikir positif dalam menyikapi berbagai masalah.

 

2.    Hubungan Karakter Sintopikal melalui Pembelajaran Model Reading Guide dengan Peningkatan Hasil Belajar Siswa

Salah satu tahapan dalam model pembelajaran Reading Guide adalah siswa diberi tugas untuk membaca dan menjawab pertanyaan atau kisi-kisi untuk dikerjakan. Penugasan membaca dalam proses pembelajaran inilah yang diharapkan dapat memunculkan karakter dari diri siswa, sehingga dapat meningkatkan hasil belajarnya.

 

C.   Hipotesis Tindakan

Berdasarkan hubungan pada kerangka berpikir, maka dapat ditarik hipotesis tindakan, yaitu bahwa : “ Penerapan pembelajaran dengan pendekatan karakter sintopikal melalui model Reading Guide dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas IX C SMP Negeri 16 Pekalongan ”

Dampak Sosial Ekonomi dan Sosial Budaya Masyarakat Kelurahan Krapyak Kidul dalam Perayaan Tradisi Syawalan sebagai Paket Wisata di Kota Pekalongan

                                                                    BAB I

PENDAHULUAN

 

 

 

1.1   Latar Belakang

Kota Pekalongan dengan luas wilayah kurang lebih 45,25 km², terletak di daerah pantai utara Pulau Jawa dengan ketinggian rata-rata 1 m diatas permukaan laut pada posisi 60º50’42” LS – 60º55’44” LS dan 1090º37’55” BT – 1090º42’19” BT ternyata menyimpan banyak tradisi dan budaya. Tradisi dan budaya ini tetap terpelihara secara turun temurun dalam kurun waktu yang panjang, salah satu acara tradisi ini adalah Syawalan atau Krapyakan. 

Syawalan merupakan suatu bentuk perwujudan dari semangat keberagaman masyarakat Krapyak Kidul Kota Pekalongan tempo dulu. Seperti yang kita lihat bahwa umat Islam selalu menyambut gembira kehadiran Hari Raya Idul Fitri, banyak amalan yang dapat dilakukan sebagai perwujudan rasa syukur kepada Allah SWT atas datangnya hari mulia ini. Warga Krapyak Kidul sebagai bagian umat islam juga melakukan hal yang sama, setelah kegiatan Sholat Ied maka semua warga mengadakan silaturrakhim dengan cara berkunjung dari rumah ke rumah.

Pada hari kedua sampai hari ketujuh banyak warga yang melakukan puasa sunnah atau puasa enam hari, dan hal ini tentunya menjadi kendala bagi keluarga jauh yang akan berkunjung pada hari-hari tersebut. Akhirnya mereka memilih berkunjung pada hari kedelapan, kebiasaan inilah yang menjadi cikal bakal tradisi Syawalan.

Hal ini pula menunjukkan bahwa kegiatan Syawalan yang berlangsung di Krapyak Kidul memang bukan ritual  keagamaan tetapi kegiatan yang syarat dengan nilai-nilai agama. Tidak ada yang tahu pasti kapan tradisi Syawalan itu dimulai tetapi berdasarkan salah satu sumber, menyatakan bahwa tradisi Syawalan dimulai pada pertengahan abad sembilan belas dan tokoh yang dianggap berjasa dalam perintisannya adalah Kyai H. Abdullah Siroj, yang makamnya kini berada di Payaman Magelang.

Awal tradisi Syawalan hanyalah sebagai ajang silaturrakhim antar warga, akan tetapi seiring kemajuan zaman serta kondisi sosial ekonomi masyarakat kelurahan Krapyak Kidul, tradisi ini mengalami perkembangan. Salah satunya adalah pemotongan Lopis Raksasa, acara ini dimulai tahun 1956 dirintis oleh Bapak Rohmat yang menjabat sebagai Kepala Kelurahan pada waktu itu. Pada akhirnya acara pemotongan lopis ini setiap tahun dihadiri oleh tokoh masyarakat dan wakil dari pemerintahan kota Pekalongan.

Tradisi Syawalan yang semula milik sebagian warga, kini meluas di desa sekitar lingkungan Krapyak Kidul. Hal ini tentunya menggembirakan karena acara ini telah menjadi paket wisata budaya di Kota Pekalongan. Kenyataan menunjukkan bahwa kedatangan banyak pengunjung sebagai konsumen telah membawa pengaruh terhadap sosial ekonomi dan sosial masyarakat. Dampak yang lain, tradisi syawalan yang semula hanya sebagai ajang silaturrakhim berubah menjadi ajang lomba dan panggung hiburan yang menimbulkan nuansa lain dalam tradisi ini. Hal ini pula yang tentunya membawa pengaruh bagi kehidupan masyarakat Kelurahan Karapyak Kidul pada khususnya, baik dalam sosial ekonomi maupun sosial budaya.

 

1.2   Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dalam penelitian ini dirumuskan masalah sebagai berikut: “Bagaimana Dampak Sosial Ekonomi dan Sosial Budaya Masyarakat Kelurahan Krapyak Kidul dalam Perayaan Tradisi Syawalan sebagai Paket Wisata di Kota Pekalongan?”

 

1.3   Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian adalah untuk mengungkap dampak sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat Kelurahan Krapyak Kidul dalam perayaan Tradisi Syawalan sebagai paket wisata Kota Pekalongan, sehingga dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi terhadap keberadaan dan eksistensi nilai sebuah tradisi.

Tujuan khusus penelitian adalah untuk mengidentifikasi dampak sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat Kelurahan Krapyak Kidul dalam perayaan Tradisi Syawalan sebagai paket wisata Kota Pekalongan.

 

1.4   Manfaat Penelitian

1)  Menambah pengetahuan akademis maupun non akademis tentang dampak sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat dalam perayaan tradisi syawalan.

2)  Memperkuat otonomi daerah, mengingat upacara tradisional ini berfungsi untuk memperkuat integrasi sosial, khususnya integrasi dan kebersamaan masyarakat Kota Pekalongan.

3)  Sebagai bahan informasi mengenai dampak sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat Kelurahan Krapyak Kidul dalam perayaan tradisi syawalan sebagai paket wisata di Kota Pekalongan.

4)  Sebagai landasan preventif agar dampak sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat dalam tradisi syawalan tidak menyimpang dari nilai-nilai yang ditanamkan dalam tradisi tersebut.

5)  Sebagai bahan masukan kepada masyarakat Kelurahan Krapyak Kidul mengenai dampak sosial ekonomi dan sosial budaya dalam perayaan tradisi syawalan.

6)   Sumber informasi dan data dasar bagi penelitian selanjutnya dalam ruang lingkup yang sama.

 

 

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

 

 

2.1   Tradisi Syawalan

Tradisi Syawalan atau yang dikenal dengan Krapyakan atau Lopisan adalah suatu kegiatan tradisi yang dilaksanakan oleh masyarakat Krapyak Kidul dan dilaksanakan tiap tanggal 8 (delapan) bulan Syawal penanggalan Hijriyah. Tradisi ini sudah berlangsung turun temurun sejak puluhan tahun lalu dan menjadi “ikon” Pariwisata Kota Pekalongan dalam perayaan Idul Fitri. Kegiatan ini pada dasarnya adalah kegiatan silaturakhim, terutama tamu dari jauh datang berkunjung kepada warga Krapyak Kidul, berbagai suguhan disajikan oleh warga untuk menyambut tamu-tamunya, yang merupakan makanan khas terdiri dari lopis dan lotis.

Kekhasan pada acara syawalan ini yakni adanya kue lopis raksasa seberat 535 kilogram dengan tinggi 170 centimeter dan berdiameter 203 centimeter. Puncak acara Syawalan ditandai dengan pemotongan lopis oleh Muspida dan Tokoh Masyarakat Pekalongan. Setelah diberi doa oleh seorang ulama setempat lopis raksasa tersebut langsung menjadi rebutan ribuan warga. Warga percaya jika bisa mendapatkan potongan lopis serta menyantapnya akan mendapatkan berkah dan didekatkan jodohnya. Meski saling dorong antar sesama warga untuk berebut mendapatkan potongan kue lopis Raksasa tersebut namun tidak menyurutkan niat warga untuk ikut memeriahkan acara tersebut. Tak sedikit kaum ibu dan remaja putri yang ikut memperebutkan kue lopis raksasa ini yang akhirnya berjatuhan ketanah dan saling tindih (Lensa Indonesia, 2012).

Tradisi syawalan ini bermula pada tanggal 8 Syawal masyarakat Krapyak berhari raya kembali setelah berpuasa 6 hari, dalam kesempatan ini, mereka membuat acara ‘open house’ menerima para tamu baik dari luar desa dan luar kota. Hal ini diketahui oleh masyarakat diluar krapyak, sehingga merekapun tidak mengadakan kunjungan silaturakhim pada hari-hari antara tanggal 2 hingga 7 dalam bulan Syawal, melainkan berbondong-bondong berkunjung pada tanggal 8 Syawal. Yang demikian ini berkembang luas, bahkan meningkat terus dari masa ke masa sehingga terjadilah tradisi Syawalan seperti sekarang ini Tradisi Syawalan yang rutin dilakukan oleh masyarakat Kota Pekalongan ini sudah dimulai sejak 130-an tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1855 M.  Kali pertama yang mengelar hajatan Syawalan ini adalah KH. Abdullah Sirodj yang merupakan keturunan dari Kyai Bahu Rekso (http://perwakilan.jatengprov.go.id).

Tapi memang sekarang sudah banyak yang berubah sesuai dengan perkembangan zaman dan kondisi ekonomi masyarakat Pekalongan itu sendiri. Tentunya pula menjadi permasalahan dimasa mendatang karena adanya perbedaan persepsi mengenai bentuk syawalan, namun yang jelas melekatnya nilai keagamaan dalam tradisi ini menjadikan hal ini menjadi sesuatu yang sangat peka, dan tentunya kebutuhan lembaga yang memiliki kemampuan untuk menyerap aspirasi masyarakat tentang pengembangan syawalan di masa mendatang menjadi amat penting.

Saat ini harapan seluruh warga bahwa tradisi ini akan terus berkembang dan tetap disesuaikan dengan makna asli, akan tetapi menjadi paket wisata yang menarik (Harun Rosyid, Dok. Kel. Krapyak Kidul).

 

2.2   Sosial Ekonomi

Sosial mengandung arti segala sesuatu yang berhubungan dengan masyarakat, sementara itu ekonomi memiliki artian sebagai ilmu yang berhubungan dengan asas produksi, distribusi, pemakaian barang serta kekayaan. Sekilas Sosial dan Ekonomi seperti dua hal dan cabang ilmu yang berbeda, namun diantara keduanya sebenarnya terdapat kaitan yang erat. Salah satu kaitan yang erat tersebut adalah, jika keperluan ekonomi tidak terpenuhi maka akan terdapat dampak sosial yang terjadi dimasyarakat kita. Jadi bisa dijadikan kesimpulan adalah bahwa sosial ekonomi mengandung pengertian sebagai segala sesuatu hal yang berhubungan dengan tindakan ekonomi dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat seperti sandang, pangan dan papan (http://obrolanekonomi.blogspot.com /2013/02/arti-sosial-ekonomi-yang-sesungguhnya.html).

Pengertian kondisi Sosial ekonomi adalah suatu keadaan atau kedudukan yang diatur secara sosial dan menetapkan seseorang dalam posisi tertentu dalam struktur masyarakat. Pemberian posisi ini disertai pula seperangkat hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh si pembawa status. Tingkat sosial merupakan faktor non ekonomis seperti budaya, pendidikan, umur dan jenis kelamin, sedangkan tingkat ekonomi seperti pendapatan, jenis pekerjaan, pendidikan dan investasi.

Manusia selalu ingin memenuhi kebutuhan hidupnya baik moral maupun material. Kebutuhan pokok atau basic human needs dapat dijelaskan sebagai kebutuhan yang sangat penting guna kelangsungan hidup manusia. Abraham Maslow mengungkapkan kebutuhan manusia terdiri dari kebutuhan dasar fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan kasih sayang, kebutuhan akan dihargai dan kebutuhan mengaktualisasikan diri.

Salah satu faktor yang penting untuk membangun masyarakat yang sejahtera adalah sebuah teori sosial ekonomi yang baik. Sepanjang sejarah, manusia terus mencari jawaban bagaimana sumberdaya di bumi ini yang dapat dipergunakan dan dibagikan dengan baik. Tambahan pula, masyarakat memerlukan suatu sistem pemerintahan yang dapat memenuhi semua kebutuhan anggotannya. Jawaban masyarakat atas keperluan itu menggambarkan nilai-nilai sosial ekonomi yang diikuti masyarakat pada saat itu.

Menurut Melly G Tan bahwa kedudukan sosial ekonomi mencakup 3 (tiga) faktor yaitu pekerjaan, pendidikan, dan penghasilan. Pendapat diatas didukung oleh Mahbud UI Hag dari Bank Dunia bersama dengan James Grant dari Overseas Development Council mengatakan bahwa kehidupan sosial ekonomi dititikberatkan pada pelayanan kesehatan, pendidikan, perumahan dan air yang sehat yang didukung oleh pekerjaan yang layak (Melly Dalam Susanto, 1984).

Dari pendapat tersebut dapat diketahui bahwa status sosial ekonomi adalah kemampuan seseorang untuk mampu menempatkan diri dalam lingkungannya sehingga dapat menentukan sikap berdasarkan atas apa yang dimilikinya dan kemampuan mengenai keberhasilan menjalankan usaha dan berhasil mencukupinya (http://www. psychologymania.com / 2012/10/pengertian-sosial-ekonomi.html).

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sosial ekonomi adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat, antara lain sandang, pangan, perumahan, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Pemenuhan kebutuhan tersebut berkaitan dengan penghasilan. Hal ini disesuaikan dengan penelitian yang akan dilakukan. Untuk melihat kedudukan sosial ekonomi Melly G. Tan mengatakan adalah pekerjaan, penghasilan, dan pendidikan. Berdasarkan ini masyarakat tersebut dapat digolongkan kedalam kedudukan sosial ekonomi rendah, sedang, dan tinggi (Koentjaraningrat, 1981:35).

 

2.3   Sosial Budaya

Sosial Budaya terdiri dari 2 kata, yang pertama definisi sosial, menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia milik W.J.S Poerwadarminta, sosial ialah segala sesuatu yang mengenai masyarakat atau kemasyarakatan atau dapat juga berarti suka memperhatikan kepentingan umum (kata sifat). Sedangkan budaya dari kata Sans atau Bodhya yang artinya pikiran dan akal budi. Budaya ialah segala hal yang dibuat oleh manusia berdasarkan pikiran dan akal budinya yang mengandung cinta, rasa dan karsa. Dapat berupa kesenian, pengetahuan, moral, hukum, kepercayaan, adat istiadat ataupun ilmu.

Maka definisi sosial budaya itu sendiri adalah segala hal yang dicipta oleh manusia dengan pemikiran dan budi nuraninya untuk dan atau dalam kehidupan bermasyarakat. Atau lebih singkatnya manusia membuat sesuatu berdasar budi dan pikirannya yang diperuntukkan dalam kehidupan bermasyarakat.

Definisi sosial budaya pun dapat berkembang dan tercipta karena adanya kaitan erat antara kebudayaan itu sendiri. Perubahan kebudayaan bisa saja terjadi akibat adanya perubahan sosial dalam masyarakat, begitu pula hal yang sebaliknya dapat terjadi. Dampak negatif kebudayaan bagi kehidupan sosial manusia sebagai berikut :

a)  Menimbulkan kerusakan lingkungan dan kelangsungan ekosistem

b)  Terjadinya kesenjangan sosial

c)  Mengurangi bahkan dapat menghilangkan ikatan batin dan moral yang biasanya dekat dalam hubungan sosial antar masyarakat (www.anneahira.com/definisi-sosial-budaya.htm).

 

2.4   Kerangka Konsep

Salah satu kecenderungan yang tampak dengan jelas dari dinamika kehidupan manusia dewasa ini ialah perubahan-perubahan yang disebabkan oleh upaya-upaya manusia di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang berlangsung kian cepat. Perubahan-perubahan tersebut terasa besar sekali pengaruhnya bagi berbagai aspek kehidupan, termasuk di dalamnya adalah pengaruh yang tak terhindarkan pada kehidupan budaya daerah dengan berbagai segi, termasuk seni dan tradisi. Akibatnya, kita pun dihadapkan pada berbagai keniscayaan: penetrasi nilai-nilai baru yang avant garde yang acapkali bertentangan dengan nilai lama yang konvensional; kecenderungan pragmatik, materialistik, dan hedonik yang menjadi dominan di tengah masyarakat yang semakin konsumeristik yang ujung-ujungnya sampai pada pemiskinan spiritual; dan sederet panjang fenomena lainnya. Oleh karena itu, upaya menempatkan kembali kebudayaan sebagai kerja perencanaan manusia berikut tindakan nyatanya demi kesejahteraan bersama, merupakan upaya yang tidak bisa ditunda-tunda.

Kebudayaan pada dasarnya merupakan kerja perencanaan manusia berikut tindakan nyata demi memenuhi kebutuhan hidup agar survive. Karenanya, produk budaya bisa saja bersifat material dan bisa pula nonmaterial, yang semuanya demi pemenuhan kebutuhan fisik ataupun kebutuhan rohani. Dalam kehidupan masyarakat secara umum, kebudayaan seringkali disalahartikan, dibatasi, atau hanya disamakan dengan kesenian. Pandangan ini tidak sepenuhnya keliru karena kesenian memang merupakan salah satu produk budaya yang di dalamnya juga terbayang adanya nilai-nilai dan aktivitas sosial. Karenanya, perlu ada upaya meluruskan agar proses dan produk budaya yang ada dapat diposisikan secara strategis. Artinya, di samping berbagai ragam seni, kebudayaan juga mencakupi hal-hal yang lain seperti tradisi masyarakat yang bersifat lisan dan turun-temurun, termasuk adat istiadat dan keyakinan-keyakinan yang diekspresikan melalui ritus-ritus tertentu. Dengan cara demikian, seluruh nilai budaya yang ada dapat dijadikan sumber kekuatan dan ketahanan masyarakat dalam membangun dirinya, terutama tatkala bersemuka dengan budaya lain yang bisa saja dalam sejumlah hal bersifat mengancam. Implikasinya, nilai dan bentuk budaya lain pun dapat disaring dan diseleksi agar masyarakat tidak mengalami benturan, bahkan longsor budaya.

Budaya lain bisa saja dikelola setepat-tepatnya dalam rangka memperkaya khasanah budaya yang ada dan sudah berurat berakar dalam masyarakat. Dengan cara demikian pula, masyarakat berbudaya sebagai cita-cita bersama diniscayakan dapat terwujud.

Tradisi syawalan yang telah menjadi identitas kota Pekalongan, maka dalam pengembangannya sebagai paket wisata yang telah mendatangkan banyak pengunjung kemungkinan memberikan dampak bagi masyarakat kelurahan Krapyak, baik dalam sosial ekonomi maupun sosial budaya. Hal ini dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung.

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

 

 

 

1.1   Rancangan Penelitian

Kajian dampak sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat Kelurahan Krapyak Kidul dalam perayaan tradisi syawalan sebagai paket budaya Kota Pekalongan merupakan penelitian dengan perspektif kajian budaya. Kajian ini menggunakan pendekatan interdisipliner yang mencoba melihat fenomena secara luas dari berbagai faktor yang berpengaruh. Dalam hubungan ini, faktor-faktor yang berpengaruh yaitu ekonomi, dan budaya masyarakat Kelurahan Krapyak Kidul dalam perayaan Tradisi Syawalan sebagai paket wisata Kota Pekalongan.

Sebagai kajian budaya, penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Menurut Kirl dan Miller (1986), penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya dan hubungannya dengan orang-orang tertentu dalam bahasa dan peristilahan. Kendatipun penelitian ini menggunakan metode kualitatif, tetapi dalam beberapa hal dibantu dengan penerapan metoda analisis data yang bersifat kuantitatif. Meneliti dan mengamati sejumlah data kuantitatif dalam penelitian ini dianalisis berdasarkan persentase keterwakilan masyarakat Kelurahan Krapyak Kidul yang terlibat dalam penyelenggaraan tradisi dan berdasarkan pendapat masyarakat Kelurahan Krapyak Kidul tentang dampak penyelenggaraan tradisi tersebut.  Oleh karena itu, kontribusi data kuantitatif dalam penelitian ini tidak dapat dihindarkan walaupun diposisikan sebagai pelengkap.

Dalam konteks tersebut Straus dan Corbin (2003:4) menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur yang statistik atau bentuk hitungan lainnya. Ciri-ciri yang menonjol dalam penelitian kualitatif adalah (1) sumber datanya langsung berupa data situasi alami dan peneliti adalah instrumen kunci; (2) bersifat deskriptif; dan (3) lebih menekankan makna proses daripada hasil, perilaku, dan dengan pandangan pendirian yang diperoleh dari pengamatan.

Dalam penelitian ini, penerapan model kualitatif dilakukan secara deskriptif, yakni data yang dianalisis dan hasil analisisnya berbentuk fenomena deskriptif, tetapi tidak berupa angka-angka atau koefesien tentang hubungan antarvariabel.

Dalam hal ini peneliti menganalisis data dengan keragaman informasi sebagaimana terekam dalam kumpulan data (Arikunto, 1989:194). Penerapan metode kualitatif secara komparatif adalah melakukan analisis untuk mencari dan menemukan persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan fenomena (Arikunto, 1989:197). Selanjutnya, penerapan yang bersifat korelatif menurut Arikunto (1989:201), yakni bertujuan untuk mencari dan menemukan ada atau tidaknya hubungan antargejala yang ada.

Mekanisme kerja dalam penelitian ini adalah menganalisis perayaan Tradisi Syawalan yang merupakan budaya dan tradisi masyarakat Kelurahan Krapyak Kidul yang kini telah paket wisata Kota Pekalongan. Dalam hal ini uraian itu dijadikan titik tolak untuk memahami lebih lanjut tentang dampak sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat Kelurahan Krapyak Kidul dalam perayaan Tradisi Syawalan sebagai paket wisata Kota Pekalongan yang terkandung di dalamnya.

Jadi, analisisnya adalah analisis deskriptif serta mencari hubungannya dengan fenomena realitas yang terjadi pada komunitas sosial masyarakat. Dengan demikian, analisis ini akan dapat menjelaskan kiprah masyarakat Kelurahan Krapyak Kidul di ranah domestik, ranah publik, dan ranah paket wisata Kota Pekalongan. Penelitian ini mengarah pada kajian tentang dampak sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat Kelurahan Krapyak Kidul dalam perayaan Tradisi Syawalan sebagai paket wisata Kota Pekalongan dilihat dari perspektif kajian budaya (cultural studies). Dari pemaparan di atas dapat diketahui bahwa penelitian ini mengarah pada pendekatan kualitatif.

Oleh karena itu penelitian ini menggali serta mengkaji bentuk dan proses dampak sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat Kelurahan Krapyak Kidul dalam perayaan Tradisi Syawalan sebagai paket wisata Kota Pekalongan dari bahan-bahan tertulis, buku-buku teks, jurnal, majalah, laporan penelitian, surat kabar yang relevan dengan masalah penelitian. Selanjutnya dikaji dampak dan makna serta implementasinya di lapangan, dalam hal ini dampak sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat Kelurahan Krapyak Kidul dalam perayaan Tradisi Syawalan sebagai paket wisata Kota Pekalongan.

 

1.2   Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini difokuskan pada masyarakat Kelurahan Krapyak Kidul Kota Pekalongan, karena tradisi ini merupakan tradisi khas mereka.

 

1.3   Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang akan digali dalam penelitian ini terdiri atas data kualitatif dan kuantitatif. Data yang dianalisis dalam penelitian ini adalah data kualitatif berbentuk narasi yang terdiri atas kata-kata tertulis atau lisan, ungkapan yang merupakan hasil wawancara dan observasi yang terkait langsung dengan dampak sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat Kelurahan Krapyak Kidul dalam perayaan Tradisi Syawalan sebagai paket wisata Kota Pekalongan. Sementara itu data kuantitatif berbentuk angka-angka digunakan sebagai pendukung (data sekunder). Data kuantitatif bersumber dari dokumen lembaga pemerintah yang menangani perayaan tradisi Syawalan di Krapyak Kidul.

Sumber data penelitian ini ada dua macam yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah informan. Data primer yang diperoleh langsung dari informan, yakni berupa kata-kata, tindakan, dan foto-foto kegiatan tradisi syawalan yang diteliti. Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah dokumen. Data sekunder dapat diperoleh dari sumber-sumber tertulis, seperti dokumen yang tertulis. Dalam hal ini dokumen yang didapatkan dari dokumen yang tersedia atau dokumentasi dan publikasi hasil penelitian terdahulu, monografi, dan yang lainnya, terutama yang relevan dengan permasalahan penelitian dampak sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat Kelurahan Krapyak Kidul dalam perayaan Tradisi Syawalan sebagai paket wisata Kota Pekalongan.

 

1.4   Instrumen Penelitian

Dalam penelitian kualitatif, yang menjadi instrumen penelitian atau alat penelitian adalah penulis sendiri. Dalam hal ini Nasution (dalam Sugiyono,2005:59) menyatakan seperti dalam kutipan di bawah ini:

“Dalam penelitian kualitatif tidak ada pilihan lain daripada menjadikan manusia sebagai instrumen penelitian utama. Alasannya adalah bahwa segala sesuatunya belum mempunyai bentuknya yang pasti. Oleh karena itu, penulis sebagai instrumen harus divalidasi, seberapa jauh penulis kualitatif siap melakukan penelitian dengan menggunakan pedoman wawancara yang selanjutnya terjun ke lapangan” (Sugiyono, 2005:59).

 

Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri sebagai instrumen utama didukung oleh pedoman wawancara (interview guide), yaitu pertanyaan yang memokok sehingga dapat dikembangkan dan diperdalam di lapangan untuk mengumpulkan data. Selain itu, juga dipakai catatan lapangan (field notes) yakni untuk mencatat apa yang didengar, dilihat, dan dipikirkan dalam kaitannya dengan pengumpulan data di lapangan.

 

1.5   Teknik Penentuan Instrumen

Penentuan informan dalam penelitian ini ditentukan secara purposive, yaitu dengan tujuan tertentu. Kriteria yang ditentukan adalah mereka yang memiliki pengalaman dan pengetahuan sebagai informan tentang Perayaan tradisi Syawalan. Dalam hal ini yang dilibatkan sebagai informan adalah masyarakat Krapyak khususnya yang bempat tinggal di sekitar tempat pelaksanaan perayaan tradisi Syawalan, dan selain itu juga di wawancarai perangkat Kelurahan Krapyak Kidul.

 

1.6   Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu teknik observasi, teknik wawancara mendalam, studi dokumen, dan studi kepustakaan.

1.6.1  Observasi

Dalam hal ini yang dimaksudkan observasi adalah cara pengumpulan data melalui indera mata mengenai suatu gejala atau kenyataan dari apa yang dapat dilihat, terutama yang berkaitan dengan masalah-masalah yang diteliti. Dalam hal ini, peneliti mengamati dampak sosial ekonomi dan sosial budaya, baik formal maupun nonformal untuk mendapatkan data yang diperlukan.

Karena keterbatasan daya pengamatan peneliti, maka pada saat melakukan observasi, peneliti membawa alat bantu berupa alat kamera. Dalam hal ini, kamera adalah alat bantu pengamatan untuk mengabdikan peristiwa-peristiwa atau kenyataan-kenyataan agar kemudian dapat dipelajari dengan seksama.

1.6.2  Wawancara Mendalam

Wawancara mendalam merupakan suatu cara untuk memperoleh keterangan secara lisan, yakni berinteraksi dengan seorang informan sesuai dengan permasalahan penelitian, kemudian dilakukan pencatatan secara sistematik. Wawancara mendalam dipakai untuk memperdalam informasi dengan  melakukan cross check antarinforman untuk mendapatkan verifikasi agar valid dan reliable.

Wawancara mendalam dalam penelitian ini dilakukan dalam rangka menggali, memahami, dan mengkaji fenomena tentang dampak sosial ekonomi dan sosial budaya. Ada dua alasan pokok yang mendasari peneliti melakukan wawancara mendalam sewaktu mengumpulkan data. Pertama, wawancara mendalam memungkinkan peneliti untuk menggali fenomena sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat. Kedua, dengan wawancara mendalam peneliti dapat menanyakan kepada informan hal-hal yang bersifat lintas waktu yang berkaitan dengan masa lampau, masa sekarang, dan harapan masa mendatang. Dalam kaitan ini instrumen wawancara mendalam mengunakan pedoman wawancara (interview guide).

1.6.3  Studi Dokumen

Yang dimaksudkan dengan studi dokumen, yakni peneliti menggali informasi dari catatan dalam bentuk tertulis, seperti buku-buku, majalah, dokumen, peraturan-peraturan, notulen rapat, catatan harian, koran, dan sebagainya. Studi dokumen diperlukan dalam proses penelitian ini. (1) Membentuk dan memperbaiki kerangka konsep. Perlu ditekankan di sini bahwa studi dokumen turut membantu menyusun konstruksi konsep serta menyempurnakannya. (2) Mengetes dan mengilustrasikan teori dengan data dari dokumen. (Suharsini, 2002:135).

 

1.7   Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara deskriptif kualitatif, dan interpretatif. Analisis data dilakukan dengan cara mengatur secara sistematis pedoman wawancara, catatan lapangan, data kepustakaan untuk mendapatkan pengetahuan dari data, kemudian memformulasikan secara deskriptif, selanjutnya memproses data tersebut. Adapun analisis data terbagi dalam tiga tahapan, yaitu tahapan reduksi data, menyajikan data, dan menyimpulkan atau verifikasi.

Reduksi data adalah suatu proses memilah, memusatkan perhatian pada penyederhanaan, pengabsahan, dan transformasi data mentah yang diperoleh di lapangan dalam bentuk catatan-catatan. Secara operasional reduksi dilakukan secara terus-menerus selama penelitian berlangsung. Kemudian, membuat ringkasan data lapangan, melakukan kodifikasi, dan memformulasikannya. Hasil yang diperoleh diinterpretasikan, kemudian disajikan dalam bentuk naratif. Selanjutnya, temuan dari perpustakaan dan analisis data lapangan dicari hubungannya. Hal ini bertujuan agar ditemukan pola dan penyimpangan penerapannya dalam kehidupan sosial budaya masyarakat yang diteliti.

 

1.8   Teknik Penyajian Analisis Data

Penyajian hasil penelitian dibuat atau disajikan secara informal yaitu dengan bahasa ragam ilmiah dalam bentuk narasi atau deskripsi kata-kata; dan secara formal berupa bagan, tabel, gambar, dan foto.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

 

 

4.1   Kondisi Geografis Kelurahan Krapyak Kidul Kota Pekalongan

Kelurahan Krapyak Kidul merupakan salah satu kelurahan yang berada di wilayah kecamatan Pekalongan Utara, dengan luas wilayah ± 668.900 Ha. Kelurahan ini memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut :

·      Sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Krapyak Lor

·      Sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Klego

·      Sebelah barat berbatasan dengan Sungai Pekalongan

·      Sebelah timu berbatasan dengan Desa Degayu

Jumlah penduduk yang menempati wilayah ini sebanyak 5.840 jiwa dengan jumlah penduduk laki-laki sebesar 2.870 jiwa dan jumlah penduduk perempuan sebesar 2.970 jiwa serta 1.681 Kepala Keluarga (KK).

Agama yang dianut oleh sejumlah 5.790 penduduk kelurahan Krapyak adalah agama Islam sedangkan sisanya adalah agama Kristen, Katholik, dan Budha (Monografi Kel. Krapyak tahun 2012).

 

4.2   Sejarah dan Perkembangan Tradisi Syawalan

Tradisi syawalan sudah berlangsung turun-temurun sejak puluhan tahun lalu dan menjadi “ikon” Pariwisata Kota Pekalongan dalam perayaan Idul Fitri dan telah terkenal sampai ke luar daerah, bahkan mungkin sampai ke seluruh Indonesia karena sudah sering diliput oleh televisi nasional, yakni pemotongan kue lopis raksasa di Krapyak (disebut juga lopisan atau krapyakan) (http://www.infopublik.org). Tradisi Syawalan yang rutin dilakukan oleh masyarakat Kota Pekalongan ini sudah dimulai sejak 130-an tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1855 M. Kali pertama yang mengelar hajatan Syawalan ini adalah KH. Abdullah Sirodj yang merupakan keturunan dari Kyai Bahu Rekso. Asal muasal tradisi syawalan ini bermula ketika tanggal 8 syawal masyarakat Krapyak berhari raya kembali setelah berpuasa 6 hari, dalam kesempatan ini, mereka membuat acara ‘open house’ menerima para tamu, baik dari luar desa dan luar kota. Hal ini diketahui oleh masyarakat diluar Krapyak, sehingga merekapun tidak mengadakan kunjungan silaturakhim pada hari-hari antara tanggal 2 hingga 7 dalam bulan syawal, melainkan berbondong-bondong berkunjung pada tanggal 8 syawal.  Hal ini berkembang luas, bahkan meningkat terus dari masa ke masa sehingga terjadilah tradisi Syawalan seperti sekarang ini (http://perwakilan.jatengprov.go.id).

Tapi memang sekarang sudah banyak yang berubah sesuai dengan perkembangan zaman dan kondisi ekonomi masyarakat Pekalongan itu sendiri, khususnya warga Krapyak, baik dalam penyelenggaraan tradisi itu sendiri maupun lingkungan masyarakatnya. Acara Tradisi Syawalan saat ini sudah di penuhi oleh para pedagang dadakan yang mencoba mengais rezeki dan berkah dari ribuan pengunjung yang berkunjung. Inilah berkah Tradisi Syawalan untuk warga sekitar jalan Krapyak dan Jlamprang. Meski ini mungkin sudah banyak menghilangkan makna dari acara Syawalan itu sendiri. Banyak tamu atau pengunjung yang sudah enggan atau malu untuk untuk memasuki rumah-rumah di wilayah Krapyak yang memang sebenarnya sudah di buat untuk “open house” bagi siapa saja, baik yang kenal maupun yang tidak kenal (http://bukuiwanagustian.wordpress.com).

Penyelenggaraan tradisi ini semula dipusatkan di Krapyak Kidul gang 8 dan hanya untuk mempererat tali silaturakhim antar warga dengan suguhan sajian makanan berupa lopis yang berukuran biasa. Namun mulai tahun 1998 penyelenggaraanya dipusatkan didua tempat, yakni Krapyak Kidul gang 8 dan Krapyak Lor gang 1 dengan sajian lopis yang semakin besar seiring banyaknya warga yang berdatangan di Krapyak. Selain lopis juga disajikan lotisan. Fungsi lopis ini adalah untuk menyuguh tamu yang tidak memiliki kerabat atau kenalan di Krapyak, sebaliknya sekarang banyak warga yang berebut lopis karena dianggap membawa berkah dan didekatkan jodohnya (Lensa Indonesia, 2012). Bagi masyarakat Krapyak Lor dan Krapyak Kidul, tradisi syawalan yang dimulai dengan pemotongan lopis raksasa telah dikenal secara turun temurun sejak tahun 1950-an. Seorang ulama setempat, KH. Zaenuddin Ismail menjelaskan, “saat itu, ada seorang ulama yang menyarankan kepada warga Krapyak untuk melaksanakan puasa selama enam hari setelah Lebaran. Karena itu, apabila ada warga yang akan bersilaturahmi ke Krapyak, menunggu sampai delapan hari setelah Lebaran untuk menghormati warga yang berpuasa. Lopis raksasa tersebut dibuat untuk menjamu tamu yang bersilaturahmi ke Krapyak pada saat Syawalan,” terangnya.

Menurut Nurman (generasi kedua pembuat lopis raksasa yang menjadi tradisi Syawalan masyarakat Krapyak Kidul dan Krapyak Lor), pembuatan lopis terinspirasi dari pidato Presiden Soekarno saat berpidato di hadapan masyarakat Pekalongan di Bon Raja (sekarang THR-red), sekitar tahun 1958. Nurman menceritakan, dalam pidatonya, Presiden Soekarno mengimbau kepada masyarakat Pekalongan untuk bersatu. Masyarakat diharapkan memiliki sifat seperti lopis. Karena teksturnya yang lengket dan kuat, makanan ini dianggap sebagai simbol perekat dan pemersatu umat. ”Rakyat Pekalongan diminta bersatu dan kokoh seperti halnya lopis,” jelasnya. Setelah mendengarkan pidato hari itu, Nurman bersama beberapa warga lainnya kemudian berinisiatif untuk membuat lopis dengan cara swadaya masyarakat sekitar. Dia dan 14 warga lainnya berhasil membuat lopis raksasa pertama dengan bahan baku beras ketan sebanyak 170 kg. Lopis yang telah matang kemudian disuguhkan kepada warga dari luar Krapyak yang bersilaturakhim ke kelurahan tersebut pada saat Syawalan. ”Adanya lopis ini juga untuk menarik warga dari kelurahan lain untuk bersilaturakhim dengan kami. Lopis ini dibuat untuk warga luar daerah yang bersilaturahmi ke tempat kami, namun dia tidak punya saudara di kampung kami.” Sejak saat itu, setiap tahun masyarakat Krapyak membuat lopis raksasa. Tadisi itu terjaga hingga kini (Suara Merdeka, 2012).  

4.3   Dampak terhadap Sosial Ekonomi

Dewasa ini, globalisasi secara perlahan-lahan membuat dunia menjadi satu dengan yang lain, batas-batas politik, budaya, ekonomi, menjadi semakin kabur serta tampak kesalingberhubungan. Zaman terus berubah, dunia terus bergerak, dan teknologi komunikasi menjadi serba canggih, sehingga tidak menutup kemungkinan terjadi mobilitas sosial (Abdullah, 2007). Pergerakan orang (pariwisata) demikian cepat membawa kapitalisme telah masuk ke dunia bisnis kebudayaan. Komodifikasi budaya terjadi karena pasar cenderung memperlakukan budaya sebagai barang dagangan ketimbang memperlakukan budaya sebagai sebuah medan nilai.

Selera ideologi pasar telah merajalela ke sendi-sendi budaya tradisi dengan arus global kontemporernya menghanyutkan nilai-nilai religi fondasi kehidupan masyarakat Kelurahan Krapyak Kidul yang dipresentasikan melalui tradisi Syawalan. Komodifikasi tradisi Syawalan menggugat akar budaya manusia yang diterminasinya kepada filosofi , jatidiri, dan pandangan hidup masyarakat dewasa ini dan masa yang akan datang, selalu dibayangi oleh kekuatan globalisasi (Atmaja, 2008). Oleh karena itu, ideologi selalu melatarbelakangi penilaian tentang kebenaran sebagai kondisi sosial, seperti tradisi Syawalan sebagai ajang silaturakhim ikut bergeser dan didekonstruksi. Dekonstruksi ideologi membongkar dan membangun kembali ideologi baru yang sesuai dengan pergerakan zaman. Dekonstruksi di sini dimaksudkan membongkar kemapanan sedemikian rupa, sehingga menciptakan suatu permainan tanda yang tanpa akhir dan tanpa makna akhir. Konsep dekonstruksi sangat lekat dengan pandangan hipersemiotika yang dikembangkan oleh Derrida dalam upaya merekonstruksi makna. Dekonstruksi merupakan satu pendekatan kunci postmodernisme terhadap pengetahuan, karena mengarahkan perhatian pada berbagai perubahan yang terjadi dalam budaya kontemporer (Featherstone dalam I Ketut Setiawan, 2011).

Idelogi yang mendasari komodifikasi tradisi Syawalan dalam konteks pariwisata global merujuk dan mengarah pada ideologi pasar. Hal ini terjadi karena ada kesempatan dan peluang, sehingga masyarakat pemilik kebudayaan termotivasi melahirkan kreativitas dalam menyambut “pasar” peradaban masyarakat global, seperti industri pariwisata yang berciri kekuatan kapitalisme dibidang ekonomi. Tradisi Syawalan yang semula merupakan tradisi yang bernilai religi, kemudian merambah, dimanfaatkan sebagai daya tarik wisata. Kedua sisi itu tampak berlawanan, tetapi berjalan berdampingan saling melengkapi dan memperkokoh eksistensi masing-masing. Sekat yang menjadikan tradisi syawalan sebagai ajang silaturakhim yang bernilai religi dan daya tarik wisata dibangun oleh kebiasaan atau pengalaman manusia yang sifatnya ritual dan kepentingan praktis untuk memperoleh keuntungan ekonomi.

Hal ini dibuktikan dengan sajian lopis yang tadinya berukuran biasa-biasa saja, namun semakin lama semakin besar seiring banyaknya warga yang berdatangan di Krapyak. Inilah yang menjadi daya tarik tradisi ini dengan dimunculkannya pemotongan Lopis raksasa, banyak orang berdatangan karena rasa penasaran ingin melihat lopis raksasa, bukan untuk bersilaturakhim sesuai awal nilai yang diajarkan.

Menurut Bapak Harun Rosyid (Kepala Kelurahan Krapyak), acara dalam tradisi ini mengalami perkembangan yang semula hanya acara silaturakhim biasa tetapi sekarang malah didahului kirab budaya yang mengusung berbagai potensi yang ada di wilayah tersebut, khususnya Batikan. Hal ini menurut beliau dilaksanakan untuk memperkenalkan potensi yang ada di Kel. Krapyak yang diharapkan secara tidak langsung mampu meningkatkan perekonomian terutama para pengrajin batik.   

Dampaknya acara Tradisi Syawalan saat ini sudah di penuhi oleh para pedagang dadakan yang mencoba mengais rezeki dan berkah dari ribuan pengunjung yang berkunjung. Inilah berkah Tradisi Syawalan untuk warga sekitar jalan Krapyak dan Jlamprang.

Meski ini mungkin sudah banyak menghilangkan makna dari acara Syawalan itu sendiri. Banyak tamu atau pengunjung yang sudah enggan atau malu untuk untuk memasuki rumah-rumah di bilangan krapyak yang memang sebenarnya sudah di buat untuk open house bagi siapa saja, baik yang kenal maupun yang tidak kenal.

Manfaat positif pariwisata bagi masyarakat Kelurahan Krapyak pada umumnya, antara lain adalah meningkatkan lapangan usaha, meningkatnya lapangan kerja, meningkatnya pendapatan masyarakat, dan mendorong pertumbuhan sektor perdagangan. Setidaknya sebagian masyarakat Kelurahan Krapyak dan sekitarnya secara tidak langsung merasakan manfaat positif pariwisata tersebut. Hal ini memberi inspirasi kepada sebagian penduduk untuk membuka kios yang menjual makanan, minuman terutama lopis. Harapan untuk hidup lebih baik, merupakan orientasi masyarakat Kelurahan Krapyak ke masa depan. Harapan tersebut selain didukung oleh potensi-potensi internal, juga didukung oleh faktor-faktor eksternal. Potensi internal bersumber dari masyarakat itu sendiri karena adanya sesuatu yang dianggap sudah tidak lagi memuaskan atau keinginan untuk lebih baik daripada keadaan sebelumnya. Sementara faktor-faktor eksternal di antaranya adalah program-program pemerintah dalam bentuk penyuluhan, promosi dan tentu saja budaya pariwisata. Rendahnya pendapatan penduduk dari buruh industri, pada akhirnya menimbulkan ketidakpuasan terhadap kondisi tersebut. Upaya untuk mengatasinya adalah menggantungkan variasi-variasi usaha yang ada di luar sektor perburuhan, khususnya sektor pariwisata.

 

4.4   Dampak terhadap Sosial Budaya

Tradisi Syawalan di Kelurahan Krapyak Kidul pada awalnya bukan produk budaya yang sengaja diciptakan untuk tujuan komersial. Namun, dalam perkembangan masa kini tradisi Syawalan mengalami komodifikasi yang mengarah komersialisasi karena ditata untuk memenuhi selera pasar. Hal seperti itu menurut Sifullah (1994) menunjukkan adanya kaitan antara tradisi dan modernitas yang telah diubah menjadi hubungan komersial. Kepentingan kapitalisme menjadikan tradisi tersebut sebagai alat komoditas yang bernilai jual. Dalam hal ini, pasar turut menentukan arah komodifikasi tradisi Syawalan dalam penampilannya, yakni objek, dan penataan yang semua dikemas untuk dijadikan komoditas dengan tujuan utamanya adalah memenuhi selera pasar. Berdasarkan asumsi dasar mengenai keterkaitan antara komoditas tradisi Syawalan dengan kehidupan sosial budaya masyarakat, maka tradisi Syawalan sebagai produk budaya manusia merupakan hasil kebudayaan dari suatu sistem yang terdiri atas unsur-unsur kebudayaan yang saling terkait, khususnya antara unsur seni, religi, dan komersial. Unsur-unsur seni, relegi, dan komersial tidak berdiri sendiri, tetapi saling berhubungan, saling terkait, atau bahkan ada saling bergantung antara satu dengan yang lainnya. Keadaan saling terkait tersebut berorientasi pada kehidupan atau kelangsungan hidup suatu sistem dalam satu kesatuan secara menyeluruh (Bagus, 1975).

Pariwisata merupakan kegiatan yang secara langsung menyentuh dan melibatkan masyarakat, sehingga memberikan pengaruh terhadap masyarakat setempat. Bahkan pariwisata mempunyai energi pendobrak yang kuat dan mampu membuat masyarakat setempat mengalami perubahan, baik ke arah perbaikan maupun ke arah penurunan (degradasi) dalam berbagai aspek.

Dampak sosial budaya menurut Cooper (1993) muncul karena industri pariwisata melibatkan tiga hal, yaitu wisatawan, masyarakat setempat, dan hubungan wisatawan dan masyarakat. Dampak sosial budaya muncul apabila terjadi interaksi antara wisatawan dan masyarakat ketika (1) wisatawan membutuhkan produk dan membelinya dari masyarakat disertai tuntutan-tuntutan sesuai dengan keinginannya, (2) pariwisata membawa hubungan yang informal dan pengusaha pariwisata mengubah sikap spontanitas masyarakat menjadi transaksi komersial, dan (3) wisatawan dan masyarakat bertatap muka dan bertukar informasi atau ide, menyebabkan munculnya ide-ide baru.

Terkait dengan penelitian ini, dampak pemanfaatan tradisi Syawalan dalam konteks pariwisata global terhadap sosial budaya masyarakat setempat tidak dapat secara cepat terlihat, karena perubahan yang terjadi dalam masyarakat tidak terjadi seketika, tetapi melalui proses. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa dampak pemanfaatan tradisi Syawalan terhadap kehidupan sosial budaya masyarakat Kelurahan Krapyak Kidul yang bersifat positif, menurut penuturan bapak Harun Rosyid cenderung menimbulkan sikap tertib dan rukun terutama rasa kebersamaan dan sedangkan yang bersifat negatif yang dapat mendatangkan kerugian, seperti terjadinya komersialisasi tradisi (khususnya sajian Lopis), kaburnya identitas dan nilai sejarah, dan tercemarnya pemaknaan lopis dari sajian kepada tamu berubah memiliki makna dapak mendatangkan rejeki dan jodoh, munculnya gejala hiperspiritualitas, serta munculnya sampah yang tentunya perlu diatasi.

 

 

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

 

 

5.1   Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian di atas, dapat ditarik beberapa simpulan bahwa pemanfaatan Tradisi Syawalan sebagai paket wisata mengalami proses sejarah yang panjang, dan cenderung mengarah pada pergeseran nilai yang dilakukan oleh masyarakat dalam mereproduksi dan mendistribusikan dalam upaya memenuhi permintaan pasar. Nilai sakral dan religius keagamaan menjadikan tradisi silaturakhim tersebut hadir dalam bentuk tampilan yang ramai pengnjung, namun perlahan-lahan dan pasti nilai keagamaan diabaikan.

Pemanfaatan tradisi Syawalan sejak proses produksi, distribusi, dan konsumsi sebagai satu kesatuan. Reproduksi dan distribusi pura dilakukan atas inisiatif masyarakat sendiri dan secara kelembagaan dengan Pemerintah Kota Pekalongan, di mana tradisi syawalab yang sebelumnya bukan komoditas kemudian diperlakukan sebagai komoditas yang diperjualbelikan untuk harapan mendapatkan keuntungan ekonomi.

Dampak pemanfaatan tradisi syawalan sebagai paket wisata berimplikasi kuat berkaitan dengan bergesernya nilai magis-religius. Pemanfaatan tersebut berdampak pada aspek sosial ekonomi dan sosial budaya. Dampak terhadap aspek sosial ekonomi cenderung positif, yaitu dapat meningkatnya taraf kesejahteraan kehidupan masyarakat Kelurahan Krapyak Kidul. Wujudnya adalah pelaksanaan upacara agama secara lebih teratur dan berkualitas, di samping memperbaiki tradisi syawalan sesuai dengan kemampuan ekonomi masyarakat itu sendiri. Sedangkan dampak terhadap sosial budaya berdampak positif dan negatif. Komersialisasi tradisi dapat mengakibatkan menurunnya nilai-nilai religius serta menyebabkan lingkungan menjadi kotor.

 

5.2   Saran

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi untuk penelitian lebih lanjut dan mendalam bagi berbagai disiplin ilmu. Modal budaya berupa pusaka budaya dapat dikembangkan menjadi modal ekonomi yaitu sebagai aset agar dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam pembangunan, khususnya di kota Pekalongan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Anonim, 2012 : Resume Kecamatan Sebagai Pusat Pelestarian dan Pengembangan

Kebudayaan serta Sebagai Sumber Kekuatan dan Potensi Daerah”.

 

Arikunto, Suharsimi, 1996 : “Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek” PT. Rineka

Cipta. Jakarta.

 

I Ketut Setiawan (Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Udayana), 2011: Dampak

Sosial Ekonomi dan Sosial Budaya Pemanfaatan Pura Tirta Empul Sebagai Daya Tarik Wisata Budaya” dalam The Excellence Research UNIVERSITAS UDAYANA.

 

http://perwakilan.jatengprov.go.id/wisata/kota-pekalongan.html

 

http://suryawisatapkl.blogspot.com/2010/09/kumpulan-seni-budaya pekalonganjawa.html

 

Harun Rosyid (Kepala Kelurahan Krapyak) (2002). “Tinjauan Singkat Syawalan”.

Dokumen Kelurahan Krapyak.

 

http://bukuiwanagustian.wordpress.com/2013/08/17/berkah-tradisi-syawalan-di-pekalongan/

http://www.infopublik.org/read/53048/ribuan-warga-pekalongan-meriahkan-tradisi

syawalan.html

 

http://www.pekalongankota.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=240:syawalan-lopis-raksasa&catid=77:seni-budaya&Itemid=104

 

Isnawati-48. 26 Agustus 2012. “Syawalan dengan Potong Lopis Simbol Perekat Umat”.

Suara Pantura : Suara Merdeka

 

Mudjahirin Thohir,  25 Agustus 2012. “Wacana  Tradisi Syawalan di Jawa”

Suara Merdeka

 

Rudi, 27 Agustus 2012. “Dipercaya Datangkan Rejeki dan Jodoh Tradisi Syawalan,

Lupis Raksasa Jadi Rebutan Warga Pekalongan”. LENSA INDONESIA