MEMBANGUN BUDAYA KARAKTER SISWA DENGAN KEGIATAN LITERASI
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LatarBelakang
Dewasa ini pendidikan di
Indonesia sedang dihadapkan dengan masalah besar, hal itu ditunjukkan dengan
penurunan kualitas moral para peserta didiknya. Selain itu, semakin banyaknya
penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh peserta didik di Indonesia
menjadi faktor pendukung menurunnya kualitas moral peserta didik. Banyaknya kasus
tawuran yang terjadi antar sekolah yang tidak jarang menimbulkan banyak korban jiwa,
pelajar di Indonesia identik dengan citra pelajar yang gemar tawuran, tidak
punya sopan santun, minum-minuman keras, gemar kebut-kebutan di jalan raya dan
masih banyak lagi kenakalan remaja Indonesia. Penyimpangan lain yang dilakukan
pelajar di Indonesia antara lain mencontek, mencuri, berjudi dan membolos
sekolah dan lain sebagainya.
Kualitas suatu bangsa
ditentukan oleh kecerdasan dan pengetahuannya, sedangkan kecerdasan dan
pengetahuan dihasilkan oleh seberapa ilmu pengetahuan yang didapat, sedangkan ilmu
pengetahuan di dapat dari informasi yang diperoleh dari lisan maupun tulisan.
Semakin banyak penduduk suatu
wilayah yang semangat mencari ilmu pengetahuan, maka akan semakin tinggi peradabannya.
Budaya suatu bangsa biasanya berjalan seiring dengan budaya literasi, faktor
kebudayaan dan peradaban dipengaruhi oleh membaca yang dihasilkan dari temuan-temuan
kaum cendekia yang diabadikan dalam tulisan yang menjadikan warisan literasi
informasi yang sangat berguna bagi proses kehidupan sosial yang dinamis.
Pendidikan karakter sangat
perlu diterapkan di Indonesia Penerapan pendidikan karakter dapat dilaksanakan
melalui mata pelajaran Bahasa Indonesia, sebab mata pelajaran Bahasa Indonesia
merupakan salah satu mata pelajaran yang sarat akan nilai-nilai pendidikan
karakter dan obyek kajian Bahasa Indonesia adalah pemahaman dan penggunaan
Bahasa Indonesia secara baik dan benar, sehingga diharapkan peserta didik dapat
berbicara, berperilaku dan bersikap sesuai dengan karakter dan kepribadian yang
bertanggung jawab dan bertakwa .
Pendidikan karakter merupakan
suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah. Komponennya
berupa pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan
nilai-nilai tersebut. Pelaksanaannya dapat dilakukan kepada Tuhan Yang Maha Esa
(YME), diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, maupun terhadap bangsa
sehingga individu tersebut menjadi manusia yang berakhlak mulia.
Pendidikan karakter harus
disosialisasikan sejak dini pada semua level maupun jenjang pendidikan. Lembaga
pendidikan harus tampil sebagai pionir pendidikan dalam membangun karakter
peserta didik yang bermoral dan berakhlak, dinamis serta visioner. Berdasarkan
fakta tersebut, apakah pelajar bangsa Indonesia sudah memiliki karakter yang
diharapkan oleh masyarakat sebagai generasi muda penerus bangsa
Sejalan dengan program
pemerintah untuk menggalakkan pembentukan karakter dikalangan siswa. Karakter
merupakan proses yang berjalan seumur hidup, karena anak-anak akan tumbuh
menjadi pribadi yang berkarakter. Ada tiga pihak yang berpran dalam pembentukan
karakter anak, yaitu keluarga, sekolah dan lingkungan. Ketiga pihak tersebut
harus berjalan secara sinergis. Keluarga memberikan dasar pembentukan tingkah
laku, watak dan moral anak. Akan tetapi kecenderungan saat ini peran tersebut
digantikan oleh sekolah dan lembaga-lembaga sosial lainnya.
Salah satu upaya yang dilakukan
lembaga pendidikan dalam pembentukan karakter adalah melalui gerakan literasi
membaca yang tentunya melibatkan pelajaran bahasa. Peran ini perlu
dimaksimalkan, karena melalui budaya membaca dapat meningkatkan mutu
pendidikan, sehingga dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Siswa
yang sudah terbiasa membaca dapat mengembangkan dirinya secara terus menerus.
Dan diharapkan pendidikan sepanjang hayat dapat terlaksana.
B.
Perumusan Masalah
1)
Bagaimana penerapan kegiatan literasi dalam membangun
budaya karakter siswa?
2)
Bagaimana
peran guru dalam penerapan kegiatan literasi
dalam membangun budaya karakter siswa?
C.
Tujuan
1)
Untuk
mengetahui penerapan
kegiatan literasi dalam membangun budaya karakter siswa.
2)
Untuk
mengetahui peran guru
dalam penerapan kegiatan literasi untuk membangun budaya karakter siswa.
3)
Untuk
mengetahui faktor
penghambat dalam penerapan kegiatan literasi untuk membangun budaya karakter siswa.
4)
Untuk
mengetahui upaya untuk mengatasi hambatan dalam penerapan kegiatan literasi untuk
membangun budaya
karakter siswa.
BAB II
KAJIAN TEORI
A.
Pendidikan Karakter dan Perlunya Membangun Budaya Karakter
Undang-Undang Republik
Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas)
merumuskan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang harus digunakan dalam
mengembangkan upaya pendidikan di Indonesia. Pasal 3 UU Sisdiknas menyebutkan,
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab”. Tujuan pendidikan nasional itu merupakan rumusan mengenai
kualitas manusia Indonesia yang harus dikembangkan oleh setiap satuan
pendidikan.
Oleh karena itu, rumusan tujuan
pendidikan nasional menjadi dasar dalam pengembangan pendidikan budaya dan
karakter bangsa. Untuk mendapatkan wawasan mengenai arti pendidikan budaya dan
karakter bangsa perlu dikemukakan pengertian istilah budaya, karakter bangsa,
dan pendidikan. Pengertian yang dikemukakan di sini dikemukakan secara teknis
dan digunakan dalam mengembangkan pedoman ini. Guru-guru Antropologi, Pendidikan
Kewarganegaraan, dan mata pelajaran lain, yang istilah-istilah itu menjadi
pokok bahasan dalam mata pelajaran terkait, tetap memiliki kebebasan sepenuhnya
membahas dan berargumentasi mengenai istilah-istilah tersebut secara akademik.
Karakter adalah watak, tabiat,
akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi
berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai
landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan
terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak,
dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain. Interaksi seseorang dengan orang
lain menumbuhkan karakter masyarakat dan karakter bangsa. Oleh karena itu,
pengembangan karakter bangsa hanya dapat dilakukan melalui pengembangan
karakter individu seseorang. Akan tetapi, karena manusia hidup dalam ligkungan
sosial dan budaya tertentu, maka pengembangan karakter individu seseorang hanya
dapat dilakukan dalam lingkungan sosial dan budaya yang berangkutan. Artinya,
pengembangan budaya dan karakter bangsa hanya dapat dilakukan dalam suatu
proses pendidikan yang tidak melepaskan peserta didik dari lingkungan
sosial,budaya masyarakat, dan budaya bangsa. Lingkungan sosial dan budaya
bangsa adalah Pancasila; jadi pendidikan budaya dan karakter bangsa haruslah
berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Dengan kata lain, mendidik budaya dan
karakter bangsa adalah mengembangkan nilai-nilai Pancasila pada diri peserta
didik melalui pendidikan hati, otak, dan fisik.
Pendidikan adalah suatu usaha
yang sadar dan sistematis dalam mengembangkan potensi peserta didik. Pendidikan
adalah juga suatu usaha masyarakat dan bangsa dalam mempersiapkan generasi
mudanya bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat dan bangsa yang lebih baik di
masa depan. Keberlangsungan itu ditandai oleh pewarisan budaya dan karakter
yang telah dimiliki masyarakat dan bangsa. Oleh karena itu, pendidikan adalah
proses pewarisan budaya dan karakter bangsa bagi generasi muda dan juga proses
pengembangan budaya dan karakter bangsa untuk peningkatan kualitas kehidupan
masyarakat dan bangsa dimasa mendatang. Dalam proses pendidikan budaya dan
karakter bangsa, secara aktif peserta didik mengembangkan potensi dirinya,
melakukan proses internalisasi, dan penghayatan nilai-nilai menjadi kepribadian
mereka dalam bergaul di masyarakat, mengembangkan kehidupan masyarakat yang
lebih sejahtera, serta mengembangkan kehidupan bangsa yang bermartabat.
Karakter merupakan suatu
keadaan jiwa, keadaan ini menyebabkan jiwa bertindak tanpa berpikir, atau
dipertimbangkan secara mendalam. Keadaan ini ada 2 jenis yang pantas alamiah
yang bertolak dari watak, kedua tercipta melalui kebiasaan dan latihan. Pada
umumya keadaan ini terjadi kerena dipetimbangkan dan di pikirkan namun kemudian
melalui praktik secara terus menerus menjadi sebuah karakter. Mulai dekade
tahun 1990-an pendidikan karakter mulai dibicarakan sebagai tujuan utama dari
pendidikan. Thomas Lickona dianggap sebagai pengusungnya melalui karyanya yang
sangat terkenal, The Retrun of Character Education. Karakter sebagaimana
di definisikan oleh Ryan dan Bohlin, mengandung tiga unsur pokok, yaitu mengetahui
kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (loving the good),
dan melakukan kebaikan (doing the good).
Pembentukan karakter bangsa
yang kuat menuntut keteladanan, dan semua pihak harus memiliki tanggung jawab
di dalamnya. mengatakan, yang paling bertanggung jawab dalam pembentukan
karakter adalah calon-calon pemimpin bangsa yang akan memberikan teladan.
Ratna Megawangi menjelaskan,
inti dari pendidikan karakter adalah mengajarkan bagaimana para peserta didik
memahami nuraninya sendiri. Sementara, pakar psikologi sosial Yayah Khisbiyah
mengatakan, pendidikan karakter sangat erat hubungannya dengan perasaan
nasionalis masyarakatnya. Pendidikan karakter ini perlu dimaknai sebagai sarana
penguatan rasa cinta Tanah Air.
Karakter bangsa Indonesia adalah
suatu ciri khas bangsa yang membedakan antara bangsa Indonesia dengan bangsa
atau negara lain. Sebagaimana yang diungkapkan psikologi sosial Yayah Khisbiyah
karakter bangsa memiliki keeratan dengan perasaan nasionalis. Perasaan nasionalis
sendiri dapat diartikan menjaga persatuan bangsa, memkmurkan bangsa, setia
kepada bangsa dan negara terutama terhadap masuknya globalisasi, berprestasi
dalam berbagai bidang untuk mengharumkan bangsa, menjaga nama baik bangsa, rela
berkorban demi bangsa dan Negara.
M. Soeparno, mengemukakan
karakter bangsa Indonesia kedalam 5 bagian. Bagian tersebut adalah
sebagai berikut: pertama, Bangsa Indonesia adalah manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, patuh terhadap hukum perundang-undangan
serta peraturan yang berlaku. Kedua, bangsa Indonesia adalah manusia yang bangga
sebagai warga Negara Indonesia serta mencintai tanah air dan bangsanya, berbudi
pekerti baik, siap membela negara dan bangsa demi tegaknya negara Indonesia.
Ketiga, Bangsa Indonesia didalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa adalah
manusia yang memiliki kebersamaan gotong royong, toleransi serta anti segala
bentuk kekerasan. Keempat, bangsa Indonesia adalah manusia yang berbadan sehat,
bersih, rajin tepat waktu, serta berdisiplin tinggi. Kelima, bangsa Indonesia adalah
manusia yang memiliki kemauan belajar dan jangkauan masa depan penuh inisiatif,
kreaktifitas, inovasi yang dilandasi dedikasi yang tinggi demi kemajuan,
pengabdian dan manfaat bagi dirinya, bangsa, dan negaranya serta umat manusia.
Usaha pembentukan karakter
melalui sekolah menurut Azyumardi Azra ada tiga pendekatan, pendekatan tersebut
yaitu: pertama, menerapkan pendekatan modeling atau uswah hasanah yakni
mensosialisasikan dan membiasakan lingkungan sekolah untuk menghidupkan dan
menegakan nilai-nilai akhlak dan moral melalui model teladan. Kedua,
menjelaskan atau mengklarifikasikan kepada peserta didik secara terus menerus
tentang berbagai nilai yang baik dan buruk.
Usaha ini bisa diberengi dengan
memberi penghargaan dan menumbuhsuburkan nilai-nilai yang baik dan mencegah
berlakunya nilai-nilai yang buruk. Ketiga, menerapkan pendidikan berdasarkan
karakter (character based education). Hal ini bisa dilakukan dengan
menerapkan character based approach kedalam setiap mata pelajaran
disamping mata pelajaran-mata pelajaran khusus untuk pendidikan karakter
seperti, mata pelajaran agama, sejarah, pancasila.
Kesuksesan akan pendidikan yang
membentuk karakter bangsa merupakan suatu kemenangan besar. Akan tetapi predikat
kesuksesan secara lahiriyah membanggakan karena secara tersurat mencerminkan keberhasilan
seseorang dalam mengarungi kehidupan. Namun sayangnya standar kesuksesan masih
menyandarkan hanya pada perhitungan materi belaka seperti kekayaan.
B.
Kegiatan Literasi
Literasi
yang berasal dari bahasa Inggris literacy berasal dari bahasa Latin littera (huruf) yang
pengertiannya melibatkan penguasaan sistem-sistem tulisan dan konvensi-konvensi
yang menyertainya.
Saat ini
kajian literasi telah meluas tergantung bagaimana kata itu disematkan dalam sebuah kalimat. Terdapat diantaranya
literasi informasi dan literasi media yang memiliki definisinya masing-masing.
Beberapa ahli memberikan definisi mengenai literasi sebagai berikut :
1)
Sulzby
(1986)
Pengertian Literasi adalah kemampuan berbahasa
seseorang (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis) untuk berkomunikasi
dengan cara yang berbeda sesuai dengan tujuannya.
Jika didefinisikan secara singkat, pengertian literasi
adalah kemampuan
membaca dan menulis.
2)
Graff
(2006)
Graff mendefinisikan literasi sebagai kemampuan untuk
membaca dan menulis. 7th Edition
Oxford Advanced Learner’s Dictionary, (2005:898)
3)
Menurut Kamus Oxford, Definisi
(lama) literasi adalah kemampuan membaca dan menulis
Seiring
berkembangya zaman Literasi telah memiliki perkembangan dalam maknanya.
Karenanya menurut Freebody dan Luke terdapat 4 model dalam Literasi yakni :
1) Memahami konteks dalam teks
Mengenali dan menggunakan fitur seperti alfabet,
suara, ejaan, konvensi dan pola teks.
2) Terlibat dalam memaknai teks
Memahami dan menyusun teks tertulis dan teks virtual
dan lisan yang berati dari budaya tertentu, lembaga, keluarga, masyarakat,
negara-negara dan lain-lain. Menggambarkan skema yang ada.
3) Menggunakan teks secara fungsional.
4) Melakukan analisis dan mentransformasikan teks secara kritis
Memahami dan bertindak atas pengetahuan bahwa
teks-teks tidak netral. Teks mewakili pandangan tertentu, diam, mempengaruhi
ide-ide orang. Desain teks dan wacana dapat dikritik dan didesain ulang dengan
cara baru dan hibrida.
Kegiatan literasi memiliki
beberapa dimensi sebagai berikut :
1) Dimensi Geografis
Dimensi Geografis meliputi lokal, nasional, regional,
dan internasional
Dimensi Geografis bergantung pada tingkat pendidikan
dan jejaring sosial dan vokasionalnya (kecakapan kejuruan).
2) Dimensi Bidang
Dimensi Bidang meliputi pendidikan, komunikasi,
administrasi, hiburan, militer, dan lain-lain.
Literasi suatu bangsa tampak dalam dimensi ini.
Pendidikan yang berkualitas tinggi
menghasilkan literasi yang berkualitas tinggi pula. Hal ini karena bidang pendidikan merupakan ujung tombak kebangkitan suatu
bangsa.
3) Dimensi Ketrampilan
Dimensi Keterampilan meliputi membaca, menulis,
menghitung, berbicara. Literasi
seseorang tampak atau tercermin dari dimensi ini. Semua sarjana mampu membaca,
akan tetapi tidak semua sarjana mampu menulis.
Oleh sebab itu, keterampilan sangat diperlukan. Selain
itu, tidak cukup dengan mengandalkan literasi saja (dalam hal ini membaca dan
menulis) namun harus juga memiliki kemampuan numerasi (keterampilan
menghitung).
4) Dimensi Fungsi
Dimensi Fungsi memecahkan persoalan, mendapatkan
pekerjaan, mencapai tujuan, mengembangkan pengetahuan, mengembangkan potensi
diri. Orang yang
literat karena pendidikannya mampu memecahkan masalah dan mengatasi semua tentang
kehidupan yang menghampirinya.
5) Dimensi Media
Dimensi Media meliputi teks, cetak, visual, digital.
Zaman sekarang orang harus mengandalkan kemampuan
membaca dan menulis teks cetak, visual dan digital. Perkembangan IT sangat
penting dan berpengaruh banyak terhadap gaya berliterasi.
6) Dimensi Jumlah
Dimensi Jumlah (satu, dua, beberapa): Jumlah dapat
merujuk pada banayak hal, misalnya bahasa, variasi bahasa, peristiwa tutur,
bidang ilmu dan media. Literasi seperti halnya kemampuan berkomunikasi,
bersifat relatif.
7) Dimensi Bahasa
Dimensi Bahasa (etnis, lokal, nasional, regional,
internasional): Ada literasi yang singular dan ada yang plural.
Kegiatan literasi selama ini identik dengan
aktivitas membaca dan menulis. Namun, Deklarasi Praha pada tahun 2003 menyebutkan
bahwa literasi juga mencakup bagaimana seseorang berkomunikasi dalam
masyarakat. Literasi juga bermakna praktik dan hubungan sosial yang terkait
dengan pengetahuan, bahasa, dan budaya (UNESCO, 2003). Deklarasi UNESCO itu
juga menyebutkan bahwa literasi informasi terkait pula dengan kemampuan untuk
mengidentifikasi, menentukan, menemukan, mengevaluasi, menciptakan secara
efektif dan terorganisasi, menggunakan dan mengomunikasikan informasi untuk
mengatasi berbagai persoalan. Kemampuan-kemampuan itu perlu dimiliki tiap
individu sebagai syarat untuk berpartisipasi dalam masyarakat informasi, dan
itu bagian dari hak dasar manusia menyangkut pembelajaran sepanjang hayat.
Sedangkan pengertian Literasi Sekolah dalam
konteks Gerakan Literasi Sekolah adalah kemampuan mengakses, memahami, dan
menggunakan sesuatu secara cerdas melalui berbagai aktivitas, antara lain
membaca, melihat, menyimak, menulis, dan/atau berbicara.
Gerakan Literasi Sekolah merupakan merupakan
suatu usaha atau kegiatan yang bersifat partisipatif dengan melibatkan warga
sekolah (peserta didik, guru, kepala sekolah, tenaga kependidikan, pengawas
sekolah, Komite Sekolah, orang tua/wali murid peserta didik), akademisi,
penerbit, media massa, masyarakat (tokoh masyarakat yang dapat merepresentasikan
keteladanan, dunia usaha, dll.), dan pemangku kepentingan di bawah koordinasi
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan.
Gerakan
Literasi Sekolah adalah gerakan sosial dengan dukungan kolaboratif berbagai
elemen. Upaya yang ditempuh untuk mewujudkannya berupa pembiasaan membaca
peserta didik. Pembiasaan ini dilakukan dengan kegiatan 15
menit membaca (guru membacakan buku dan warga sekolah membaca dalam hati, yang
disesuaikan dengan konteks atau target sekolah). Ketika pembiasaan membaca
terbentuk, selanjutnya akan diarahkan ke tahap pengembangan, dan
pembelajaran (disertai tagihan berdasarkan Kurikulum 2013). Variasi kegiatan
dapat berupa perpaduan pengembangan keterampilan reseptif maupun produktif.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Penerapan kegiatan literasi dalam membangun
budaya karakter siswa
Literasi dapat diartikan melek teknologi,
melek informasi, berpikir kritis, peka terhadap lingkungan, bahkan juga peka
terhadap politik. Seorang dikatakan literat jika ia sudah bisa memahami sesuatu
karena membaca informasi yang tepat dan melakukan sesuatu berdasarkan pemahamannya
terhadap isi bacaan tersebut. Kepekaan atau literasi pada seseorang tentu tidak
muncul begitu saja. Tidak ada manusia yang sudah literat sejak lahir.
Menciptakan generasi literat membutuhkan proses panjang dan sarana yang
kondusif. Proses ini dimulai dari kecil dan dari lingkungan keluarga, lalu
didukung atau dikembangkan di sekolah, lingkungan pergaulan, dan lingkungan
pekerjaan. Budaya literasi juga sangat terkait dengan pola pemelajaran di
sekolah dan ketersediaan bahan bacaan di perpustakaan. Tapi kita juga menyadari
bahwa literasi tidak harus diperoleh dari bangku sekolah atau pendidikan yang
tinggi. Kemampuan akademis yang tinggi tidak menjamin seseorang akan literat.
Pada dasarnya kepekaan dan daya kritis akan lingkungan sekitar lebih diutamakan
sebagai jembatan menuju generasi literat, yakni generasi yang memiliki ketrampilan
berpikir kritis terhadap segala informasi untuk mencegah reaksi yang bersifat
emosional.
Ada beberapa program yang layak
dilakukan untuk suksesnya kegiatan literasi. Pertama, kita perlu
memperbaiki kualitas dan pemerataan pendidikan agar bisa mendorong tingkat
melek huruf yang lebih tinggi. Infrastruktur (fasilitas) dan suprastruktur
(sumber daya manusia) perlu dikembangkan hingga menjangkau pelosok Tanah Air.
Jangan sampai ada masyarakat di pedalaman Nusantara yang masih sulit belajar
garagara tidak ada sekolah, kekurangan guru, atau minim fasilitas lain. Negara bertanggung
jawab memenuhi fasilitas pendidikan bagi warganya. Kedua, kita bangun
lebih banyak perpustakaan di semua daerah sebagai tempat yang nyaman untuk
membaca, jumlah koleksi buku yang banyak, dan menawarkan kegiatan yang menarik.
Ketiga, dibutuhkan programprogram berkelanjutan untuk lebih memperkenalkan
buku dan mendorong minat baca buku ke sekolah dan masyarakat umum. Jangan
terpaku pada seremoni, tetapi fokus pada terobosan yang lebih membumi dan
memikat kaum muda untuk membaca. Keempat, dari sisi penerbit, kita dorong
agar semakin banyak buku diterbitkan, terutama buku-buku yang berkualitas dari
berbagai bidang. Kian banyak tawaran buku menarik, kian banyak alternatif bacaan
bagi masyarakat. Kelima, kita dukung kekuatan masyarakat madani untuk
bersama-sama pemerintah dan semua pihak membangun peradaban membaca buku. Bentuknya
bisa berupa pendirian taman bacaan hingga ke pelosok Nusantara, program
pendorong membaca, atau langkah-langkah lain yang mungkin diambil untuk
memprovokasi kaum muda agar mencintai buku.
Pembelajaran berbasis budaya literasi
akan mengondisikan peserta didik yang merupakan generasi muda untuk menjadi
seorang literat. Peningkatan kemampuan literasi dalam belajar sejalan dengan
tujuan pendidikan, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggungjawab (Depdiknas, 2003). Pemerolehan tujuan ini dapat
dilakukan siswa jika mereka telah menjadi sosok literat. Para siswa memiliki
bekal literasi dalam dirinya sehingga mampu melengkapi diri dengan kemampuan
yang diharapkan.
Perencanaan dan pelaksanaan
pendidikan budaya dan karakter bangsa dilakukan oleh kepala sekolah, guru,
tenaga kependidikan (konselor) secara bersama-sama sebagai suatu komunitas
pendidik dan diterapkan ke dalam kurikulum melalui hal-hal berikut ini:
1)
Program Pengembangan Diri
Dalam program pengembngan diri, perencanaan dan
pelaksanaan pendidikan budaya dan karakter bangsa dilakukan melalui
pengintegrasian ke dalam kegiatan sehari-hari sekolah yaitu melalui hal-hal
berikut:
a.
Kegiatan rutin sekolah
Kegiatan
rutin merupakan kegiatan yang dilakukan peserta didik secara terus menerus dan
konsisten setiap saat.
b.
Kegiatan spontan
Kegiatan
spontan yaitu kegiatan yang dilakukan secara spontan pada saat itu juga.
B.
Peran guru dalam penerapan kegiatan literasi
dalam membangun budaya karakter siswa
Pihak sekolah memiliki peran hal ini terlihat dari kepala sekolah yang
berperan sebagai penanggung jawab sekaligus pengambil kebijakan dalam
pelaksanaan kegiatan literasi, guru berperan sebagai motivator dan mendorong
siswa untuk aktif melaksanakan kegiatan literasi dikelas maupun diperpustakaan,
dan siswa berperan sebagai pelaksana dalam kegiatan literasi. Terlaksananya
kegiatan literasi ini tentu tidak terlepas dari berbagai kegiatan yang telah
dilaksanakan oleh pihak sekolah.
1)
Keteladanan
Keteladanan
adalah perilaku dan sikap guru dan tenaga kependidikan yang lain dalam
memberikan contoh terhadap tindakan-tindakan yang baik sehingga diharapkan
menjadi panutan bagi peserta didik untuk mencontohnya. Jika guru dan tenaga kependidikan
yang lain menghendaki agar peserta didik berperilaku dan bersikap sesuai dengan
nilai-nilai budaya dan karakter bangsa maka guru dan tenaga kependidikan yang
lain adalah orang yang pertama dan utama memberikan contoh berperilaku dan
bersikap sesuai dengan nilai-nilai itu. Misalnya, berpakaian rapi, datang tepat
pada waktunya, bekerja keras, bertutur kata sopan, kasih sayang, perhatian
terhadap peserta didik, jujur, menjaga kebersihan.
2)
Pengkondisian
Untuk
mendukung keterlaksanaan pendidikan budaya dan karakter bangsa maka sekolah
harus dikondisikan sebagai pendukung kegiatan itu. Sekolah harus mencerminkan
kehidupan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang diinginkan.
3)
Pengintegrasian dalam mata pelajaran
Pengembangan
nilai-nilai pendidikan budaya dan karakater bangsa diintegrasikan dalam setiap
pokok bahasan dari setiap mata pelajaran. Nilai-nilai tersebut dicantumkan
dalam silabus dan RPP. Pembelajaran pendidikan budaya dan karakter bangsa
menggunakan pendekatan proses belajar peserta didik secara aktif dan berpusat
pada anak; dilakukan melalui berbagai kegiatan di kelas, sekolah, dan
masyarakat.
a)
Kelas, melalui proses belajar setiap mata pelajaran atau
kegiatan yang dirancang sedemikian rupa. Setiap kegiatan belajar mengembangkan
kemampuan dalam ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Oleh karena itu, tidak
selalu diperlukan kegiatan belajar khusus untuk mengembangkan nilai-nilai pada
pendidikan budaya dan karakter bangsa. Meskipun demikian, untuk pengembangan
nilai-nilai tertentu seperti kerja keras, jujur, toleransi, disiplin, mandiri,
semangat kebangsaan, cinta tanah air, dan gemar membaca dapat melalui kegiatan
belajar yang biasa dilakukan guru. Untuk pegembangan beberapa nilai lain
seperti peduli sosial, peduli lingkungan, rasa ingin tahu, dan kreatif
memerlukan upaya pengkondisian sehingga peserta didik memiliki kesempatan untuk
memunculkan perilaku yang menunjukkan nilai-nilai itu.
b)
Sekolah, melalui berbagai kegiatan sekolah yang diikuti seluruh
peserta didik, guru, kepala sekolah, dan tenaga administrasi di sekolah itu,
direncanakan sejak awal tahun pelajaran, dimasukkan ke Kalender Akademik dan
yang dilakukan sehari-hari sebagai bagian dari budaya sekolah.
“Pada dasarnya kemampuan literasi adalah bagaimana membelajarkan siswa
agar rajin membaca dan menulis. Dalam hal ini maka diperlukan kreativitas guru
dalam menentukan cara yang efektif dan efisien (Widodo dkk, 2015:61).”
“Kemampuan berbahasa Indonesia, termasuk keterampilan literasi perlu
mendapatkan penekanan dalam kompetensi, pemilihan materi dan distribusinya di
sekolah dasar maupun sekolah menengah. Sekolah dasar menjadi dasar pembelajaran
literasi karena sekolah dasar merupakan awal seorang anak belajar membaca dan
menulis (Nurdiyanti, 2010:116).”
Susanto
(2013:63) menyatakan bahwa perkembangan minat sangat tergantung pada lingkungan
dan orang-orang dewasa yang erat pergaulannya dengan mereka, sehingga secara
langsung akan berpengaruh pula terhadap kematangan psikologisnya.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Buku adalah jendela dunia dan membaca
adalah kuncinya. Dengan kegiatan literasi membaca buku, ilmu pengetahuan akan
didapatkan. Kegiatan literasi membaca akan menambah wawasan sekaligus mempengaruhi
mental dan perilaku seseorang, dan bahkan memiliki pengaruh besar bagi
masyarakat. Pada gilirannya, kegemaran membaca ini akan membentuk budaya
literasi yang berperan penting dalam menciptakan bangsa yang berkualitas.
B.
Saran
Agar sekolah mampu menjadi garis depan dalam
pengembangan budaya literasi, Beers, dkk. (2009) dalam buku A
Principal’s Guide to Literacy Instruction, menyampaikan beberapa strategi
untuk menciptakan budaya literasi yang positif di sekolah, antara lain:
- Mengkondisikan lingkungan
fisik ramah literasi
- Mengupayakan lingkungan sosial
dan afektif sebagai model komunikasi dan interaksi yang literat
- Mengupayakan sekolah sebagai
lingkungan akademik yang literat
DAFTAR
PUSTAKA
Ane Permatasari. 2015. Membangun Kualitas Bangsa
Dengan Budaya Literasi. Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta.
Beers,
dkk. (2009) A Principal’s Guide to Literacy Instruction
Eko Widodo,Suparno.2015.”Manajemen
Pengembangan Sumber Daya. Manusia”.Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Idrus,
Muhammad.2009.
Lea Sakti Mitasari. 2017. Peran Kegiatan Literasi Dalam Meningkatkan
Minat Membaca Dan Menulis Siswa Kelas Atas
Di SDN Gumpang 1. Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta
Anonim. 2010. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter
Bangsa. Kementerian Pendidikan
Nasional Badan Penelitian Dan Pengembangan Pusat Kurikulum Jakarta, 2010
Samingan. 2010. Program Pendidikan Agama Islam Terhadap Pembentukan Karakter Bangsa
Peserta Didik Di MTs Negeri Galur Kulon Progo. Jurusan Pendidikan Agama
Islam Fakultas Tarbiyah Dan Keguruan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta,
2010
Susanto, Ahmad. 2013. Teori
Belajar Dan Pembelajaran Di Sekolah Dasar. (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group). Tamwifi, Irfan,et.al.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar