BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Semenjak lengsernya masa
orde baru tahun 1998 gaung reformasi menggema menuntut adanya perubahan di
setiap lini kehidupan bangsa ini. Perubahan untuk menjadi yang lebih baik
ditunjukkan Tuhan dari seekor ulat yang berubah menjadi kupu-kupu cantik,
tentunya menjadi dambaan setiap manusia. Hanya saja, semuanya butuh waktu dan
proses yang tidak mudah. Mengingat manusia selain sebagai mahluk pribadi juga
mahluk sosial memiliki visi dan misi yang berbeda-beda. Hal inilah yang
menyebabkan suatu kebijakan kadang menimbulkan persepsi berbeda tergantung dari
sudut pandang dan kepentingan masing-masing yang melihatnya.
Demi menyatukan visi dan misi itulah, perlunya peran
suatu wadah atau organisasi yang mampu mengakomodasi dan menampung aspirasi
semua pandangan sehingga tidak muncul konflik dalam satu kebijakkan. Disinilah
pentingnya fungsi dan peranan KORPRI sebagai wadah non-kedinasan pegawai negeri
dituntut untuk selalu menunjukkan peran dan tanggung jawab sesuai
perkembangan jaman guna mengarahkan anggotanya dalam menjalankan tugas-tugas
pemerintahan dan melayani masyarakat dalam berbagai bidang.
KORPRI sebagai organisasi yang mandiri dan profesional, yang kedudukan
dan kegiatannya tidak terlepas dari kedinasan, harus senantiasa bergerak
bersama komponen bangsa lainnya untuk secara konsisten memperjuangkan cita-cita
bangsa.
Sejak terbentuknya pada tanggal 29 Nopember 1971 berdasarkan Keppres no. 82
tahun 1971, banyak kalangan menilai korpri kian eksis berkiprah di tengah
riuhnya zaman dan cukup berhasil dalam melakukan pembinaan dan penggalangan
eksternal secara total dan intens kepada para anggotanya. Berdoktrin “Bhinneka
Karya Abdi Negara” didukung mobilitas andal, korpri telah mampu menyamakan
gerak, langkah, pikiran, dan tindakan para pegawai yang tersebar di segenap
lini dan sektor kehidupan.
Reformasi birokrasi yang kian digalakkan oleh pemerintah
akhir-akhir ini ternyata masih banyak sorotan negatif terhadap kondisi
pelayanan publik yang diwarnai praktek kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN)
serta sarat dengan paradigma korporatisme untuk mencari keuntungan pribadi.
Buruknya pelayanan publik diperparah pula oleh rendahnya partisipasi masyarakat
dalam mengingatkan para pejabat publik termasuk pegawai negeri sipil (PNS) agar
bekerja lebih profesional. Untuk itulah, Anggota Korps Pegawai Republik Indonesia dengan
mengemban Panca Prasetia Korpri memiliki banyak hal yang layak kita kaji,
karena dalam keseharian belum mampu mengimplementasikan secara optimal : kedisiplinan,
produktifitas, kinerja dan moral (ahklak) dan dinilai masih jauh dari yang
dicita-citakan oleh nilai-nilai dalam Panca Prasetia, sebagai filosofi dasar
anggota korpri.
B.
Rumusan
Masalah
“Bagaimanakah Moralitas dan
Profesionalisme Korps Pegawai Republik Indonesia dan Upaya Peningkatanya di Era
Reformasi Birokrasi saat ini?”
BAB II
KAJIAN TEORI DAN ANALISIS MASALAH
A.
Pegawai
Negeri Sipil
Pegawai negeri adalah pekerja di sektor publik yang
bekerja pada pemerintah suatu negara. Pekerja di badan publik non-departemen
terkadang juga dikategorikan sebagai pegawai negeri. Mereka merupakan pelayan
masyarakat yang harus bekerja secara maksimal untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat dan menyelesaikan kepentingan masyarakat. Undang-undang no. 8 tahun
1974 tentang pokok-pokok kepegawaian ditegaskan bahwa pegawai negeri adalah
unsur aparatur negara, abdi negara, dan abdi masyarakat yang harus setia dan taat
kepada Pancasila dan UUD 1945, negara dan pemerintah Republik Indonesia,
bersatu padu, bermetal baik, bersih, berwibawa, dan berhasil guna. Makna dan
nilai luhur yang tersirat dari ketentuan tersebut ialah bahwa dalam menjalankan
tugas dan pengabdiannya, pegawai harus mengedepankan sikap jujur, disiplin, dan
bertanggung jawab kepada bangsa dan negara serta masyarakat Indonesia dilandasi
semangat religius, dedikasi, dan loyalitas tinggi.
Menurut UU No 43 tahun 1999
pasal 1 ayat 1 UU No 43/99 pegawai negeri adalah warga negara Republik
Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat
yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau di serahi
tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Artinya, seorang warga negara yang bekerja sebagai Pegawai Negeri
(PNS) dapat dikatakan sosok pribadi yang terhormat dan mulia dan paling enak
karena setiap pengabdiannya akan mendapatkan upah/gaji oleh negara. Artinya,
seorang warga negara yang bekerja sebagai Pegawai Negeri (PNS) dapat dikatakan
sosok pribadi yang terhormat dan mulia dan paling enak karena setiap
pengabdiannya akan mendapatkan upah/gaji oleh negara.
Pada era reformasi saat ini di mana semua orang
menghendaki terciptanya pemerintahan yang bebas dari korupsi, sudah sepantasnya
apabila para pegawai negeri kita memiliki 6 etos kerja, yaitu kerja keras,
disiplin, mandiri, jujur, rajin, dan yang terpenting harus tebal imannya
(Suryono, 2007). Selain itu, kompetensi yang harus dimiliki para pegawai negeri
kita agar selalu dapat melayani masyarakat dengan baik, antara lain: tidak
terpaku pada kegiatan-kegiatan rutin yang terkait dengan fungsi instrumental
birokrat; tanggap terhadap masalah-masalah publik; memiliki wawasan futuristic
dan sistematik; mampu melakukan terobosan melalui pemikiran yang kreatif dan
inovatif (tidak terlalu terpaku pada aturan); memiliki kemampuan untuk
mengantisipasi, memperhitungkan, dan meminimalkan resiko; jeli terhadap potensi
sumber-sumber dan peluang baru; memiliki kemampuan untuk mengombinasikan
berbagai sumber daya sehingga menjadi sumber daya campuran yang memiliki
produktivitas tinggi; memiliki kemampuan untuk mengoptimalkan sumber daya yang
tersedia dengan menggeser sumber kegiatan berproduksi rendah ke arah kegiatan
berproduksi tinggi (Sumartono, 2007).
Selanjutnya timbul
pertanyaan mengapa seiring pengabdiannya terdapat beberapa penyimpangan dalam
pelaksanaan tugas? Banyak penyakit yang melekat di tubuh PNS seperti yang
disampaikan oleh saudara Daldiri, SH. MH dalam sebuah opininya yang berjudul
menilik "penyakit" PNS, diantaranya TBC (tidak bisa komputer), kurap
(kurang rapi), kudis (kurang disiplin), kutil (kurang teliti) dan kuman (kurang
iman) (Analisa, 22/9/2011). Seharusnya penyakit ini tidak boleh terjadi jika
para punggawa negeri mengerti dan memahami butir-butir yang terdapat pada Panca
Prasetya Korpri.
B.
Korps
Pegawai Republik Indonesia
Pegawai Negeri Sipil (PNS)
pada dasarnya merupakan aparatur pemerintah yang sama seperti pegawai swasta
yang juga memerlukan adanya tempat untuk menampung aspirasi-aspirasi mereka,
mengakomodasi kepentingan-kepentingan mereka, melindungi hak-hak mereka,
menunjang kinerja mereka dan tempat untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.
Oleh karena itulah, para pegawai negeri sipil mendirikan suatu organisasi yang
legal yang dapat berfungsi sebagai suatu serikat bagi mereka. Organisasi ini
disebut dengan Korps
Pegawai Republik Indonesia (Korpri) yang memiliki tujuan untuk
memperjuangkan kesejahteraan dan kemandirian pegawai negeri sipil.
Korps Pegawai Republik
Indonesia merupakan suatu organisasi profesi beranggotakan seluruh Pegawai
Negeri Sipil baik Departemen maupun Lembaga Pemerintah non Departemen. Korpri
berdiri berdasarkan Keputusan Presiden Nomor : 82 Tahun 1971, 29 November 1971.
Korpri dibentuk dalam rangka meningkatkan kinerja, pengabdian dan netralitas
pegawai negeri, sehingga dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari lebih dapat
berdayaguna dan berhasil guna. Korpri merupakan organisasi ekstra struktural,
secara fungsional tidak bisa terlepas dari kedinasan maupun di luar kedinasan.
Sehingga keberadaan Korpri sebagai wadah unsur aparatur negara, abdi negara,
dan abdi masyarakat harus mampu menunjang pencapaian tugas pokok institusi
tempat mengabdi.
Namun demikian, secara jujur
harus diakui, masih banyak masalah krusial yang belum teratasi, masih banyak
agenda penting yang luput dari perhatian. Dalam rentang usia yang ke 41 tahun,
Korpri dituntut untuk bisa bersikap arif dan bijaksana dalam menangani
masalah-masalah yang muncul maupun menyikapi kritik yang mencuat. Korpri harus
sanggup memanggul beban idealisme di tengah-tengah tantangan zaman yang semakin
berat. Upaya meningkatkan bobot dan mutu pengabdian pegawai demi terciptanya
aparatur pemerintah yang bersih dan berwibawa “harus” menjadi agenda yang urgen untuk digarap.
C.
Moralitas
Korps Pegawai Republik Indonesia
Sebagai unsur aparatur
Negara dan abdi masyarakat Pegawai Negeri Sipil dituntut memiliki akhlak dan
budi pekerti yang tidak tercela, yang berkemampuan melaksanakan tugas secara
profesional dan bertanggung jawab dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan
pembangunan, serta bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Setiap Pegawai Negeri Sipil
wajib bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, wajib memberikan pelayanan secara
adil dan merata kepada masyarakat dengan dilandasi kesetiaan dan ketaatan
kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara, dan Pemerintah.
Untuk menjamin agar setiap
Pegawai Negeri Sipil selalu berupaya terus meningkatkan kesetiaan ketaatan, dan
pengabdiannya tersebut, ditetapkan ketentuan perundang-undangan yang mengatur
sikap, tingkah laku, dan perbuatan Pegawai Negeri Sipil, baik di dalam maupun
di luar dinas. Dalam rangka usaha membina Pegawai Negeri Sipil yang bersih,
jujur, dan sadar akan tanggung jawabnya sebagai unsur aparatur Negara dan abdi
masyarakat maka setiap Pegawai Negeri Sipil wajib mengangkat Sumpah/Janji
Pegawai Negeri Sipil. Sumpah/Janji Pegawai Negeri Sipil adalah pernyataan
kesanggupan untuk melakukan suatu keharusan atau tidak melakukan suatu
larangan. Seorang Pegawai Negeri Sipil mengangkat sumpah/ janji berdasarkan
keyakinan agama/kepercayaai terhadap Tuhan Yang Maha Esa, hal ini menandakan
bahwa pernyataan kesanggupan dalam sumpah/janji yang diucapkan juga ditujukan
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Calon Pegawai Negeri Sipil setelah diangkat menjadi
Pegawai Negeri Sipil wajib mengangkat Sumpah/Janji Pegawai Negeri Sipil. Sumpah
Pegawai Negeri Sipil diucapkan dihadapan atasan yang berwenang. Setiap Pegawai
Negeri Sipil harus menaati sumpah yang diucapkan dengan sebaik-baiknya dan
tidak melanggar sumpah/janji tersebut selama masih berkedudukan sebagai Pegawai
Negeri Sipil. Sumpah/janji Pegawai Negeri Sipil diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 21 Tahun 1975 tentang Sumpah/Janji Pegawai Negeri Sipil.
Untuk memperoleh Pegawai
Negeri Sipil yang kuat, kompak dan bersatu padu, memiliki kepekaan, tanggap dan
memiliki kesetiakawanan yang tinggi, berdisiplin, serta sadar akan tanggung
jawabnya sebagai unsur aparatur negara dan abdi masyarakat diperlukan pembinaan
jiwa korps dan kode etik Pegawai Negeri Sipil. Pembinaan jiwa korps dimaksudkan
untuk meningkatkan semangat juang, pengabdian, kesetiaan, dan ketaatan Pegawai
Negeri Sipil kepada Negara Kesatuan dan Pemerintah Republik Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (BKN, 24 Maret 2010).
Tampaknya ketentuan di atas
belum sepenuhnya terinternalisasi secara intensif oleh segenap jajaran warga
Korpri. Diakui atau tidak, masih ada kecenderungan pegawai kita yang bermental
feodal dan elitis. Status priyayi yang diwariskan oleh kaum penjajah belum
terlihat benar-benar terkikis. Mereka bukannya mau melayani masyarakat dengan
sikap yang baik dan tulus, melainkan malah minta dilayani ala “borjuis kecil”.
Esensi utama sebagai abdi masyarakat belum terealisasikan dalam tataran
praktek.
Keluhan masyarakat tentang
rendahnya mutu pelayanan di sektor publik yang ditandai dengan ruwetnya
birokrasi dan masih kurangnya pemahaman budaya disiplin masih sering terdengar.
Simaklah “somasi terselubung” yang gencar disuarakan oleh masyarakat luas lewat
Surat Pembaca di berbagai media cetak. Kasus ganti rugi tanah yang dinilai
tidak layak, belum optimalnya pelayanan hukum sehingga memicu munculnya rumor
“mafia” peradilan, pengurusan sertifikat tanah yang berbelit-belit, atau
lambannya pelayanan administrasi di kantor-kantor yang bersentuhan langsung
dengan denyut kehidupan masyarakat merupakan fenomena umum yang sering
ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.
Telah menyebar luas di
masyarakat bahwa di kalangan pejabat birokrasi kita terdapat slogan “jika bisa
dipersulit mengapa dipermudah” yang tentu saja memperburuk citra pegawai negeri
di Indonesia. Kondisi tersebut diperparah dengan munculnya “oknum” pegawai yang
bermental korup, sehingga tak segan-segan menyalahgunakan jabatan dan
wewenangnya untuk melakukan korupsi, manipulasi, kolusi, dan sederet ulah tak
jujur lainnya yang merugikan kepentingan publik. Jika kondisi semacam itu
dibiarkan berlarut-larut, jelas membuat citra pegawai merosot, masyarakat pun
jadi tidak respek lagi terhadap figur pegawai negeri.
D.
Profesionalisme
Korps Pegawai Republik Indonesia
Istilah profesionalisme tentu bukan sesuatu
yang asing. Secara sederhana, profesional berasal dari kata profesi yang
berarti jabatan. Orang yang profesional adalah orang yang mampu melaksanakan
tugas jabatannya secara mumpuni, baik secara konseptual maupun aplikatif.
Pegawai yang profesional adalah pegawai yang memiliki kemampuan mumpuni dalam
melaksanakan tugas jabatan kepegawaiannya.
Profesionalisme PNS
merupakan hal yang masih perlu ditingkatkan. Kita tahu bahwa sekarang ini
banyak sekali PNS-PNS yang tidak profesional. Contoh yang paling gampang dalam
hal kasus korupsi. Semua lembaga pemerintahan tersangkut kasus korupsi, bahkan
KPK sendiri yang didaulat sebagai pemberantas korupsi di Indonesia disinyalir
juga terjadi korupsi. Hal ini membuktikan bahwa profesionalisme PNS di
Indonesia masih jauh dari harapan.
BAB III
UPAYA PEMECAHAN MASALAH
Good Governance adalah tata
pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa. Terkait dengan itu, pemerintah
yang bersih (clean government) dan bebas KKN. Reformasi Birokrasi merupakan
perubahan signifikan elemen-elemen birokrasi, antara lain kelembagaan, sumber
daya manusia aparatur, ketatalaksanaan, akuntabilitas aparatur, pengawasan, dan
pelayanan publik. Beberapa contoh reformasi, birokrasi, misalnya reformasi
kelembagaan dan kepegawaian, keuangan, perbendaharaan, perencanaan dan
penganggaran, keimigrasian, kepabeanan, perpajakan, pertanahan, dan penanaman
modal. Hal yang penting dalam reformasi birokrasi adalah perubahan mind-set dan
culture-set serta pengembangan budaya kerja. Reformasi Birokrasi diarahkan pada
upaya-upaya mencegah dan mempercepat pemberantasan korupsi, secara
berkelanjutan, dalam menciptakan tata pemerintahan yang baik, bersih, dan
berwibawa (good governance), pemerintah yang bersih (clean government), dan
bebas KKN. Pada pembukaan Rakornas-PAN 2005 di Istana Negara, 15 November 2005,
Presiden SBY memberikan arahan, (1) laksanakan reformasi birokrasi; (2)
tegakkan dan terapkan prinsip-prinsip good governance; (3) tingkatkan kualitas
pelayanan publik menuju pelayanan publik yang prima; dan (4) berantas korupsi
sekarang juga mulai dari diri sendiri dan hindari perbuatan tindak pidana
korupsi (Menpan, 2007).
1.
Upaya
Reformasi Birokrasi Menuju SDM yang berkualitas
Birokrasi adalah Sistem yang
dijalankan oleh Pegawai pemerintah (birokrat) yang mencakup sistem manajemen
dan kelembagaan pemerintah. Kondisi birokrasi dikenal gemuk atau lamban bahkan
miskin fungsi karena disebabkan menumpuknya Sumber Daya Manusia (SDM),
sedangkan lambannya birokrasi disebabkan oleh kompetensi dan disiplin SDM yang
masih lemah, sehingga kemampuan untuk menghela tugas pokok dan fungsi unit
kerja menjadi kurang optimal. Beberapa yang menjadi permasalahan SDM dalam
pelaksanaan sistem reformasi Birokrasi antara lain:
1) Ketidaksesuaian
(mismatch) latar belakang pendidikan/keahlian/kecakapan SDM dengan
tugas/pekerjaan yang diemban menjadi tugas dan tanggungjawabnya. Hal tersebut
terjadi karena pada waktu pengadaan calon pegawai/birokrat baru didasarkan pada
jenjang dan bidang pendidikannya bukan pada kompetensi SDM yang dibutuhkan
dalam jabatan
2) Pengangguran
tidak kentara (disguised unemployment) sebagian SDM secara kuantitatif bekerja
sesuai kewajiban, tetapi tidak sesuai dengan waktu yang seharusnya dikerjakan
(underemployment)
3) ketimpangan
distribusi SDM yang tidak merata, sehingga terjadi kekosongan jabatan pada satker
atau isntansi lain yang lebih membutuhkan
Sesuai dengan realita di
atas, tentunya akan mempengaruhi tatakelola pemerintahan yang baik (good
governance), dan secepatnya dilakukan pembenahan kembali (reformasi) dalam
berbagai aspek strategis organisasi.
Reformasi Birokrasi bertujuan untuk
menciptakan kualitas SDM yang memiliki integritas tinggi dalam bekerja dengan
menjunjung tinggi sikap profesionalisme dan nilai-nilai moralitas yang kental
dengan kejujuran, kesetiaan, komitmen, serta menjaga keutuhan pribadi. Sehingga
diharapkan mampu menciptakan kader bangsa dengan SDM yang memiliki
produktivitas tinggi dan bertanggungjawab terhadap amanah pekerjaan yang
diterima.
SDM merupakan salah satu sasaran reformasi
Birokrasi, selain tata kelembagaan dan ketatalaksanaan organisasi. SDM
merupakan motor penggerak dari suatu unit kerja instansi yang sangat berperan
dalam meningkatkan produktivitas atau kinerja suatu unit kerja instansi secara
keseluruhan termasuk didalamnya SDM Auditor. Seperti halnya yang dikatakan oleh
Osborne dan Gaebler (1992), mengatakan bahwa system operasional yang memadai
tanpa dukungan elemen SDM yang professional tidak akan dapat mencapai tujuan
dan sasaran yang ditetapkan secara optimal. Dan untuk mendapatkan SDM
berkualitas tentunya diperlukan standar pada saat penerimaannya. Misalnya
dengan strategi pengelolaan yang tepat, baik melalui kompetensi pendidikan dan
pelatihann yang teratur, terukur, dan terstruktur. Sehingga secara tidak
langsung mampu mendorong pelaksanaan tugas-tugas yang besar sampai nanti dapat
memimpin organisasinya secara mandiri dan bijaksana.
Seperti halnya yang
tercantum dalam RPJM 2004-2009 (Perpres No.7/2005) disebutkan bahwa peningkatan
manajemen SDM merupakan salah satu unsur yang mendapat perhatian untuk penanganannya
ke depan dalam mereformasi birokrasi. Beberapa upaya yang akan dilakukan dalam
mereformasi SDM antara lain:
1) Perbaikan
Kesejahteraan (Remunerasi)
Tingkat
pendapatan merupakan parameter kesejahteraan yang akan mempengaruhi motivasi
kerja SDM. Akan tetapi, tingkat pendapatan diharapkan tidak hanya memenuhi
kebutuhan standar hidup minimal, melainkan mampu mengembangkan kesejahteraan
hidup yang lebih layak, seperti halnya yang dijanjikan pemerintah dalam program
remunerasinya.
Remunerasi
merupakan salah satu aspek mempercepat atau mengakselerasi pendapatan dan
sekaligus motivator dalam upaya pelaksanaan reformasi birokrasi.
2) Analisis
Jabatan
Analisis
jabatan merupakan proses sistematis dari sekumpulan informasi tentang suatu
pekerjaan, tujuan, dan kegunaannya dengan memberikan uraian dan karakteristik
pekerjaannya secara jelas.Tujuannya untuk memberikan keluaran uraian jabatan
yang menyangkut tentang organisasi (redefinisi visi, misi, dan strategi,
restrukturisasi dan analisis beban kerja). Ketatalaksanaannya mencakup Business
Proses dan SOP (Standar Operasional Prosedur), maupun SDM yang mencakup tentang
Assesmen kompetensi individu, system penilaian kinerja, pengadaan dan seleksi,
pengembangan dan pelatihan, pola promosi dan rotasi/mutasi, pola karir, dan
database pegawai.
Indikator
dari penilaian analisis jabatan adalah hasil kinerja dari setiap kegiatan yang
telah dilakukan; kriteria keberhasilan yang memenuhi prosedur, tanggung jawab
yang jelas, beban dan volume pekerjaan, serta komitmen dan kerjasama antar
bawahan dengan atasan yang sama-sama menunjukkan prestasi bagi kemajuan
lembaganya.
3) Penegakkan
Disiplin Kerja
Sikap
disiplin adalah budaya kerja yang harus dijunjung tinggi oleh siapapun,
kapanpun, dan dimanapun tanpa pandang bulu. Pada aspek ini, atasan seharusnya
memberiakn keteladanan sebagai panutan bawahannya. Penegakkan aturan disiplin
selain memberikan reward (penghargaan) juga ada sanksi(hukuman) yang tegas guna
membina indisipliner para birokratnya. “Like or dislike”, aturan disiplin harus
ditegakkan guna menjunjung moral dan etika organisasi setiap individu.
4) Penegakkan
Kode Etik
Kode
etik merupakan aturan perilaku auditor dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.
Kode etik diterapkan dengan tujuan meningkatkan kualitas dan objektivitas
kinerja dari setiap individu, serta untuk mewujudkan auditor yang professional
dan berbudaya etis terhadap tugas profesinya. Sikap professional harus
dikembangkan secara terus menerus guna meningkatkan kompetensi SDM dan
mendukung program good governance. Mengenai contoh kode etik sudah tertuang
dalam Peraturan MENPAN No.PER/04//M.PAN/03/2008 tentang Kode etik Aparat
Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) Kode Etikdan Standar Audit (KESA). Pada
dasarnya kode etik ini bersifat integritas, yang mengatakan bahwa “Benar itu
Benar, Jujur itu Jujur,dan Salah itu Salah”, jangan ada toleransi yang terlalu
besar untuk menegakkan “law enforcement”.
5) Mendiklat
para Pegawai (Birokrat)
Pengembangan
pegawai seharusnya sudah berjalan melalui program orientasi, pengenalan visi
dan misi, serta sasaran dan strategis yang ingin dicapai oleh unit kerja baik
jangka pendek maupun jangka panjang. Selanjutnya, SDM dilatih dan ditraining
dalam berbagai bentuk pendidikan dan pelataihan formal/non-formal agar dapat
mengembangkan kemampuan, pengetahuan, dan wawasan di tempat kerjanya. Selain
itu juga untuk menambah kompetensi dari profesi yang diembannya.
(pustaka1987.wordpress.com.
2010).
2.
Upaya
Korpri dalam meningkatkan moralitas dan profesionalisme
Korps Pegawai Republik
Indonesia merupakan suatu organisasi profesi beranggotakan seluruh Pegawai
Negeri Sipil baik Departemen maupun Lembaga Pemerintah non Departemen. Korpri
berdiri berdasarkan Keputusan Presiden Nomor: 82 Tahun 1971, 29 November 1971. Korpri
dibentuk dalam rangka upaya meningkatkan kinerja, pengabdian dan netralitas
Pegawai Negeri, sehingga dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari lebih dapat
berdayaguna dan berhasil guna.
Korpri merupakan organisasi
ekstra struktural, secara fungsional tidak bisa terlepas dari kedinasan maupun
di luar kedinasan. Sehingga keberadaan Korpri sebagai wadah unsur Aparatur
Negara, Abdi Negara, dan Abdi Masyarakat harus mampu menunjang pencapaian tugas
pokok institusi tempat mengabdi.
Sebagai aparatur negara,
abdi negara dan abdi masyarakat sudah sepantasnya anggota Korpri berjiwa
kesatria dalam menerima segala macam kritik dan masukan dari berbagai elemen
masyarakat. Anggota Korpri yang identik dengan pegawai negeri atau ”pegawainya”
pemerintah adalah gambaran berbagai sorotan yang belum mengimplementasikan
secara optimal : kedisiplinan, produktifitas, kinerja dan moral (akhlak). Dalam
keseharian dinilai masih jauh dari yang dicita-citakan oleh nilai-nilai dalam
Panca Prasetia, sebagai filosofi dasar anggota Korpri.
Fenomena yang menyentuh
perlunya perubahan mendasar para elemen dan elite anggota Korpri di semua lini.
Kita perlu melihat kembali betapa pentingnya nilai-nilai dasar yang wajib
dipegang teguh oleh semua, dalam hal ini kaitannya dengan urgensi moral
aparatur. Walaupun pada dasarnya tatanan kehidupan bangsa Indonesia akhir-akhir
ini tidak hanya dimulai dari perilaku apartur, melainkan telah terlampau
kompleks, sehingga memunculkan apa yang disebut dengan reformasi. Reformasi (Re
= kembali, Format/Formatie = bentuk) yang berkembang sejak tahun 1998 merupakan
kehendak bangsa Indonesia untuk meredefinisikan seluruh tatanan, aturan dan
pelaku utama biokrasi yang secara formal selama beberapa dasawarsa mendapat
legitimasi.
Setidaknya, ada tiga agenda
penting yang perlu dilakukan oleh Korpri dalam upaya meningkatkan mutu dan
bobot pelayanan publik yang mesti disosialisasikan secara gencar kepada segenap
jajaran warga Korpri. Pertama, meningkatkan keterampilan profesional
pegawai. Entitas profesionalisme akan tampak pada sosok pegawai yang cekatan
dan terampil mengemban tugasnya di lapangan. Upaya merekrut calon pegawai
hendaknya lebih diperketat melalui uji keterampilan yang selektif sesuai
bidangnya masing-masing, sehingga tidak lagi merasa “gagap” setelah menyentuh
tugasnya di lapangan. Upaya ini mesti didukung oleh kinerja dunia pendidikan
yang mampu menghasilkan out-put yang memiliki basis kognitif, afektif, dan
psikomotorik andal.
Kedua,
mengekstensifkan dan mengintensifkan wawasan pegawai. Sebagai salah satu
“pilar” pembangunan, tugas rutin pegawai di lapangan akan semakin “afdol” jika
ditunjang dengan wawasan dan visi yang luas. Upaya memberikan kesempatan
belajar dan pemberian beasiswa studi lanjut bagi para pegawai yang potensial
perlu lebih digalakkan. Selain itu, setiap pegawai hendaknya memiliki hasrat
belajar secara simultan dan berkelanjutan, baik lewat buku maupun kehidupan,
untuk lebih meningkatkan aktualitas diri sesuai bidang tugas yang digelutinya.
Ketiga,
mempertinggi integritas kepribadian pegawai. Munculnya mentalitas korup dan
tidak jujur yang dibingkai kepentingan dan pamrih sempit, boleh jadi lantaran
keringnya integritas kepribadian, sehingga merasa tak berdosa ketika melakukan
setumpuk dosa dan penyimpangan moral.
Melahirkan pegawai yang
tinggi integritas kepribadiannya jelas menjadi tantangan tersendiri bagi Korpri
di tengah-tengah semakin dahsyatnya pola hidup konsumtif, materialistis, dan
hedonis yang melanda kehidupan global saat ini. Dalam hal ini, Korpri harus
lebih gencar lagi dalam mengakarkan kode etik “Panca Prasetya Korpri” kepada
para pegawai, sehingga tidak terperangkap menjadi slogan moral yang kehilangan
nilai spiritualnya. Kode etik tersebut harus mendarah daging dan bernaung-turba
ke dalam nurani pegawai, tidak cukup sekadar dihafalkan tanpa penghayatan dan
pengamalan.
Sisi lain yang penting
dicermati adalah tak henti-hentinya “meniupkan” roh spiritualisme ke dalam dada
warga Korpri. Dengan semangat spiritualisme yang terus memancar, warga Korpri
akan semakin optimal mengemban tugas sehinngga tidak mudah tergoda untuk
melakukan tindakan “konyol” yang bisa meruntuhkan namanya sebagai seorang abdi
negara dan abdi masyarakat.
Dengan demikian, menjalani
profesi sebagai pegawai negeri tidak semata-mata berupa pelepasan energi fisik
untuk menghasilkan sesuatu, tetapi pada tugas tersebut juga melekat faktor
spiritual. Selain menghasilkan sesuatu, mereka juga dapat mengekspresikan diri
dalam melaksanakan tugasnya yang berfungsi sebagai simbol menjadi sebuah “kode”
yang menunjuk nilai atau makna tertentu (Sartono Kartodirdjo, 1994:105).
1) Peran
Akhlak
Nilai kesalehan, baik
pribadi maupun sosial, agaknya bisa menjadi resep mujarab dalam mencegah
berjangkitnya “penyakit” moral. Dengan landasan spiritual yang tinggi, tanpa
ada pengawasan melekat pun seorang pegawai tidak akan mudah tergiur dan tergoda
untuk melakukan tindakan tercela, sebab setiap gerak-geriknya senantiasa merasa
diawasi oleh Yang Maha melihat.
Agar bisa memberikan mutu
pelayanan yang baik kepada publik, pengejawantahan nilai-nilai kepemimpinan
luhur perlu menjadi sebuah keniscayaan bagi pegawai negeri. Agaknya, insan
pegawai negeri, khususnya para pemimpin di jajaran birokrasi, bisa becermin dan
sekaligus mengambil hikmah dari nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam
ajaran Asthabrata, sebuah ajaran luhur tentang perilaku hidup yang pernah
diterima Arjuna dari Begawan Kesawasidhi. Ajaran ini mengandung delapan watak
alam yang bisa dijadikan sebagai “simbol moralitas” manusia modern di
tengah-tengah dahsyatnya gerusan nilai global yang gencar menawarkan gaya hidup
konsumtif, materialistis, dan hedonis.
Bangsa lain melihat
bagaimana pungli dijumpai dimana-mana, penyelewengan sudah cukup sebagai skandal
yang memalukan. Pemaknaan conflict of interest di negeri yang beradab ini masih
sedemikian lemahnya atau bahkan tidak ada sama sekali. Akhirnya dalam kenyataan
praktek-praktek ekonomi, politik, hukum, birokrasi dan sebagainya sangat
bertentangan dengan deklarasi moral bangsa kita yang nota bene sebagai bangsa
yang bermoral, berakhlak dan beragama.
Ketimpangan sosial, ekonomi,
penerapan hukum dan keadilan dengan memandang bulu saat itu tidak karena
keslahan kita sendiri. Yaitu karena tidak adanya prinsip berpegang teguh pada
akhlak dan moral sebagaimana yang dikehendaki oleh setiap agama. Agama menjadi
sendi pokok ketahanan suatu bangsa menghadapi panca roba zaman. Tanpa akhlak
yang baik suatu bangsa akan binasa. Sebuah syair berbahasa Arab menyebutkan :
“Sesungguhya bangsa-bangsa itu tegak selama
(mereka berpegang pada) akhlaknya. Bila akhlak mereka rusak dan binasa pulalah
mereka”.
Akhlak dan moral sangat
menentukan kejayaan dan kehancuran suatu bangsa. Pembinaan moral bangsa secara
hukum dimulai oleh penegak keadilan dan ditegakkannya produk hukum pun harus
sejalan dengan moral agama. Sementara penegak keadilan pun harus berpandangan
bahwa hukum dan keadilan yang diembannya sebagai amanah Tuhan yang harus
dijunjung tinggi. Begitu pula pembinaan moral yang lain : politik, ekonomi dan
seterusnya, harus berpangkal pada akhlak politik (high politics) serta moral
ekonomi yang sebenarnya. Artinya, tidak sekedar perprinsip pada pengeluaran
modal yang sedikit mungkin untuk memperoleh keuntungan yang sebanyak-banyaknya.
Ini akan melanggar akhlak ekonomi yang diajarkan oleh agama apapun.
Prinsip Mazhavelle yang
perpegang pada penghalalan segala cara untuk mendapatkan keuntungan yang
berlipat ganda benar-benar awal dari kehancuran suatu bangsa secara
keseluruhan.
Moral itulah yang akan
menciptakan kebaikan, siapa pun yang menegakkanya. Dan pelanggaran terhadap
keadilan akan mengakibatkan malapetaka, siapa pun yang melakukannya. Oleh sebab
itu, didalam Al-Qur’an ditegaskan bahwa keadilan harus ditegakkan sekalipun
mengenai karib, kerabat, teman (kroni) serta familinya. Sekaligus tidak
dibenarkan karena suatu kebencian dan konflik pribadi membuat keadilan tidak
dapat ditegakkan. Rasulullah Saw, pernah mengultimatum dihadapan putri dan
Sahabat-sahabatnya :
”
Seandainya putriku (fatimah) ini mencuri, maka biar aku (Rasul) sendiri yang
akan memotong tangannya ”.
Prinsip akhlak di dalam
Islam juga dilihat dari aspek-aspek yang lain, termasuk sosial dan ekonomi.
Bahwa kewajiban memperhatikan kaum terlantar (dhu’afaa), jika tidak dilakukan
dengan sepenuhnya akan mengakibatkan kehancuran suatu masyarakat. Implikasi
dari usaha menegakkan keadilan bagi merekan ialah dengan memperjuangkan
kepentingan golongan masyarakat yang terpuruk serta kurang beruntungnya
nasibnya itu. Padahal, selama ini terlihat oleh kita bahwa penerapan keadilan
sosial belum sepenuhnya menyentuk masyarakat tersebut. Kebijakan ekonomi bertumpu
dan berputar pada pengusaha-pengusaha tertentu, sehingga menjadikan ketimpangan
keadilan sosial dan ekonomi lebih menjolok. Untuk itulah diperlukan tatanan dan
aturan yang mendukung keberadaan (eksistensi) sosial ekonomi di semua lini
masyarakat, baik kecil maupun menengah tanpa mengesampingkan kelas atas.
Dalam hal ini diperlukan
rancangan aturan yang berbasis pada keadilan sehingga praktek-praktek bisnis
yang tidak sehat dapat dihilangkan. Demikian pula aturan-aturan tersebut
benar-benar mampu menghilangkan praktek-praktek korupsi, kolusi, dan manipulasi
yang berdampak pada penguasaan/monopoli suatu usaha. Lebih dari itu semua,
pelaku kebijakan teras atas serta komponen masyarakat penegak keadilan pun
harus bertumpu pada moral yang ditegakkan oleh hati nuraninya. Bukan sekedar
karena aturan semata.
2) Peran
Profesionalisme
Telah menyebar luas di
masyarakat bahwa di kalangan pejabat birokrasi kita terdapat slogan “jika bisa
dipersulit mengapa dipermudah” yang tentu saja memperburuk citra pegawai negeri
di Indonesia. Kondisi tersebut diperparah dengan munculnya “oknum” pegawai yang
bermental korup, sehingga tak segan-segan menyalahgunakan jabatan dan
wewenangnya untuk melakukan korupsi, manipulasi, kolusi, dan sederet ulah tak
jujur lainnya yang merugikan kepentingan publik. Jika kondisi semacam itu
dibiarkan berlarut-larut, jelas membuat citra pegawai merosot, masyarakat pun
jadi tidak respek lagi terhadap figur pegawai negeri.
Menurut Suryono terdapat
tiga tipologi interaksi pegawai negeri dalam menafsirkan pelayanan publik,
antara lain:
a) Tipologi
pertama. Pegawai yang menafsirkan makna pelayanan
publik sebagai pelaksanaan tugas dari atasan atau pimpinan mereka. Hal ini
cenderung menciptakan interaksi pelayanan publik yang bersifat kompromi,
percekcokan, dan bahkan konflik.
b) Tipologi
kedua. Pegawai yang menafsirkan makna pelayanan publik sebagai
pelaksanaan dari perundang-undangan atau aturan yang berlaku. Hal ini cenderung
menciptakan interaksi pelayanan publik yang bersifat kerja sama atau kompromi.
c) Tipologi
ketiga. Pegawai yang menafsirkan pelayanan publik
sebagai sarana kepentingan pribadi (baik secara ekonomi maupun prestise
sosial). Hal ini cenderung menciptakan interaksi pelayanan publik yang bersifat
kecurangan, intimidasi, percekcokan, KKN, dan kompensasi.
Selain tiga tipologi di atas
yang menunjukkan pola pemaknaan pegawai birokrasi terhadap kegiatan pelayanan
publik, juga terdapat lima penyakit yang berkaitan dengan budaya kerja pegawai,
yaitu:
a) Kecenderungan
memperluas misi suatu institusi
b) Memaksimalkan
anggaran
c) Keluar
dari tupoksi (tugas, pokok, dan fungsi) yang telah ditetapkan
d) Bekerja
berbelit-belit
e) Sering
menunda pekerjaan
Salah satu faktor penyebab
terjadinya hal-hal negatif di atas adalah idiom yang dikenal di kalangan
pegawai negeri yaitu “pintar-bodoh gaji sama” atau “pulang pagi-pulang sore
sama saja”. Idiom tersebut muncul karena standar gaji PNS selama ini lebih
berdasarkan pada golongan pegawai. Hal ini jika dibiarkan akan mematikan daya
kreasi dan inovasi seorang pegawai dalam melayani publik.
PNS juga manusia dan bukan
malaikat tanpa khilaf serta dosa. Seketat apapun pengawasan melekat yang kita
terapkan pasti terdapat oknum-oknum yang sengaja melanggar kode etik
kepegawaian. Pemerintah dan masyarakat tidak membutuhkan PNS yang bermental
sakit karena perilaku ini akan memperlambat laju roda pemerintahan dan menjadi
racun dalam upaya pencapaian tujuan nasional. Kiprah PNS yang bermental sehat
akan menghasilkan karya dan gagasan positif, yang muara akhir terciptanya
profesionalisme dalam bekerja.
Oleh karena itu untuk
mewujudkan sikap profesionalisme yang tinggi maka PNS harus memiliki ciri-ciri
sebagai berikut : Pertama, menguasai
pengetahuan di bidangnya masing-masing, tentunya yang harus dikerjakan
meningkatkan pengetahuan, menguasai bidang tugasnya dan efektifitas dalam
melaksanakan pekerjaan. Kedua,
komitmen pada kualitas, berupa memiliki kecakapan, kesanggupan dalam bekerja
dan selalu meningkatkan mutu kerja. Ketiga,
mempunyai dedikasi yang tinggi, berupa kebanggaan kepada pekerjaan tanggung
jawab terhadap pekerjaan dan mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan
pribadi dan golongan. Keempat,
keinginan untuk membantu, berupa kejujuran, keikhlasan, motivasi, budi luhur
yang tinggi, tenggang rasa dan peduli dengan sesama.
Berau-Humas BKN, Tingkat profesionalisme seorang PNS dapat
ditengarai oleh empat hal yakni: ilmu, amal, etika dan tanggung jawab. Untuk mencapai PNS yang profesional maka
perlu dilakukan penataan sistem manajemen PNS.
Hal tersebut disampaikan oleh Kepala BKN, Eko Sutrisno saat memberikan
materi dalam acara Rapat Koordinasi Kepegawaian se-Kalimantan Timur Senin
(29/10) di Kabupaten Berau Provinsi Kalimantan Timur.
Eko Sutrisno menyampaikan
penataan sistem manajemen PNS mencakup 8 (delapan) hal yakni: penataan sistem
perencanaan pegawai, penataan sistem rekrutmen pegawai, penyusunan standar
kompetensi jabatan, assessmen individu berdasarkan kompetensi, pengembangan
e-gov, penerapan sistem penilaian kinerja individu, diklat berbasis kompetensi
dan pengembangan profesionalisme PNS. Saat ini yang sering menjadi perhatian
publik adalah rekrutmen pegawai yang dirasa masih belum sesuai dengan
kompetensi dan sering terjadi kolusi dan nepotisme. Oleh karena itu BKN sebagai lembaga yang
mengelola manajemen kepegawaian nasional berinisiatif dan menerapkan IT dengan
pemanfaatan Computer Assissted Tes (CAT) dalam seleksi penerimaan CPNS. Dengan menggunakan CAT ini, peserta tes tidak
perlu berkumpul di dalam stadion untuk melakukan tes cukup dilakukan di dalam
suatu ruangan yang telah disiapkan.
Dengan sistem ini maka penerimaan CPNS akan transparan dan akuntabel.
Profesionalisme PNS mulai
dibenahi dengan rekruitmen PNS yang bersih dan transparan. Anak-anak muda
sekarang ini mulai banyak yang tertarik masuk PNS. Jika dulu lulusan terbaik
negeri ini banyak keperusahaan asing dan swasta, sekarang mulai berubah. Tidak
hanya BUMN saja yang diminati, tetapi PNS di pusat maupun daerah juga banyak
peminatnya. Dan nyatanya banyak anak muda yang diterima.
BAB
IV
KESIMPULAN
DAN SARAN
A. Kesimpulan
Menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai aparatur
negara harus tetap meningkatkan perannya, sebagai abdi negara, abdi masyarakat,
dan abdi pemerintah serta memegang tanggung jawab besar dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan dan
melayani masyarakat dalam berbagai bidang.
Pegawai negeri adalah pekerja di sektor publik yang
bekerja pada pemerintah suatu negara. Pekerja di badan publik non-departemen
terkadang juga dikategorikan sebagai pegawai negeri. Mereka merupakan pelayan
masyarakat yang harus bekerja secara maksimal untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat dan menyelesaikan kepentingan masyarakat. Pada era reformasi saat
ini di mana semua orang menghendaki terciptanya pemerintahan yang bebas dari
korupsi, sudah sepantasnya apabila para pegawai negeri kita memiliki 6 etos
kerja, yaitu kerja keras, disiplin, mandiri, jujur, rajin, dan yang terpenting
harus tebal imannya (Suryono, 2007). Selain itu, kompetensi yang harus dimiliki
para pegawai negeri kita agar selalu dapat melayani masyarakat dengan baik,
antara lain: tidak terpaku pada kegiatan-kegiatan rutin yang terkait dengan
fungsi instrumental birokrat; tanggap terhadap masalah-masalah publik; memiliki
wawasan futuristic dan sistematik; mampu melakukan terobosan melalui pemikiran
yang kreatif dan inovatif (tidak terlalu terpaku pada aturan); memiliki
kemampuan untuk mengantisipasi, memperhitungkan, dan meminimalkan resiko; jeli
terhadap potensi sumber-sumber dan peluang baru; memiliki kemampuan untuk
mengombinasikan berbagai sumber daya sehingga menjadi sumber daya campuran yang
memiliki produktivitas tinggi; memiliki kemampuan untuk mengoptimalkan sumber
daya yang tersedia dengan menggeser sumber kegiatan berproduksi rendah ke arah
kegiatan berproduksi tinggi (Sumartono, 2007).
KORPRI sebagai wadah para PNS
dituntut selalu menunjukkan peran dan tanggung jawab sesuai perkembangan jaman
guna mengarahkan anggotanya dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan dan
melayani masyarakat dalam berbagai bidang.
B. Saran
KORPRI sebagai organisasi yang
mandiri dan profesional, yang kedudukan dan kegiatannya tidak terlepas dari
kedinasan, harus senantiasa bergerak bersama komponen bangsa lainnya untuk
secara konsisten memperjuangkan cita-cita bangsa. Era reformasi telah
mengembalikan peran utama birokrasi sebagai komponen utama pengelola
pemerintahan, di mana birokrasi tidak lagi terlibat dalam kegiatan-kegiatan politik
praktis. Untuk itu, transformasi budaya paradigma baru menjadi penting, agar
pegawai negeri sipil dapat semakin efektif dan profesional dalam menjaga dan
menegakkan kedaulatan NKRI. Karena
itu reformasi birokrasi tidak boleh terhenti, tetapi harus dilanjutkan.
Dukungan dan pengertian semua pihak tetap diperlukan, agar reformasi birokrasi dapat
mencapai tujuan sebagaimana kita kehendaki bersama
DAFTAR
PUSTAKA
BKN,
2010 : Moral Etika PNS. Jakarta
Hanafi,
Imam, et.al.
2000. “Pengembangan Sumber
Daya Aparatur Daerah Di Era Reformasi (Kasus Kabupaten Trenggalek)”.
Jurnal Administrasi Negara, Vol.I, No.1, Malang: LPD FIA UB.
http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=87&Itemid=54
Kuswandhana
IGMN. Reformasi Birokrasi Menjadi Energi Baru di Departemen Pertanian Menuju
Good Governance. Dalam Media Auditor, Ed.23 Nopember 2009.
Peraturan
Pemerintah Nomor 21 Tahun 1975 tentang Sumpah/Janji Pegawai Negeri Sipil;
Peraturan
Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps Dan Kode Etik
Pegawai Negeri Sipil;
Peraturan
Presiden Nomor 11 Tahun 1959 tentang Sumpah Jabatan Pegawai Negeria Sipil Dan Anggota
Angkatan Perang;
Suharno
HS. Reformasi Sumber Daya Manusia. Dalam Media Auditor, Ed.23 Nopember 2009.
Surat
Edaran Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 14/SE/1975, tentang Petunjuk
Pengambilan Sumpah/Janji Pegawai Negeri Sipil..
Suryono,
Agus. 2007. “Profil Etos
Kerja Birokrasi”. Jurnal Ilmiah Administrasi Publik, Vol.9, No.1.
Malang: LPD FIA UB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar