Paradigma
secara sederhana diartikan sebuah “kerangka berpikir” atau “jendela mental”
untuk memahami suatu gejala (Bailey, 1973). Paradigma itu berbeda-beda
kemampuannya, dan bisa jadi sebuah paradigma tak mempan untuk memahami gejala
sosial tertentu, yang oleh Khun (1976) disebut anomali. Perubahan-perubahan
yang terjadi pada manusia membuat segalanya menjadi berubah, baik dalam
kehidupan sosial maupun dalam kehidupan pribadi. Memang secara kodrati manusia
merupakan mahluk sosial (Homo Sosialis) yang dalam kehidupannya selalu
membutuhkan manusia yang lain. Dengan kata lain manusia tidak bisa hidup
sendiri di muka bumi ini. Sayangnya, warna kehidupan sosial masyarakat zaman
ini semakin amburadul, semua saling mengoreksi tanpa mengontrol dan instropeksi
pada diri sendiri. Selalu ingin menangnya sendiri.
Dalam
kesempurnaan hidup membuat seorang pribadi menjadi lebih sempurna padahal
“tiada gading yang tak retak”, semua dalam ketidak sempurnaan. Sulitnya lagi
kondisi permasalahan tidak dipandang obyektif, sering dilihat hanya dari satu
sisi. Pemecahan masalah yang dianggap logis malah hanya menjadi bumerang, maka
muncullah masalah baru lagi. Al Quran dalam surat At-Tin ayat 4-5 menyebutkan
bahwa :” Sesungguhnya Kami telah menjadikan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya; Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya”
...........Apakah itu tidak cukup bagi kita sebagai suatu peringatan ?
Kehidupan
ini fana sehingga banyak yang terlena. Hidup suatu pilihan, bukan sekedar
ungkapan “tembelek diwungkusi moto melek diapusi”. Ya... itulah fungsi sawang
sinawang dalam hidup ini semuanya serba saling memandang tanpa jelas sudut
pandangnya. Ironis memang ungkapan “REFORMASI TRANSPARASI” malah justru membuat
orang sakit hati. Itulah memorfosis yang tidak sempurna dialami oleh manusia.
Kadang menganggap dirinya nabi atau bahkan malaikat yang serba benar dan baik
hati. Semua terkesan dipaksakan tanpa melihat kondisi akibatnya malah
menyebabkan manusia saling mencurigai, menyelidiki, mencemooh, mengkritik tanpa
melihat dirinya sendiri. Kuman diseberang lautan tampak tapi gajah dipelupuk
mata tiadalah tampak. Lebih parah lagi adanya pandangan A Historis
(Anhar Gonggong, 2000) yang mempersepsi keadaan sekarang terputus dengan
sejarah masa lalu (Orba) disertai dengan
penilaian tidak seimbang yakni “hanya menonjolkan keburukan Orba atau
dengan kata lain mirip pencarian “kambing hitam” dengan mengaitkan dua gejala
berdekatan seperti tercakup dalam hukum “Law of Proximity” (Krech, dkk, 1962). Manusia ....manusia
pingin berubah tapi malah jadi bencana.
Kebudayaan
adalah “adat istiadat, tradisi, sikap, konsep dan karakteristik yang mengontrol
perilaku sosial (Yin, 1988) atau kecenderungan nilai dan mode perilaku baik
yang tampak maupun yang tersirat guna menuntun perilaku, produksi material dan
spiritual serta kehidupan masyarakat, dan sebagai medium bagi pengungkapan
pengetahuan, kepercayaan, moral, seni, pendidikan, hukum, dan sistem psikologis
umumnya dan bentuk material yang diwariskan masyarakat dan tersebar dikalangan
warga masyarakat (Jiang, dkk, 1987).
Model
Mental adalah cara pandang dan cara menyikapi seseorang tentang berbagai hal
disekitarnya. Prof. Koentjoroningrat menganggap model mental sebagai sikap
mental yang cenderung menunjukkan kemana arah orientasi seseorang dalam
menanggapi makna-makna relasi dirinya dengan orang lain, alam dan kehidupan
sekitarnya. Peter senge mendefinisikan sebagai asumsi yang mendalam,
generalisasi, atau bahkan gambaran atau citra yang mempengaruhi bagaimana kita
memahami dunia dan bagaimana kita bertindak.
Untuk
itulah perlunya ditanamkan kebudayaan dan model mental yang positif dalam
kehidupan bermasyarakat serta selalu berusaha instropeksi diri sebelum menilai
orang lain, sehingga tidak terjerumus dalam kenistaan. Makalah Fairbanks yang
disunting Harrison dan Huntington (2000) dalam kumpulan karangan “
Culture Matters : How Values Shape Human Progress” mengandung
pesan yang mendalam maknanya, betapa pola pikir berpengaruh terhadap cara orang
memandang dunia di sekitarnya, yang selanjutnya mempengaruhi tindakan atau
perbuatannya. Keterbatasan suatu komunitas dalam memecahkan suatu masalah
karena kegagalan untuk mencapai sesuatu yang lebih baik, diproyeksikan sebagai
keburukan sifat yang melekat pada orang lain. Mereka terperangkap pada situasi
rutin dan tidak mampu melakukan koreksi diri. Koreksi ini sangat dibutuhkan
untuk perbaikan dan peningkatan, lebih-lebih bagi suatu bangsa. Alex Inkeles
(dalam Harisson dan Huntington, Ed., 1999) menekankan pentingnya intropeksi,
melihat diri ke dalam: “Sebuah bangsa yang modern ditandai oleh adanya
penekanan pada proses analisis diri yang berkesinambungan. Bangsa yang modern
adalah bangsa yang melakukan koreksi diri. Krisis yang terjadi dewasa ini, kita
sebagai sebuah bangsa tak mampu mengoreksi diri. Kelemahan kita, bukan kita
kurang cerdas dibandingkan generasi Soekarno-Hatta, tetapi hati kita
benar-benar jadi buta terhadap realitas, atau kita....”buta terhadap obyek
suprainderawi yang dapat dipahami dengan mata hati” ( Murrata, 1999). Kita jadi
rakus, menumpuk kepemilikan tanpa batas, menurut Alexander Solzhenitsyn dari
Rusia pemenang nobel sastra. Yang terjadi bukan hanya kompetisi pemilikan harta
yang menjadi ciri hedonisme, tetapi juga kompetisi untuk menguasai kekuasaan.
Robiul Akhir 1433 H
Maret 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar