BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kota
Pekalongan dengan luas wilayah kurang lebih 45,25 km², terletak di daerah
pantai utara Pulau Jawa dengan ketinggian rata-rata 1 m diatas permukaan laut
pada posisi 60º50’42” LS – 60º55’44” LS dan 1090º37’55” BT – 1090º42’19” BT
ternyata menyimpan banyak tradisi dan budaya. Tradisi dan budaya ini tetap
terpelihara secara turun temurun dalam kurun waktu yang panjang, salah satu
acara tradisi ini adalah Syawalan atau Krapyakan.
Syawalan merupakan suatu bentuk perwujudan dari
semangat keberagaman masyarakat Krapyak Kidul Kota Pekalongan tempo dulu.
Seperti yang kita lihat bahwa umat Islam selalu menyambut gembira kehadiran
Hari Raya Idul Fitri, banyak amalan yang dapat dilakukan sebagai perwujudan
rasa syukur kepada Allah SWT atas datangnya hari mulia ini. Warga Krapyak Kidul
sebagai bagian umat islam juga melakukan hal yang sama, setelah kegiatan Sholat
Ied maka semua warga mengadakan silaturrakhim dengan cara berkunjung dari rumah
ke rumah.
Pada hari kedua sampai hari ketujuh banyak warga yang
melakukan puasa sunnah atau puasa enam hari, dan hal ini tentunya menjadi
kendala bagi keluarga jauh yang akan berkunjung pada hari-hari tersebut.
Akhirnya mereka memilih berkunjung pada hari kedelapan, kebiasaan inilah yang menjadi
cikal bakal tradisi Syawalan.
Hal ini pula menunjukkan bahwa kegiatan Syawalan yang
berlangsung di Krapyak Kidul memang bukan ritual keagamaan tetapi kegiatan yang syarat dengan
nilai-nilai agama. Tidak ada yang tahu pasti kapan tradisi Syawalan itu dimulai
tetapi berdasarkan salah satu sumber, menyatakan bahwa tradisi Syawalan dimulai
pada pertengahan abad sembilan belas dan tokoh yang dianggap berjasa dalam
perintisannya adalah Kyai H. Abdullah Siroj, yang makamnya kini berada di
Payaman Magelang.
Awal tradisi Syawalan hanyalah sebagai ajang silaturrakhim
antar warga, akan tetapi seiring kemajuan zaman serta kondisi sosial ekonomi
masyarakat kelurahan Krapyak Kidul, tradisi ini mengalami perkembangan. Salah
satunya adalah pemotongan Lopis Raksasa, acara ini dimulai tahun 1956 dirintis
oleh Bapak Rohmat yang menjabat sebagai Kepala Kelurahan pada waktu itu. Pada
akhirnya acara pemotongan lopis ini setiap tahun dihadiri oleh tokoh masyarakat
dan wakil dari pemerintahan kota Pekalongan.
Tradisi Syawalan yang semula milik sebagian warga,
kini meluas di desa sekitar lingkungan Krapyak Kidul. Hal ini tentunya
menggembirakan karena acara ini telah menjadi paket wisata budaya di Kota
Pekalongan. Kenyataan menunjukkan bahwa kedatangan banyak pengunjung sebagai
konsumen telah membawa pengaruh terhadap sosial ekonomi dan sosial masyarakat. Dampak
yang lain, tradisi syawalan yang semula hanya sebagai ajang silaturrakhim
berubah menjadi ajang lomba dan panggung hiburan yang menimbulkan nuansa lain
dalam tradisi ini. Hal ini pula yang tentunya membawa pengaruh bagi kehidupan
masyarakat Kelurahan Karapyak Kidul pada khususnya, baik dalam sosial ekonomi
maupun sosial budaya.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang tersebut, maka dalam penelitian ini dirumuskan masalah sebagai
berikut: “Bagaimana Dampak Sosial Ekonomi
dan Sosial Budaya Masyarakat Kelurahan Krapyak Kidul dalam Perayaan Tradisi Syawalan
sebagai Paket Wisata di Kota Pekalongan?”
1.3
Tujuan Penelitian
Tujuan
umum penelitian adalah untuk mengungkap dampak sosial ekonomi dan sosial budaya
masyarakat Kelurahan Krapyak Kidul dalam perayaan Tradisi Syawalan sebagai
paket wisata Kota Pekalongan, sehingga dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi
terhadap keberadaan dan eksistensi nilai sebuah tradisi.
Tujuan
khusus penelitian adalah untuk mengidentifikasi dampak sosial ekonomi dan
sosial budaya masyarakat Kelurahan Krapyak Kidul dalam perayaan Tradisi
Syawalan sebagai paket wisata Kota Pekalongan.
1.4
Manfaat Penelitian
1) Menambah pengetahuan akademis maupun
non akademis tentang dampak sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat dalam
perayaan tradisi syawalan.
2) Memperkuat otonomi daerah, mengingat
upacara tradisional ini berfungsi untuk memperkuat integrasi sosial, khususnya
integrasi dan kebersamaan masyarakat Kota Pekalongan.
3) Sebagai bahan informasi mengenai dampak
sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat Kelurahan Krapyak Kidul dalam
perayaan tradisi syawalan sebagai paket wisata di Kota Pekalongan.
4) Sebagai landasan preventif agar dampak
sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat dalam tradisi syawalan tidak
menyimpang dari nilai-nilai yang ditanamkan dalam tradisi tersebut.
5) Sebagai bahan masukan kepada masyarakat
Kelurahan Krapyak Kidul mengenai dampak sosial ekonomi dan sosial budaya dalam
perayaan tradisi syawalan.
6)
Sumber
informasi dan data dasar bagi penelitian selanjutnya dalam ruang lingkup yang
sama.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tradisi
Syawalan
Tradisi Syawalan atau yang dikenal dengan Krapyakan
atau Lopisan adalah suatu kegiatan tradisi yang dilaksanakan oleh masyarakat
Krapyak Kidul dan dilaksanakan tiap tanggal 8 (delapan) bulan Syawal
penanggalan Hijriyah. Tradisi ini sudah berlangsung turun temurun sejak
puluhan tahun lalu dan menjadi “ikon”
Pariwisata Kota Pekalongan dalam perayaan Idul Fitri. Kegiatan ini
pada dasarnya adalah kegiatan silaturakhim, terutama tamu dari jauh datang
berkunjung kepada warga Krapyak Kidul, berbagai suguhan disajikan oleh warga
untuk menyambut tamu-tamunya, yang merupakan makanan khas terdiri dari lopis
dan lotis.
Kekhasan pada acara syawalan ini yakni adanya kue
lopis raksasa seberat 535 kilogram dengan tinggi 170 centimeter dan berdiameter
203 centimeter. Puncak acara Syawalan ditandai dengan pemotongan lopis oleh
Muspida dan Tokoh Masyarakat Pekalongan. Setelah diberi doa oleh seorang ulama
setempat lopis raksasa tersebut langsung menjadi rebutan ribuan warga. Warga
percaya jika bisa mendapatkan potongan lopis serta menyantapnya akan
mendapatkan berkah dan didekatkan jodohnya. Meski saling dorong antar sesama
warga untuk berebut mendapatkan potongan kue lopis Raksasa tersebut namun tidak
menyurutkan niat warga untuk ikut memeriahkan acara tersebut. Tak sedikit kaum
ibu dan remaja putri yang ikut memperebutkan kue lopis raksasa ini yang
akhirnya berjatuhan ketanah dan saling tindih (Lensa Indonesia, 2012).
Tradisi syawalan ini bermula pada tanggal 8 Syawal
masyarakat Krapyak berhari raya kembali setelah berpuasa 6 hari, dalam
kesempatan ini, mereka membuat acara ‘open
house’ menerima para tamu baik dari luar desa dan luar kota. Hal ini
diketahui oleh masyarakat diluar krapyak, sehingga merekapun tidak mengadakan
kunjungan silaturakhim pada hari-hari antara tanggal 2 hingga 7 dalam bulan
Syawal, melainkan berbondong-bondong berkunjung pada tanggal 8 Syawal. Yang
demikian ini berkembang luas, bahkan meningkat terus dari masa ke masa sehingga
terjadilah tradisi Syawalan seperti sekarang ini Tradisi Syawalan yang rutin dilakukan
oleh masyarakat Kota Pekalongan ini sudah dimulai sejak 130-an tahun yang lalu,
tepatnya pada tahun 1855 M. Kali pertama
yang mengelar hajatan Syawalan ini adalah KH. Abdullah Sirodj yang merupakan
keturunan dari Kyai Bahu Rekso (http://perwakilan.jatengprov.go.id).
Tapi memang sekarang sudah banyak yang berubah sesuai
dengan perkembangan zaman dan kondisi ekonomi masyarakat Pekalongan itu sendiri.
Tentunya pula menjadi permasalahan dimasa mendatang karena adanya perbedaan
persepsi mengenai bentuk syawalan, namun yang jelas melekatnya nilai keagamaan
dalam tradisi ini menjadikan hal ini menjadi sesuatu yang sangat peka, dan
tentunya kebutuhan lembaga yang memiliki kemampuan untuk menyerap aspirasi
masyarakat tentang pengembangan syawalan di masa mendatang menjadi amat
penting.
Saat ini harapan seluruh warga bahwa tradisi ini akan
terus berkembang dan tetap disesuaikan dengan makna asli, akan tetapi menjadi
paket wisata yang menarik (Harun Rosyid, Dok. Kel. Krapyak Kidul).
2.2 Sosial Ekonomi
Sosial
mengandung arti segala sesuatu yang berhubungan dengan masyarakat, sementara
itu ekonomi
memiliki artian sebagai ilmu yang berhubungan dengan asas produksi, distribusi,
pemakaian barang serta kekayaan. Sekilas Sosial dan Ekonomi seperti dua hal dan cabang ilmu
yang berbeda, namun diantara keduanya sebenarnya terdapat kaitan yang erat.
Salah satu kaitan yang erat tersebut adalah, jika keperluan ekonomi tidak
terpenuhi maka akan terdapat dampak sosial yang terjadi dimasyarakat kita. Jadi
bisa dijadikan kesimpulan adalah bahwa sosial ekonomi
mengandung pengertian sebagai segala sesuatu hal yang berhubungan dengan
tindakan ekonomi dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat seperti sandang, pangan
dan papan (http://obrolanekonomi.blogspot.com
/2013/02/arti-sosial-ekonomi-yang-sesungguhnya.html).
Pengertian kondisi Sosial ekonomi adalah suatu keadaan
atau kedudukan yang diatur secara sosial dan menetapkan seseorang dalam posisi
tertentu dalam struktur masyarakat. Pemberian posisi ini disertai pula
seperangkat hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh si pembawa status.
Tingkat sosial merupakan faktor non ekonomis seperti budaya, pendidikan, umur
dan jenis kelamin, sedangkan tingkat ekonomi seperti pendapatan, jenis
pekerjaan, pendidikan dan investasi.
Manusia selalu ingin memenuhi kebutuhan hidupnya baik
moral maupun material. Kebutuhan pokok atau basic
human needs dapat dijelaskan sebagai kebutuhan yang sangat penting guna kelangsungan
hidup manusia. Abraham Maslow mengungkapkan kebutuhan manusia terdiri dari
kebutuhan dasar fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan kasih
sayang, kebutuhan akan dihargai dan kebutuhan mengaktualisasikan diri.
Salah satu faktor yang penting untuk membangun
masyarakat yang sejahtera adalah sebuah teori sosial ekonomi yang baik.
Sepanjang sejarah, manusia terus mencari jawaban bagaimana sumberdaya di bumi
ini yang dapat dipergunakan dan dibagikan dengan baik. Tambahan pula,
masyarakat memerlukan suatu sistem pemerintahan yang dapat memenuhi semua
kebutuhan anggotannya. Jawaban masyarakat atas keperluan itu menggambarkan
nilai-nilai sosial ekonomi yang diikuti masyarakat pada saat itu.
Menurut Melly G Tan bahwa kedudukan sosial ekonomi mencakup
3 (tiga) faktor yaitu pekerjaan, pendidikan, dan penghasilan. Pendapat diatas
didukung oleh Mahbud UI Hag dari Bank Dunia bersama dengan James Grant dari
Overseas Development Council mengatakan bahwa kehidupan sosial ekonomi
dititikberatkan pada pelayanan kesehatan, pendidikan, perumahan dan air yang
sehat yang didukung oleh pekerjaan yang layak (Melly Dalam Susanto, 1984).
Dari pendapat tersebut dapat diketahui bahwa status
sosial ekonomi adalah kemampuan seseorang untuk mampu menempatkan diri dalam
lingkungannya sehingga dapat menentukan sikap berdasarkan atas apa yang
dimilikinya dan kemampuan mengenai keberhasilan menjalankan usaha dan berhasil
mencukupinya (http://www.
psychologymania.com / 2012/10/pengertian-sosial-ekonomi.html).
Berdasarkan
beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sosial ekonomi adalah
segala sesuatu yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat, antara
lain sandang, pangan, perumahan, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain.
Pemenuhan kebutuhan tersebut berkaitan dengan penghasilan. Hal ini disesuaikan
dengan penelitian yang akan dilakukan. Untuk melihat kedudukan sosial ekonomi
Melly G. Tan mengatakan adalah pekerjaan, penghasilan, dan pendidikan.
Berdasarkan ini masyarakat tersebut dapat digolongkan kedalam kedudukan sosial
ekonomi rendah, sedang, dan tinggi (Koentjaraningrat, 1981:35).
2.3 Sosial
Budaya
Sosial Budaya terdiri dari 2 kata, yang pertama
definisi sosial, menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia milik W.J.S
Poerwadarminta, sosial ialah segala sesuatu yang mengenai masyarakat atau
kemasyarakatan atau dapat juga berarti suka memperhatikan kepentingan umum
(kata sifat). Sedangkan budaya dari kata Sans atau Bodhya yang artinya pikiran
dan akal budi. Budaya ialah segala hal yang dibuat oleh manusia berdasarkan
pikiran dan akal budinya yang mengandung cinta, rasa dan karsa. Dapat berupa
kesenian, pengetahuan, moral, hukum, kepercayaan, adat istiadat ataupun ilmu.
Maka definisi sosial
budaya itu sendiri adalah segala hal yang dicipta oleh manusia dengan
pemikiran dan budi nuraninya untuk dan atau dalam kehidupan bermasyarakat. Atau
lebih singkatnya manusia membuat sesuatu berdasar budi dan pikirannya yang
diperuntukkan dalam kehidupan bermasyarakat.
Definisi
sosial budaya pun dapat berkembang dan tercipta karena adanya kaitan erat
antara kebudayaan itu sendiri. Perubahan kebudayaan bisa saja terjadi akibat
adanya perubahan sosial dalam masyarakat, begitu pula hal yang sebaliknya dapat
terjadi. Dampak negatif kebudayaan bagi kehidupan sosial manusia sebagai
berikut :
a) Menimbulkan kerusakan lingkungan dan
kelangsungan ekosistem
b) Terjadinya kesenjangan sosial
c) Mengurangi bahkan dapat menghilangkan
ikatan batin dan moral yang biasanya dekat dalam hubungan sosial antar
masyarakat (www.anneahira.com/definisi-sosial-budaya.htm).
2.4 Kerangka
Konsep
Salah satu
kecenderungan yang tampak dengan jelas dari dinamika kehidupan manusia dewasa
ini ialah perubahan-perubahan yang disebabkan oleh upaya-upaya manusia di
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang berlangsung kian cepat. Perubahan-perubahan
tersebut terasa besar sekali pengaruhnya bagi berbagai aspek kehidupan,
termasuk di dalamnya adalah pengaruh yang tak terhindarkan pada kehidupan
budaya daerah dengan berbagai segi, termasuk seni dan tradisi. Akibatnya, kita
pun dihadapkan pada berbagai keniscayaan: penetrasi nilai-nilai baru yang avant
garde yang acapkali bertentangan dengan nilai lama yang konvensional; kecenderungan
pragmatik, materialistik, dan hedonik yang menjadi dominan di tengah masyarakat
yang semakin konsumeristik yang ujung-ujungnya sampai pada pemiskinan spiritual;
dan sederet panjang fenomena lainnya. Oleh karena itu, upaya menempatkan kembali
kebudayaan sebagai kerja perencanaan manusia berikut tindakan nyatanya demi
kesejahteraan bersama, merupakan upaya yang tidak bisa ditunda-tunda.
Kebudayaan
pada dasarnya merupakan kerja perencanaan manusia berikut tindakan nyata demi
memenuhi kebutuhan hidup agar survive. Karenanya, produk budaya bisa saja
bersifat material dan bisa pula nonmaterial, yang semuanya demi pemenuhan
kebutuhan fisik ataupun kebutuhan rohani. Dalam kehidupan masyarakat secara
umum, kebudayaan seringkali disalahartikan, dibatasi, atau hanya disamakan dengan
kesenian. Pandangan ini tidak sepenuhnya keliru karena kesenian memang merupakan
salah satu produk budaya yang di dalamnya juga terbayang adanya nilai-nilai dan
aktivitas sosial. Karenanya, perlu ada upaya meluruskan agar proses dan produk
budaya yang ada dapat diposisikan secara strategis. Artinya, di samping berbagai
ragam seni, kebudayaan juga mencakupi hal-hal yang lain seperti tradisi masyarakat
yang bersifat lisan dan turun-temurun, termasuk adat istiadat dan keyakinan-keyakinan
yang diekspresikan melalui ritus-ritus tertentu. Dengan cara demikian, seluruh
nilai budaya yang ada dapat dijadikan sumber kekuatan dan ketahanan masyarakat
dalam membangun dirinya, terutama tatkala bersemuka dengan budaya lain yang
bisa saja dalam sejumlah hal bersifat mengancam. Implikasinya, nilai dan bentuk
budaya lain pun dapat disaring dan diseleksi agar masyarakat tidak mengalami
benturan, bahkan longsor budaya.
Budaya lain
bisa saja dikelola setepat-tepatnya dalam rangka memperkaya khasanah budaya
yang ada dan sudah berurat berakar dalam masyarakat. Dengan cara demikian pula,
masyarakat berbudaya sebagai cita-cita bersama diniscayakan dapat terwujud.
Tradisi
syawalan yang telah menjadi identitas kota Pekalongan, maka dalam
pengembangannya sebagai paket wisata yang telah mendatangkan banyak pengunjung
kemungkinan memberikan dampak bagi masyarakat kelurahan Krapyak, baik dalam
sosial ekonomi maupun sosial budaya. Hal ini dapat terjadi secara langsung
maupun tidak langsung.
BAB
III
METODOLOGI
PENELITIAN
1.1
Rancangan Penelitian
Kajian
dampak sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat Kelurahan Krapyak Kidul
dalam perayaan tradisi syawalan sebagai paket budaya Kota Pekalongan merupakan
penelitian dengan perspektif kajian budaya. Kajian ini menggunakan pendekatan interdisipliner
yang mencoba melihat fenomena secara luas dari berbagai faktor yang
berpengaruh. Dalam hubungan ini, faktor-faktor yang berpengaruh yaitu ekonomi, dan
budaya masyarakat Kelurahan Krapyak Kidul dalam perayaan Tradisi Syawalan
sebagai paket wisata Kota Pekalongan.
Sebagai kajian
budaya, penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Menurut Kirl dan Miller
(1986), penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan
sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam
kawasannya dan hubungannya dengan orang-orang tertentu dalam bahasa dan
peristilahan. Kendatipun penelitian ini menggunakan metode kualitatif, tetapi
dalam beberapa hal dibantu dengan penerapan metoda analisis data yang bersifat
kuantitatif. Meneliti dan mengamati sejumlah data kuantitatif dalam penelitian
ini dianalisis berdasarkan persentase keterwakilan masyarakat Kelurahan Krapyak
Kidul yang terlibat dalam penyelenggaraan tradisi dan berdasarkan pendapat masyarakat
Kelurahan Krapyak Kidul tentang dampak penyelenggaraan tradisi tersebut. Oleh karena itu, kontribusi data kuantitatif
dalam penelitian ini tidak dapat dihindarkan walaupun diposisikan sebagai
pelengkap.
Dalam
konteks tersebut Straus dan Corbin (2003:4) menyatakan bahwa penelitian kualitatif
adalah jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur
yang statistik atau bentuk hitungan lainnya. Ciri-ciri yang menonjol dalam
penelitian kualitatif adalah (1) sumber datanya langsung berupa data situasi
alami dan peneliti adalah instrumen kunci; (2) bersifat deskriptif; dan (3)
lebih menekankan makna proses daripada hasil, perilaku, dan dengan pandangan
pendirian yang diperoleh dari pengamatan.
Dalam
penelitian ini, penerapan model kualitatif dilakukan secara deskriptif, yakni
data yang dianalisis dan hasil analisisnya berbentuk fenomena deskriptif, tetapi
tidak berupa angka-angka atau koefesien tentang hubungan antarvariabel.
Dalam hal
ini peneliti menganalisis data dengan keragaman informasi sebagaimana terekam
dalam kumpulan data (Arikunto, 1989:194). Penerapan metode kualitatif secara
komparatif adalah melakukan analisis untuk mencari dan menemukan
persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan fenomena (Arikunto, 1989:197).
Selanjutnya, penerapan yang bersifat korelatif menurut Arikunto (1989:201), yakni
bertujuan untuk mencari dan menemukan ada atau tidaknya hubungan antargejala
yang ada.
Mekanisme
kerja dalam penelitian ini adalah menganalisis perayaan Tradisi Syawalan yang
merupakan budaya dan tradisi masyarakat Kelurahan Krapyak Kidul yang kini telah
paket wisata Kota Pekalongan. Dalam hal ini uraian itu dijadikan titik tolak
untuk memahami lebih lanjut tentang dampak sosial ekonomi dan sosial budaya
masyarakat Kelurahan Krapyak Kidul dalam perayaan Tradisi Syawalan sebagai
paket wisata Kota Pekalongan yang terkandung di dalamnya.
Jadi,
analisisnya adalah analisis deskriptif serta mencari hubungannya dengan fenomena
realitas yang terjadi pada komunitas sosial masyarakat. Dengan demikian,
analisis ini akan dapat menjelaskan kiprah masyarakat Kelurahan Krapyak Kidul
di ranah domestik, ranah publik, dan ranah paket wisata Kota Pekalongan. Penelitian
ini mengarah pada kajian tentang dampak sosial ekonomi dan sosial budaya
masyarakat Kelurahan Krapyak Kidul dalam perayaan Tradisi Syawalan sebagai paket
wisata Kota Pekalongan dilihat dari perspektif kajian budaya (cultural
studies). Dari pemaparan di atas dapat diketahui bahwa penelitian ini
mengarah pada pendekatan kualitatif.
Oleh karena
itu penelitian ini menggali serta mengkaji bentuk dan proses dampak sosial
ekonomi dan sosial budaya masyarakat Kelurahan Krapyak Kidul dalam perayaan
Tradisi Syawalan sebagai paket wisata Kota Pekalongan dari bahan-bahan
tertulis, buku-buku teks, jurnal, majalah, laporan penelitian, surat kabar yang
relevan dengan masalah penelitian. Selanjutnya dikaji dampak dan makna serta implementasinya
di lapangan, dalam hal ini dampak sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat
Kelurahan Krapyak Kidul dalam perayaan Tradisi Syawalan sebagai paket wisata
Kota Pekalongan.
1.2
Lokasi Penelitian
Lokasi
penelitian ini difokuskan pada masyarakat Kelurahan Krapyak Kidul Kota
Pekalongan, karena tradisi ini merupakan tradisi khas mereka.
1.3
Jenis dan Sumber Data
Jenis data
yang akan digali dalam penelitian ini terdiri atas data kualitatif dan
kuantitatif. Data yang dianalisis dalam penelitian ini adalah data kualitatif berbentuk
narasi yang terdiri atas kata-kata tertulis atau lisan, ungkapan yang merupakan
hasil wawancara dan observasi yang terkait langsung dengan dampak sosial
ekonomi dan sosial budaya masyarakat Kelurahan Krapyak Kidul dalam perayaan
Tradisi Syawalan sebagai paket wisata Kota Pekalongan. Sementara itu data
kuantitatif berbentuk angka-angka digunakan sebagai pendukung (data sekunder).
Data kuantitatif bersumber dari dokumen lembaga pemerintah yang menangani
perayaan tradisi Syawalan di Krapyak Kidul.
Sumber data
penelitian ini ada dua macam yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder.
Sumber data primer dalam penelitian ini adalah informan. Data primer yang diperoleh
langsung dari informan, yakni berupa kata-kata, tindakan, dan foto-foto
kegiatan tradisi syawalan yang diteliti. Sumber data sekunder dalam penelitian
ini adalah dokumen. Data sekunder dapat diperoleh dari sumber-sumber tertulis,
seperti dokumen yang tertulis. Dalam hal ini dokumen yang didapatkan dari
dokumen yang tersedia atau dokumentasi dan publikasi hasil penelitian
terdahulu, monografi, dan yang lainnya, terutama yang relevan dengan
permasalahan penelitian dampak sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat
Kelurahan Krapyak Kidul dalam perayaan Tradisi Syawalan sebagai paket wisata
Kota Pekalongan.
1.4
Instrumen Penelitian
Dalam
penelitian kualitatif, yang menjadi instrumen penelitian atau alat penelitian
adalah penulis sendiri. Dalam hal ini Nasution (dalam Sugiyono,2005:59)
menyatakan seperti dalam kutipan di bawah ini:
“Dalam penelitian kualitatif tidak ada pilihan lain
daripada menjadikan manusia sebagai instrumen penelitian utama. Alasannya
adalah bahwa segala sesuatunya belum mempunyai bentuknya yang pasti. Oleh
karena itu, penulis sebagai instrumen harus divalidasi, seberapa jauh penulis kualitatif
siap melakukan penelitian dengan menggunakan pedoman wawancara yang selanjutnya
terjun ke lapangan” (Sugiyono, 2005:59).
Instrumen
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri sebagai
instrumen utama didukung oleh pedoman wawancara (interview guide), yaitu
pertanyaan yang memokok sehingga dapat dikembangkan dan diperdalam di lapangan
untuk mengumpulkan data. Selain itu, juga dipakai catatan lapangan (field
notes) yakni untuk mencatat apa yang didengar, dilihat, dan dipikirkan dalam
kaitannya dengan pengumpulan data di lapangan.
1.5
Teknik Penentuan Instrumen
Penentuan
informan dalam penelitian ini ditentukan secara purposive, yaitu dengan tujuan
tertentu. Kriteria yang ditentukan adalah mereka yang memiliki pengalaman dan
pengetahuan sebagai informan tentang Perayaan tradisi Syawalan. Dalam hal ini
yang dilibatkan sebagai informan adalah masyarakat Krapyak khususnya yang bempat
tinggal di sekitar tempat pelaksanaan perayaan tradisi Syawalan, dan selain itu
juga di wawancarai perangkat Kelurahan Krapyak Kidul.
1.6
Teknik Pengumpulan Data
Teknik
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu teknik observasi,
teknik wawancara mendalam, studi dokumen, dan studi kepustakaan.
1.6.1 Observasi
Dalam hal ini yang dimaksudkan
observasi adalah cara pengumpulan data melalui indera mata mengenai suatu
gejala atau kenyataan dari apa yang dapat dilihat, terutama yang berkaitan
dengan masalah-masalah yang diteliti. Dalam hal ini, peneliti mengamati dampak
sosial ekonomi dan sosial budaya, baik formal maupun nonformal untuk
mendapatkan data yang diperlukan.
Karena keterbatasan daya pengamatan
peneliti, maka pada saat melakukan observasi, peneliti membawa alat bantu
berupa alat kamera. Dalam hal ini, kamera adalah alat bantu pengamatan untuk
mengabdikan peristiwa-peristiwa atau kenyataan-kenyataan agar kemudian dapat
dipelajari dengan seksama.
1.6.2 Wawancara Mendalam
Wawancara mendalam merupakan suatu
cara untuk memperoleh keterangan secara lisan, yakni berinteraksi dengan
seorang informan sesuai dengan permasalahan penelitian, kemudian dilakukan
pencatatan secara sistematik. Wawancara mendalam dipakai untuk memperdalam
informasi dengan melakukan cross
check antarinforman untuk mendapatkan verifikasi agar valid dan reliable.
Wawancara mendalam dalam penelitian
ini dilakukan dalam rangka menggali, memahami, dan mengkaji fenomena tentang dampak
sosial ekonomi dan sosial budaya. Ada dua alasan pokok yang mendasari peneliti
melakukan wawancara mendalam sewaktu mengumpulkan data. Pertama,
wawancara mendalam memungkinkan peneliti untuk menggali fenomena sosial ekonomi
dan sosial budaya masyarakat. Kedua, dengan wawancara mendalam peneliti
dapat menanyakan kepada informan hal-hal yang bersifat lintas waktu yang
berkaitan dengan masa lampau, masa sekarang, dan harapan masa mendatang. Dalam
kaitan ini instrumen wawancara mendalam mengunakan pedoman wawancara (interview
guide).
1.6.3 Studi
Dokumen
Yang dimaksudkan dengan studi dokumen,
yakni peneliti menggali informasi dari catatan dalam bentuk tertulis, seperti
buku-buku, majalah, dokumen, peraturan-peraturan, notulen rapat, catatan
harian, koran, dan sebagainya. Studi dokumen diperlukan dalam proses penelitian
ini. (1) Membentuk dan memperbaiki kerangka konsep. Perlu ditekankan di sini
bahwa studi dokumen turut membantu menyusun konstruksi konsep serta menyempurnakannya.
(2) Mengetes dan mengilustrasikan teori dengan data dari dokumen. (Suharsini,
2002:135).
1.7
Teknik Analisis Data
Analisis
data dalam penelitian ini dilakukan secara deskriptif kualitatif, dan
interpretatif. Analisis data dilakukan dengan cara mengatur secara sistematis pedoman
wawancara, catatan lapangan, data kepustakaan untuk mendapatkan pengetahuan
dari data, kemudian memformulasikan secara deskriptif, selanjutnya memproses
data tersebut. Adapun analisis data terbagi dalam tiga tahapan, yaitu tahapan
reduksi data, menyajikan data, dan menyimpulkan atau verifikasi.
Reduksi
data adalah suatu proses memilah, memusatkan perhatian pada penyederhanaan,
pengabsahan, dan transformasi data mentah yang diperoleh di lapangan dalam
bentuk catatan-catatan. Secara operasional reduksi dilakukan secara
terus-menerus selama penelitian berlangsung. Kemudian, membuat ringkasan data
lapangan, melakukan kodifikasi, dan memformulasikannya. Hasil yang diperoleh
diinterpretasikan, kemudian disajikan dalam bentuk naratif. Selanjutnya, temuan
dari perpustakaan dan analisis data lapangan dicari hubungannya. Hal ini bertujuan
agar ditemukan pola dan penyimpangan penerapannya dalam kehidupan sosial budaya
masyarakat yang diteliti.
1.8
Teknik Penyajian Analisis Data
Penyajian
hasil penelitian dibuat atau disajikan secara informal yaitu dengan bahasa
ragam ilmiah dalam bentuk narasi atau deskripsi kata-kata; dan secara formal
berupa bagan, tabel, gambar, dan foto.
BAB
IV
HASIL
PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1
Kondisi Geografis Kelurahan Krapyak
Kidul Kota Pekalongan
Kelurahan Krapyak Kidul merupakan salah satu
kelurahan yang berada di wilayah kecamatan Pekalongan Utara, dengan luas
wilayah ± 668.900 Ha. Kelurahan ini memiliki batas-batas wilayah sebagai
berikut :
· Sebelah
utara berbatasan dengan Kelurahan Krapyak Lor
· Sebelah
selatan berbatasan dengan Kelurahan Klego
· Sebelah
barat berbatasan dengan Sungai Pekalongan
· Sebelah timu
berbatasan dengan Desa Degayu
Jumlah penduduk yang menempati wilayah ini sebanyak
5.840 jiwa dengan jumlah penduduk laki-laki sebesar 2.870 jiwa dan jumlah
penduduk perempuan sebesar 2.970 jiwa serta 1.681 Kepala Keluarga (KK).
Agama yang dianut oleh sejumlah 5.790 penduduk kelurahan Krapyak adalah
agama Islam sedangkan sisanya adalah agama Kristen, Katholik, dan Budha
(Monografi Kel. Krapyak tahun 2012).
4.2
Sejarah dan Perkembangan Tradisi
Syawalan
Tradisi syawalan
sudah
berlangsung turun-temurun sejak puluhan tahun lalu dan menjadi “ikon” Pariwisata Kota Pekalongan dalam
perayaan Idul Fitri dan telah
terkenal sampai ke luar daerah, bahkan mungkin sampai ke seluruh Indonesia
karena sudah sering diliput oleh televisi nasional, yakni pemotongan kue lopis
raksasa di Krapyak (disebut juga lopisan atau krapyakan) (http://www.infopublik.org). Tradisi Syawalan yang rutin dilakukan
oleh masyarakat Kota Pekalongan ini sudah dimulai sejak 130-an tahun yang lalu,
tepatnya pada tahun 1855 M. Kali pertama yang mengelar hajatan Syawalan ini
adalah KH. Abdullah Sirodj yang merupakan keturunan dari Kyai Bahu Rekso. Asal
muasal tradisi syawalan ini bermula ketika tanggal 8 syawal masyarakat Krapyak
berhari raya kembali setelah berpuasa 6 hari, dalam kesempatan ini, mereka
membuat acara ‘open house’ menerima
para tamu, baik dari luar desa dan luar kota. Hal ini diketahui oleh masyarakat
diluar Krapyak, sehingga merekapun tidak mengadakan kunjungan silaturakhim pada
hari-hari antara tanggal 2 hingga 7 dalam bulan syawal, melainkan
berbondong-bondong berkunjung pada tanggal 8 syawal. Hal ini berkembang luas, bahkan meningkat
terus dari masa ke masa sehingga terjadilah tradisi Syawalan seperti sekarang
ini (http://perwakilan.jatengprov.go.id).
Tapi memang
sekarang sudah banyak yang berubah sesuai dengan perkembangan zaman dan kondisi
ekonomi masyarakat Pekalongan itu sendiri, khususnya warga Krapyak, baik dalam penyelenggaraan
tradisi itu sendiri maupun lingkungan masyarakatnya. Acara Tradisi Syawalan
saat ini sudah di penuhi oleh para pedagang dadakan yang mencoba mengais rezeki
dan berkah dari ribuan pengunjung yang berkunjung. Inilah berkah Tradisi
Syawalan untuk warga sekitar jalan Krapyak dan Jlamprang. Meski ini mungkin
sudah banyak menghilangkan makna dari acara Syawalan itu sendiri. Banyak tamu
atau pengunjung yang sudah enggan atau malu untuk untuk memasuki rumah-rumah di
wilayah Krapyak yang memang sebenarnya sudah di buat untuk “open house” bagi siapa saja, baik yang kenal maupun yang tidak
kenal (http://bukuiwanagustian.wordpress.com).
Penyelenggaraan
tradisi ini semula dipusatkan di Krapyak Kidul gang 8 dan hanya untuk
mempererat tali silaturakhim antar warga dengan suguhan sajian makanan berupa lopis
yang berukuran biasa. Namun mulai tahun 1998 penyelenggaraanya dipusatkan didua
tempat, yakni Krapyak Kidul gang 8 dan Krapyak Lor gang 1 dengan sajian lopis yang
semakin besar seiring banyaknya warga yang berdatangan di Krapyak. Selain lopis
juga disajikan lotisan. Fungsi lopis ini adalah untuk menyuguh tamu yang tidak
memiliki kerabat atau kenalan di Krapyak, sebaliknya sekarang banyak warga yang
berebut lopis karena dianggap membawa berkah dan didekatkan jodohnya (Lensa
Indonesia, 2012). Bagi masyarakat Krapyak Lor dan Krapyak Kidul, tradisi
syawalan yang dimulai dengan pemotongan lopis raksasa telah dikenal secara
turun temurun sejak tahun 1950-an. Seorang ulama setempat, KH. Zaenuddin Ismail
menjelaskan, “saat itu, ada seorang ulama yang menyarankan kepada warga Krapyak
untuk melaksanakan puasa selama enam hari setelah Lebaran. Karena itu, apabila
ada warga yang akan bersilaturahmi ke Krapyak, menunggu sampai delapan hari
setelah Lebaran untuk menghormati warga yang berpuasa. Lopis raksasa tersebut
dibuat untuk menjamu tamu yang bersilaturahmi ke Krapyak pada saat Syawalan,”
terangnya.
Menurut Nurman (generasi kedua pembuat lopis raksasa
yang menjadi tradisi Syawalan masyarakat Krapyak Kidul dan Krapyak Lor),
pembuatan lopis terinspirasi dari pidato Presiden Soekarno saat berpidato di
hadapan masyarakat Pekalongan di Bon Raja (sekarang THR-red), sekitar tahun
1958. Nurman menceritakan, dalam pidatonya, Presiden Soekarno mengimbau kepada
masyarakat Pekalongan untuk bersatu. Masyarakat diharapkan memiliki sifat
seperti lopis. Karena teksturnya yang lengket dan kuat, makanan ini dianggap sebagai
simbol perekat dan pemersatu umat. ”Rakyat Pekalongan diminta bersatu dan kokoh
seperti halnya lopis,” jelasnya. Setelah mendengarkan pidato hari itu, Nurman
bersama beberapa warga lainnya kemudian berinisiatif untuk membuat lopis dengan
cara swadaya masyarakat sekitar. Dia dan 14 warga lainnya berhasil membuat
lopis raksasa pertama dengan bahan baku beras ketan sebanyak 170 kg. Lopis yang
telah matang kemudian disuguhkan kepada warga dari luar Krapyak yang
bersilaturakhim ke kelurahan tersebut pada saat Syawalan. ”Adanya lopis ini
juga untuk menarik warga dari kelurahan lain untuk bersilaturakhim dengan kami.
Lopis ini dibuat untuk warga luar daerah yang bersilaturahmi ke tempat kami,
namun dia tidak punya saudara di kampung kami.” Sejak saat itu, setiap tahun
masyarakat Krapyak membuat lopis raksasa. Tadisi itu terjaga hingga kini (Suara
Merdeka, 2012).
4.3
Dampak terhadap Sosial Ekonomi
Dewasa ini,
globalisasi secara perlahan-lahan membuat dunia menjadi satu dengan yang lain,
batas-batas politik, budaya, ekonomi, menjadi semakin kabur serta tampak
kesalingberhubungan. Zaman terus berubah, dunia terus bergerak, dan teknologi komunikasi
menjadi serba canggih, sehingga tidak menutup kemungkinan terjadi mobilitas
sosial (Abdullah, 2007). Pergerakan orang (pariwisata) demikian cepat membawa
kapitalisme telah masuk ke dunia bisnis kebudayaan. Komodifikasi budaya terjadi
karena pasar cenderung memperlakukan budaya sebagai barang dagangan ketimbang
memperlakukan budaya sebagai sebuah medan nilai.
Selera ideologi pasar telah
merajalela ke sendi-sendi budaya tradisi dengan arus global kontemporernya menghanyutkan
nilai-nilai religi fondasi kehidupan masyarakat Kelurahan Krapyak Kidul yang
dipresentasikan melalui tradisi Syawalan. Komodifikasi tradisi Syawalan menggugat
akar budaya manusia yang diterminasinya kepada filosofi , jatidiri, dan pandangan
hidup masyarakat dewasa ini dan masa yang akan datang, selalu dibayangi oleh
kekuatan globalisasi (Atmaja, 2008). Oleh karena itu, ideologi selalu
melatarbelakangi penilaian tentang kebenaran sebagai kondisi sosial, seperti tradisi
Syawalan sebagai ajang silaturakhim ikut bergeser dan didekonstruksi. Dekonstruksi
ideologi membongkar dan membangun kembali ideologi baru yang sesuai dengan
pergerakan zaman. Dekonstruksi di sini dimaksudkan membongkar kemapanan
sedemikian rupa, sehingga menciptakan suatu permainan tanda yang tanpa akhir
dan tanpa makna akhir. Konsep dekonstruksi sangat lekat dengan pandangan
hipersemiotika yang dikembangkan oleh Derrida dalam upaya merekonstruksi makna.
Dekonstruksi merupakan satu pendekatan kunci postmodernisme terhadap
pengetahuan, karena mengarahkan perhatian pada berbagai perubahan yang terjadi
dalam budaya kontemporer (Featherstone dalam I Ketut Setiawan, 2011).
Idelogi yang mendasari komodifikasi tradisi Syawalan dalam
konteks pariwisata global merujuk dan mengarah pada ideologi pasar. Hal ini
terjadi karena ada kesempatan dan peluang, sehingga masyarakat pemilik
kebudayaan termotivasi melahirkan kreativitas dalam menyambut “pasar” peradaban
masyarakat global, seperti industri pariwisata yang berciri kekuatan
kapitalisme dibidang ekonomi. Tradisi Syawalan yang semula merupakan tradisi
yang bernilai religi, kemudian merambah, dimanfaatkan sebagai daya tarik
wisata. Kedua sisi itu tampak berlawanan, tetapi berjalan berdampingan saling
melengkapi dan memperkokoh eksistensi masing-masing. Sekat yang menjadikan tradisi
syawalan sebagai ajang silaturakhim yang bernilai religi dan daya tarik wisata dibangun
oleh kebiasaan atau pengalaman manusia yang sifatnya ritual dan kepentingan
praktis untuk memperoleh keuntungan ekonomi.
Hal ini dibuktikan dengan sajian lopis yang tadinya berukuran
biasa-biasa saja, namun semakin lama semakin besar seiring banyaknya warga yang
berdatangan di Krapyak. Inilah yang menjadi daya tarik tradisi ini dengan
dimunculkannya pemotongan Lopis raksasa, banyak orang berdatangan karena rasa
penasaran ingin melihat lopis raksasa, bukan untuk bersilaturakhim sesuai awal
nilai yang diajarkan.
Menurut Bapak Harun
Rosyid (Kepala Kelurahan Krapyak), acara dalam tradisi ini mengalami
perkembangan yang semula hanya acara silaturakhim biasa tetapi sekarang malah
didahului kirab budaya yang mengusung berbagai potensi yang ada di wilayah
tersebut, khususnya Batikan. Hal ini menurut beliau dilaksanakan untuk
memperkenalkan potensi yang ada di Kel. Krapyak yang diharapkan secara tidak
langsung mampu meningkatkan perekonomian terutama para pengrajin batik.
Dampaknya acara
Tradisi Syawalan saat ini sudah di penuhi oleh para pedagang dadakan yang
mencoba mengais rezeki dan berkah dari ribuan pengunjung yang berkunjung.
Inilah berkah Tradisi Syawalan untuk warga sekitar jalan Krapyak dan Jlamprang.
Meski ini
mungkin sudah banyak menghilangkan makna dari acara Syawalan itu sendiri.
Banyak tamu atau pengunjung yang sudah enggan atau malu untuk untuk memasuki
rumah-rumah di bilangan krapyak yang memang sebenarnya sudah di buat untuk open
house bagi siapa saja, baik yang kenal maupun yang tidak kenal.
Manfaat positif pariwisata bagi masyarakat Kelurahan Krapyak
pada umumnya, antara lain adalah meningkatkan lapangan usaha, meningkatnya lapangan
kerja, meningkatnya pendapatan masyarakat, dan mendorong pertumbuhan sektor
perdagangan. Setidaknya sebagian masyarakat Kelurahan Krapyak dan sekitarnya secara
tidak langsung merasakan manfaat positif pariwisata tersebut. Hal ini memberi
inspirasi kepada sebagian penduduk untuk membuka kios yang menjual makanan,
minuman terutama lopis. Harapan untuk hidup lebih baik, merupakan orientasi
masyarakat Kelurahan Krapyak ke masa depan. Harapan tersebut selain didukung
oleh potensi-potensi internal, juga didukung oleh faktor-faktor eksternal. Potensi
internal bersumber dari masyarakat itu sendiri karena adanya sesuatu yang
dianggap sudah tidak lagi memuaskan atau keinginan untuk lebih baik daripada
keadaan sebelumnya. Sementara faktor-faktor eksternal di antaranya adalah
program-program pemerintah dalam bentuk penyuluhan, promosi dan tentu saja
budaya pariwisata. Rendahnya pendapatan penduduk dari buruh industri, pada
akhirnya menimbulkan ketidakpuasan terhadap kondisi tersebut. Upaya untuk mengatasinya
adalah menggantungkan variasi-variasi usaha yang ada di luar sektor perburuhan,
khususnya sektor pariwisata.
4.4
Dampak terhadap Sosial Budaya
Tradisi
Syawalan di Kelurahan Krapyak Kidul pada awalnya bukan produk budaya yang
sengaja diciptakan untuk tujuan komersial. Namun, dalam perkembangan masa kini tradisi
Syawalan mengalami komodifikasi yang mengarah komersialisasi karena ditata
untuk memenuhi selera pasar. Hal seperti itu menurut Sifullah (1994)
menunjukkan adanya kaitan antara tradisi dan modernitas yang telah diubah
menjadi hubungan komersial. Kepentingan kapitalisme menjadikan tradisi tersebut
sebagai alat komoditas yang bernilai jual. Dalam hal ini, pasar turut
menentukan arah komodifikasi tradisi Syawalan dalam penampilannya, yakni objek,
dan penataan yang semua dikemas untuk dijadikan komoditas dengan tujuan
utamanya adalah memenuhi selera pasar. Berdasarkan asumsi dasar mengenai
keterkaitan antara komoditas tradisi Syawalan dengan kehidupan sosial budaya masyarakat,
maka tradisi Syawalan sebagai produk budaya manusia merupakan hasil kebudayaan
dari suatu sistem yang terdiri atas unsur-unsur kebudayaan yang saling terkait,
khususnya antara unsur seni, religi, dan komersial. Unsur-unsur seni, relegi,
dan komersial tidak berdiri sendiri, tetapi saling berhubungan, saling terkait,
atau bahkan ada saling bergantung antara satu dengan yang lainnya. Keadaan
saling terkait tersebut berorientasi pada kehidupan atau kelangsungan hidup suatu
sistem dalam satu kesatuan secara menyeluruh (Bagus, 1975).
Pariwisata merupakan kegiatan yang secara langsung menyentuh
dan melibatkan masyarakat, sehingga memberikan pengaruh terhadap masyarakat setempat.
Bahkan pariwisata mempunyai energi pendobrak yang kuat dan mampu membuat
masyarakat setempat mengalami perubahan, baik ke arah perbaikan maupun ke arah
penurunan (degradasi) dalam berbagai aspek.
Dampak sosial budaya menurut Cooper (1993) muncul karena
industri pariwisata melibatkan tiga hal, yaitu wisatawan, masyarakat setempat,
dan hubungan wisatawan dan masyarakat. Dampak sosial budaya muncul apabila terjadi
interaksi antara wisatawan dan masyarakat ketika (1) wisatawan membutuhkan
produk dan membelinya dari masyarakat disertai tuntutan-tuntutan sesuai dengan
keinginannya, (2) pariwisata membawa hubungan yang informal dan pengusaha pariwisata
mengubah sikap spontanitas masyarakat menjadi transaksi komersial, dan (3)
wisatawan dan masyarakat bertatap muka dan bertukar informasi atau ide,
menyebabkan munculnya ide-ide baru.
Terkait
dengan penelitian ini, dampak pemanfaatan tradisi Syawalan dalam konteks pariwisata
global terhadap sosial budaya masyarakat setempat tidak dapat secara cepat
terlihat, karena perubahan yang terjadi dalam masyarakat tidak terjadi
seketika, tetapi melalui proses. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa
dampak pemanfaatan tradisi Syawalan terhadap kehidupan sosial budaya masyarakat
Kelurahan Krapyak Kidul yang bersifat positif, menurut penuturan bapak Harun
Rosyid cenderung menimbulkan sikap tertib dan rukun terutama rasa kebersamaan
dan sedangkan yang bersifat negatif yang dapat mendatangkan kerugian, seperti
terjadinya komersialisasi tradisi (khususnya sajian Lopis), kaburnya identitas
dan nilai sejarah, dan tercemarnya pemaknaan lopis dari sajian kepada tamu
berubah memiliki makna dapak mendatangkan rejeki dan jodoh, munculnya gejala
hiperspiritualitas, serta munculnya sampah yang tentunya perlu diatasi.
BAB
V
KESIMPULAN
DAN SARAN
5.1
Kesimpulan
Berdasarkan
hasil penelitian di atas, dapat ditarik beberapa simpulan bahwa pemanfaatan Tradisi
Syawalan sebagai paket wisata mengalami proses sejarah yang panjang, dan
cenderung mengarah pada pergeseran nilai yang dilakukan oleh masyarakat dalam
mereproduksi dan mendistribusikan dalam upaya memenuhi permintaan pasar. Nilai sakral
dan religius keagamaan menjadikan tradisi silaturakhim tersebut hadir dalam
bentuk tampilan yang ramai pengnjung, namun perlahan-lahan dan pasti nilai
keagamaan diabaikan.
Pemanfaatan tradisi Syawalan sejak
proses produksi, distribusi, dan konsumsi sebagai satu kesatuan. Reproduksi dan
distribusi pura dilakukan atas inisiatif masyarakat sendiri dan secara
kelembagaan dengan Pemerintah Kota Pekalongan, di mana tradisi syawalab yang
sebelumnya bukan komoditas kemudian diperlakukan sebagai komoditas yang
diperjualbelikan untuk harapan mendapatkan keuntungan ekonomi.
Dampak pemanfaatan tradisi syawalan
sebagai paket wisata berimplikasi kuat berkaitan dengan bergesernya nilai
magis-religius. Pemanfaatan tersebut berdampak pada aspek sosial ekonomi dan
sosial budaya. Dampak terhadap aspek sosial ekonomi cenderung positif, yaitu
dapat meningkatnya taraf kesejahteraan kehidupan masyarakat Kelurahan Krapyak
Kidul. Wujudnya adalah pelaksanaan upacara agama secara lebih teratur dan
berkualitas, di samping memperbaiki tradisi syawalan sesuai dengan kemampuan ekonomi
masyarakat itu sendiri. Sedangkan dampak terhadap sosial budaya berdampak
positif dan negatif. Komersialisasi tradisi dapat mengakibatkan menurunnya
nilai-nilai religius serta menyebabkan lingkungan menjadi kotor.
5.2 Saran
Hasil
penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi untuk penelitian lebih
lanjut dan mendalam bagi berbagai disiplin ilmu. Modal budaya berupa pusaka
budaya dapat dikembangkan menjadi modal ekonomi yaitu sebagai aset agar dapat
memberikan kontribusi yang signifikan dalam pembangunan, khususnya di kota
Pekalongan.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonim, 2012 : Resume “Kecamatan Sebagai Pusat Pelestarian dan
Pengembangan
Kebudayaan serta Sebagai Sumber
Kekuatan dan Potensi Daerah”.
Arikunto,
Suharsimi, 1996 : “Prosedur Penelitian
Suatu Pendekatan Praktek” PT. Rineka
Cipta. Jakarta.
I Ketut
Setiawan (Jurusan
Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Udayana), 2011: “Dampak
Sosial
Ekonomi dan Sosial Budaya Pemanfaatan Pura Tirta Empul Sebagai Daya Tarik
Wisata Budaya” dalam The
Excellence Research UNIVERSITAS UDAYANA.
http://perwakilan.jatengprov.go.id/wisata/kota-pekalongan.html
http://suryawisatapkl.blogspot.com/2010/09/kumpulan-seni-budaya
pekalonganjawa.html
Harun
Rosyid (Kepala Kelurahan Krapyak) (2002). “Tinjauan Singkat Syawalan”.
Dokumen
Kelurahan Krapyak.
http://bukuiwanagustian.wordpress.com/2013/08/17/berkah-tradisi-syawalan-di-pekalongan/
http://www.infopublik.org/read/53048/ribuan-warga-pekalongan-meriahkan-tradisi
syawalan.html
http://www.pekalongankota.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=240:syawalan-lopis-raksasa&catid=77:seni-budaya&Itemid=104
Isnawati-48. 26 Agustus 2012. “Syawalan dengan Potong Lopis Simbol Perekat Umat”.
Suara Pantura : Suara Merdeka
Mudjahirin Thohir,
25 Agustus 2012. “Wacana
Tradisi Syawalan di Jawa”
Suara Merdeka
Rudi, 27 Agustus 2012. “Dipercaya Datangkan Rejeki dan Jodoh Tradisi
Syawalan,
Lupis Raksasa Jadi Rebutan Warga Pekalongan”.
LENSA INDONESIA