Senin, 21 Januari 2013

MENEROPONG MORALITAS DAN PROFESIONALISME KORPS PEGAWAI REPUBLIK INDONESIA DAN UPAYA PENINGKATANNYA MENUJU REFORMASI BIROKRASI


BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Semenjak lengsernya masa orde baru tahun 1998 gaung reformasi menggema menuntut adanya perubahan di setiap lini kehidupan bangsa ini. Perubahan untuk menjadi yang lebih baik ditunjukkan Tuhan dari seekor ulat yang berubah menjadi kupu-kupu cantik, tentunya menjadi dambaan setiap manusia. Hanya saja, semuanya butuh waktu dan proses yang tidak mudah. Mengingat manusia selain sebagai mahluk pribadi juga mahluk sosial memiliki visi dan misi yang berbeda-beda. Hal inilah yang menyebabkan suatu kebijakan kadang menimbulkan persepsi berbeda tergantung dari sudut pandang dan kepentingan masing-masing yang melihatnya.
Demi menyatukan visi dan misi itulah, perlunya peran suatu wadah atau organisasi yang mampu mengakomodasi dan menampung aspirasi semua pandangan sehingga tidak muncul konflik dalam satu kebijakkan. Disinilah pentingnya fungsi dan peranan KORPRI sebagai wadah non-kedinasan pegawai negeri dituntut untuk selalu menunjukkan peran dan tanggung jawab sesuai perkembangan jaman guna mengarahkan anggotanya dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan dan melayani masyarakat dalam berbagai bidang. KORPRI sebagai organisasi yang mandiri dan profesional, yang kedudukan dan kegiatannya tidak terlepas dari kedinasan, harus senantiasa bergerak bersama komponen bangsa lainnya untuk secara konsisten memperjuangkan cita-cita bangsa. Sejak terbentuknya pada tanggal 29 Nopember 1971 berdasarkan Keppres no. 82 tahun 1971, banyak kalangan menilai korpri kian eksis berkiprah di tengah riuhnya zaman dan cukup berhasil dalam melakukan pembinaan dan penggalangan eksternal secara total dan intens kepada para anggotanya. Berdoktrin “Bhinneka Karya Abdi Negara” didukung mobilitas andal, korpri telah mampu menyamakan gerak, langkah, pikiran, dan tindakan para pegawai yang tersebar di segenap lini dan sektor kehidupan.
Reformasi birokrasi yang kian digalakkan oleh pemerintah akhir-akhir ini ternyata masih banyak sorotan negatif terhadap kondisi pelayanan publik yang diwarnai praktek kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) serta sarat dengan paradigma korporatisme untuk mencari keuntungan pribadi. Buruknya pelayanan publik diperparah pula oleh rendahnya partisipasi masyarakat dalam mengingatkan para pejabat publik termasuk pegawai negeri sipil (PNS) agar bekerja lebih profesional.         Untuk itulah, Anggota Korps Pegawai Republik Indonesia dengan mengemban Panca Prasetia Korpri memiliki banyak hal yang layak kita kaji, karena dalam keseharian belum mampu mengimplementasikan secara optimal : kedisiplinan, produktifitas, kinerja dan moral (ahklak) dan dinilai masih jauh dari yang dicita-citakan oleh nilai-nilai dalam Panca Prasetia, sebagai filosofi dasar anggota korpri.

B.   Rumusan Masalah
“Bagaimanakah Moralitas dan Profesionalisme Korps Pegawai Republik Indonesia dan Upaya Peningkatanya di Era Reformasi Birokrasi saat  ini?”






























BAB II
KAJIAN TEORI DAN ANALISIS MASALAH

A.   Pegawai Negeri Sipil
            Pegawai negeri adalah pekerja di sektor publik yang bekerja pada pemerintah suatu negara. Pekerja di badan publik non-departemen terkadang juga dikategorikan sebagai pegawai negeri. Mereka merupakan pelayan masyarakat yang harus bekerja secara maksimal untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan menyelesaikan kepentingan masyarakat. Undang-undang no. 8 tahun 1974 tentang pokok-pokok kepegawaian ditegaskan bahwa pegawai negeri adalah unsur aparatur negara, abdi negara, dan abdi masyarakat yang harus setia dan taat kepada Pancasila dan UUD 1945, negara dan pemerintah Republik Indonesia, bersatu padu, bermetal baik, bersih, berwibawa, dan berhasil guna. Makna dan nilai luhur yang tersirat dari ketentuan tersebut ialah bahwa dalam menjalankan tugas dan pengabdiannya, pegawai harus mengedepankan sikap jujur, disiplin, dan bertanggung jawab kepada bangsa dan negara serta masyarakat Indonesia dilandasi semangat religius, dedikasi, dan loyalitas tinggi.
Menurut UU No 43 tahun 1999 pasal 1 ayat 1 UU No 43/99 pegawai negeri adalah warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau di serahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Artinya, seorang warga negara yang bekerja sebagai Pegawai Negeri (PNS) dapat dikatakan sosok pribadi yang terhormat dan mulia dan paling enak karena setiap pengabdiannya akan mendapatkan upah/gaji oleh negara. Artinya, seorang warga negara yang bekerja sebagai Pegawai Negeri (PNS) dapat dikatakan sosok pribadi yang terhormat dan mulia dan paling enak karena setiap pengabdiannya akan mendapatkan upah/gaji oleh negara.
            Pada era reformasi saat ini di mana semua orang menghendaki terciptanya pemerintahan yang bebas dari korupsi, sudah sepantasnya apabila para pegawai negeri kita memiliki 6 etos kerja, yaitu kerja keras, disiplin, mandiri, jujur, rajin, dan yang terpenting harus tebal imannya (Suryono, 2007). Selain itu, kompetensi yang harus dimiliki para pegawai negeri kita agar selalu dapat melayani masyarakat dengan baik, antara lain: tidak terpaku pada kegiatan-kegiatan rutin yang terkait dengan fungsi instrumental birokrat; tanggap terhadap masalah-masalah publik; memiliki wawasan futuristic dan sistematik; mampu melakukan terobosan melalui pemikiran yang kreatif dan inovatif (tidak terlalu terpaku pada aturan); memiliki kemampuan untuk mengantisipasi, memperhitungkan, dan meminimalkan resiko; jeli terhadap potensi sumber-sumber dan peluang baru; memiliki kemampuan untuk mengombinasikan berbagai sumber daya sehingga menjadi sumber daya campuran yang memiliki produktivitas tinggi; memiliki kemampuan untuk mengoptimalkan sumber daya yang tersedia dengan menggeser sumber kegiatan berproduksi rendah ke arah kegiatan berproduksi tinggi (Sumartono, 2007).
Selanjutnya timbul pertanyaan mengapa seiring pengabdiannya terdapat beberapa penyimpangan dalam pelaksanaan tugas? Banyak penyakit yang melekat di tubuh PNS seperti yang disampaikan oleh saudara Daldiri, SH. MH dalam sebuah opininya yang berjudul menilik "penyakit" PNS, diantaranya TBC (tidak bisa komputer), kurap (kurang rapi), kudis (kurang disiplin), kutil (kurang teliti) dan kuman (kurang iman) (Analisa, 22/9/2011). Seharusnya penyakit ini tidak boleh terjadi jika para punggawa negeri mengerti dan memahami butir-butir yang terdapat pada Panca Prasetya Korpri.
       
B.   Korps Pegawai Republik Indonesia
Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada dasarnya merupakan aparatur pemerintah yang sama seperti pegawai swasta yang juga memerlukan adanya tempat untuk menampung aspirasi-aspirasi mereka, mengakomodasi kepentingan-kepentingan mereka, melindungi hak-hak mereka, menunjang kinerja mereka dan tempat untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Oleh karena itulah, para pegawai negeri sipil mendirikan suatu organisasi yang legal yang dapat berfungsi sebagai suatu serikat bagi mereka. Organisasi ini disebut dengan Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) yang memiliki tujuan untuk memperjuangkan kesejahteraan dan kemandirian pegawai negeri sipil.
Korps Pegawai Republik Indonesia merupakan suatu organisasi profesi beranggotakan seluruh Pegawai Negeri Sipil baik Departemen maupun Lembaga Pemerintah non Departemen. Korpri berdiri berdasarkan Keputusan Presiden Nomor : 82 Tahun 1971, 29 November 1971. Korpri dibentuk dalam rangka meningkatkan kinerja, pengabdian dan netralitas pegawai negeri, sehingga dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari lebih dapat berdayaguna dan berhasil guna. Korpri merupakan organisasi ekstra struktural, secara fungsional tidak bisa terlepas dari kedinasan maupun di luar kedinasan. Sehingga keberadaan Korpri sebagai wadah unsur aparatur negara, abdi negara, dan abdi masyarakat harus mampu menunjang pencapaian tugas pokok institusi tempat mengabdi.
Namun demikian, secara jujur harus diakui, masih banyak masalah krusial yang belum teratasi, masih banyak agenda penting yang luput dari perhatian. Dalam rentang usia yang ke 41 tahun, Korpri dituntut untuk bisa bersikap arif dan bijaksana dalam menangani masalah-masalah yang muncul maupun menyikapi kritik yang mencuat. Korpri harus sanggup memanggul beban idealisme di tengah-tengah tantangan zaman yang semakin berat. Upaya meningkatkan bobot dan mutu pengabdian pegawai demi terciptanya aparatur pemerintah yang bersih dan berwibawa “harus” menjadi agenda yang urgen untuk digarap.

C.   Moralitas Korps Pegawai Republik Indonesia
Sebagai unsur aparatur Negara dan abdi masyarakat Pegawai Negeri Sipil dituntut memiliki akhlak dan budi pekerti yang tidak tercela, yang berkemampuan melaksanakan tugas secara profesional dan bertanggung jawab dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan, serta bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Setiap Pegawai Negeri Sipil wajib bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, wajib memberikan pelayanan secara adil dan merata kepada masyarakat dengan dilandasi kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara, dan Pemerintah.
Untuk menjamin agar setiap Pegawai Negeri Sipil selalu berupaya terus meningkatkan kesetiaan ketaatan, dan pengabdiannya tersebut, ditetapkan ketentuan perundang-undangan yang mengatur sikap, tingkah laku, dan perbuatan Pegawai Negeri Sipil, baik di dalam maupun di luar dinas. Dalam rangka usaha membina Pegawai Negeri Sipil yang bersih, jujur, dan sadar akan tanggung jawabnya sebagai unsur aparatur Negara dan abdi masyarakat maka setiap Pegawai Negeri Sipil wajib mengangkat Sumpah/Janji Pegawai Negeri Sipil. Sumpah/Janji Pegawai Negeri Sipil adalah pernyataan kesanggupan untuk melakukan suatu keharusan atau tidak melakukan suatu larangan. Seorang Pegawai Negeri Sipil mengangkat sumpah/ janji berdasarkan keyakinan agama/kepercayaai terhadap Tuhan Yang Maha Esa, hal ini menandakan bahwa pernyataan kesanggupan dalam sumpah/janji yang diucapkan juga ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Calon Pegawai Negeri Sipil setelah diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil wajib mengangkat Sumpah/Janji Pegawai Negeri Sipil. Sumpah Pegawai Negeri Sipil diucapkan dihadapan atasan yang berwenang. Setiap Pegawai Negeri Sipil harus menaati sumpah yang diucapkan dengan sebaik-baiknya dan tidak melanggar sumpah/janji tersebut selama masih berkedudukan sebagai Pegawai Negeri Sipil. Sumpah/janji Pegawai Negeri Sipil diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1975 tentang Sumpah/Janji Pegawai Negeri Sipil.
Untuk memperoleh Pegawai Negeri Sipil yang kuat, kompak dan bersatu padu, memiliki kepekaan, tanggap dan memiliki kesetiakawanan yang tinggi, berdisiplin, serta sadar akan tanggung jawabnya sebagai unsur aparatur negara dan abdi masyarakat diperlukan pembinaan jiwa korps dan kode etik Pegawai Negeri Sipil. Pembinaan jiwa korps dimaksudkan untuk meningkatkan semangat juang, pengabdian, kesetiaan, dan ketaatan Pegawai Negeri Sipil kepada Negara Kesatuan dan Pemerintah Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (BKN, 24 Maret 2010).
Tampaknya ketentuan di atas belum sepenuhnya terinternalisasi secara intensif oleh segenap jajaran warga Korpri. Diakui atau tidak, masih ada kecenderungan pegawai kita yang bermental feodal dan elitis. Status priyayi yang diwariskan oleh kaum penjajah belum terlihat benar-benar terkikis. Mereka bukannya mau melayani masyarakat dengan sikap yang baik dan tulus, melainkan malah minta dilayani ala “borjuis kecil”. Esensi utama sebagai abdi masyarakat belum terealisasikan dalam tataran praktek.
Keluhan masyarakat tentang rendahnya mutu pelayanan di sektor publik yang ditandai dengan ruwetnya birokrasi dan masih kurangnya pemahaman budaya disiplin masih sering terdengar. Simaklah “somasi terselubung” yang gencar disuarakan oleh masyarakat luas lewat Surat Pembaca di berbagai media cetak. Kasus ganti rugi tanah yang dinilai tidak layak, belum optimalnya pelayanan hukum sehingga memicu munculnya rumor “mafia” peradilan, pengurusan sertifikat tanah yang berbelit-belit, atau lambannya pelayanan administrasi di kantor-kantor yang bersentuhan langsung dengan denyut kehidupan masyarakat merupakan fenomena umum yang sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.
Telah menyebar luas di masyarakat bahwa di kalangan pejabat birokrasi kita terdapat slogan “jika bisa dipersulit mengapa dipermudah” yang tentu saja memperburuk citra pegawai negeri di Indonesia. Kondisi tersebut diperparah dengan munculnya “oknum” pegawai yang bermental korup, sehingga tak segan-segan menyalahgunakan jabatan dan wewenangnya untuk melakukan korupsi, manipulasi, kolusi, dan sederet ulah tak jujur lainnya yang merugikan kepentingan publik. Jika kondisi semacam itu dibiarkan berlarut-larut, jelas membuat citra pegawai merosot, masyarakat pun jadi tidak respek lagi terhadap figur pegawai negeri.

D.   Profesionalisme Korps Pegawai Republik Indonesia
Istilah profesionalisme tentu bukan sesuatu yang asing. Secara sederhana, profesional berasal dari kata profesi yang berarti jabatan. Orang yang profesional adalah orang yang mampu melaksanakan tugas jabatannya secara mumpuni, baik secara konseptual maupun aplikatif. Pegawai yang profesional adalah pegawai yang memiliki kemampuan mumpuni dalam melaksanakan tugas jabatan kepegawaiannya.
Profesionalisme PNS merupakan hal yang masih perlu ditingkatkan. Kita tahu bahwa sekarang ini banyak sekali PNS-PNS yang tidak profesional. Contoh yang paling gampang dalam hal kasus korupsi. Semua lembaga pemerintahan tersangkut kasus korupsi, bahkan KPK sendiri yang didaulat sebagai pemberantas korupsi di Indonesia disinyalir juga terjadi korupsi. Hal ini membuktikan bahwa profesionalisme PNS di Indonesia masih jauh dari harapan.





























BAB III
UPAYA PEMECAHAN MASALAH

Good Governance adalah tata pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa. Terkait dengan itu, pemerintah yang bersih (clean government) dan bebas KKN. Reformasi Birokrasi merupakan perubahan signifikan elemen-elemen birokrasi, antara lain kelembagaan, sumber daya manusia aparatur, ketatalaksanaan, akuntabilitas aparatur, pengawasan, dan pelayanan publik. Beberapa contoh reformasi, birokrasi, misalnya reformasi kelembagaan dan kepegawaian, keuangan, perbendaharaan, perencanaan dan penganggaran, keimigrasian, kepabeanan, perpajakan, pertanahan, dan penanaman modal. Hal yang penting dalam reformasi birokrasi adalah perubahan mind-set dan culture-set serta pengembangan budaya kerja. Reformasi Birokrasi diarahkan pada upaya-upaya mencegah dan mempercepat pemberantasan korupsi, secara berkelanjutan, dalam menciptakan tata pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa (good governance), pemerintah yang bersih (clean government), dan bebas KKN. Pada pembukaan Rakornas-PAN 2005 di Istana Negara, 15 November 2005, Presiden SBY memberikan arahan, (1) laksanakan reformasi birokrasi; (2) tegakkan dan terapkan prinsip-prinsip good governance; (3) tingkatkan kualitas pelayanan publik menuju pelayanan publik yang prima; dan (4) berantas korupsi sekarang juga mulai dari diri sendiri dan hindari perbuatan tindak pidana korupsi (Menpan, 2007).

1.     Upaya Reformasi Birokrasi Menuju SDM yang berkualitas
Birokrasi adalah Sistem yang dijalankan oleh Pegawai pemerintah (birokrat) yang mencakup sistem manajemen dan kelembagaan pemerintah. Kondisi birokrasi dikenal gemuk atau lamban bahkan miskin fungsi karena disebabkan menumpuknya Sumber Daya Manusia (SDM), sedangkan lambannya birokrasi disebabkan oleh kompetensi dan disiplin SDM yang masih lemah, sehingga kemampuan untuk menghela tugas pokok dan fungsi unit kerja menjadi kurang optimal. Beberapa yang menjadi permasalahan SDM dalam pelaksanaan sistem reformasi Birokrasi antara lain:
1)    Ketidaksesuaian (mismatch) latar belakang pendidikan/keahlian/kecakapan SDM dengan tugas/pekerjaan yang diemban menjadi tugas dan tanggungjawabnya. Hal tersebut terjadi karena pada waktu pengadaan calon pegawai/birokrat baru didasarkan pada jenjang dan bidang pendidikannya bukan pada kompetensi SDM yang dibutuhkan dalam jabatan
2)    Pengangguran tidak kentara (disguised unemployment) sebagian SDM secara kuantitatif bekerja sesuai kewajiban, tetapi tidak sesuai dengan waktu yang seharusnya dikerjakan (underemployment)
3)    ketimpangan distribusi SDM yang tidak merata, sehingga terjadi kekosongan jabatan pada satker atau isntansi lain yang lebih membutuhkan
Sesuai dengan realita di atas, tentunya akan mempengaruhi tatakelola pemerintahan yang baik (good governance), dan secepatnya dilakukan pembenahan kembali (reformasi) dalam berbagai aspek strategis organisasi.
Reformasi Birokrasi bertujuan untuk menciptakan kualitas SDM yang memiliki integritas tinggi dalam bekerja dengan menjunjung tinggi sikap profesionalisme dan nilai-nilai moralitas yang kental dengan kejujuran, kesetiaan, komitmen, serta menjaga keutuhan pribadi. Sehingga diharapkan mampu menciptakan kader bangsa dengan SDM yang memiliki produktivitas tinggi dan bertanggungjawab terhadap amanah pekerjaan yang diterima.
 SDM merupakan salah satu sasaran reformasi Birokrasi, selain tata kelembagaan dan ketatalaksanaan organisasi. SDM merupakan motor penggerak dari suatu unit kerja instansi yang sangat berperan dalam meningkatkan produktivitas atau kinerja suatu unit kerja instansi secara keseluruhan termasuk didalamnya SDM Auditor. Seperti halnya yang dikatakan oleh Osborne dan Gaebler (1992), mengatakan bahwa system operasional yang memadai tanpa dukungan elemen SDM yang professional tidak akan dapat mencapai tujuan dan sasaran yang ditetapkan secara optimal. Dan untuk mendapatkan SDM berkualitas tentunya diperlukan standar pada saat penerimaannya. Misalnya dengan strategi pengelolaan yang tepat, baik melalui kompetensi pendidikan dan pelatihann yang teratur, terukur, dan terstruktur. Sehingga secara tidak langsung mampu mendorong pelaksanaan tugas-tugas yang besar sampai nanti dapat memimpin organisasinya secara mandiri dan bijaksana.
Seperti halnya yang tercantum dalam RPJM 2004-2009 (Perpres No.7/2005) disebutkan bahwa peningkatan manajemen SDM merupakan salah satu unsur yang mendapat perhatian untuk penanganannya ke depan dalam mereformasi birokrasi. Beberapa upaya yang akan dilakukan dalam mereformasi SDM antara lain:
1)  Perbaikan Kesejahteraan (Remunerasi)
Tingkat pendapatan merupakan parameter kesejahteraan yang akan mempengaruhi motivasi kerja SDM. Akan tetapi, tingkat pendapatan diharapkan tidak hanya memenuhi kebutuhan standar hidup minimal, melainkan mampu mengembangkan kesejahteraan hidup yang lebih layak, seperti halnya yang dijanjikan pemerintah dalam program remunerasinya.
Remunerasi merupakan salah satu aspek mempercepat atau mengakselerasi pendapatan dan sekaligus motivator dalam upaya pelaksanaan reformasi birokrasi.
2)  Analisis Jabatan
Analisis jabatan merupakan proses sistematis dari sekumpulan informasi tentang suatu pekerjaan, tujuan, dan kegunaannya dengan memberikan uraian dan karakteristik pekerjaannya secara jelas.Tujuannya untuk memberikan keluaran uraian jabatan yang menyangkut tentang organisasi (redefinisi visi, misi, dan strategi, restrukturisasi dan analisis beban kerja). Ketatalaksanaannya mencakup Business Proses dan SOP (Standar Operasional Prosedur), maupun SDM yang mencakup tentang Assesmen kompetensi individu, system penilaian kinerja, pengadaan dan seleksi, pengembangan dan pelatihan, pola promosi dan rotasi/mutasi, pola karir, dan database pegawai.
Indikator dari penilaian analisis jabatan adalah hasil kinerja dari setiap kegiatan yang telah dilakukan; kriteria keberhasilan yang memenuhi prosedur, tanggung jawab yang jelas, beban dan volume pekerjaan, serta komitmen dan kerjasama antar bawahan dengan atasan yang sama-sama menunjukkan prestasi bagi kemajuan lembaganya.
3)  Penegakkan Disiplin Kerja
Sikap disiplin adalah budaya kerja yang harus dijunjung tinggi oleh siapapun, kapanpun, dan dimanapun tanpa pandang bulu. Pada aspek ini, atasan seharusnya memberiakn keteladanan sebagai panutan bawahannya. Penegakkan aturan disiplin selain memberikan reward (penghargaan) juga ada sanksi(hukuman) yang tegas guna membina indisipliner para birokratnya. “Like or dislike”, aturan disiplin harus ditegakkan guna menjunjung moral dan etika organisasi setiap individu.
4)  Penegakkan Kode Etik
Kode etik merupakan aturan perilaku auditor dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Kode etik diterapkan dengan tujuan meningkatkan kualitas dan objektivitas kinerja dari setiap individu, serta untuk mewujudkan auditor yang professional dan berbudaya etis terhadap tugas profesinya. Sikap professional harus dikembangkan secara terus menerus guna meningkatkan kompetensi SDM dan mendukung program good governance. Mengenai contoh kode etik sudah tertuang dalam Peraturan MENPAN No.PER/04//M.PAN/03/2008 tentang Kode etik Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) Kode Etikdan Standar Audit (KESA). Pada dasarnya kode etik ini bersifat integritas, yang mengatakan bahwa “Benar itu Benar, Jujur itu Jujur,dan Salah itu Salah”, jangan ada toleransi yang terlalu besar untuk menegakkan “law enforcement”.
5)  Mendiklat para Pegawai (Birokrat)
Pengembangan pegawai seharusnya sudah berjalan melalui program orientasi, pengenalan visi dan misi, serta sasaran dan strategis yang ingin dicapai oleh unit kerja baik jangka pendek maupun jangka panjang. Selanjutnya, SDM dilatih dan ditraining dalam berbagai bentuk pendidikan dan pelataihan formal/non-formal agar dapat mengembangkan kemampuan, pengetahuan, dan wawasan di tempat kerjanya. Selain itu juga untuk menambah kompetensi dari profesi yang diembannya.
(pustaka1987.wordpress.com. 2010).

2.     Upaya Korpri dalam meningkatkan moralitas dan profesionalisme
Korps Pegawai Republik Indonesia merupakan suatu organisasi profesi beranggotakan seluruh Pegawai Negeri Sipil baik Departemen maupun Lembaga Pemerintah non Departemen. Korpri berdiri berdasarkan Keputusan Presiden Nomor: 82 Tahun 1971, 29 November 1971. Korpri dibentuk dalam rangka upaya meningkatkan kinerja, pengabdian dan netralitas Pegawai Negeri, sehingga dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari lebih dapat berdayaguna dan berhasil guna.
Korpri merupakan organisasi ekstra struktural, secara fungsional tidak bisa terlepas dari kedinasan maupun di luar kedinasan. Sehingga keberadaan Korpri sebagai wadah unsur Aparatur Negara, Abdi Negara, dan Abdi Masyarakat harus mampu menunjang pencapaian tugas pokok institusi tempat mengabdi.
Sebagai aparatur negara, abdi negara dan abdi masyarakat sudah sepantasnya anggota Korpri berjiwa kesatria dalam menerima segala macam kritik dan masukan dari berbagai elemen masyarakat. Anggota Korpri yang identik dengan pegawai negeri atau ”pegawainya” pemerintah adalah gambaran berbagai sorotan yang belum mengimplementasikan secara optimal : kedisiplinan, produktifitas, kinerja dan moral (akhlak). Dalam keseharian dinilai masih jauh dari yang dicita-citakan oleh nilai-nilai dalam Panca Prasetia, sebagai filosofi dasar anggota Korpri.
Fenomena yang menyentuh perlunya perubahan mendasar para elemen dan elite anggota Korpri di semua lini. Kita perlu melihat kembali betapa pentingnya nilai-nilai dasar yang wajib dipegang teguh oleh semua, dalam hal ini kaitannya dengan urgensi moral aparatur. Walaupun pada dasarnya tatanan kehidupan bangsa Indonesia akhir-akhir ini tidak hanya dimulai dari perilaku apartur, melainkan telah terlampau kompleks, sehingga memunculkan apa yang disebut dengan reformasi. Reformasi (Re = kembali, Format/Formatie = bentuk) yang berkembang sejak tahun 1998 merupakan kehendak bangsa Indonesia untuk meredefinisikan seluruh tatanan, aturan dan pelaku utama biokrasi yang secara formal selama beberapa dasawarsa mendapat legitimasi.
Setidaknya, ada tiga agenda penting yang perlu dilakukan oleh Korpri dalam upaya meningkatkan mutu dan bobot pelayanan publik yang mesti disosialisasikan secara gencar kepada segenap jajaran warga Korpri. Pertama, meningkatkan keterampilan profesional pegawai. Entitas profesionalisme akan tampak pada sosok pegawai yang cekatan dan terampil mengemban tugasnya di lapangan. Upaya merekrut calon pegawai hendaknya lebih diperketat melalui uji keterampilan yang selektif sesuai bidangnya masing-masing, sehingga tidak lagi merasa “gagap” setelah menyentuh tugasnya di lapangan. Upaya ini mesti didukung oleh kinerja dunia pendidikan yang mampu menghasilkan out-put yang memiliki basis kognitif, afektif, dan psikomotorik andal.
Kedua, mengekstensifkan dan mengintensifkan wawasan pegawai. Sebagai salah satu “pilar” pembangunan, tugas rutin pegawai di lapangan akan semakin “afdol” jika ditunjang dengan wawasan dan visi yang luas. Upaya memberikan kesempatan belajar dan pemberian beasiswa studi lanjut bagi para pegawai yang potensial perlu lebih digalakkan. Selain itu, setiap pegawai hendaknya memiliki hasrat belajar secara simultan dan berkelanjutan, baik lewat buku maupun kehidupan, untuk lebih meningkatkan aktualitas diri sesuai bidang tugas yang digelutinya.
Ketiga, mempertinggi integritas kepribadian pegawai. Munculnya mentalitas korup dan tidak jujur yang dibingkai kepentingan dan pamrih sempit, boleh jadi lantaran keringnya integritas kepribadian, sehingga merasa tak berdosa ketika melakukan setumpuk dosa dan penyimpangan moral.
Melahirkan pegawai yang tinggi integritas kepribadiannya jelas menjadi tantangan tersendiri bagi Korpri di tengah-tengah semakin dahsyatnya pola hidup konsumtif, materialistis, dan hedonis yang melanda kehidupan global saat ini. Dalam hal ini, Korpri harus lebih gencar lagi dalam mengakarkan kode etik “Panca Prasetya Korpri” kepada para pegawai, sehingga tidak terperangkap menjadi slogan moral yang kehilangan nilai spiritualnya. Kode etik tersebut harus mendarah daging dan bernaung-turba ke dalam nurani pegawai, tidak cukup sekadar dihafalkan tanpa penghayatan dan pengamalan.
Sisi lain yang penting dicermati adalah tak henti-hentinya “meniupkan” roh spiritualisme ke dalam dada warga Korpri. Dengan semangat spiritualisme yang terus memancar, warga Korpri akan semakin optimal mengemban tugas sehinngga tidak mudah tergoda untuk melakukan tindakan “konyol” yang bisa meruntuhkan namanya sebagai seorang abdi negara dan abdi masyarakat.
Dengan demikian, menjalani profesi sebagai pegawai negeri tidak semata-mata berupa pelepasan energi fisik untuk menghasilkan sesuatu, tetapi pada tugas tersebut juga melekat faktor spiritual. Selain menghasilkan sesuatu, mereka juga dapat mengekspresikan diri dalam melaksanakan tugasnya yang berfungsi sebagai simbol menjadi sebuah “kode” yang menunjuk nilai atau makna tertentu (Sartono Kartodirdjo, 1994:105).
1)     Peran Akhlak
Nilai kesalehan, baik pribadi maupun sosial, agaknya bisa menjadi resep mujarab dalam mencegah berjangkitnya “penyakit” moral. Dengan landasan spiritual yang tinggi, tanpa ada pengawasan melekat pun seorang pegawai tidak akan mudah tergiur dan tergoda untuk melakukan tindakan tercela, sebab setiap gerak-geriknya senantiasa merasa diawasi oleh Yang Maha melihat.
Agar bisa memberikan mutu pelayanan yang baik kepada publik, pengejawantahan nilai-nilai kepemimpinan luhur perlu menjadi sebuah keniscayaan bagi pegawai negeri. Agaknya, insan pegawai negeri, khususnya para pemimpin di jajaran birokrasi, bisa becermin dan sekaligus mengambil hikmah dari nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam ajaran Asthabrata, sebuah ajaran luhur tentang perilaku hidup yang pernah diterima Arjuna dari Begawan Kesawasidhi. Ajaran ini mengandung delapan watak alam yang bisa dijadikan sebagai “simbol moralitas” manusia modern di tengah-tengah dahsyatnya gerusan nilai global yang gencar menawarkan gaya hidup konsumtif, materialistis, dan hedonis.
Bangsa lain melihat bagaimana pungli dijumpai dimana-mana, penyelewengan sudah cukup sebagai skandal yang memalukan. Pemaknaan conflict of interest di negeri yang beradab ini masih sedemikian lemahnya atau bahkan tidak ada sama sekali. Akhirnya dalam kenyataan praktek-praktek ekonomi, politik, hukum, birokrasi dan sebagainya sangat bertentangan dengan deklarasi moral bangsa kita yang nota bene sebagai bangsa yang bermoral, berakhlak dan beragama.
Ketimpangan sosial, ekonomi, penerapan hukum dan keadilan dengan memandang bulu saat itu tidak karena keslahan kita sendiri. Yaitu karena tidak adanya prinsip berpegang teguh pada akhlak dan moral sebagaimana yang dikehendaki oleh setiap agama. Agama menjadi sendi pokok ketahanan suatu bangsa menghadapi panca roba zaman. Tanpa akhlak yang baik suatu bangsa akan binasa. Sebuah syair berbahasa Arab menyebutkan :
            Sesungguhya bangsa-bangsa itu tegak selama (mereka berpegang pada) akhlaknya. Bila akhlak mereka rusak dan binasa pulalah mereka”.
Akhlak dan moral sangat menentukan kejayaan dan kehancuran suatu bangsa. Pembinaan moral bangsa secara hukum dimulai oleh penegak keadilan dan ditegakkannya produk hukum pun harus sejalan dengan moral agama. Sementara penegak keadilan pun harus berpandangan bahwa hukum dan keadilan yang diembannya sebagai amanah Tuhan yang harus dijunjung tinggi. Begitu pula pembinaan moral yang lain : politik, ekonomi dan seterusnya, harus berpangkal pada akhlak politik (high politics) serta moral ekonomi yang sebenarnya. Artinya, tidak sekedar perprinsip pada pengeluaran modal yang sedikit mungkin untuk memperoleh keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Ini akan melanggar akhlak ekonomi yang diajarkan oleh agama apapun.
Prinsip Mazhavelle yang perpegang pada penghalalan segala cara untuk mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda benar-benar awal dari kehancuran suatu bangsa secara keseluruhan.
Moral itulah yang akan menciptakan kebaikan, siapa pun yang menegakkanya. Dan pelanggaran terhadap keadilan akan mengakibatkan malapetaka, siapa pun yang melakukannya. Oleh sebab itu, didalam Al-Qur’an ditegaskan bahwa keadilan harus ditegakkan sekalipun mengenai karib, kerabat, teman (kroni) serta familinya. Sekaligus tidak dibenarkan karena suatu kebencian dan konflik pribadi membuat keadilan tidak dapat ditegakkan. Rasulullah Saw, pernah mengultimatum dihadapan putri dan Sahabat-sahabatnya :
” Seandainya putriku (fatimah) ini mencuri, maka biar aku (Rasul) sendiri yang akan memotong tangannya ”.
Prinsip akhlak di dalam Islam juga dilihat dari aspek-aspek yang lain, termasuk sosial dan ekonomi. Bahwa kewajiban memperhatikan kaum terlantar (dhu’afaa), jika tidak dilakukan dengan sepenuhnya akan mengakibatkan kehancuran suatu masyarakat. Implikasi dari usaha menegakkan keadilan bagi merekan ialah dengan memperjuangkan kepentingan golongan masyarakat yang terpuruk serta kurang beruntungnya nasibnya itu. Padahal, selama ini terlihat oleh kita bahwa penerapan keadilan sosial belum sepenuhnya menyentuk masyarakat tersebut. Kebijakan ekonomi bertumpu dan berputar pada pengusaha-pengusaha tertentu, sehingga menjadikan ketimpangan keadilan sosial dan ekonomi lebih menjolok. Untuk itulah diperlukan tatanan dan aturan yang mendukung keberadaan (eksistensi) sosial ekonomi di semua lini masyarakat, baik kecil maupun menengah tanpa mengesampingkan kelas atas.
Dalam hal ini diperlukan rancangan aturan yang berbasis pada keadilan sehingga praktek-praktek bisnis yang tidak sehat dapat dihilangkan. Demikian pula aturan-aturan tersebut benar-benar mampu menghilangkan praktek-praktek korupsi, kolusi, dan manipulasi yang berdampak pada penguasaan/monopoli suatu usaha. Lebih dari itu semua, pelaku kebijakan teras atas serta komponen masyarakat penegak keadilan pun harus bertumpu pada moral yang ditegakkan oleh hati nuraninya. Bukan sekedar karena aturan semata.
2)     Peran Profesionalisme
Telah menyebar luas di masyarakat bahwa di kalangan pejabat birokrasi kita terdapat slogan “jika bisa dipersulit mengapa dipermudah” yang tentu saja memperburuk citra pegawai negeri di Indonesia. Kondisi tersebut diperparah dengan munculnya “oknum” pegawai yang bermental korup, sehingga tak segan-segan menyalahgunakan jabatan dan wewenangnya untuk melakukan korupsi, manipulasi, kolusi, dan sederet ulah tak jujur lainnya yang merugikan kepentingan publik. Jika kondisi semacam itu dibiarkan berlarut-larut, jelas membuat citra pegawai merosot, masyarakat pun jadi tidak respek lagi terhadap figur pegawai negeri.
Menurut Suryono terdapat tiga tipologi interaksi pegawai negeri dalam menafsirkan pelayanan publik, antara lain:
a)    Tipologi pertama. Pegawai yang menafsirkan makna pelayanan publik sebagai pelaksanaan tugas dari atasan atau pimpinan mereka. Hal ini cenderung menciptakan interaksi pelayanan publik yang bersifat kompromi, percekcokan, dan bahkan konflik.
b)    Tipologi kedua. Pegawai yang menafsirkan makna pelayanan publik sebagai pelaksanaan dari perundang-undangan atau aturan yang berlaku. Hal ini cenderung menciptakan interaksi pelayanan publik yang bersifat kerja sama atau kompromi.
c)    Tipologi ketiga. Pegawai yang menafsirkan pelayanan publik sebagai sarana kepentingan pribadi (baik secara ekonomi maupun prestise sosial). Hal ini cenderung menciptakan interaksi pelayanan publik yang bersifat kecurangan, intimidasi, percekcokan, KKN, dan kompensasi.
Selain tiga tipologi di atas yang menunjukkan pola pemaknaan pegawai birokrasi terhadap kegiatan pelayanan publik, juga terdapat lima penyakit yang berkaitan dengan budaya kerja pegawai, yaitu:
a)    Kecenderungan memperluas misi suatu institusi
b)    Memaksimalkan anggaran
c)    Keluar dari tupoksi (tugas, pokok, dan fungsi) yang telah ditetapkan
d)    Bekerja berbelit-belit
e)    Sering menunda pekerjaan
Salah satu faktor penyebab terjadinya hal-hal negatif di atas adalah idiom yang dikenal di kalangan pegawai negeri yaitu “pintar-bodoh gaji sama” atau “pulang pagi-pulang sore sama saja”. Idiom tersebut muncul karena standar gaji PNS selama ini lebih berdasarkan pada golongan pegawai. Hal ini jika dibiarkan akan mematikan daya kreasi dan inovasi seorang pegawai dalam melayani publik.
PNS juga manusia dan bukan malaikat tanpa khilaf serta dosa. Seketat apapun pengawasan melekat yang kita terapkan pasti terdapat oknum-oknum yang sengaja melanggar kode etik kepegawaian. Pemerintah dan masyarakat tidak membutuhkan PNS yang bermental sakit karena perilaku ini akan memperlambat laju roda pemerintahan dan menjadi racun dalam upaya pencapaian tujuan nasional. Kiprah PNS yang bermental sehat akan menghasilkan karya dan gagasan positif, yang muara akhir terciptanya profesionalisme dalam bekerja.
Oleh karena itu untuk mewujudkan sikap profesionalisme yang tinggi maka PNS harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut : Pertama, menguasai pengetahuan di bidangnya masing-masing, tentunya yang harus dikerjakan meningkatkan pengetahuan, menguasai bidang tugasnya dan efektifitas dalam melaksanakan pekerjaan. Kedua, komitmen pada kualitas, berupa memiliki kecakapan, kesanggupan dalam bekerja dan selalu meningkatkan mutu kerja. Ketiga, mempunyai dedikasi yang tinggi, berupa kebanggaan kepada pekerjaan tanggung jawab terhadap pekerjaan dan mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi dan golongan. Keempat, keinginan untuk membantu, berupa kejujuran, keikhlasan, motivasi, budi luhur yang tinggi, tenggang rasa dan peduli dengan sesama.
Berau-Humas BKN,  Tingkat profesionalisme seorang PNS dapat ditengarai oleh empat hal yakni: ilmu, amal, etika dan tanggung jawab.  Untuk mencapai PNS yang profesional maka perlu dilakukan penataan sistem manajemen PNS.  Hal tersebut disampaikan oleh Kepala BKN, Eko Sutrisno saat memberikan materi dalam acara Rapat Koordinasi Kepegawaian se-Kalimantan Timur Senin (29/10) di Kabupaten Berau Provinsi Kalimantan Timur.
Eko Sutrisno menyampaikan penataan sistem manajemen PNS mencakup 8 (delapan) hal yakni: penataan sistem perencanaan pegawai, penataan sistem rekrutmen pegawai, penyusunan standar kompetensi jabatan, assessmen individu berdasarkan kompetensi, pengembangan e-gov, penerapan sistem penilaian kinerja individu, diklat berbasis kompetensi dan pengembangan profesionalisme PNS. Saat ini yang sering menjadi perhatian publik adalah rekrutmen pegawai yang dirasa masih belum sesuai dengan kompetensi dan sering terjadi kolusi dan nepotisme.  Oleh karena itu BKN sebagai lembaga yang mengelola manajemen kepegawaian nasional berinisiatif dan menerapkan IT dengan pemanfaatan Computer Assissted Tes (CAT) dalam seleksi penerimaan CPNS.  Dengan menggunakan CAT ini, peserta tes tidak perlu berkumpul di dalam stadion untuk melakukan tes cukup dilakukan di dalam suatu ruangan yang telah disiapkan.  Dengan sistem ini maka penerimaan CPNS akan transparan dan akuntabel.
Profesionalisme PNS mulai dibenahi dengan rekruitmen PNS yang bersih dan transparan. Anak-anak muda sekarang ini mulai banyak yang tertarik masuk PNS. Jika dulu lulusan terbaik negeri ini banyak keperusahaan asing dan swasta, sekarang mulai berubah. Tidak hanya BUMN saja yang diminati, tetapi PNS di pusat maupun daerah juga banyak peminatnya. Dan nyatanya banyak anak muda yang diterima.




















BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN


A.     Kesimpulan
Menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai aparatur negara harus tetap meningkatkan perannya, sebagai abdi negara, abdi masyarakat, dan abdi pemerintah serta memegang tanggung jawab besar dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan dan melayani masyarakat dalam berbagai bidang.
Pegawai negeri adalah pekerja di sektor publik yang bekerja pada pemerintah suatu negara. Pekerja di badan publik non-departemen terkadang juga dikategorikan sebagai pegawai negeri. Mereka merupakan pelayan masyarakat yang harus bekerja secara maksimal untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan menyelesaikan kepentingan masyarakat. Pada era reformasi saat ini di mana semua orang menghendaki terciptanya pemerintahan yang bebas dari korupsi, sudah sepantasnya apabila para pegawai negeri kita memiliki 6 etos kerja, yaitu kerja keras, disiplin, mandiri, jujur, rajin, dan yang terpenting harus tebal imannya (Suryono, 2007). Selain itu, kompetensi yang harus dimiliki para pegawai negeri kita agar selalu dapat melayani masyarakat dengan baik, antara lain: tidak terpaku pada kegiatan-kegiatan rutin yang terkait dengan fungsi instrumental birokrat; tanggap terhadap masalah-masalah publik; memiliki wawasan futuristic dan sistematik; mampu melakukan terobosan melalui pemikiran yang kreatif dan inovatif (tidak terlalu terpaku pada aturan); memiliki kemampuan untuk mengantisipasi, memperhitungkan, dan meminimalkan resiko; jeli terhadap potensi sumber-sumber dan peluang baru; memiliki kemampuan untuk mengombinasikan berbagai sumber daya sehingga menjadi sumber daya campuran yang memiliki produktivitas tinggi; memiliki kemampuan untuk mengoptimalkan sumber daya yang tersedia dengan menggeser sumber kegiatan berproduksi rendah ke arah kegiatan berproduksi tinggi (Sumartono, 2007).
KORPRI sebagai wadah para PNS dituntut selalu menunjukkan peran dan tanggung jawab sesuai perkembangan jaman guna mengarahkan anggotanya dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan dan melayani masyarakat dalam berbagai bidang.

B.    Saran
KORPRI sebagai organisasi yang mandiri dan profesional, yang kedudukan dan kegiatannya tidak terlepas dari kedinasan, harus senantiasa bergerak bersama komponen bangsa lainnya untuk secara konsisten memperjuangkan cita-cita bangsa. Era reformasi telah mengembalikan peran utama birokrasi sebagai komponen utama pengelola pemerintahan, di mana birokrasi tidak lagi terlibat dalam kegiatan-kegiatan politik praktis. Untuk itu, transformasi budaya paradigma baru menjadi penting, agar pegawai negeri sipil dapat semakin efektif dan profesional dalam menjaga dan menegakkan kedaulatan NKRI. Karena itu reformasi birokrasi tidak boleh terhenti, tetapi harus dilanjutkan. Dukungan dan pengertian semua pihak tetap diperlukan, agar reformasi birokrasi dapat mencapai tujuan sebagaimana kita kehendaki bersama



























DAFTAR PUSTAKA

BKN, 2010 : Moral Etika PNS. Jakarta

Hanafi, Imam, et.al. 2000. “Pengembangan Sumber Daya Aparatur Daerah Di Era Reformasi (Kasus Kabupaten Trenggalek)”. Jurnal Administrasi Negara, Vol.I, No.1, Malang: LPD FIA UB.


http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=87&Itemid=54

Kuswandhana IGMN. Reformasi Birokrasi Menjadi Energi Baru di Departemen Pertanian Menuju Good Governance. Dalam Media Auditor, Ed.23 Nopember 2009.

Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1975 tentang Sumpah/Janji Pegawai Negeri Sipil;

Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps Dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil;

Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 1959 tentang Sumpah Jabatan Pegawai Negeria Sipil Dan Anggota Angkatan Perang;

Suharno HS. Reformasi Sumber Daya Manusia. Dalam Media Auditor, Ed.23 Nopember 2009.

Surat Edaran Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 14/SE/1975, tentang Petunjuk Pengambilan Sumpah/Janji Pegawai Negeri Sipil..

Suryono, Agus. 2007. “Profil Etos Kerja Birokrasi”. Jurnal Ilmiah Administrasi Publik, Vol.9, No.1. Malang: LPD FIA UB.

www.analisadaily.com/news/read/2011/10/08/16205/mewujudkan_sikap_profesionalisme_pns/#.ULtbVaiEWWg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar