Senin, 21 Januari 2013

PARADIGMA METAMORFOSIS MANUSIA DALAM KAJIAN KEBUDAYAAN DAN MODEL MENTAL MASYARAKAT


Paradigma secara sederhana diartikan sebuah “kerangka berpikir” atau “jendela mental” untuk memahami suatu gejala (Bailey, 1973). Paradigma itu berbeda-beda kemampuannya, dan bisa jadi sebuah paradigma tak mempan untuk memahami gejala sosial tertentu, yang oleh Khun (1976) disebut anomali. Perubahan-perubahan yang terjadi pada manusia membuat segalanya menjadi berubah, baik dalam kehidupan sosial maupun dalam kehidupan pribadi. Memang secara kodrati manusia merupakan mahluk sosial (Homo Sosialis) yang dalam kehidupannya selalu membutuhkan manusia yang lain. Dengan kata lain manusia tidak bisa hidup sendiri di muka bumi ini. Sayangnya, warna kehidupan sosial masyarakat zaman ini semakin amburadul, semua saling mengoreksi tanpa mengontrol dan instropeksi pada diri sendiri. Selalu ingin menangnya sendiri.
Dalam kesempurnaan hidup membuat seorang pribadi menjadi lebih sempurna padahal “tiada gading yang tak retak”, semua dalam ketidak sempurnaan. Sulitnya lagi kondisi permasalahan tidak dipandang obyektif, sering dilihat hanya dari satu sisi. Pemecahan masalah yang dianggap logis malah hanya menjadi bumerang, maka muncullah masalah baru lagi. Al Quran dalam surat At-Tin ayat 4-5 menyebutkan bahwa :” Sesungguhnya Kami telah menjadikan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya; Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya” ...........Apakah itu tidak cukup bagi kita sebagai suatu peringatan ?
Kehidupan ini fana sehingga banyak yang terlena. Hidup suatu pilihan, bukan sekedar ungkapan “tembelek diwungkusi moto melek diapusi”. Ya... itulah fungsi sawang sinawang dalam hidup ini semuanya serba saling memandang tanpa jelas sudut pandangnya. Ironis memang ungkapan “REFORMASI TRANSPARASI” malah justru membuat orang sakit hati. Itulah memorfosis yang tidak sempurna dialami oleh manusia. Kadang menganggap dirinya nabi atau bahkan malaikat yang serba benar dan baik hati. Semua terkesan dipaksakan tanpa melihat kondisi akibatnya malah menyebabkan manusia saling mencurigai, menyelidiki, mencemooh, mengkritik tanpa melihat dirinya sendiri. Kuman diseberang lautan tampak tapi gajah dipelupuk mata tiadalah tampak. Lebih parah lagi adanya pandangan A Historis (Anhar Gonggong, 2000) yang mempersepsi keadaan sekarang terputus dengan sejarah masa lalu (Orba) disertai dengan penilaian tidak seimbang yakni “hanya menonjolkan keburukan Orba atau dengan kata lain mirip pencarian “kambing hitam” dengan mengaitkan dua gejala berdekatan seperti tercakup dalam hukum “Law of Proximity” (Krech, dkk, 1962). Manusia ....manusia pingin berubah tapi malah jadi bencana.
Kebudayaan adalah “adat istiadat, tradisi, sikap, konsep dan karakteristik yang mengontrol perilaku sosial (Yin, 1988) atau kecenderungan nilai dan mode perilaku baik yang tampak maupun yang tersirat guna menuntun perilaku, produksi material dan spiritual serta kehidupan masyarakat, dan sebagai medium bagi pengungkapan pengetahuan, kepercayaan, moral, seni, pendidikan, hukum, dan sistem psikologis umumnya dan bentuk material yang diwariskan masyarakat dan tersebar dikalangan warga masyarakat (Jiang, dkk, 1987).
Model Mental adalah cara pandang dan cara menyikapi seseorang tentang berbagai hal disekitarnya. Prof. Koentjoroningrat menganggap model mental sebagai sikap mental yang cenderung menunjukkan kemana arah orientasi seseorang dalam menanggapi makna-makna relasi dirinya dengan orang lain, alam dan kehidupan sekitarnya. Peter senge mendefinisikan sebagai asumsi yang mendalam, generalisasi, atau bahkan gambaran atau citra yang mempengaruhi bagaimana kita memahami dunia dan bagaimana kita bertindak.
Untuk itulah perlunya ditanamkan kebudayaan dan model mental yang positif dalam kehidupan bermasyarakat serta selalu berusaha instropeksi diri sebelum menilai orang lain, sehingga tidak terjerumus dalam kenistaan. Makalah Fairbanks yang disunting Harrison dan Huntington (2000) dalam kumpulan karangan “ Culture Matters : How Values Shape Human Progress”  mengandung pesan yang mendalam maknanya, betapa pola pikir berpengaruh terhadap cara orang memandang dunia di sekitarnya, yang selanjutnya mempengaruhi tindakan atau perbuatannya. Keterbatasan suatu komunitas dalam memecahkan suatu masalah karena kegagalan untuk mencapai sesuatu yang lebih baik, diproyeksikan sebagai keburukan sifat yang melekat pada orang lain. Mereka terperangkap pada situasi rutin dan tidak mampu melakukan koreksi diri. Koreksi ini sangat dibutuhkan untuk perbaikan dan peningkatan, lebih-lebih bagi suatu bangsa. Alex Inkeles (dalam Harisson dan Huntington, Ed., 1999) menekankan pentingnya intropeksi, melihat diri ke dalam: “Sebuah bangsa yang modern ditandai oleh adanya penekanan pada proses analisis diri yang berkesinambungan. Bangsa yang modern adalah bangsa yang melakukan koreksi diri. Krisis yang terjadi dewasa ini, kita sebagai sebuah bangsa tak mampu mengoreksi diri. Kelemahan kita, bukan kita kurang cerdas dibandingkan generasi Soekarno-Hatta, tetapi hati kita benar-benar jadi buta terhadap realitas, atau kita....”buta terhadap obyek suprainderawi yang dapat dipahami dengan mata hati” ( Murrata, 1999). Kita jadi rakus, menumpuk kepemilikan tanpa batas, menurut Alexander Solzhenitsyn dari Rusia pemenang nobel sastra. Yang terjadi bukan hanya kompetisi pemilikan harta yang menjadi ciri hedonisme, tetapi juga kompetisi untuk menguasai kekuasaan.


Robiul Akhir 1433 H
Maret  2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar